BAB 2
Jack Zaferino Golden.
Semua karyawan memanggilnya dengan sebutan Mr. Golden dan mereka semua tahu
betapa kejam serta arogannya ia kepada para karyawannya. Hal itu bisa dilihat
dari beberapa mantan sekretarisnya yang selalu kabur begitu saja tanpa kabar
dan paling lama hanya mampu bertahan selama satu bulan.
Ia memang terkenal sebagai
pria bertangan besi. Ia juga sangat tekun dan menumpahkan semua pikiran serta
keahliannya untuk menjaga agar perusahaan yang diberikan orangtuanya bisa
semakin kuat. Jack juga ingin membuktikan bahwa ia memang pantas untuk menjadi
pemilik dari salah satu perusahaan pertambangan terbesar dan terkuat.
Di usianya yang ke tiga
puluh lima tahun dengan status lajang terkaya, membuatnya menjadi salah satu
pria idaman para wanita. Jack memiliki postur tubuh dan penampilan yang begitu
diidam-idamkan para wanita bahkan mungkin para pria juga. Tubuhnya yang
menjulang tinggi dan terpahat sempurna bagaikan patung yunani, membuat sifat
mendominasinya jadi lebih kuat.
Bola mata berwarna cokelat
terangnya pun seakan mampu mengintimidasi setiap orang yang tidak mengikuti perintahnya.
Ketampanan yang diwarisi dari ayahnya yang berdarah Australia dan ibu yang asli
orang Indonesia, merupakan sebuah perpaduan sempurna yang menghasilkan
seorang pria tampan dengan aura pemikat yang begitu kuat. Rambut berwarna
cokelat gelap dengam kumis dan janggut halus yang menghiasi wajah maskulinnya
membuat penampilannya benar-benar sempurna. Bahkan kesempurnaan penampilannya
itu menutupi sifat arogan yang selalu ditakuti oleh karyawannya.
Ia menyadari bahwa
kehadirannya mampu menarik perhatian serta gairah setiap wanita yang ada di
dekatnya. Ia pun tidak memungkiri bahwa para wanita itu menggunakannya sebagai
pelampiasan nafsu dalam mimpi liar mereka. Bahkan ia pernah mendengar – tanpa
sengaja saat ia sedang berjalan menuju pantry – beberapa
karyawan wanita sedang membicarakan dirinya. Mereka tanpa rasa malu bercerita
tentang bagaimana mereka memuaskan diri hanya dengan membawa bayangannya
ke dalam mimpi erotis mereka.
Kejadian itu terjadi tepat
enam bulan yang lalu, saat ia baru saja tiba dan menetap di Jakarta selama satu
bulan. Jack benar-benar terkejut dan tidak menyangka bahwa kehadirannya
memberikan dampak yang cukup besar bagi mereka. Bukan dampak positif bagi
kinerja mereka, tapi dampak bagi gairah dan kegilaan para wanita itu. Jack berusaha
untuk melupakan dan menganggap bahwa pembicaraan itu hanyalah sekedar lelucon
nakal antar sesama karyawan.
Hingga sampai suatu hari –
saat di mana semua kegilaan ini bermulai – salah satu karyawan wanita masuk ke
ruangannya. Waktu itu sekitar setengah tujuh malam, saat ia sedang sibuk
mempelajari beberapa berkas penting, dan sebagian besar karyawan serta
sekretarisnya sudah kembali ke rumahnya masing-masing. Entah apa yang ada di
pikiran wanita itu saat masuk ke ruang kerjanya. Wanita itu mendekatinya dan
mengajaknya bercinta.
Jack berusaha menolak
dengan sikap dingin, tapi wanita itu bertingkah seperti dirasuki oleh gairah
yang begitu bergelora. Wanita itu mulai melucuti satu per satu pakaiannya
dengan gerakan yang begitu sensual dan menggoda. Jack tidak bergerak, hanya
memerhatikan dan menunggu sampai seberani apa wanita itu bertindak.
Mungkin hari itu adalah
hari keberuntungan baginya atau ia memang selalu beruntung jika berhubungan
dengan wanita. Tanpa banyak bicara, wanita itu langsung duduk di atas
pangkuannya, telanjang tanpa sehelai benang di tubuh indah itu. Jack masih
tidak terpancing hingga wanita itu menangkupkan tangannya ke kejantanan Jack,
membelai dan meremasnya dengan lembut, dan akhirnya ia bisa merasakan
kejantanannya yang menegang, menuntut untuk dipuaskan.
Menyadari gairah dalam
dirinya mulai bangkit, wanita itu mulai menarik turun resleting celananya dan
bermain-main dengan kejantanannya. Wanita itu begitu lihai mengulum
kejantanannya hingga membuat Jack mulai dikontrol oleh gairahnya yang begitu
kuat. Dan, sebagai pria yang selalu bangga dengan kekuatannya dalam melakukan
hubungan seks, akhirnya Jack mulai menerima dan menyambut sifat liar itu. Mana
ada kucing yang menolak ikan segar, bukan?
Mereka pun bercinta di
atas meja kerjanya, tetap menggunakan pengaman karena ia tidak ingin memiliki
anak dari hasil seks kilatnya dengan wanita tak berharga seperti itu. Dan
setelah ia memuaskan wanita itu, begitu juga dirinya, keesokan harinya ia
terpaksa harus memecat wanita itu. Ia terpaksa melakukannya karema wanita itu
terlihat begitu bangga dan menyombongkan diri kepada teman-temannya karena
sudah bisa berhubungan seks dengannya. Wanita itu pun mencoba untuk merayunya
lagi saat jam makan siang, tepat saat Jack sedang menghubungi salah satu
koleganya, yang membuat Jack semakin marah.
Akhirnya, Jack menyuruh
para petugas keamanan untuk mengeluarkan wanita itu dan memberinya surat
pemecatan. Ia juga menyuruh pihak HRD kepercayaannya untuk mengurus wanita itu
dan membungkam mulutnya. Sejak saat itu, rumor tentang 'Mr. Golden yang suka
bercinta dengan karyawannya' pun mulai tersebar. Meskipun berita tentang
pemecatan itu sudah diketahui oleh seluruh karyawannya, tapi hal itu seakan
tidak menyurutkan sinyal gairah yang ditujukan padanya.
Sebagai seorang pria
penggila seks, Jack tidak ingin melewatkan kesempatan itu. Jack mulai menyuruh
pengacara kepercayaannya untuk membuat sebuah surat perjanjian yang akan ia
berikan pada wanita-wanita yang bersedia memuaskan nafsunya. Bukan hanya di kantor,
tapi di mana pun ia inginkan. Jack menggunakan wanita-wanita itu hanya untuk
pemuas nafsunya, hanya untuk seks kilat yang ia butuhkan sebagai penyegar di
saat ia sedang suntuk.
Hanya seks, bukan
bercinta. Ia tidak akan pernah bercinta dengan para wanita itu, karena ia
selalu menutup hatinya dari kata 'cinta'. Jack berusaha untuk terus berada di
jalur aman, menjaga agar setiap seks kilatnya berjalan dengan lancar tanpa
gangguan. Sampai akhirnya wanita ini masuk ke dalam ruangannya. Entah tanpa
sengaja atau tidak, dengan wajah polos dan raut wajah merah padam bergairah,
wanita ini menontonnya sedang melakukan seks kilat dengan salah satu
karyawannya, yang langsung ia usir dengan penuh amarah.
Sekarang, wanita ini
kembali berdiri di hadapannya, menatapnya dengan mata hitam pekat yang penuh
rasa takut, wajah merona merah muda, dan ternyata wanita bernama Clara ini
adalah sekretaris barunya. Jack terus memerhatikan Clara, matanya meneliti
setiap jengkal pakaian kerja yang tampak sederhana dan murah, dengan rambut
hitam tergerai begitu saja, dan wajah yang terlihat cukup cantik meski tanpa
polesan make up tebal.
Jack menatap dan mengunci
tatapan Clara, membuat wanita itu merasa gelisah. Ia tahu apa yang ada di
pikiran wanita itu, apa yang wanita itu rasakan, bahkan ia tahu kalau wanita
itu ingin sekali keluar dari ruangan ini sekarang juga.
"Clara akan mulai
bekerja hari ini, Sir," jelas Ibu Yona.
Jack memerhatikan
perubahan raut penolakan di wajah Clara yang langsung menoleh dan menatap wajah
Ibu Yona dengan mata yang terbelalak. Clara begitu terkejut dan terlihat
seperti ingin mengucapkan kalimat penolakan. Tapi, sedetik kemudian Clara
mengatupkan kedua bibir indah itu dan mengurungkan niatnya. Tanpa disadari,
Jack menyunggingkan senyum kecil di ujung bibirnya. Jack terus memerhatikan
Clara yang akhirnya menundukkan kepala, menyerah dan pasrah akan nasibnya.
"Kau tahu apa yang
harus kau lakukan," ucap Jack datar pada Ibu Yona, yang langsung
mengangguk halus.
"Permisi, Sir,"
pamit Ibu Yona, lalu beranjak menuju pintu.
Clara, yang terlihat
kebingungan, berdiri diam di tempatnya sampai akhirnya Ibu Yona menarik tangan
wanita itu. "Tapi -" Clara tidak sempat melanjutkan kalimatnya karena
Ibu Yona sudah menarik tangan wanita itu, hingga tubuh itu membelakangi Jack,
dan menghilang di balik pintu. Ia pun kembali berkutat dengan laptopnya yang
masih menyala.
∞∞∞∞∞
Jack masih berkutat dengan
berkas-berkasnya saat suara ketukan di pintu memecahkan konsentrasinya.
"Masuk," sahut Jack sambil menutup layar laptop dan map yang ada di
hadapannya.
Ibu Yona muncul dari balik
pintu, masuk ke ruangannya dengan wajah datar seperti biasanya. Pandangan Jack
tertuju pada sosok Clara yang tetap berjalan di belakang Ibu Yona. Ia tidak
tahu kenapa wanita itu senang sekali bersembunyi di belakang tubuh orang lain,
terlihat sepeti seorang wanita yang lemah dan pemalu. Jack memenggemeretakkan
giginya, berdeham kecil, lau membuang napas panjang, berusaha menenangkan
dirinya. Jack yakin sekali kalau wanita ini tidak akan bertahan lama di sini. Maksimal
seminggu, batin Jack.
Tangan Ibu Yona menarik
Clara ke samping. Wanita itu sudah mengenakan seragam yang memang ia pesankan
khusus untuk para sekretarisnya. Jack sangat menjunjung tinggi kecantikan,
keindahan, dan kesempurnaan. Mungkin lebih tepatnya, ia sangat menjunjung
keseksian seorang wanita. Mata Jack menilai penampilan Clara dari ujung rambut
hingga ujung kaki, dan tentu saja wanita itu terlihat lebih berkelas
dibandingkan sebelumnya.
Rok super mini berwarna
hitam melekat sempurna dan melekuk di tempat yang pas, menampilkan paha Clara
yang putih, mulus, dan bersih. Sebuah blazer berwarna hitam berlengan pendek,
yang didesain khusus sesuai permintaan Jack, membuat si pemakai tidak perlu
mengenakan tanktop di balik blazer itu. Potongan kerah blazer
yang cukup rendah dengan ruang terbuka di bagian tengah, membuat payudara itu
terlihat menyembul, seperti ingin tumpah. Sebuah logo "G" berwarna
keemasan tersulam sempurna di bagian dada sebelah kiri. Sepatu heels tertutup
berwarna hitam mengkilap serta rambut hitam yang tergerai indah, membuat
penampilan Clara tampak sempurna dan menggoda.
"Kamu akan mengunakan
pakaian ini saat jam kerja dan kamu bisa mengenakan kembali pakaianmu saat jam
kerja berakhir," ucap Ibu Yona pada Clara.
Wajah Clara masih merona,
terlihat tidak nyaman dengan seragamnya. Sebuah anggukan kecil membuat Jack
mengerutkan dahinya. Ia tahu wanita ini tidak menyukai seragam itu. Ia juga
tahu kalau sebenarnya wanita ini berusaha untuk pergi dari tempat ini. Tapi,
kenapa wanita ini sepertinya terlalu memaksakan dirinya untuk tetap bekerja di
sini. Kenapa? pikir Jack.
"Saya pamit, Mr.
Golden," ijin Ibu Yona sebelum meninggalkan mereka berdua di ruangannya.
Cukup lama ruangan itu
terasa sunyi dan sepi. Jack menunggu reaksi Clara atau apapun itu yang bisa
menunjukkan kalau wanita itu siap untuk bekerja dengannya. Tapi, bukan Jack
namanya kalau harus sabar menunggu, ia sangat membenci kata 'menunggu'.
Clara terus menundukkan kepala, tidak berani menatapnya. Jack pun mendengus kencang
sebelum ia memajukan posisi duduknya dan meletakkan kedua tangan di atas meja.
"Maju," perintah Jack singkat dan datar.
Clara mendongakkan kepala
dengan cepat, tapi tidak langsung bergerak maju. Jack mulai tidak bisa menahan
kesabarannya dan langsung beranjak dari kursi kerajaannya, menghampiri Clara.
Mata hitam pekat itu mengikuti langkah Jack yang berjalan memutar dan berhenti
tepat di depan meja kerjanya. "Maju," perintah Jack untuk yang kedua
kalinya sambil mengarahkan jari telunjuknya ke lantai di depannya.
Mata Jack tertuju pada
kaki Clara yang tampak bergetar ketakutan, ragu untuk bergerak, hingga akhirnya
wanita itu mengangkat sedikit tumitnya tampak ingin melangkah, kemudian
meletakkan kakinya kembali, dan tetap berdiri diam di tempat. Jack mulai
kehabisan kesabaran. Ia pun menghampiri Clara, menarik tangan wanita itu dengan
cepat. "Di sini!" ucap Jack tegas dengan rasa geram yang seakan ingin
membuatnya menggigit wanita itu.
Clara masih terus
menundukkan kepala, benar-benar tidak berani menatapnya. "Kau
menikmatinya?" tanya Jack, mencoba membuat sebuah percakapan dengan
sekretaris barunya, tapi tampaknya wanita ini tidak ingin berbicara dengannya.
"Kau suka melihat
adegan tadi?" tanya Jack lagi.
Clara mendongakkan wajah
lalu menatap Jack dengan mata terbelalak kaget. Jack bisa melihat rona merah
mudah yang begitu kontras di kulit putih itu. Jack juga memerhatikan ibu jari
Clara bergerak gelisah sambil menggosok-gosokkan ibu jari itu di jari telunjuk,
terlihat benar-benar gugup.
"Sudah baca kontrak
kerjamu?" tanya Jack datar, melipat kedua tangan di depan dadanya.
Clara menganggukkan kepala
setelah termenung sesaat. Anggukan itu tampak lemah dan ragu. Jack bisa membaca
apa yang terjadi di sini. Ia yakin sekali kalau wanita ini pasti menandatangani
surat perjanjian kontrak kerja begitu saja tanpa membacanya dengan jelas. Tapi,
ia tidak peduli, yang ia butuhkan saat ini hanyalah seorang sekretaris yang
bisa bekerja dengan cepat, pintar, dan tanggap.
Jack meninggalkan Clara
yang masih berdiri kaku di depan meja, lalu membuka laci mejanya yang paling
bawah, dan mengeluarkan dua map berwarna hitam. Ia membawa map itu ke hadapan
Clara dan menyodorkannya begitu saja. Jack bisa melihat tangan Clara yang
tampak bergetar hebat saat mengambil map-map itu darinya. "Kembali ke
mejamu dan berikan padaku tepat jam dua siang," perintah Jack.
Dengan langkah cepat,
Clara menghilang di balik pintu. Jack menggelengkan kepala sambil tersenyum
kecil melihat tingkah laku sekretaris barunya yang tampak gugup, ketakutan, dan
pemalu.
∞∞∞∞∞
Clara menyalakan layar
komputer di hadapannya, membuka kedua map hitam yang tadi diberikan padanya,
lalu menarik napas, dan menghembuskannya dengan cepat. Ia harus segera
menenangkan dirinya agar bisa mengerjakan tugasnya dengan cepat. Di map pertama
terdapat beberapa jadwal penerbangan, jadwal pertemuan, dan pesta relasi yang
harus Mr. Golden hadiri. Semuanya berantakan dan ia harus menyusun semua jadwal
itu dengan cepat.
Ia pun membuka map kedua
dan melihat beberapa lembar berisi data dan nomor-nomor telepon penting. Di
dalamnya juga terdapat beberapa berkas penting seperti lembar presentasi yang
tidak tersusun dengan baik dan beberapa surat yang masih berada dalam amplop.
Clara mulai mengerjakan pekerjaannya satu per satu, dimulai dari menyusun
jadwal pertemuan Mr. Golden. Ia menyusun semua jadwal itu dengan cepat dan
dalam waktu satu setengah jam saja ia sudah bisa menyusun semua jadwal itu,
lalu menyimpannya dalam bentuk excel.
Matanya masih tertuju pada
layar komputer dan menyadari bahwa hari ini Mr. Golden seharusnya bertemu
dengan seseorang setelah makan siang di sebuah restoran. Clara menoleh ke arah
kertas yang masih berada di dalam map, mengecek sekali lagi, dan di sana memang
tidak tertera jelas dengan siapa dan di mana pria itu melakukan pertemuan,
hanya tertera tanda 'penting' dalam kertas itu. Clara berpikir sejenak,
menimbang apakah ia harus memberitahu hal ini pada Mr. Golden atau
membiarkannya.
Ia menenangkan jantungnya
yang berdebar cepat membayangkan bagaimana sensasi saat suara Mr. Golden
mengalun di telinganya. Akhirnya, dengan tangan yang bergetar gugup, ia pun
memutuskan untuk mengangkat telepon yang ada tepat di samping keyboardnya,
melihat daftar urutan nomor yang tersemat di atas atas tombol-tombol telepon, lalu
menekan nomor yang menuju langsung ke ruangan Mr. Golden. Hanya sekali deringan
dan pria itu langsung mengangkat teleponnya.
"Siang, Mr. Golden.
Hari ini ada pertemuan setelah makan siang," lapor Clara dengan nada
formal dan teratur.
"OK."
Hanya itu jawaban Mr.
Golden dan pria itu pun langsung memutuskan pembicaraan. Clara tersontak kaget,
tapi ia berusaha menanggapi sikap dingin itu dengan tenang. Hari ini
benar-benar berjalan di luar dugaannya. Selain karena ia sudah memergoki Mr.
Golden yang sedang melakukan hubungan intim dengan seorang wanita dan
mengetahui ternyata pria yang ia pergoki itu adalah atasannya, ia pun merasa
kesal dan putus asa karena harus mengenakan seragam terseksi yang pernah ia
kenakan. Clara pun tidak bisa menampik aura pesona Mr. Golden yang begitu kuat
hingga dengan membayangkan wajah pria itu saja bisa membuat jantungnya berdebar
tidak karuan.
Kilatan akan kejadian
antara Mr. Golden dengan wanita asing itu masih terus melekat di pikirannya. Ia
pun menunduk dan memerhatikan pakaiannya yang begitu menonjolkan payudaranya
yang terlihat begitu menantang. Clara tidak tahu apakah atasannya ini adalah
seorang maniak seks atau seorang pria penggoda, tapi ia benar-benar tidak akan
bisa bekerja dengan leluasa jika harus mengenakan seragam yang begitu pendek
dan ketat.
Ponselnya berbunyi dan ia
pun mengeluarkan ponsel dari tas kerjanya. Clara melihat nama Tamara, sahabat
terbaik yang pernah ia miliki. Ia dan Tamara berkenalan semenjak mereka
bersama-sama bekerja di perusahaannya yang sebelumnya. Tamara merupakan salah
satu asisten kepala keuangan, sementara ia menjabat sebagai sekretaris direktur
perusahaan. Tamara merupakan pribadi yang ceria dan supel, tapi sahabatnya yang
satu ini selalu mengincar pria kaya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tidak
seperti Clara, Tamara tidak pernah malu untuk menunjukkan keseksian dan
memancarkan aura sensualnya.
Tamara sangat cantik,
bahkan ia terkadang ingin menjadi seperti Tamara. Begitu cantik dan mudah
menaklukkan pria. Meskipun begitu, Tamara selalu menolak pria yang berusaha
untuk melamarnya. Entah kenapa, Clara tidak pernah mencari tahu. Clara mengusap
layar ponsel dan menjawab panggilan itu.
"Gimana? Lo kapan
mulai kerja?" tanya Tamara langsung tanpa menunggu sapaan dari Clara.
"Ini gue lagi kerja,
Tam," jawab Clara setengah berbisik.
"Really? Waw
... cepat banget," sahut Tamara kaget, "gimana bos baru lo?"
"Ya gitu, deh,"
jawab Clara enggan.
"Kenapa? Pasti bos
lo yang sekarang tua bangka, ya?" ledek Tamara, "bener 'kan
kata gue. Bos kita di sini tuh udah paling ganteng, lo pake resign segala. Si
tampan merana tuh ditinggal sama lo," ledek Tamara. Clara mendengus
geli saat mendengar kata 'tua' terucap dari bibir Tamara. Ia penasaran dengan
reaksi temannya itu saat mengetahui bahwa ia memiliki atasan tertampan yang
mungkin pernah dilihat oleh temannya itu.
"Tam, nanti gue
telepon balik, ya. Gue langsung dikasih kerjaan banyak, nih," gerutu Clara
seraya menghentikan ocehan Tamara yang sangat ia rindukan.
"Oh, OK. OK. Jam
berapa lo pulang? Gue jemput, ya," jawab Tamara sembari menawarkan
tumpangan untuknya.
"Gue nggak tahu.
Entar gue kabarin lagi, OK," jawab Clara terburu-buru.
"OK. Kabarin gue,
ya," pesan Tamara sebelum wanita itu memutuskan pembicaraan mereka.
Tepat saat Clara memasukkan
kembali ponsel ke tas kerjanya, pintu ruangan Mr. Golden pun terbuka. Pria itu
berjalan cepat melintasi ruangan, melewati dirinya begitu saja seakan dirinya
tidak ada di ruangan itu. Ia tidak pernah menerima perlakuan sedingin itu,
bahkan dengan atasannya yang sebelumnya yang begitu hangat pada semua
karyawannya. Clara pun hanya bisa duduk terpaku menatap kepergian atasannya
yang tampan itu.
Pintu ruangan itu pun
berdebam cukup kencang saat Mr. Golden menutup pintu itu. Clara hanya
bisa menghembuskan napas panjang dan menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi.
"Atasan gue tukang es," gerutu Clara sebelum ia kembali melanjutkan
pekerjaannya.
∞∞∞∞∞
Tidak ada komentar:
Posting Komentar