BAB 2
Mereka
membereskan kekacauan kue ulang tahun itu dan kembali berkutat ke pekerjaan
masing-masing. Belle Organizer merupakan event organizer yang mereka
bangun bersama dan baru berjalan selama enam tahun.
Awalnya mereka
menyewa sebuah ruang kantor di salah satu ruko di daerah Jakarta Pusat. Mereka
menyewa hanya satu lantai di ruko tersebut dan biaya untuk sewa pun mereka
tanggung bersama-sama. Tapi, karena ada sesuatu masalah yang menimpa Desi dan
membuat temannya itu terpuruk, maka Sasha dan Maira sepakat untuk memindahkan
segala kegiatan pekerjaan mereka ke rumah Desi.
Hal itu mereka
lakukan untuk menjaga Desi dan berusaha menghapus kenangan masa lalu Desi
bersama mantan tunangannya, Steve. Desi begitu hancur dan terpuruk karena
kejadian itu. Tapi, lambat laun Desi mulai bangkit dan usaha mereka pun semakin
sukses saat memasuki tahun ke tiga. Belle
Organizer semakin lama
semakin terkenal. Banyak perusahaan, dari yang kecil sampai yang besar, mulai
berdatangan dan mempercayakan segala acara dan kegiatan perusahaannya pada
mereka.
Maira begitu
beruntung memiliki dua orang sahabat yang selalu menemani, membantu, dan mendukungnya.
Kehadiran Sasha dan Desi menutupi kesuraman dalam hidupnya yang sebatang kara.
Orangtua kandungnya meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil ketika ia berumur
tiga tahun.
Adik laki-laki
kandung ayahnya, yang sudah menikah tapi belum memiliki seorang anak,
memutuskan untuk mengadopsi Maira, dan membesarkannya seperti anak kandung
mereka sendiri. Mereka begitu mencintai dan menyayanginya dengan sepenuh hati.
Karena begitu besar rasa kasih sayang mereka pada Maira, akhirnya Maira
memutuskan untuk memanggil mereka dengan sebutan 'Mama' dan 'Papa' ketika ia
menginjak usia sepuluh tahun.
Maira kecil
tumbuh menjadi wanita mandiri dan penuh cinta. Ia juga berusaha membiayai
kuliahnya sendiri dengan bekerja sambilan. Meskipun ia sudah memiliki warisan
dari mendiang orangtuanya dan orangtua angkatnya pun bersikeras untuk
memberikan semua kekayaan mereka pada Maira, tapi bukan Maira namanya kalau ia
menerima segala kemudahan begitu saja. Ia tetap berusaha untuk berhasil dengan
keringatnya sendiri.
Hanya satu yang
tidak bisa ia tolak. Mama dan papa memberikan sebuah rumah di salah satu
perumahan di daerah Jakarta Utara. Rumah itu tidak terlalu kecil, juga tidak
terlalu besar. Pekarangan rumah itu dipenuhi oleh tanaman pagar yang indah,
sebuah pohon rindang, serta halaman belakang yang tertata dengan sangat
sempurna.
Sebuah kolam ikan
menghiasi pekarangan kecilnya. Bunyi gemericik air terjun kecil dari kolam itu
membuat suasana rumahnya terasa begitu nyaman dan tenang di balik riuhnya
keadaan Jakarta yang penuh dengan suara kendaraan yang memekakkan telinga.
Dan di sinilah
mereka. Berkutat dengan pekerjaan yang sangat mereka senangi.
"Bagaimana
hasil meeting kemarin, Ra?" tanya Sasha membuka
pembicaraan.
"Lancar.
Seperti yang gue bilang tadi, gathering kali ini gue harus kerja lebih ekstra
lagi," jawab Maira sambil menorehkan beberapa tulisan dalam buku
catatannya.
"Emang gathering-nya sebesar
apa?" tanya Desi.
"Yahh ...
gitu deh. Mereka minta acara ini diselenggarakan di pinggir pantai," jawab
Maira sambil membayangkan birunya laut yang sangat ia sukai.
