Senin, 05 Juni 2017

A STRUGGLE HEARTS (21+) - BAB 2



BAB 2

        Mereka membereskan kekacauan kue ulang tahun itu dan kembali berkutat ke pekerjaan masing-masing. Belle Organizer merupakan event organizer yang mereka bangun bersama dan baru berjalan selama enam tahun.
            Awalnya mereka menyewa sebuah ruang kantor di salah satu ruko di daerah Jakarta Pusat. Mereka menyewa hanya satu lantai di ruko tersebut dan biaya untuk sewa pun mereka tanggung bersama-sama. Tapi, karena ada sesuatu masalah yang menimpa Desi dan membuat temannya itu terpuruk, maka Sasha dan Maira sepakat untuk memindahkan segala kegiatan pekerjaan mereka ke rumah Desi.
            Hal itu mereka lakukan untuk menjaga Desi dan berusaha menghapus kenangan masa lalu Desi bersama mantan tunangannya, Steve. Desi begitu hancur dan terpuruk karena kejadian itu. Tapi, lambat laun Desi mulai bangkit dan usaha mereka pun semakin sukses saat memasuki tahun ke tiga. Belle Organizer semakin lama semakin terkenal. Banyak perusahaan, dari yang kecil sampai yang besar, mulai berdatangan dan mempercayakan segala acara dan kegiatan perusahaannya pada mereka.
            Maira begitu beruntung memiliki dua orang sahabat yang selalu menemani, membantu, dan mendukungnya. Kehadiran Sasha dan Desi menutupi kesuraman dalam hidupnya yang sebatang kara. Orangtua kandungnya meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil ketika ia berumur tiga tahun.
            Adik laki-laki kandung ayahnya, yang sudah menikah tapi belum memiliki seorang anak, memutuskan untuk mengadopsi Maira, dan membesarkannya seperti anak kandung mereka sendiri. Mereka begitu mencintai dan menyayanginya dengan sepenuh hati. Karena begitu besar rasa kasih sayang mereka pada Maira, akhirnya Maira memutuskan untuk memanggil mereka dengan sebutan 'Mama' dan 'Papa' ketika ia menginjak usia sepuluh tahun.
            Maira kecil tumbuh menjadi wanita mandiri dan penuh cinta. Ia juga berusaha membiayai kuliahnya sendiri dengan bekerja sambilan. Meskipun ia sudah memiliki warisan dari mendiang orangtuanya dan orangtua angkatnya pun bersikeras untuk memberikan semua kekayaan mereka pada Maira, tapi bukan Maira namanya kalau ia menerima segala kemudahan begitu saja. Ia tetap berusaha untuk berhasil dengan keringatnya sendiri.
            Hanya satu yang tidak bisa ia tolak. Mama dan papa memberikan sebuah rumah di salah satu perumahan di daerah Jakarta Utara. Rumah itu tidak terlalu kecil, juga tidak terlalu besar. Pekarangan rumah itu dipenuhi oleh tanaman pagar yang indah, sebuah pohon rindang, serta halaman belakang yang tertata dengan sangat sempurna.
            Sebuah kolam ikan menghiasi pekarangan kecilnya. Bunyi gemericik air terjun kecil dari kolam itu membuat suasana rumahnya terasa begitu nyaman dan tenang di balik riuhnya keadaan Jakarta yang penuh dengan suara kendaraan yang memekakkan telinga.
            Dan di sinilah mereka. Berkutat dengan pekerjaan yang sangat mereka senangi.
            "Bagaimana hasil meeting kemarin, Ra?" tanya Sasha membuka pembicaraan.
            "Lancar. Seperti yang gue bilang tadi, gathering kali ini gue harus kerja lebih ekstra lagi," jawab Maira sambil menorehkan beberapa tulisan dalam buku catatannya.
            "Emang gathering-nya sebesar apa?" tanya Desi.
            "Yahh ... gitu deh. Mereka minta acara ini diselenggarakan di pinggir pantai," jawab Maira sambil membayangkan birunya laut yang sangat ia sukai.
