Minggu, 11 Juni 2017

A STRUGGLE HEARTS (21+) - BAB 8



BAB 8


            Pukul enam sore, tepat saat mereka tiba di area parkir Bandar Djakarta. Maira bisa merasakan semangat dan kebahagiaan yang membuncah di dadanya. Sekarang ia akan bertemu dengan keluar besar Ben. Maira keluar dari mobil, begitu juga Ben.
            Ben terus menggenggam tangan Maira saat berjalan menuju restoran itu, sampai mereka bertemu dengan seorag pria yang terlihat berusia lima puluhan dengan perut besar, wajah ramah, dan suara riang. Ben menjabat tangan pria itu dan mengenalkannya pada Maira. Pria itu adalah salah satu pamannya. Paman tertuanya.
            Mereka bertiga pun berjalan menuju sebuah meja yang sudah dipesan. Meja itu terdiri dari beberapa baris, yang sudah terisi oleh orang-orang yang sedang asik berbicara dan terlihat saling mengenal satu sama lain. Mata Maira tertuju pada Ibu Ben, yang  duduk manis di kursi roda, sedang berbicara dengan seorang wanita berusia lima puluhan yang berpenampilan cantik dan elegant.
            Ben terus menggenggam tangan Maira dan menuntunnya ke arah sebuah meja, di mana ibunya duduk. Tatapan hangat Ibu Ben menyambut kedatangannya. Senyum manis pun terukir di wajah yang sudah tidak muda lagi. Maira sedikit terkejut dengan sikap Ibu Ben, karena terakhir kali ia ingat, wanita itu cukup dingin padanya.
            Maira mencoba menepis rasa risau dalam dirinya, ia tidak ingin sikap dingin wanita itu beberapa hari yang lalu merusak momen berharganya saat ini. Ia ingin menikmati pertemuan ini dengan baik. Mereka pun duduk di kursi kemudian Ben berdiri dan memanggil seorang pelayan, lalu membicarakan sesuatu pada orang itu.
            “Ada apa?” tanya Maira setelah Ben kembali ke posisi duduknya.
            “Tidak apa-apa,” jawab Ben dengan senyum lebar, menyembunyikan sesuatu, lalu mengecup punggung tangannya dengan lembut.
            Tak lama kemudian, sebuah buket bunga melati yang sangat indah, diletakkan tepat di hadapannya. Maira langsung menoleh ke arah Ben, yang langsung berdiri dan memberikan kode kepada beberapa orang yang ada di sana.
            Semua orang itu pun diam dan memusatkan perhatiannya pada Ben. “Selamat sore semua,” ucap Ben membuka kata.
            “Saat ini, di tempat ini, saya mengundang saudara-saudara semua dengan maksud dan tujuan tertentu. Seperti yang sudah saya ceritakan pada paman tertua beberapa hari sebelumnya, hari ini saya bermaksud untuk mengenalkan seorang wanita yang sangat saya cintai, selain ibu saya tentunya. Seorang wanita yang akan menjadi pendamping hidup saya,” ucap Ben dengan lancar.
            Maira memperhatikan Ben yang terlihat begitu percaya diri, bangga, dan ceria. Senyum lebar menghiasi wajah itu ketika Ben bicara di muka umum. Sesekali pria itu menoleh ke arah Maira dan melemparkan senyum padanya.
            Ben mengulurkan tangannya pada Maira sambil tersenyum. Maira langsung menerima uluran tangan itu dan beranjak dari kursinya. Ben menariknya mendekat dan melingkarkan tangannya di pinggang Maira. Wajah Maira sontak merona saat berdiri di depan umum seperti ini.
            Meskipun ia sudah seriang berada di muka umum, tapi ini berbeda. Saat ini ia menjadi pusat perhatian para tamu yang hadir dan mungkin beberapa pasang mata pengunjung restoran, yang memiliki rasa ingin tahu, yang mencuri pandang ke arah mereka.
            “Wanita itu adalah Maira,” ucap Ben sambil menatap matanya dalam-dalam. Maira membalas tatapan itu dan tersentuh dengan keberanian Ben. Maira melirik ke arah Ibu Ben dan perasaan kaget pun menerpanya ketika wanita itu tersenyum hangat lagi padanya.
            “Saya ingin memperkenalkan wanita cantik ini kepada keluarga besar dan memohon restu untuk kelancaran persiapan kami dalam menyusun rencana pernikahan yang akan kami laksanakan dalam waktu dekat,” lanjut Ben dengan semangat. Tatapannya penuh kepercayaan diri, senyuman bangga menghiasi wajah itu, dan pelukan erat di pinggang Maira menunjukkan padanya bahwa Ben bersedia menerjang apapun demi kebahagiaan mereka.
            Maira terus memperhatikan wajah Ben dan sesekali melemparkan pandangan ke keluarga besar itu, yang sepertinya menerima kehadiran dirinya di tengah-tengah keluarga itu. Ia terlalu senang memperhatikan sekelilingnya sampai ia tidak memperhatikan kata-kata apa lagi yang Ben ucapkan sampai akhirnya pria itu melepaskan pelukan di pinggangnya dan mengambil buket melati itu.
            Ia tidak memperhatikan dengan seksama bahwa di sela-sela bunga itu, tergantung sebuah kalung mutiara bertahtahkan berlian yang sangat indah. Ben mengeluarkan kalung itu dan melingkarkannya di leher Maira. Semua tamu undangan bertepuk tangan dan terlihat begitu bahagia dengan kebahagiaan yang mereka rasakan.
            “Aku mencintaimu, Maira,” ucap Ben, mengangkat tangannya lalu mengecup punggung tangannya dengan lembut dan hangat.
            “Aku mencintaimu, Ben,” balas Maira dengan penuh rasa haru.
            Keriuhan tepuk tangan itu pun berhenti lambat laun saat mereka berdua tersenyum ke sekeliling mereka dan mengucapkan terima kasih dari tempat mereka berdiri. Mereka pun duduk kembali, lalu hidangan mulai dihidangkan di meja mereka masing-masing.
            Angin laut bertiup sepoi-sepoi dan aroma laut yang merasuki dirinya, membuat kebahagiaan dalam hatinya begitu sempurna. Tempat favoritnya, pria yang sangat ia cintai, dan seluruh keluarga menerimanya dengan tangan terbuka. It’s so perfect. My life is perfect.
∞∞∞∞∞
            Maira tergeletak di tempat tidur sambil membayangkan kebahagiaan sempurna yang hadir dalam hidupnya. Ia menggenggam bandul mutiara itu sambil mengingat kembali betapa romantisnya Ben saat memberikan kalung itu padanya.
            Pria itu benar-benar sempurna untuknya dan ia tidak ingin kehilangan Ben dari hidupnya. Maira juga teringat saat ibu Ben memberikan selamat padanya dengan begitu hangat dan memeluknya dengan sangat erat. “Terima kasih ... kamu ... membuat anakku ... bahagia,” kata Ibu Ben saat ia berada dalam pelukannya, dengan suara serak dan terpatah-patah.
            Ingin rasanya ia menangis saat itu karena ibu Ben akhirnya memberikan sikap positif setelah pertemuan terakhirnya. Hari ini benar-benar diakhiri dengan sempurna, meskipun terselingi oleh panggilan Desi di tengah-tengah acara makan-makan.
            Ya, sahabat tercintanya itu menghubunginya lagi untuk meminta pendapatnya. Desi mendapat ajakan kencan dari seorang pria dan, seperti biasa, Desi lari seribu langkah menjauh dari pria itu. Mungkin butuh waktu dan pria yang tepat untuk membuat Desi berubah. Dan Maira yakin, Desi pasti akan mendapatkan pria yang mencintainya dengan tulus dan menjaganya dengan sepenuh hati.
            Senyum bahagia itu masih melekat di wajah Maira, hingga akhirnya ia memutuskan untuk beranjak dari tempat tidur dan masuk ke kamar mandi. Ia pun mandi dengan cepat dan langsung mengenakan pakaian tidurnya.
            Sebuah pesan masuk dari Ben dan ia membacanya dengan wajah sumringah.
            ‘Selamat tidur, my future wife.
            Membaca pesan singkat itu, membuat dirinya melayang tinggi. Dengan cepat ia pun membalas pesan itu.