"Kapan
acaranya?" tanya Sasha mencoba mengingat, sambil sibuk dengan ponselnya.
"Masih satu
bulan lagi, kok. Acaranya hari Jumat di Bali," jawab Maira singkat, ia
masih terus berkutat dengan catatannya. Menulis setiap hal yang saat ini
melintas di pikirannya.
"Bali?"
tanya Sasha tampak terkejut.
"Iya ...
permintaan owner-nya,"
jawab Maira mencoba menegaskan kata-katanya.
"Berapa lama
lo di sana?" tanya Desi.
"Tiga hari.
Karena gue harus persiapan kan sebelum hari H," jelas Maira.
"OK. Lo udah
pesen hotel sama tiket pesawat?" tanya Desi lagi.
"Udah.
Kemarin waktu selesai meeting,
pihak Meganza udah siapin tiket dan penginapannya," jawab Maira.
"Di
mana?" tanya Sasha ingin tahu.
"Vouk Hotel
di Nusa Dua," jawab Maira singkat.
"Vouk? Itu
untuk seluruh karyawan? Lo juga nginep di sana?" tanya Sasha takjub.
"Yup ...
tapi jajaran manager, direksi dan owner menginap di The Mulia, Nusa Dua,"
jelas Maira, yang membuat Sasha semakin tercengang.
"Mereka minta gathering diadain di sana, katanya sih sekalian
acara ulang tahun owner Meganza yang ke enam puluh
lima," lanjut Maira.
"OMG ...
enak banget ... butuh bantuan? Gue siap, loh. Hehehe," kata Sasha sambil
menatap Maira, lalu memberikannya kedipan centil.
"Mau bantuin
atau mau ikut ke Bali-nya, nih?" tanya Maira, mengerti arti dari kedipan
mata itu.
"Sekalian,"
jawab Sasha dengan wajah sumringah.
"So sorry,
Sha. Mereka hanya minta gue yang ke sana," jawab Maira, menyengir lebar.
"Huh ...
baiklah," kata Sasha, pasrah.
Mereka kembali ke
pekerjaan mereka masing-masing. Maira pun kembali memusatkan kon-sentrasinya.
Acara kali ini bisa dikatakan sebagai salah satu permintaan terbesar yang
pernah mereka tangani. Selain karena pelaksanaan yang akan diadakan di Bali dan
menggunakan penginapan mewah, tapi juga karena ada beberapa permintaan yang
kali ini benar-benar lain dari biasanya.
Saat meeting kemarin, Maira diminta
untuk memastikan agar saat di
Bali, owner menda-patkan kamar yang
menghadap langsung ke pemandangan pantai. Selain itu, ia juga harus
mempersiapkan satu kamar hotel mewah di Jakarta, dengan pemandangan ke arah
kolam untuk owner mereka yang akan
datang pada hari senin sebelum meeting terakhir diadakan pada bulan depan.
Ia juga diminta untuk mempersiapkan segala bentuk makanan
ringan yang selalu sedia di kamar hotel dan wanita yang siap menemani baik
untuk di Jakarta ataupun di Bali. Ini adalah tugas yang berat baginya, karena
ia belum pernah menyediakan yang seperti ini. Seorang wanita cantik yang
bersedia untuk menemani pria itu setiap saat.
Maira mencoba menghubungi
beberapa kerabatnya setelah pulang dari rapat tersebut. Ia hampir saja putus
asa, sampai akhirnya salah satu kerabatnya bersedia mengenalkan Maira pada
seseorang yang biasa menyediakan wanita untuk para petinggi perusahaan. Ia
menerima nomor ponsel wanita itu dari si pemilik jasa.Matanya hampir saja loncat keluar dari kepalanya saat mendengar harga yang diminta untuk menemani owner Meganza itu. Dalam sehari saja, wanita itu meminta bayaran sebesar dua kali lipat penghasilan yang Maira peroleh dalam sebulan. Tapi, ia tidak tahu harus memilih siapa dan ke mana lagi. Tanpa pikir panjang, Maira pun menyetujui permintaan wanita itu, setidaknya ia sudah mendapatkan wanita yang siap sedia kapan pun ia hubungi.