            "Kapan acaranya?" tanya Sasha mencoba mengingat, sambil sibuk dengan ponselnya.
            "Masih satu bulan lagi, kok. Acaranya hari Jumat di Bali," jawab Maira singkat, ia masih terus berkutat dengan catatannya. Menulis setiap hal yang saat ini melintas di pikirannya.
            "Bali?" tanya Sasha tampak terkejut.
            "Iya ... permintaan owner-nya," jawab Maira mencoba menegaskan kata-katanya.
            "Berapa lama lo di sana?" tanya Desi.
            "Tiga hari. Karena gue harus persiapan kan sebelum hari H," jelas Maira.
            "OK. Lo udah pesen hotel sama tiket pesawat?" tanya Desi lagi.
            "Udah. Kemarin waktu selesai meeting, pihak Meganza udah siapin tiket dan penginapannya," jawab Maira.
            "Di mana?" tanya Sasha ingin tahu.
            "Vouk Hotel di Nusa Dua," jawab Maira singkat.
            "Vouk? Itu untuk seluruh karyawan? Lo juga nginep di sana?" tanya Sasha takjub.
          "Yup ... tapi jajaran manager, direksi dan owner menginap di The Mulia, Nusa Dua," jelas Maira, yang membuat Sasha semakin tercengang.
       "Mereka minta gathering diadain di sana, katanya sih sekalian acara ulang tahun owner Meganza yang ke enam puluh lima," lanjut Maira.
            "OMG ... enak banget ... butuh bantuan? Gue siap, loh. Hehehe," kata Sasha sambil menatap Maira, lalu memberikannya kedipan centil.
            "Mau bantuin atau mau ikut ke Bali-nya, nih?" tanya Maira, mengerti arti dari kedipan mata itu.
            "Sekalian," jawab Sasha dengan wajah sumringah.
            "So sorry, Sha. Mereka hanya minta gue yang ke sana," jawab Maira, menyengir lebar.
            "Huh ... baiklah," kata Sasha, pasrah.
            Mereka kembali ke pekerjaan mereka masing-masing. Maira pun kembali memusatkan kon-sentrasinya. Acara kali ini bisa dikatakan sebagai salah satu permintaan terbesar yang pernah mereka tangani. Selain karena pelaksanaan yang akan diadakan di Bali dan menggunakan penginapan mewah, tapi juga karena ada beberapa permintaan yang kali ini benar-benar lain dari biasanya.
            Saat meeting kemarin, Maira diminta untuk memastikan agar saat di Bali, owner menda-patkan kamar yang menghadap langsung ke pemandangan pantai. Selain itu, ia juga harus mempersiapkan satu kamar hotel mewah di Jakarta, dengan pemandangan ke arah kolam untuk owner mereka yang akan datang pada hari senin sebelum meeting terakhir diadakan pada bulan depan.
            Ia juga diminta untuk mempersiapkan segala bentuk makanan ringan yang selalu sedia di kamar hotel dan wanita yang siap menemani baik untuk di Jakarta ataupun di Bali. Ini adalah tugas yang berat baginya, karena ia belum pernah menyediakan yang seperti ini. Seorang wanita cantik yang bersedia untuk menemani pria itu setiap saat.
            Maira mencoba menghubungi beberapa kerabatnya setelah pulang dari rapat tersebut. Ia hampir saja putus asa, sampai akhirnya salah satu kerabatnya bersedia mengenalkan Maira pada seseorang yang biasa menyediakan wanita untuk para petinggi perusahaan. Ia menerima nomor ponsel wanita itu dari si pemilik jasa.

            Matanya hampir saja loncat keluar dari kepalanya saat mendengar harga yang diminta untuk menemani owner Meganza itu. Dalam sehari saja, wanita itu meminta bayaran sebesar dua kali lipat penghasilan yang Maira peroleh dalam sebulan. Tapi, ia tidak tahu harus memilih siapa dan ke mana lagi. Tanpa pikir panjang, Maira pun menyetujui permintaan wanita itu, setidaknya ia sudah mendapatkan wanita yang siap sedia kapan pun ia hubungi.