            ‘Pastinya, my future husband. Tapi aku mau menyelesaikan kerjaanku dulu.
            Dan balasan dari Ben pun datang secepat kilat.
            ‘Jangan tidur malam-malam, Sayang. Aku nggak mau kamu sakit.
            Oh my ... rasa cinta Maira semakin hari semakin bertambah besar pada Ben. Pria ini begitu memperhatikan dan memikirkan kesehatannya. Setelah Maira memprotes sikap dingin Ben padanya dan pria itu menceritakan sedikit tentang masalah keluarga yang sedang ia hadapi, setidaknya sikap Ben mulai kembali normal. Kembali menjadi Ben yang ia cintai.
            ‘Iya, Ben. Aku tahu. Selamat tidur, Sayang.
            Balas Maira cepat, lalu pesan terakhir pun datang dan membuat dirinya semakin melayang.
            ‘Selamat tidur juga, Sayang. Miss you already.
            Can’t wait to marry you. I love you to the moon and back.
            Maira meletakkan ponselnya begitu saja di tempat tidur setelah ia membalas pesan terakhir itu. Lalu, ia turun dari tempat tidur dan mengambil laptop dari tas kerjanya. Ia duduk di tempat tidur, kemudian menyalakan laptopnya. Cahaya terang dari layar itu terasa begitu menyilaukan.
            Maira mengatur kontras cahaya layar itu, lalu membuka folder Dhirgan. Seperti biasa, karena ini adalah gathering ketiga yang ia handle, setidaknya ia sudah terbiasa dengan detail dan permintaan dari klien yang satu ini.
            Sebuah email dari salah satu manajer Dhirgan tadi siang, memintanya untuk menyiapkan beberapa makanan khusus yang akan ditujukan pada salah satu tamu kehormatan owner perusahan tersebut. Dengan tanggap, Maira langsung menghubungi pihak katering setelah menerima email tersebut.
            Gathering kali ini diadakan di Hotel Luxury, dan ia pun sudah mengurus untuk reservasi tempat. Besok, ia tinggal mengurus beberapa hal kecil seperti dekorasi, tata cahaya lampu, sound system, dan hal kecil lainnya.
            Tak terasa waktu berlalu dengan cepat. Jam di dinding menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Maira langsung mematikan laptopnya dan memasukkan kembali ke tas kerjanya. Ia harus segera tidur dan bangun besok pagi dengan keadaan segar.
            Dan yang pasti, aku akan bermimpi indah malam ini.
∞∞∞∞∞
            Kamis pun tiba dengan begitu cepat, sangat cepat. Setelah seharian kemarin ia berpeluh keringat menyelesaikan sentuhan terakhir untuk acara Dhirgan, hingga akhirnya ia tertidur nyenyak setelah memberi kabar pada Ben pada pukul tujuh malam.
            Ia benar-benar tidak bisa menahan rasa kantuk dan lelah di tubuhnya. Meskipun ia dibantu oleh beberapa vendor kenalannya, tetap saja ia tidak bisa membiarkan mereka bekerja begitu saja tanpa pengawasan.
            Dan hari ini adalah hari pelaksanaan gathering Dhirgan yang akan berlangsung pada pukul tiga sore. Maira pun bangun dari tidur nyenyaknya dan bersiap-siap untuk berangkat ke rumah Desi. Dengan perut penuh setelah sarapan dan pesan singkat Ben yang selalu menyapanya setiap pagi, Maira siap memulai hari ini dengan kekuatan penuh.
            Rambut kecokelatan terurai indah, kemeja lengan panjang berwarna biru terang dengan dua kancing atas terbuka, celana bahan berwarna hitam yang melekat indah di kaki jenjangnya, dan sepatu heels tertutup berwarna hitam, membuat tampilannya sangat sempurna. Senyum merekah dan wajah merona segar, menghiasi wajahnya ketika ia keluar dari rumah dan menghampiri Ben yang sudah menunggunya di dalam mobil.
            “Kamu selalu terlihat cantik setiap harinya, membuat hari-hariku selalu berwarna,” sanjung Ben sebelum mereka meninggalkan rumah. Ucapan yang menjadi moodbuster-nya hari ini. Lalu lintas Jakarta yang padat setiap hari, menjadi sesuatu hal yang biasa bagi mereka.