Maira mengangkat
telepon yang berada di samping laptop, menekan tombolnya, dan menunggu
seseorang menjawab di seberang sana. Hanya satu kali nada sambung, suara ringan
di seberang sana langsung menyapanya dengan ramah.
"Selamat
siang. The Mulia, ada yang bisa saya bantu?" tanya wanita di seberang
sana.
"Siang, Mba.
Saya Maira dari Belle
Organizer. Saya ingin memastikan pesanan atas Meganza Media,"
jawab Maira langsung ke pokok pembicaraan.
"Baik, apa
ada penambahan kamar, Bu?" tanya resepsionis itu memastikan.
"Oh, bukan.
Saya hanya ingin memastikan sudah berapa kamar yang dipesan, Mba?" tanya
Maira.
"Sepuluh
suit junior dan tiga suit mewah, Bu," jawab resepsionis.
"Oh, iya.
Minta tolong untuk suit mewahnya yang menghadap ke laut ya, Mba," pesan
Maira.
"OK,
Bu," ucap resepsionis itu, "ada lagi, Bu?"
"Itu saja,
terima kasih," ucap Maira, lalu menutup telepon.
Maira juga menelepon ke
Vouk Hotel untuk memastikan jumlah kamar untuk para karyawan. Ia tidak mengerti
sekaya apa si pemilik perusahaan ini, sampai begitu royal kepada
pegawai-pegawainya. Setelah itu, ia langsung menghubungi Hotel Maximus dan
memastikan ketersediaan kamar yang akan digunakan selama owner Meganza berada di Jakarta.
Beberapa jam kemudian, semua hal
yang berhubungan dengan acara tersebut, mulai dari susunan acara hingga hal-hal
kecil yang mungkin terlupakan, sudah tertata dan terkoordinasi dengan sempurna.
Maira beberapa kali mengecek semua hal yang akan ia siapkan, mencoba untuk
meyakinkan dirinya bahwa semua keperluan yang ia butuhkan untuk acara itu sudah
siap sesuai dengan yang ia rencanakan.
Maira melihat ke
arah jam dinding berbentuk kepala mickey mouse, yang menempel indah di dinding
berwarna salem. Waktu menunjukkan pukul empat sore. Maira mencoba mencari
informasi tentang owner Meganza melalui internet.
Ricardo Neandro.
Seorang pria paruh baya dengan mata berwarna cokelat tua, rambut putih kecokelatan,
senyum lebar dan hangat, serta tubuh yang masih terlihat cukup bugar. Untuk
pria seumurannya, Ricardo Neandro termasuk salah satu pria paruh baya tertampan
yang pernah Maira lihat.
Pria berdarah
Yunani itu menikah dengan seorang wanita Indonesia yang cantik dan sangat
beruntung. Wanita anggun dengan wajah hangat dan senyum penuh cinta. Rambut
berwarna kecokelatan yang panjang dan tergerai indah, mata berwarna hitam pekat
memancarakan aura keibuan di mata indah itu.
Dari pernikahan
yang sudah berjalan hampir tiga puluh enam tahun, mereka dikaruniai seorang
putra dan seorang putri. Foto keluarga yang terpajang di layar laptopnya,
membuat sebuah perasaan iri muncul di dalam dada Maira. Ingin rasanya ia
memiliki foto keluarga seperti itu dengan mendiang orangtuanya, tapi itu
hanyalah angan belaka yang tidak mungkin terjadi.
Tapi dua tahun
yang lalu, sang istri meninggal karena penyakit yang sama sekali tidak
diketahui oleh khalayak umum. Sejak kepergian istrinya, kesehatan Ricardo
Neandro pun berangsur-angsur menurun.
Hal inilah yang
membuat Maira bertanya-tanya. Dengan
kondisi kesehatan yang semakin menurun, kenapa mereka memintaku untuk
menyediakan wanita muda untuk pria itu? apa pria setua itu masih butuh seorang
wanita muda untuk menghiburnya?