            Maira mengangkat telepon yang berada di samping laptop, menekan tombolnya, dan menunggu seseorang menjawab di seberang sana. Hanya satu kali nada sambung, suara ringan di seberang sana langsung menyapanya dengan ramah.
            "Selamat siang. The Mulia, ada yang bisa saya bantu?" tanya wanita di seberang sana.
            "Siang, Mba. Saya Maira dari Belle Organizer. Saya ingin memastikan pesanan atas Meganza Media," jawab Maira langsung ke pokok pembicaraan.
            "Baik, apa ada penambahan kamar, Bu?" tanya resepsionis itu memastikan.
            "Oh, bukan. Saya hanya ingin memastikan sudah berapa kamar yang dipesan, Mba?" tanya Maira.
            "Sepuluh suit junior dan tiga suit mewah, Bu," jawab resepsionis.
            "Oh, iya. Minta tolong untuk suit mewahnya yang menghadap ke laut ya, Mba," pesan Maira.
            "OK, Bu," ucap resepsionis itu, "ada lagi, Bu?"
            "Itu saja, terima kasih," ucap Maira, lalu menutup telepon.
            Maira juga menelepon ke Vouk Hotel untuk memastikan jumlah kamar untuk para karyawan. Ia tidak mengerti sekaya apa si pemilik perusahaan ini, sampai begitu royal kepada pegawai-pegawainya. Setelah itu, ia langsung menghubungi Hotel Maximus dan memastikan ketersediaan kamar yang akan digunakan selama owner Meganza berada di Jakarta.

            Beberapa jam kemudian, semua hal yang berhubungan dengan acara tersebut, mulai dari susunan acara hingga hal-hal kecil yang mungkin terlupakan, sudah tertata dan terkoordinasi dengan sempurna. Maira beberapa kali mengecek semua hal yang akan ia siapkan, mencoba untuk meyakinkan dirinya bahwa semua keperluan yang ia butuhkan untuk acara itu sudah siap sesuai dengan yang ia rencanakan.
            Maira melihat ke arah jam dinding berbentuk kepala mickey mouse, yang menempel indah di dinding berwarna salem. Waktu menunjukkan pukul empat sore. Maira mencoba mencari informasi tentang owner Meganza melalui internet. 
            Ricardo Neandro. Seorang pria paruh baya dengan mata berwarna cokelat tua, rambut putih kecokelatan, senyum lebar dan hangat, serta tubuh yang masih terlihat cukup bugar. Untuk pria seumurannya, Ricardo Neandro termasuk salah satu pria paruh baya tertampan yang pernah Maira lihat.
            Pria berdarah Yunani itu menikah dengan seorang wanita Indonesia yang cantik dan sangat beruntung. Wanita anggun dengan wajah hangat dan senyum penuh cinta. Rambut berwarna kecokelatan yang panjang dan tergerai indah, mata berwarna hitam pekat memancarakan aura keibuan di mata indah itu.
            Dari pernikahan yang sudah berjalan hampir tiga puluh enam tahun, mereka dikaruniai seorang putra dan seorang putri. Foto keluarga yang terpajang di layar laptopnya, membuat sebuah perasaan iri muncul di dalam dada Maira. Ingin rasanya ia memiliki foto keluarga seperti itu dengan mendiang orangtuanya, tapi itu hanyalah angan belaka yang tidak mungkin terjadi.
            Tapi dua tahun yang lalu, sang istri meninggal karena penyakit yang sama sekali tidak diketahui oleh khalayak umum. Sejak kepergian istrinya, kesehatan Ricardo Neandro pun berangsur-angsur menurun.
            Hal inilah yang membuat Maira bertanya-tanya. Dengan kondisi kesehatan yang semakin menurun, kenapa mereka memintaku untuk menyediakan wanita muda untuk pria itu? apa pria setua itu masih butuh seorang wanita muda untuk menghiburnya?
            "Maira," panggil Desi tiba-tiba, menyela Maira yang berkutat dengan pikirannya sendiri.
            "Kenapa, Des?" tanya Maira, menatap Desi dengan santai.
            "Kapan lo mau cerita ke kita tentang cincin itu?" tanya Desi sambil tersenyum lembut padanya.
            Wajah Maira merona dan senyum malu menghiasi wajahnya. "Yap, betul. Kapan lo mau cerita?" kata Sasha sambil menatap ke arah Maira.
            "Hehehe ... ini ... kemarin malam," jawab Maira diselingi tawa malu-malu.
            Desi dan Sasha dengan cepat beranjak dari meja mereka dan berjalan menuju mejanya dengan wajah penuh antusias, tak sabar mendengar kabar bahagia itu. Mereka berdua berdiri tepat di depan mejanya. "Ayo cerita. Gue penasaran nih," kata Desi dengan wajah antusiasnya.
            "Kemarin malam, Ben ngelamar gue," ucap Maira dengan cepat.
            "AAAAAA!!! SELAMAT YA, RA!!" teriak kedua temannya itu bersamaan, sambil berjingkatan. Teriakan itu sangat kencang sampai membuat telinganya sakit. Tapi, melihat wajah gembira kedua temannya, membuat dirinya tidak menghiraukan pekikan yang cukup memekakkan telinga.
            "Kapan pernikahannya? Lo udah kasih tahu orangtua lo?" tanya Sasha dengan penuh semangat.
            "Belum, Sha. Hari ini rencananya gue sama Ben mau ke sana," jelas Maira dengan senyum mengembang di wajahnya.
            "Selamat ya, Ra. Gue bahagia banget dengar berita ini," ucap Desi sambil memeluk Maira. Sasha pun mendekat dan memeluknya.
            "Terima kasih, Say," jawab Maira sambil tetap berpelukan dengan kedua temannya itu.
            Tak lama kemudian mereka pun melepaskan pelukan itu. "Jangan lupa bawa pasangan masing-masing nanti, ya," pesan Maira pada kedua temannya itu.
            "Kalau gue nggak janji, ya. Lo tahu sendirikan kalau gue nggak punya pasangan," jawab Sasha cuek.
            "Makanya jangan terlalu jual mahal, Sha. Si Gerald yang kemarin sepertinya lumayan," kata Desi sambil menggoda temannya itu.
            "Nggak. Gue nggak suka sama yang gampangan. Terlalu mudah ditebak," jawab Sasha dengan nada mencemooh.
            "Tapi kan –“ kata Desi.
            "Sudahlah. Gimana dengan lo, Des? Udah dapat pengganti Steve?" tanya Sasha memotong pembicaraan, mencoba mengalihkan pembicaraan. Desi pun terdiam dan menatap Sasha dengan kesal karena sudah menyebut nama Steve dengan mudahnya.
            "Lo kan tahu gue lagi ngelupain pria itu," jawab Desi, tampak sedikit murung.
            "Makanya ... ikutin saran gue. Lupain Steve, pergi berkelana seminggu ke suatu tempat yang indah. Refreshing. Siapa tahu lo ketemu sama seseorang yang bisa menghapus bayangan pria bejat itu dari pikiran lo," jelas Sasha dengan santai.
            "Meskipun sebenarnya gue lebih senang lo seperti ini. Bebas dan tanpa beban. Tapi gue lebih senang lagi kalau lo bahagia karena punya seseorang yang mencintai lo dengan lebih baik," lanjut Sasha, kemudian berjalan kembali ke meja kerja dengan gaya centilnya yang khas.
            Maira dan Desi saling beradu tatapan. Lalu, Desi kembali ke mejanya dan mereka pun kembali berkutat dengan pekerjaan masing-masing. Maira kembali membaca beberapa informasi tentang Ricardo Neandro.
