BAB 10
D’aphrodite. Ya. Nama band itu terngiang di
pikiran Maira, bagaikan kaset rusak yang terus berbunyi dan mengucapkan kata
yang sama secara terus menerus. Maira duduk di dalam mobil, terdiam dan tidak
banyak bicara selama perjalanannya menuju rumah.
Ben menjemputnya tepat saat ia selesai
mengurus acara itu sekitar pukul enam sore. Acara singkat, mewah dan
benar-benar tidak akan pernah ia lupakan. Pak Sudarsono menghampirinya sebelum
pria itu pergi meninggalkan hotel. Pria paruh baya itu menjabat tangannya
dengan erat, lalu mengecup punggung tangannya dengan sangat lembut. Benar-benar
pria yang sangat menyanjung dan menghormati wanita.
Sebelum Pak Sudarsono masuk ke lift,
pria itu mengatakan kalau tamu spesialnya sangat senang bisa tampil di acara
ini dan kemungkinan besar akan menghubungi Maira untuk menyusun beberapa acara
mereka yang akan diadakan di Jakarta.
Maira benar-benar tidak mengerti
apakah ia harus senang atau takut. Mengingat pandangan tajam dan senyum nakal
yang diberikan padanya sebelum Nico pergi dari hadapannya, membuat bulu
kuduknya berdiri seketika.
“Kamu kenapa, Sayang?” tanya Ben
yang memperhatikan Maira termenung.
“Nggak apa-apa, Ben. Aku cuma
sedikit lelah,” jawab Maira lemah.
“Kamu yakin? Kamu sudah makan?”
tanya Ben, khawatir.
“Sudah,” jawab Maira singkat, “aku
benar-benar lelah hari ini, Ben.”
Ben tidak bertanya lagi dan kembali
memusatkan perhatiannya ke arah jalan. Suasana dalam mobil terasa sepi, lalu
Maira menyalakan radio. Ia menatap ke arah jendela mobil dan memperhatikan
kepadatan di sore itu sambil mendengarkan suara pembawa radio yang terdengar
begitu riang, menghibur para pendengar yang bosan dan lelah di tengah kemacetan
Jakarta yang selalu menghantui setiap hari.
Baru saja ia ingin memejamkan mata,
sebuah alunan lagu yang diputar oleh radio itu seakan membangunkannya dari
lamunan sesaatnya. Musik itu, lagu itu, suara itu, seakan mengikuti dan
menghantuinya.
‘I am present in your life, in your
every day, at every step you take
I am present in each of your tears,
in each of your pains
You look at me with your beautiful
smile
Touching me deep down
But your heart, your soul, your body
... is not mine'
Dengan cepat Maira mengganti saluran
radio itu dan menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya dengan perlahan.
Ia benar-benar butuh istirahat hari ini. Pertemuan yang tidak terduga itu
seakan menghabiskan energi dalam tubuhnya. Dan ia tidak tahu kenapa dirinya
bereaksi sangat aneh setiap kali bertemu dengan pria itu.
Tubuhnya seakan-akan menjerit dan
hilang kendali seketika setiap kali bertemu dengan pria itu. Ia tidak mengerti
kenapa. Kehadiran pria itu seakan merongrong jiwanya yang kelaparan dan haus
akan sesuatu. Sesuatu yang belum pernah sama sekali ia rasakan, bahkan dengan
Ben sekali pun.
Maira menarik tuas kursi, merebahkan
sandarannya, dan berbaring sejenak di sana. “Tidurlah, Sayang. Nanti aku
bangunin kalau sudah sampai rumah,” ucap Ben sebelum akhirnya Maira memejamkan
mata dan terlelap dalam perasaan lelahnya.
∞∞∞∞∞
“You’re mine, Maira ... you’re
mine.”
Maira membuka matanya, menatap
sekelilingnya yang dipenuhi warna putih, bersih dan kosong. Apa aku
sudah mati? pikir Maira sedih.
“You’re mine, Maira ... you’re
mine.”
Maira membalikkan badan,
mencari-cari asal suara itu. Suara itu tidak asing bagi telinganya. Dalam,
berat, dan terdengar bagaikan ancaman yang menyenangkan.