            Jarak antara rumah Maira dengan rumah Desi tidaklah jauh, hanya empat puluh lima menit saja jika ia terjebak macetnya Jakarta. Ben menghentikan mobilnya di depan rumah Desi. Maira pun memberikan kecupan singkat di bibir Ben sebelum ia keluar dari mobil.
            Maira melangkah menuju pintu rumah dan membukanya, lalu membalikkan badan, memperhatikan Ben yang melambai padanya sebelum akhirnya pergi dari pandangannya. Maira bersenandung riang saat masuk ke ruang kerja mereka dan meletakkan tas kerjanya di meja.
            Ia mengeluarkan laptop dari tas kerja dan menyalakannya dengan segera. Maria harus membuat sedikit laporan dan memberikannya pada Desi agar sahabatnya itu bisa membuat draft tagihan untuk Micro dan Dhirgan sesuai dengan hasil meeting dan persiapan yang membutuhkan biaya-biaya tambahan.
            “Des, gue kirim report Micro sama keperluan Dhirgan, ya,” kata Maira yang dijawab dengan anggukan kepala Desi. Wanita itu tampak berbeda dari biasanya. Seperti ada sesuatu yang mengganjal dan membebaninya. Terakhir kali ia melihat Desi seperti ini adalah saat wanita itu terpuruk karena Steve. Akhirnya Maira memberanikan diri bertanya pada Desi.
            “Des ... lo kenapa?” tanya Maira sambil masih berkutat dengan persiapan Dhirgan.
            “Dia mau minta tolong sama lo, Ra,” jawab Sasha cepat, “tapi dia takut.”
            Sasha melirik ke arah Desi dan tertawa geli. Maira menatap ke wajah Desi yang merona. “Minta tolong apa, Des? Bilang aja,” pancing Maira agar temannya itu merasa lebih tenang.
            “Lo mau gantiin gue buat ngurus Zyro, nggak?” tanya Desi dengan wajah memelas.
            “Tapi dari hari Sabtu sampai Senin, Ra,” lanjut Desi.
            “What???” ucap Maira agak terkejut mendengar permintaan Desi yang di luar perkiraannya.
            “Please, Ra. Cuma lo satu-satunya harapan gue,” mohon Desi dengan wajah yang semakin memelas.
            “Des, gue nggak bisa. Beneran deh, soalnya hari Minggu ini ada pertemuan keluarga gue sama calon besan,” jelas Maira. Ingin sekali ia membantu Desi, tapi waktunya benar-benar tidak tepat. Hari Minggu adalah hari di mana Ben melamarnya secara resmi.
            Desi menceritakan tentang seorang pria tampan bernama Mike yang sangat menakutkan, otoriter, dan begitu mengintimidasinya. Seorang pria yang berbeda dari pria-pria lain yang pernah mendekatinya. Mungkin sekarang Desi harus mulai membuka hatinya pada pria lain. Karena sudah saatnya Desi bangkit dari keterpurukannya dan menghadapi dunia luar yang indah dan menakjubkan ini.
            “Sudahlah, Des. Santai aja,” kata Maira sambil beranjak dari kursi setelah ia membereskan meja dan memasukkan laptop ke tas kerjanya. Waktu menunjukkan pukul sepuluh dan ia harus bergegas dan memastikan semua rencananya berjalan dengan sempurna.
            “Gue berangkat dulu, ya. Mau urusin Dhirgan dulu. Wish me luck!” kata Maira sambil teriak semangat. Sasha tersenyum padanya, sedangkan Desi masih terlihat berkutat dengan pikirannya sendiri.
            “Hati-hati ya, Say. Kabarin,” ucap Desi sambil lalu.
            “Okay,” jawab Maira sebelum ia keluar dari ruangan itu.
            Sebuah taksi yang sudah ia pesan sebelumnya sudah tiba di depan rumah. Maira pun langsung masuk dan kendaraan itu pergi meninggalkan rumah Desi dengan segera.

∞∞∞∞∞

Tidak ada komentar: