BAB 9
Maira tiba di Hotel Luxury tepat
pukul sebelas siang. Ia pun langsung menuju ruang serbaguna yang berada di
lantai lima. Ruangan itu sudah dipenuhi oleh dekorasi-dekorasi dan barisan meja
katering yang tersusun rapi.
Teknisi pencahayaan dan sound system
akan tiba satu jam lagi, sedangkan beberapa hadiah yang sudah ia pesan melalui
salah satu vendor kepercayaannya, masih dalam perjalanan menuju tempat itu.
Tapi secara keseluruhan, tempat ini sudah siap dan tertata sesuai dengan
keinginannya.
Maira berjalan ke tengah ruangan itu
dan memperhatikan dengan seksama. Ia mengeluarkan buku catatannya dan mengecek
setiap kelengkapan yang diperlukan untuk acara hari ini. Pertama, ia memeriksa
tata panggung yang dihiasi dengan dekorasi megah.
Di atas panggung berkarpet merah itu
tersusun empat kursi besar berwarna keemasan, sebuah meja di depan keempat
kursi tersebut, sebuah podium yang terbungkus kain berwarna merah, empat hiasan
bunga yang dirangkai dengan indah, sebuah layar putih yang berada di sisi kiri
panggung, dan dua buah standing mic yang sudah diletakkan
sesuai posisinya.
Maira memperhatikan puluhan meja
bundar bertaplak putih bersih, yang dikelilingi oleh sepuluh kursi di tiap-tiap
meja, yang juga ditutupi oleh kain penutup berwarna putih. Di atas meja itu sudah
tersusun rapi sepuluh set piring dan gelas kaca serta sendok dan garpu berwarna
keemasan. Pot bunga mungil dan indah menghiasi di tengah meja-meja tersebut.
Ia sedang asik memperhatikan setiap
detail di ruangan itu ketika pintu besar itu terbelah menjadi dua dan beberapa
orang masuk ke ruangan. Tim teknisi pencahayaan dan sound system tiba
lebih cepat dari dugaannya. Senyum ramahnya terlukis indah di wajah Maira,
menyambut para pria yang sudah tampak familiar baginya.
Kepala teknisi menghampirinya, berbincang
sejenak sebelum akhirnya mereka mulai bekerja sesuai arahan Maira. Tak lama
kemudian, vendor hadiah pun tiba dan membawa puluhan hadiah yang sudah
disiapkan sebagai hadiah doorprice.
Maira sangat menyukai pekerjaan ini.
Melihat orang-orang bekerja di bawah arahannya, mengatur, dan merencanakan,
serta menyusun sebuah acara begitu menyenangkan baginya. Melihat wajah-wajah
para tamu serta kliennya, yang tersenyum bahagia serta puas ketika acara
selesai dilaksanakan, merupakan sebuah kebanggaan tersendiri baginya.
Waktu terasa berjalan sangat cepat,
tak terasa sekarang sudah pukul dua siang. Para penerima tamu dan dua orang MC
pun sudah siap posisi mereka masing-masing. Para petugas katering pun sudah
mempersiapkan hidangan di tempat mereka masing-masing.
Jantung Maira berdebar semakin cepat
karena ia begitu antusias setiap kali acara mulai mendekati menit-menit
terakhir. Para tamu pun mulai berdatangan dan petugas penerima tamu mulai sibuk
dengan tugas mereka. Maira memperhatikan dari kejauhan dan terus berkoordinasi
dengan masing-masing kepala vendor melalui walkie talkie yang
tidak pernah lepas dari genggamannya.
Lambat laun, ruangan itu mulai penuh
dan kesibukan Maira pun mulai terasa karena para jajaran manajer, direksi, owner,
serta tamu spesial dari pihak owner akan tiba sebentar lagi.
Para tamu menikmati alunan musik yang sedari tadi mengisi ruangan tersebut.
Seorang pria berpakaian serba hitam
menghampirinya dan memberitahunya kalau owner Dhirgan sudah
tiba di lantai dasar. Maira langsung memberikan aba-aba kepada para
petugas-petugas andalannya dan mulai mempersiapkan kedatangan owner tersebut.
Jantung Maira terus berdebar
kencang, ia tidak bisa menahan antusias dalam dirinya. Ia menatap sekali lagi
ke dalam ruangan dan bangga atas kerja kerasnya yang terlihat begitu sempurna.
Pintu lift pun terbuka dan Maira bisa melihat seorang pria paruh baya berusia
enam puluhan keluar dari lift, didampingi sekitar enam orang pengawal bertubuh
tinggi besar dengan pakaian serba hitam dan wajah kaku bagaikan patung.
Pak Sudarsono memang sudah tidak
muda lagi, tubuhnya yang berisi dengan tinggi sekitar seratus tujuh puluh centimeter, masih
terlihat cukup bugar. Wajahnya yang ramah dan senyuman yang selalu menghiasi
wajah keriput itu, membuat Pak Sudarsono menjadi salah satu owner perusahaan
paling ramah yang pernah Maira temui.
Pria itu menyapa dan tersenyum
hangat pada Maira sebelum akhirnya pria itu memasuki ruangan. Mata pria itu
memperhatikan ruangan yang penuh dengan para karyawan, yang berdiri menyambut
kedatangannya, serta dekorasi indah yang membuat Pak Sudarsono tersenyum lebih
lebar lagi.
Setelah Pak Sudarsono masuk dan
duduk di meja khusus yang disediakan untuknya, para jajaran manajer dan direksi
pun masuk menyusul di belakangnya dan duduk di meja mereka masing-masing. Maira
menghitung dan mencentrang setiap tamu penting yang tercatat di buku
catatannya. Hanya satu orang yang masih belum tiba hingga saat ini. Tamu
spesial Pak Sudarsono.
Maira bertanya pada salah satu
petugas keamanan di lantai dasar, kemudian bertanya pada salah satu petugas
penerima tamu, tapi tamu spesial itu memang belum datang. Mungkin tamu
itu nggak jadi datang, pikir Maira sambil berdiri di ambang pintu ruangan
sebelum akhirnya ia menutup pintu ruangan itu. MC acara itu pun memulai
tugasnya dan Maira berdiri di salah satu sudut ruangan sambil memperhatikan
kelangsungan acara tersebut.
Semua berjalan dengan lancar dan
sesuai dengan perhitungan Maira. Pak Sudarsono beserta para tamu yang hadir
saat itu pun terlihat menikmati jalannya acara. MC yang riang dan ceria membuat
acara tidak terlalu monoton dan Maira bersyukur mempunyai MC andalan seperti
mereka.
Saatnya acara makan dan para tamu
pun mulai beranjak dari kursi mereka masing-masing menuju meja prasmanan yang
sudah siap sedia menerima kedatangan para tamu. Maira kemudian berjalan
menghampiri meja Pak Sudarsono, yang sedang menikmati segelas anggur putih di
tangannya dan makanan yang tersaji di hadapannya.
“Bagaimana makanannya, Pak?” tanya
Maira dengan sopan.
“Kamu selalu tahu kesukaanku,
Cantik,” jawab Pak Sudarsono sambil tersenyum ramah.
“Maaf, Pak. Bolehkah saya bertanya
sesuatu?” tanya Maira sebelum melanjutkan pertanyaannya.
“Silakan, Cantik,” jawabnya.
“Apakah tamu spesial yang waktu itu
Bapak bilang tidak jadi datang? Karena saya sudah memeriksa berulang kali dan
tamu tersebut belum hadir hingga sekarang,” tanya Maira mencoba untuk
mengkonfirmasi.
“Oh, dia ... sebentar lagi mungkin
dia akan datang. Dia memang selalu datang ke suatu acara tepat beberapa menit
sebelum dia tampil,” jawab Pak Sudarsono sebelum meneguk segelas air putih.
“Tampil, Pak?” tanya Maira bingung.
“Ya. Dia akan tampil dengan band-nya
sebagai salah satu pengisi acara,” jelas Pak Sudarsono.
Maira mulai tampak semakin bingung.
Kemudian ia mencoba mengecek susunan acara yang ada di tangannya dan tidak
menemukan satu pun acara di mana akan diisi oleh penampilan tamu spesial itu,
selain dari pemain band yang sudah ia tentukan. Dan saat ini, pemain band itu
sedang mengisi acara dan menghibur para tamu yang sedang menikmati makanannya.
Ia mencoba mengingat-ingat kembali
dan Maira sangat yakin, sangat-sangat yakin, kalau tidak ada dari pihak Dhirgan
yang memintanya untuk menyelipkan penampilan band tersebut ke dalam susunan
acaranya. Dan ia tidak mungkin melakukan kesalahan ataupun lupa dengan hal
penting seperti ini.
“Tapi ... kemarin tidak ada yang
mengkonfirmasi pada saya kalau akan ada perform selain yang
tampil sekarang, Pak,” kata Maira, mencoba untuk meluruskan semua ini.
“Memang. Saya yang menyuruhnya untuk
mengisi acara ini sebagai salah satu hadiah ulang tahun saya," jawab Pak
Sudarsono dengan penuh wibawa, namun tetap dengan senyum di wajah sambil
menatap Maira dengan ramah.
"Jadi ... bisakah kamu
menyelipkannya di susunan acaramu itu, Cantik?” tanya Pak Sudarsono dengan
sangat sopan.
“Baik, Pak,” jawab Maira dengan
cepat dan ia pun pamit, pergi meninggalkan meja itu. Maira langsung
berkoordinasi dengan para MC, petugas sound system, dan penata
cahaya kalau akan ada satu penampilan lagi dari sebuah band yang entah kapan
akan tampil.
Setelah Maira meyakinkan acara
tambahan itu sebisa mungkin terlaksana dengan sempurna, ia pun kembali berdiri
di salah sudut dinding yang dilapisi tirai besar berwarna merah. Ia
memperhatikan setiap wajah dan berharap tidak menemukan satu pun wajah kecewa
di wajah para tamu saat ini.
Acara makan pun hampir selesai dan
sampai saat ini tamu spesial itu belum juga tiba. Maira memberi instruksi pada
penerima tamu dan pihak keamanan, yang berada di lantai dasar, agar segera
memberitahunya jika tamu spesial itu tiba di hotel.
Setelah acara makan selesai, para MC
mulai melanjutkan tugasnya dan masuklah ke sesi doorprice. Maira
memperhatikan wajah tiap-tiap karyawan kantor yang sangat berharap mendapatkan
salah satu doorprice yang sudah tersusun rapi di atas panggung
dan beberapa hadiah besar seperti hadiah motor, TV, mesin cuci, dan kulkas yang
berjumlah sekitar lima unit per jenisnya berada di bawah panggung.
Setelah pengocokan doorprice yang
ketiga, pintu besar itu tiba-tiba terbuka dan Maira melihat empat orang masuk
ke ruangan itu dengan membawa beberapa alat musik. Mereka berempat berjalan di
tengah-tengah karpet merah yang menjulur hingga ke panggung.
Dengan cekatan, Maira langsung
berlari kecil menuju meja Pak Sudarsono, dan sebelum ia tiba di sana, Pak
Sudarsono memberikan aba-aba padanya. Yap, inilah si tamu spesial itu. Datang
tiba-tiba tanpa pemberitahuan dan masuk begitu saja bagaikan artis papan atas.
Maira langsung memberi aba-aba pada
MC. Para pemain band itu berhenti tepat di depan meja Pak Sudarsono dan salah
seorang dari mereka sedang berbicara dengan penuh hormat dan sopan pada pria
paruh baya itu. Setelah berbincang sebentar, mereka pun melangkah menuju sisi
panggung, menunggu aba-aba dari MC untuk naik ke panggung.
Setelah mereka diperbolehkan untuk
naik, mereka pun mulai mempersiapkan alat musik mereka masing-masing dan
pihak sound system mulai melakukan tugasnya. Sedangkan pria
yang tadi berbicara dengan Pak Sudarsono, hanya berdiri sambil mengeluarkan
sebuah mic dari dalam koper kecil berwarna perak yang sedari tadi ada dalam
genggamannya.
Ternyata pria itu adalah
penyanyinya. Siapa dia? batin
Maira dari kejauhan. Ia tidak pernah melihat artis atau siapa pun mereka ini.
Setelah Maira memperhatikan bahwa pemain Band itu sudah siap di posisi mereka
masing-masing dan pihak sound system pun sudah turun dari
panggung, maka Maira memberikan aba-aba pada MC agar memberikan waktu pada
pengisi acara tersebut.
Ponsel Maira berbunyi saat MC sedang
berbincang dengan para pemain band tersebut. Maira langsung menjawab panggilan
itu sambil bersembunyi di salah satu sudut tirai.
“Ben, ada apa?” tanya Maira dengan
nada berbisik.
“Tiba-tiba aku kepikiran sama kamu,
Sayang. Apa kamu baik-baik saja?” tanya Ben, nadanya terdengar begitu khawatir.
“Aku baik-baik saja, Ben,” jawab
Maira cepat.
“Bisa kamu meneleponku nanti? Sedang
ada perubahan susunan acara di sini. Nanti aku hubungi balik, OK,” jelas Maira
dengan terburu-buru. Pandangannya masih tertuju pada MC yang sedang asik
bercanda gurau sebelum akhirnya MC itu turun dan memberikan panggung itu untuk
penampilan mereka.
“Kamu mau aku jemput?” tanya
Ben.
“Aku tidak tahu, Ben,” jawab Maira
ingin segera memutuskan pembicaraan, “aku kabari nanti, OK.”
“Baiklah, kabari aku secepatnya.
Aku mencintaimu, Maira,” ucap Ben, suaranya terdengar begitu serius.
“Aku juga mencintaimu, Ben.” Maira
langsung memasukkan ponsel ke dalam sakunya setelah ia mengakhiri pembicaraan
itu. Lampu mulai diredupkan saat petikan gitar memulai penampilan pertama
mereka. Cahaya lampu sorot warna-warni, membuat penampilan band itu terlihat
begitu mengagumkan.
Band itu membawakan sebuah lagu
ciptaan mereka sendiri. Entah apa judulnya, tapi setiap kata dalam lagu itu
begitu menyentuh dan terasa begitu sedih. Si penyanyi utama menyanyikan lagunya
dengan penuh penjiwaan. Dan seakan terhipnotis oleh penampilan itu, Maira tidak
menyadari bahwa bukan hanya dia yang terpesona oleh penampilan pria itu. Tapi
semua orang yang ada di dalam ruangan itu benar-benar bagaikan tersihir
olehnya.
“You’re
not mine, by : Oktaviana_vivi (A Struggle Hearts)”
‘I am present in your life, in your
every day, at every step you take
I am present in each of your tears,
in each of your pains
You look at me with your beautiful
smile
Touching me deep down
But your heart, your soul, your body
... is not mine
You crushed
me very hard ... but i fell so glad
You hurt me
so deeply ... but i fell so glad
I'm glad ...
i'm glad ... glad to know you
even though
you're not mine
You are present in each of my
dreams, filling my days and prayers
You touched me, made me unable to
live without you
I see you with my highest hopes
Love you and keep waiting for you
But your heart, your soul, your body
... is not mine
You crushed
me very hard ... but i fell so glad
You hurt me
so deeply ... but i fell so glad
I'm glad ...
i'm glad ... glad to know you
even though
you're not mine
You're not
mine’
Maira seakan terhipnotis dengan
suara merdu dan gaya pembawaan penyanyi itu. Terlihat dari jauh saja, Maira
sangat yakin penyanyi itu memiliki pesona dan kharisma yang mampu meruntuhkan
setiap wanita – mungkin pria juga – hanya dengan suara indah itu.
Lagu itu selesai dinyanyikan dengan
sangat memesona. Suara tepuk tangan yang begitu riuh, mengisi ruangan itu. Pria
itu membungkukkan badannya, berterima kasih pada sambutan yang begitu besar.
Setelah suara tepuk tangan itu berhenti, mereka pun bersiap untuk menyanyikan
lagu kedua, yang merupakan lagu permintaan dari Pak Sudarsono. Penyanyi itu
membawakan lagu Michael Jackson yang berjudul One Day In Your Life.
Perasaan Maira begitu tersentuh
mendengar suara pria itu, yang berat, serak, dan dalam, mengalun indah di
telinganya. Bagaikan terhipnotis, seorang petugas penerima tamu sampai harus
mengguncang pundaknya agar Maira tersadar dan menoleh ke belakang.
“Kenapa?” tanya Maira langsung,
kesal karena wanita mungil ini mengganggu dirinya yang sedang menikmati
penampilan terindah yang pernah ia lihat.
“Bu, sepertinya ada beberapa
fotografer dan pihak media di depan pintu. Katanya mereka datang untuk
wawancara dengan mereka,” jelas wanita itu sambil menunjuk ke arah panggung.
Maira benar-benar terkejut, selama
ini ia belum pernah berurusan dengan fotografer, apalagi dengan media. Dengan
cepat Maira berjalan menuju pintu besar itu, membukanya sedikit dan melihat ada
sekitar tiga atau empat fotografer dan reporter yang sibuk dengan mic di
tangan mereka masing-masing.
Apa-apaan ini? batin Maira. Ia mencoba keluar
dan mendorong pintu besar itu dengan kuat, karena beberapa pria bertubuh besar,
kekar, wajah menyeramkan, dan berpakaian serba hitam menjaga agar tidak seorang
pun keluar dan masuk tanpa melewati tubuh-tubuh besar itu.
“Maaf, ada apa ini?” tanya Maira ke
salah satu fotografer yang berada tidak jauh darinya setelah akhirnya ia bisa
melewati barisan tubuh besar itu.
“Kau tidak tahu?” tanya fotografer
itu dan dengan cepat Maira menggelengkan kepalanya.
“Kami sedang menunggu mereka,” jawab
fotografer itu sambil menunjuk ke arah datangnya nyanyian.
“Mereka? Memang siapa mereka?” tanya
Maira lagi, kali ini benar-benar merasa seperti orang yang sudah tinggal lama
di dalam gua sehingga tidak terlalu memperhatikan perkembangan musik bahkan
artis pendatang baru sekali pun.
“D’aphrodite,” jawab
fotografer itu.
Meskipun pria itu menyebutkan ‘D’aphrodite’
dengan sangat jelas, tetap saja Maira tidak mengenal mereka. Nyanyian dari
balik pintu itu pun terhenti. Semua orang yang ada di depan pintu terlihat
mulai bersiap-siap dengan alat perang mereka sendiri.
Ada yang merapikan baju, menyalakan
alat perekam, ada yang mulai menyalakan kamera, dan ada pula yang sudah siap
sedia dengan mic menyala lalu menyodorkannya ke depan wajah
mereka sendiri. Maira tersenyum geli melihat tingkah laku para pekerja media
ini, begitu sigap dan siap sedia menunggu pintu terbuka.
Tak lama kemudian, salah seorang
pria bertubuh besar itu menekan sesuatu di telinganya dan seakan memberi perintah
pada yang lainnya untuk bersiap menerima kedatangan seseorang dari balik pintu
itu. Terdengar derap kaki yang semakin lama terdengar semakin jelas. Dengan
cepat dua orang bertubuh besar membuka pintu itu dan membelahnya menjadi dua.
Para pemusik itu keluar dengan cepat
dan si penyanyi berada tepat di paling belakang. Suara kamera dan pertanyaan
yang dilemparkan oleh reporter membuat Maira tidak bisa mendengar apa yang
sebenarnya mereka katakan.
Si penyanyi itu mengangkat salah
satu tangan untuk menghalangi sinar kamera yang begitu menyilaukan. Maira terus
memperhatikan mereka. Penyanyi itu memiliki ukiran tato di salah satu
tangannya, tampak begitu indah di tangan kekar itu. Wajah tampan dengan kulit
berwarna kecokelatan, dan rambut hitam yang menyempurnakan ketampanan itu.
Seakan mengetahui di mana Maira berdiri, pria itu menoleh ke arahnya dan
menatapnya dengan tajam.
Matanya bertemu dengan mata penyanyi
itu. Seketika itu pula ia tersontak kaget melihat mata itu lagi. Ada ragu
sesaat yang ia rasakan di dalam dirinya dan mencoba menepis kenyataan yang baru
saja terjadi di depan matanya. Pria itu. Pria dengan mata cokelat almond yang
tajam dan dalam, menatapnya sambil menyunggingkan senyum padanya.
Nico??
∞∞∞∞∞
Tidak ada komentar:
Posting Komentar