“You’re mine, Maira.”
Suara itu lagi dan Maira semakin
ketakutan. Ia tidak tahu dari mana asal suara itu, ia hanya seorang diri dan
tak ada setitik pun warna lain selain warna putih bersih yang ada di depan matanya.
“Halo!” teriak Maira, berharap ada yang datang dan menemaninya di tempat yang
semakin lama membuat dirinya takut.
Sebuah tangan mencengkram dan
menarik tangannya dengan keras. Maira tersentak dan terkejut saat tubuhnya
berada dalam dekapan hangat yang membuatnya merasa tenang dan aman. “You’re
mine, Maira,” ucap pria itu.
Dengan cepat Maira menengadahkan
wajahnya, menatap asal suara itu. Perasaan takut dan nyaman bercampur menjadi
satu, membuatnya tidak mengerti apa yang sebenarnya ia rasakan saat itu. Mata
cokelat almond itu menatapnya dalam-dalam.
Tatapan itu terasa begitu panas,
membuat aliran darah dalam tubuhnya seperti mendidih dan bergelora “You’re
mine, Maira,” ucap Nico sebelum bibir indah itu menciumnya dengan lembut
dan perlahan-lahan berubah menjadi ciuman yang dalam dan penuh hasrat.
Seluruh saraf di tubuhnya berteriak
kegirangan, yang membuat dirinya kehilangan akal dan tidak berpikir sama
sekali. Ia pun menyambut bibir itu dan membuka bibirnya, membiarkan Nico
menjelajahinya dengan bebas. Nico mengecap lidahnya dan menarik bibir bawah
Maira, menggigitnya dengan sangat lembut. Tubuh Maira bergetar hebat karena
sensasi liar yang belum pernah ia rasakan, membuatnya kecanduan.
Tangan Nico memeluk Maira dengan
erat, membungkusnya dengan kehangatan yang terpancar dari tiap sentuhan kulit
pria itu di tubuhnya. Maira mengangkat tangannya, sangat berani dan tak ada
ragu sedikit pun. Ia meraba dada Nico yang begitu keras dengan debaran jantung
yang sama cepatnya dengan debaran jantungnya sendiri.
Maira menutup matanya, meresapi
setiap sentuhan dan bibir lembut itu. Pikiran Maira benar-benar melayang,
napasnya terengah-engah, dan jantungnya berdebar dengan sangat cepat. Ia tidak
ingin rasa ini hilang dari dalam dirinya. Ia ingin terus dan terus merasakan
sentuhan dan bibir itu.
Ciuman itu bagai memuja dirinya,
menyentuhnya dengan sensual, dan menjelajahi dirinya begitu dalam. Nico
menciumnya semakin dalam dan liar, membuat kakinya terasa goyah. Tangan kanan
Nico menyusup ke balik kemejanya dan menyentuh kulit Maira yang lembut dengan
penuh kehangatan. Begitu hangat hingga ia ingin kehangatan itu menyentuh tiap
jengkal tubuhnya.
Tangan kiri pria itu mencengkram
leher Maira dengan lembut, membuat ciuman mereka semakin dalam dan semakin
liar. Maira memberanikan diri untuk membuka matanya dan memperhatikan mata Nico
yang mengunci tatapannya dengan penuh gairah. Seketika itu pula, sesuatu dalam
dirinya seperti meledak hebat sampai ke puncak kepalanya.
Matanya kembali terpejam dan ciuman
Nico terasa semakin manis, nikmat, dan penuh gairah. Ia senang dan bahagia
melihat Nico yang ternyata menikmati hal ini sama seperti dirinya. Maira merasa
kalau dirinya sudah gila karena menikmati ciuman itu.
Oh Tuhan, kenapa aku bisa luluh
begitu saja padanya? pikir
Maira sekelebat yang akhirnya menyadarkannya dari kegilaan sementara itu. Maira
membuka matanya, mencoba melepaskan tautan bibir itu dan mendorong tubuh itu
sedikit menjauh darinya. Tapi betapa terkejutnya Maira saat menemukan wajah Ben
yang berada begitu dekat, sedang menciumnya dengan rakus.
Dengan kasar Maira melepaskan ciuman
itu dan mendorong tubuh Ben. Napasnya terengah-engah, takut dan marah. Ia tidak
tahu kenapa perasaan marah itu muncul ketika menyadari bahwa Ben-lah yang
menciumnya, bukan Nico. Sedangkan ia tahu dan sadar kalau pria yang bersamanya
saat ini adalah tunangannya. Calon suaminya.
“Maafkan aku, Ben,” kata Maira
sambil menundukkan kepala, ia tidak berani menatap Ben. Ia benar-benar merasa
bersalah karena secara tidak langsung ia sudah mengkhianati Ben. Pria lain
menyusup ke dalam alam bawah sadarnya, menciumnya dan yang lebih membuatnya
merasa semakin bersalah adalah ia merasa senang dan gairahnya kembali bangkit
saat membayangkan dirinya sedang berciuman dengan Nico.
Ini nggak benar. Ini salah. Aku
harus menjernihkan kepalaku dan menata perasaanku yang entah kenapa berubah
menjadi tidak karuan seperti ini, gerutu Maira dalam hatinya.
“Aku yang minta maaf karena sudah
menciummu diam-diam, Sayang –“
“Nggak, Ben. Ini ... ini bukan salahmu.
Aku hanya terlalu lelah saja. Aku ... aku benar-benar butuh istirahat
sekarang,” jawab Maira dengan penuh penyesalan.
Ben menggenggam tangannya dan
menatapnya dengan hangat. Maira membalas tatapan itu dan ada sedikit perasaan
takut dalam dadanya. Ia takut Ben bisa merasakan apa yang sedang ia rasakan
saat ini. Ia tidak ingin Ben tahu kalau ada pria lain yang mulai mengusik
perasaannya.
“Maafkan aku, ya,” kata Ben lagi
sambil tersenyum lembut.
Oh Tuhan, pria ini begitu
mencintaiku, lalu kenapa aku bisa memimpikan pria lain? Kenapa? tanya Maira dengan perasaan
bersalah yang semakin besar.
Maira mengangkat tangan Ben, lalu
mengecup tangan itu dengan lembut, kemudian menatap Ben dengan penuh cinta. Ben
mendekat dan menciumnya lagi. Ciuman yang singkat, dalam, dan hangat. And
guess what?? getaran itu tidak ada. Getaran liar saat ia bermimpi
mencium Nico. Getaran penuh gairah. Getaran liar yang membuatnya kecanduan.
Tidak ada. Sama sekali tidak ada.
Maira langsung keluar dari mobil dan membuka pintu gerbang rumahnya. Ia
melambaikan tangan sebelum Ben pergi dari hadapannya, dan ia pun terdiam di
pintu gerbang. Terdiam membayangkan mimpi indah yang seharusnya tidak pernah ia
mimpikan.
Dan ia menginginkan mimpi itu
menjadi kenyataan. Oh Tuhan ....
∞∞∞∞∞
Pagi segera menghampiri dan Maira
masih enggan untuk bangkit dari tempat tidurnya. Ia ingin sekali berdiam diri
di dalam rumah dan tidak pergi ke mana-mana. Ia pun mengambil ponsel yang ia
letakkan begitu saja di samping bantalnya saat ia tidur semalam.
Ia mencari nama Sasha di daftar
panggilnya, dalam dua deringan Sasha menjawab panggilannya. “Kenapa, Ra?”
tanya Sasha langsung, seakan tahu apa yang akan ia ucapkan.
“Gue nggak ke kantor hari ini, ya.
Badan gue sakit semua,” jawab Maira.
“Lo kenapa? Habis berantem sama
Hulk?” ledek Sasha, membuat Maira terhibur sedikit dengan banyolan temannya
yang selalu membuatnya tersenyum.
“Iya. Hulk-nya lagi ngomong sama gue
nih sekarang,” jawab Maira langsung, lalu tertawa kecil.
“Sialan, lo. Udah, tidur sana.
Kalau lo kenapa-kenapa entar gue yang repot,” kata Sasha dengan nada
gerutunya yang khas.
“Lah ... kenapa jadi lo?” tanya
Maira kebingungan.
“Ya iyalah. Kan gue sayang sama
lo, Ra.”
“Isshhh ... kenapa gue jadi jijay
bajay gitu denger lo ngomong ‘sayang’, ya?” ucap Maira sambil tertawa geli.
“Udah, ah. Nggak jadi istirahat deh
gue kalau gini,” kata Maira mengakhiri guyonan itu.
“OK – lah. Have a nice dream,
Beib.”
“Asli gue geli banget. Udah, ah.”
“Hehehehe ... becanda, becanda
... Ya udah, deh. Bye,” ucap Sasha sebelum mematikan teleponnya.
Maira menghubungi Ben dan
memberitahunya kalau hari ini ia tidak ke kantor dan ingin beristirahat
seharian. Ben menawarkan dirinya untuk merawat Maira, tapi ia menolak dengan
baik-baik. Yang ia butuhkan saat ini bukan Ben. Ia hanya butuh waktu sendirian
dan menata perasaannya yang masih tidak ia mengerti sampai saat ini.
Maira pun kembali tertidur di balik
selimutnya yang hangat.
∞∞∞∞∞
“Kamu sudah bertemu dengannya?”
tanya wanita itu. Senyum indah dengan suara yang begitu lembut dan mata
berwarna senada dengannya, menatap dan bertanya sesuatu yang sangat sensitif
padanya.
“Aku rasa kamu tidak perlu selalu
bertanya tentang wanita itu padaku,” jawab Nico datar. Ia sedang asik duduk di
ruang musiknya saat Alexa datang dan langsung bertanya hal itu lagi padanya.
“Kamu harus segera bertemu
dengannya, Nico,” saran Alexa, bergerak semakin mendekat ke sebuah sofa panjang
tempat Nico duduk sambil bermain gitar.
Sebuah alunan nada terngiang-ngiang
di pikirannya, namun tak ada satu pun kata-kata yang bisa ia tuliskan untuk
mengisi alunan nada tersebut. Nico merekam setiap nada-nada itu dengan alat
perekam dan menulisnya di kertas partitur.
Nico tidak menghiraukan perkataan
Alexa, ia tidak ingin alunan indah itu menghilang dari pikirannya. Entah
kenapa, sejak ia bertemu dengan Maira, alunan nada itu terus berdengung di
telinganya. Bukan hanya nada-nada itu saja yang selalu menghantuinya. Tapi
wajah itu, suara itu, mata itu, membuatnya seperti terhipnotis.
“Nico, apa kamu mendengarkanku?”
tanya Alexa.
“Sudahlah ... aku tidak mau
membicarakannya lagi,” jawab Nico ketus, kemudian beranjak dari sofa dan
meletakkan gitarnya begitu saja di sofa.
“Tapi wanita itu adalah milikmu,
Nico,” kata Alexa dengan nada kesal. Alexa tidak tahu harus bagaimana lagi
supaya Nico mau bergerak dan mengambil yang seharusnya menjadi miliknya.
“Belum ... dia belum menjadi
milikku,” ucap Nico tegas, membelakangi Alexa sambil meletakkan kertas partitur
di dalam tasnya.
“Terserah! Aku hanya mengingatkan,
jangan sampai kamu kehilangan dia dan kamu menyesal seumur hidupmu,” jelas
Alexa ketus. Ia pun bergerak menjauh, pergi meninggalkan ruangan itu.
Meninggalkan Nico sendiri dengan pergumulannya.
Ingin sekali ia menghampiri dan
mengenal wanita itu lebih dalam. Tapi, saat ia melihat wanita itu dengan
seorang pria di bandara, dengan tegas Nico bertekad kalau ia tidak akan masuk
ke dalam hubungan itu. Ia tidak ingin menghancurkan hubungan itu hanya karena
statusnya.
Nico tahu wanita itu adalah
miliknya, seharusnya menjadi miliknya. Tapi ia tidak ingin wanita itu merasa
diperdaya dan terpaksa menjadi miliknya. Tidak. Ia bukanlah seorang bajingan
yang suka merebut kekasih orang lain. Selama wanita itu masih bersama
kekasihnya, ia tidak akan mengganggu dan menyentuhnya. Tidak akan.
Ia kembali ke sofa, mengambil gitar
dan memainkan alunan nada itu berulang-ulang kali. Bahkan tanpa kertas
partitur, nada-nada itu terus mengalun di pikiran dan hatinya. Nada-nada itu
seakan terpatri dan tertanam di dalam dirinya begitu saja.
Sebuah ketukan di pintu, tak
menghentikannya untuk memainkan nada-nada itu. Pintu terbuka tanpa perintah dan
langkah kaki tegas dan dalam pun menghampirinya. “Nada yang indah. Ku rasa itu
harus masuk ke album selanjutnya.”
Pria dengan tubuh tinggi, kurus,
dan wajah tampan, menghampirinya. Cio membawa sebuah map berwarna hitam
dan meletakkannya di meja. Pria ini adalah manajer band mereka. Cio selalu
mengatur jadwal panggung, press conference, jadwal pemotretan,
serta segala sesuatu yang berhubungan dengan band. Hanya tentang band. Di luar
itu atau yang berhubungan dengan pekerjaan kantor, Cio hanyalah anak buahnya
yang selalu siap sedia jika ia butuhkan. Dengan kata lain, Cio adalah anak buah
sekaligus manajernya.
Ia meminta Cio untuk menyuruh beberapa
anak buahnya untuk menjaga, mengikuti, dan mengawasi setiap kegiatan dan
keberadaan Maira. Dan setiap hari, ia meminta mereka untuk memberikan laporan
padanya. Ia ingin tahu semua yang wanita itu lakukan, apa yang wanita itu suka
dan tidak suka, apa yang wanita itu inginkan, dan segala hal yang berhubungan
dengan Maira.
“Bukan untuk umum,” jawab Nico
dingin.
“Kurasa itu akan laku di pasaran.
Nadanya begitu mengena dan –“
Pria itu langsung diam saat Nico
menatapnya dengan sangat tajam dan dingin. Nico tersenyum sinis saat melihat
pria itu tampak ketakutan dan langsung menutup mulutnya seketika. Ia meletakkan
gitar di sampingnya, lalu mengambil map hitam itu.
‘Maira’
Sebuah tulisan besar bertuliskan
nama wanita itu tertempel di bagian depan map. Jantung Nico mulai berdebar
dengan cepat, napasnya terasa berat. Ia membuka map itu dan melihat foto Maira
sedang melakukan aktivitasnya selama beberapa hari ini.
Ia bisa merasakan aliran panas dalam
darahnya saat melihat setiap foto yang ada di dalam map. Senyum itu seakan
tersenyum padanya. Nico meremas map itu dan rasa sakit mulai menyelimutinya.
Senyum itu bukan miliknya. Belum menjadi miliknya.
Ingin sekali rasanya ia menggunakan
kekuasaan dan kekuatannya untuk segera memiliki wanita itu, tapi ia tidak bisa.
Sebisa mungkin ia akan membuat wanita itu merasakan dan menyadari akan
kehadiran dirinya. Ia akan membuat Maira tidak bisa lepas darinya. Maira
adalah milikku. Hanya milikku.
“Besok penerbangan jam sepuluh, ya,”
kata Cio mengingatkan.
“Ke mana?” tanya Nico datar, tidak
peduli dengan rencana manggung mereka yang semakin padat. Yang menjadi tujuan
utamanya datang ke Indonesia hanya karena wanita ini.
“Sidney,” jawab Cio singkat.
“OK. Sampai ketemu di bandara
besok,” kata Nico sambil beranjak dari sofa dan berjalan menuju keyboard yang
berada di sudut ruangan dengan beberapa monitor dan pengatur suara.
“Dan satu lagi,” lanjut Nico saat ia
duduk di kursi keyboard, “tetap suruh anak buah untuk mengawasi dan menjaganya,
jangan lupa beri laporan padaku setiap hari.”
“Baik, Nico,” ucap Eki yang tak lama
kemudian keluar dari ruangan itu.
Nico menatap foto itu untuk yang
kesekian kalinya. Senyum itu. Mata itu. Wajah itu. Milikku.
∞∞∞∞∞