"Maira,"
panggil Desi tiba-tiba, menyela Maira yang berkutat dengan pikirannya sendiri.
"Kenapa,
Des?" tanya Maira, menatap Desi dengan santai.
"Kapan lo
mau cerita ke kita tentang cincin itu?" tanya Desi sambil tersenyum lembut
padanya.
Wajah Maira merona
dan senyum malu menghiasi wajahnya. "Yap, betul. Kapan lo mau
cerita?" kata Sasha sambil menatap ke arah Maira.
"Hehehe ...
ini ... kemarin malam," jawab Maira diselingi tawa malu-malu.
Desi dan Sasha
dengan cepat beranjak dari meja mereka dan berjalan menuju mejanya dengan wajah
penuh antusias, tak sabar mendengar kabar bahagia itu. Mereka berdua berdiri
tepat di depan mejanya. "Ayo cerita. Gue penasaran nih," kata Desi
dengan wajah antusiasnya.
"Kemarin
malam, Ben ngelamar gue," ucap Maira dengan cepat.
"AAAAAA!!!
SELAMAT YA, RA!!" teriak kedua temannya itu bersamaan, sambil
berjingkatan. Teriakan itu sangat kencang sampai membuat telinganya sakit.
Tapi, melihat wajah gembira kedua temannya, membuat dirinya tidak menghiraukan
pekikan yang cukup memekakkan telinga.
"Kapan
pernikahannya? Lo udah kasih tahu orangtua lo?" tanya Sasha dengan penuh
semangat.
"Belum, Sha.
Hari ini rencananya gue sama Ben mau ke sana," jelas Maira dengan senyum
mengembang di wajahnya.
"Selamat ya,
Ra. Gue bahagia banget dengar berita ini," ucap Desi sambil memeluk Maira.
Sasha pun mendekat dan memeluknya.
"Terima
kasih, Say," jawab Maira sambil tetap berpelukan dengan kedua temannya
itu.
Tak lama kemudian
mereka pun melepaskan pelukan itu. "Jangan lupa bawa pasangan masing-masing
nanti, ya," pesan Maira pada kedua temannya itu.
"Kalau gue
nggak janji, ya. Lo tahu sendirikan kalau gue nggak punya pasangan," jawab
Sasha cuek.
"Makanya
jangan terlalu jual mahal, Sha. Si Gerald yang kemarin sepertinya
lumayan," kata Desi sambil menggoda temannya itu.
"Nggak. Gue
nggak suka sama yang gampangan. Terlalu mudah ditebak," jawab Sasha dengan
nada mencemooh.
"Tapi kan –“
kata Desi.
"Sudahlah.
Gimana dengan lo, Des? Udah dapat pengganti Steve?" tanya Sasha memotong
pembicaraan, mencoba mengalihkan pembicaraan. Desi pun terdiam dan menatap
Sasha dengan kesal karena sudah menyebut nama Steve dengan mudahnya.
"Lo kan tahu
gue lagi ngelupain pria itu," jawab Desi, tampak sedikit murung.
"Makanya ...
ikutin saran gue. Lupain Steve, pergi berkelana seminggu ke suatu tempat yang
indah. Refreshing.
Siapa tahu lo ketemu sama seseorang yang bisa menghapus bayangan pria bejat itu
dari pikiran lo," jelas Sasha dengan santai.
"Meskipun
sebenarnya gue lebih senang lo seperti ini. Bebas dan tanpa beban. Tapi gue
lebih senang lagi kalau lo bahagia karena punya seseorang yang mencintai lo
dengan lebih baik," lanjut Sasha, kemudian berjalan kembali ke meja kerja
dengan gaya centilnya yang khas.
Maira dan Desi
saling beradu tatapan. Lalu, Desi kembali ke mejanya dan mereka pun kembali
berkutat dengan pekerjaan masing-masing. Maira kembali membaca beberapa
informasi tentang Ricardo Neandro.
∞∞∞∞∞
Waktu berlalu
dengan sangat cepat, Maira dan Sasha mulai merapikan meja, sementara Desi masih
berkutat di belakang laptop. "Gue duluan, ya," ucap Maira sambil
mematikan laptop.
"OK,"
jawab Desi dan Sasha bersamaan.
"Lo ada
rencana malam ini, Sha?" tanya Maira sambil lalu.
"Ada,"
jawab Sasha singkat. Maira dan Desi tampak tidak percaya mendengar jawaban itu.
"Beneran?
Sama siapa?" tanya Desi penasaran.
"Biasalah
... klien," jawab Sasha dengan nada malas-malasan, memutar matanya seakan
wanita itu merasa bosan.
"Klien?"
tanya Desi keheranan.
"Iya, klien
ganjen yang mau ngajak makan malam, tapi pakai alasan kerjaan supaya nggak
ketara PDKT-nya. Daripada malam ini gue nggak ada kerjaan, nggak ada ruginya
gue makan gratis sama klien," jelas Sasha sambil melihat ke layar
ponselnya.
Maira dan Desi
saling bertukar pandang dan tersenyum sebelum akhirnya Sasha beranjak dari meja
kerjanya. "Gue berangkat, ya. Ben udah nunggu di luar," ucap Maira,
memasukkan ponsel ke tasnya.
"Gue
juga," ucap Sasha sambil berjalan menuju pintu ruangan itu.
"Des, jangan
terlalu larut dengan masa lalumu, ya," pesan Sasha sambil memasukkan
ponsel ke tas.
"Ya ... ya
... tenang aja," jawab Desi, lalu kembali memandang layar laptopnya.
"Selamat
bersenang-senang, Girls,"
ucap Desi sebelum Maira dan Sasha menghilang di balik pintu.
"You too, Des," jawab Maira dan
Sasha bersamaan.
Maira dan Sasha
beranjak keluar dari ruangan itu. Jantung Maira berjingkat kegirangan saat
melihat Ben yang sudah menunggu tepat di depan rumah Desi. Ben tidak melepaskan
pandangannya sedikit pun dari Maira saat ia keluar dari rumah itu. Pria itu
sangat mengagumi dan mencintainya dengan tulus, selalu menjemput Maira dan
mengantarkannya pulang. Tak pernah sekali pun pria itu absen di hari-harinya.
Sasha langsung
menuju ke mobil sedan hitamnya setelah wanita itu menyapa Ben dan melambaikan
tangan pada mereka berdua. Tak lama kemudian, mobil Sasha pun melesat cepat
meninggalkan rumah Desi.
"Kamu sudah
siap, Sayang?" tanya Ben, menarik Maira ke dalam pelukannya.
"Kamu?"
tanya Maira sambil menatap mata Ben dengan lembut, mengecup bibir pria itu,
lalu tersenyum manja padanya.
"Sangat
siap, Sayang," ucap Ben sebelum pria itu membalas mengecup bibir Maira
sekilas.
Ben melepaskan
pelukannya, membukakan pintu untuk Maira, menutup pintu di sampingnya saat ia
sudah berada di dalam mobil. Setelah Ben berada di belakang kemudi, mereka pun
pergi meninggalkan tempat itu.
Maira sudah tidak
sabar ingin memberitahu kabar bahagia ini pada orangtuanya. Maira mengirimkan
pesan kepada Mama, mengatakan kalau ia dan Ben sedang dalam perjalanan menuju
rumah mereka. Dengan cepat Mama membalas pesan tersebut. Maira tersenyum
membaca pesan itu. Mama begitu antusias menunggu kedatangannya.
Sudah hampir dua
minggu ini ia tidak berkunjung ke rumah itu karena padatnya pekerjaan yang ia
tangani. Tapi, kali ini ia datang ke rumah itu bukan sekedar berkunjung, ia
membawa sebuah kabar bahagia.
Aku akan menikah
dengan Ben.
∞∞∞∞∞
Tidak ada komentar:
Posting Komentar