∞∞∞∞∞
            Waktu berlalu dengan sangat cepat, Maira dan Sasha mulai merapikan meja, sementara Desi masih berkutat di belakang laptop. "Gue duluan, ya," ucap Maira sambil mematikan laptop.
            "OK," jawab Desi dan Sasha bersamaan.
            "Lo ada rencana malam ini, Sha?" tanya Maira sambil lalu.
            "Ada," jawab Sasha singkat. Maira dan Desi tampak tidak percaya mendengar jawaban itu.
            "Beneran? Sama siapa?" tanya Desi penasaran.
            "Biasalah ... klien," jawab Sasha dengan nada malas-malasan, memutar matanya seakan wanita itu merasa bosan.
            "Klien?" tanya Desi keheranan.
            "Iya, klien ganjen yang mau ngajak makan malam, tapi pakai alasan kerjaan supaya nggak ketara PDKT-nya. Daripada malam ini gue nggak ada kerjaan, nggak ada ruginya gue makan gratis sama klien," jelas Sasha sambil melihat ke layar ponselnya.
            Maira dan Desi saling bertukar pandang dan tersenyum sebelum akhirnya Sasha beranjak dari meja kerjanya. "Gue berangkat, ya. Ben udah nunggu di luar," ucap Maira, memasukkan ponsel ke tasnya.
            "Gue juga," ucap Sasha sambil berjalan menuju pintu ruangan itu.
            "Des, jangan terlalu larut dengan masa lalumu, ya," pesan Sasha sambil memasukkan ponsel ke tas.
            "Ya ... ya ... tenang aja," jawab Desi, lalu kembali memandang layar laptopnya.
            "Selamat bersenang-senang, Girls," ucap Desi sebelum Maira dan Sasha menghilang di balik pintu.
            "You too, Des," jawab Maira dan Sasha bersamaan.
            Maira dan Sasha beranjak keluar dari ruangan itu. Jantung Maira berjingkat kegirangan saat melihat Ben yang sudah menunggu tepat di depan rumah Desi. Ben tidak melepaskan pandangannya sedikit pun dari Maira saat ia keluar dari rumah itu. Pria itu sangat mengagumi dan mencintainya dengan tulus, selalu menjemput Maira dan mengantarkannya pulang. Tak pernah sekali pun pria itu absen di hari-harinya.
            Sasha langsung menuju ke mobil sedan hitamnya setelah wanita itu menyapa Ben dan melambaikan tangan pada mereka berdua. Tak lama kemudian, mobil Sasha pun melesat cepat meninggalkan rumah Desi.
            "Kamu sudah siap, Sayang?" tanya Ben, menarik Maira ke dalam pelukannya.
            "Kamu?" tanya Maira sambil menatap mata Ben dengan lembut, mengecup bibir pria itu, lalu tersenyum manja padanya.
            "Sangat siap, Sayang," ucap Ben sebelum pria itu membalas mengecup bibir Maira sekilas.
            Ben melepaskan pelukannya, membukakan pintu untuk Maira, menutup pintu di sampingnya saat ia sudah berada di dalam mobil. Setelah Ben berada di belakang kemudi, mereka pun pergi meninggalkan tempat itu.
            Maira sudah tidak sabar ingin memberitahu kabar bahagia ini pada orangtuanya. Maira mengirimkan pesan kepada Mama, mengatakan kalau ia dan Ben sedang dalam perjalanan menuju rumah mereka. Dengan cepat Mama membalas pesan tersebut. Maira tersenyum membaca pesan itu. Mama begitu antusias menunggu kedatangannya.
            Sudah hampir dua minggu ini ia tidak berkunjung ke rumah itu karena padatnya pekerjaan yang ia tangani. Tapi, kali ini ia datang ke rumah itu bukan sekedar berkunjung, ia membawa sebuah kabar bahagia.
            Aku akan menikah dengan Ben.

∞∞∞∞∞

Tidak ada komentar: