Selasa, 13 Juni 2017

A STRUGGLE HEARTS (21+) - BAB 10




BAB 10

            D’aphrodite. Ya. Nama band itu terngiang di pikiran Maira, bagaikan kaset rusak yang terus berbunyi dan mengucapkan kata yang sama secara terus menerus. Maira duduk di dalam mobil, terdiam dan tidak banyak bicara selama perjalanannya menuju rumah.
            Ben menjemputnya tepat saat ia selesai mengurus acara itu sekitar pukul enam sore. Acara singkat, mewah dan benar-benar tidak akan pernah ia lupakan. Pak Sudarsono menghampirinya sebelum pria itu pergi meninggalkan hotel. Pria paruh baya itu menjabat tangannya dengan erat, lalu mengecup punggung tangannya dengan sangat lembut. Benar-benar pria yang sangat menyanjung dan menghormati wanita.
            Sebelum Pak Sudarsono masuk ke lift, pria itu mengatakan kalau tamu spesialnya sangat senang bisa tampil di acara ini dan kemungkinan besar akan menghubungi Maira untuk menyusun beberapa acara mereka yang akan diadakan di Jakarta.
            Maira benar-benar tidak mengerti apakah ia harus senang atau takut. Mengingat pandangan tajam dan senyum nakal yang diberikan padanya sebelum Nico pergi dari hadapannya, membuat bulu kuduknya berdiri seketika.
            “Kamu kenapa, Sayang?” tanya Ben yang memperhatikan Maira termenung.
            “Nggak apa-apa, Ben. Aku cuma sedikit lelah,” jawab Maira lemah.
            “Kamu yakin? Kamu sudah makan?” tanya Ben, khawatir.
            “Sudah,” jawab Maira singkat, “aku benar-benar lelah hari ini, Ben.”
            Ben tidak bertanya lagi dan kembali memusatkan perhatiannya ke arah jalan. Suasana dalam mobil terasa sepi, lalu Maira menyalakan radio. Ia menatap ke arah jendela mobil dan memperhatikan kepadatan di sore itu sambil mendengarkan suara pembawa radio yang terdengar begitu riang, menghibur para pendengar yang bosan dan lelah di tengah kemacetan Jakarta yang selalu menghantui setiap hari.
            Baru saja ia ingin memejamkan mata, sebuah alunan lagu yang diputar oleh radio itu seakan membangunkannya dari lamunan sesaatnya. Musik itu, lagu itu, suara itu, seakan mengikuti dan menghantuinya.
            ‘I am present in your life, in your every day, at every step you take
            I am present in each of your tears, in each of your pains
            You look at me with your beautiful smile
            Touching me deep down
            But your heart, your soul, your body ... is not mine'
            Dengan cepat Maira mengganti saluran radio itu dan menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya dengan perlahan. Ia benar-benar butuh istirahat hari ini. Pertemuan yang tidak terduga itu seakan menghabiskan energi dalam tubuhnya. Dan ia tidak tahu kenapa dirinya bereaksi sangat aneh setiap kali bertemu dengan pria itu.
            Tubuhnya seakan-akan menjerit dan hilang kendali seketika setiap kali bertemu dengan pria itu. Ia tidak mengerti kenapa. Kehadiran pria itu seakan merongrong jiwanya yang kelaparan dan haus akan sesuatu. Sesuatu yang belum pernah sama sekali ia rasakan, bahkan dengan Ben sekali pun.
            Maira menarik tuas kursi, merebahkan sandarannya, dan berbaring sejenak di sana. “Tidurlah, Sayang. Nanti aku bangunin kalau sudah sampai rumah,” ucap Ben sebelum akhirnya Maira memejamkan mata dan terlelap dalam perasaan lelahnya.
∞∞∞∞∞
            “You’re mine, Maira ... you’re mine.
            Maira membuka matanya, menatap sekelilingnya yang dipenuhi warna putih, bersih dan kosong. Apa aku sudah mati? pikir Maira sedih.
            “You’re mine, Maira ... you’re mine.
            Maira membalikkan badan, mencari-cari asal suara itu. Suara itu tidak asing bagi telinganya. Dalam, berat, dan terdengar bagaikan ancaman yang menyenangkan.
            “You’re mine, Maira.
            Suara itu lagi dan Maira semakin ketakutan. Ia tidak tahu dari mana asal suara itu, ia hanya seorang diri dan tak ada setitik pun warna lain selain warna putih bersih yang ada di depan matanya. “Halo!” teriak Maira, berharap ada yang datang dan menemaninya di tempat yang semakin lama membuat dirinya takut.
            Sebuah tangan mencengkram dan menarik tangannya dengan keras. Maira tersentak dan terkejut saat tubuhnya berada dalam dekapan hangat yang membuatnya merasa tenang dan aman. “You’re mine, Maira,” ucap pria itu.
            Dengan cepat Maira menengadahkan wajahnya, menatap asal suara itu. Perasaan takut dan nyaman bercampur menjadi satu, membuatnya tidak mengerti apa yang sebenarnya ia rasakan saat itu. Mata cokelat almond itu menatapnya dalam-dalam.
            Tatapan itu terasa begitu panas, membuat aliran darah dalam tubuhnya seperti mendidih dan bergelora “You’re mine, Maira,” ucap Nico sebelum bibir indah itu menciumnya dengan lembut dan perlahan-lahan berubah menjadi ciuman yang dalam dan penuh hasrat.
            Seluruh saraf di tubuhnya berteriak kegirangan, yang membuat dirinya kehilangan akal dan tidak berpikir sama sekali. Ia pun menyambut bibir itu dan membuka bibirnya, membiarkan Nico menjelajahinya dengan bebas. Nico mengecap lidahnya dan menarik bibir bawah Maira, menggigitnya dengan sangat lembut. Tubuh Maira bergetar hebat karena sensasi liar yang belum pernah ia rasakan, membuatnya kecanduan.
            Tangan Nico memeluk Maira dengan erat, membungkusnya dengan kehangatan yang terpancar dari tiap sentuhan kulit pria itu di tubuhnya. Maira mengangkat tangannya, sangat berani dan tak ada ragu sedikit pun. Ia meraba dada Nico yang begitu keras dengan debaran jantung yang sama cepatnya dengan debaran jantungnya sendiri.
            Maira menutup matanya, meresapi setiap sentuhan dan bibir lembut itu. Pikiran Maira benar-benar melayang, napasnya terengah-engah, dan jantungnya berdebar dengan sangat cepat. Ia tidak ingin rasa ini hilang dari dalam dirinya. Ia ingin terus dan terus merasakan sentuhan dan bibir itu.
            Ciuman itu bagai memuja dirinya, menyentuhnya dengan sensual, dan menjelajahi dirinya begitu dalam. Nico menciumnya semakin dalam dan liar, membuat kakinya terasa goyah. Tangan kanan Nico menyusup ke balik kemejanya dan menyentuh kulit Maira yang lembut dengan penuh kehangatan. Begitu hangat hingga ia ingin kehangatan itu menyentuh tiap jengkal tubuhnya.
            Tangan kiri pria itu mencengkram leher Maira dengan lembut, membuat ciuman mereka semakin dalam dan semakin liar. Maira memberanikan diri untuk membuka matanya dan memperhatikan mata Nico yang mengunci tatapannya dengan penuh gairah. Seketika itu pula, sesuatu dalam dirinya seperti meledak hebat sampai ke puncak kepalanya.
            Matanya kembali terpejam dan ciuman Nico terasa semakin manis, nikmat, dan penuh gairah. Ia senang dan bahagia melihat Nico yang ternyata menikmati hal ini sama seperti dirinya. Maira merasa kalau dirinya sudah gila karena menikmati ciuman itu.
            Oh Tuhan, kenapa aku bisa luluh begitu saja padanya? pikir Maira sekelebat yang akhirnya menyadarkannya dari kegilaan sementara itu. Maira membuka matanya, mencoba melepaskan tautan bibir itu dan mendorong tubuh itu sedikit menjauh darinya. Tapi betapa terkejutnya Maira saat menemukan wajah Ben yang berada begitu dekat, sedang menciumnya dengan rakus.
            Dengan kasar Maira melepaskan ciuman itu dan mendorong tubuh Ben. Napasnya terengah-engah, takut dan marah. Ia tidak tahu kenapa perasaan marah itu muncul ketika menyadari bahwa Ben-lah yang menciumnya, bukan Nico. Sedangkan ia tahu dan sadar kalau pria yang bersamanya saat ini adalah tunangannya. Calon suaminya.
            “Maafkan aku, Ben,” kata Maira sambil menundukkan kepala, ia tidak berani menatap Ben. Ia benar-benar merasa bersalah karena secara tidak langsung ia sudah mengkhianati Ben. Pria lain menyusup ke dalam alam bawah sadarnya, menciumnya dan yang lebih membuatnya merasa semakin bersalah adalah ia merasa senang dan gairahnya kembali bangkit saat membayangkan dirinya sedang berciuman dengan Nico.
            Ini nggak benar. Ini salah. Aku harus menjernihkan kepalaku dan menata perasaanku yang entah kenapa berubah menjadi tidak karuan seperti ini, gerutu Maira dalam hatinya.
            “Aku yang minta maaf karena sudah menciummu diam-diam, Sayang –“
            “Nggak, Ben. Ini ... ini bukan salahmu. Aku hanya terlalu lelah saja. Aku ... aku benar-benar butuh istirahat sekarang,” jawab Maira dengan penuh penyesalan.
            Ben menggenggam tangannya dan menatapnya dengan hangat. Maira membalas tatapan itu dan ada sedikit perasaan takut dalam dadanya. Ia takut Ben bisa merasakan apa yang sedang ia rasakan saat ini. Ia tidak ingin Ben tahu kalau ada pria lain yang mulai mengusik perasaannya.
            “Maafkan aku, ya,” kata Ben lagi sambil tersenyum lembut.
            Oh Tuhan, pria ini begitu mencintaiku, lalu kenapa aku bisa memimpikan pria lain? Kenapa? tanya Maira dengan perasaan bersalah yang semakin besar.
            Maira mengangkat tangan Ben, lalu mengecup tangan itu dengan lembut, kemudian menatap Ben dengan penuh cinta. Ben mendekat dan menciumnya lagi. Ciuman yang singkat, dalam, dan hangat. And guess what?? getaran itu tidak ada. Getaran liar saat ia bermimpi mencium Nico. Getaran penuh gairah. Getaran liar yang membuatnya kecanduan.
            Tidak ada. Sama sekali tidak ada. Maira langsung keluar dari mobil dan membuka pintu gerbang rumahnya. Ia melambaikan tangan sebelum Ben pergi dari hadapannya, dan ia pun terdiam di pintu gerbang. Terdiam membayangkan mimpi indah yang seharusnya tidak pernah ia mimpikan.
            Dan ia menginginkan mimpi itu menjadi kenyataan. Oh Tuhan ....
∞∞∞∞∞
            Pagi segera menghampiri dan Maira masih enggan untuk bangkit dari tempat tidurnya. Ia ingin sekali berdiam diri di dalam rumah dan tidak pergi ke mana-mana. Ia pun mengambil ponsel yang ia letakkan begitu saja di samping bantalnya saat ia tidur semalam.
            Ia mencari nama Sasha di daftar panggilnya, dalam dua deringan Sasha menjawab panggilannya. “Kenapa, Ra?” tanya Sasha langsung, seakan tahu apa yang akan ia ucapkan.
            “Gue nggak ke kantor hari ini, ya. Badan gue sakit semua,” jawab Maira.
            “Lo kenapa? Habis berantem sama Hulk?” ledek Sasha, membuat Maira terhibur sedikit dengan banyolan temannya yang selalu membuatnya tersenyum.
            “Iya. Hulk-nya lagi ngomong sama gue nih sekarang,” jawab Maira langsung, lalu tertawa kecil.
            “Sialan, lo. Udah, tidur sana. Kalau lo kenapa-kenapa entar gue yang repot,” kata Sasha dengan nada gerutunya yang khas.
            “Lah ... kenapa jadi lo?” tanya Maira kebingungan.
            “Ya iyalah. Kan gue sayang sama lo, Ra.
            “Isshhh ... kenapa gue jadi jijay bajay gitu denger lo ngomong ‘sayang’, ya?” ucap Maira sambil tertawa geli.
            “Udah, ah. Nggak jadi istirahat deh gue kalau gini,” kata Maira mengakhiri guyonan itu.
            “OK – lah. Have a nice dream, Beib.
            “Asli gue geli banget. Udah, ah.”
            “Hehehehe ... becanda, becanda ... Ya udah, deh. Bye,” ucap Sasha sebelum mematikan teleponnya.
            Maira menghubungi Ben dan memberitahunya kalau hari ini ia tidak ke kantor dan ingin beristirahat seharian. Ben menawarkan dirinya untuk merawat Maira, tapi ia menolak dengan baik-baik. Yang ia butuhkan saat ini bukan Ben. Ia hanya butuh waktu sendirian dan menata perasaannya yang masih tidak ia mengerti sampai saat ini.
            Maira pun kembali tertidur di balik selimutnya yang hangat.
∞∞∞∞∞
            “Kamu sudah bertemu dengannya?” tanya wanita itu. Senyum indah dengan suara yang begitu lembut dan mata berwarna senada dengannya, menatap dan bertanya sesuatu yang sangat sensitif padanya.
            “Aku rasa kamu tidak perlu selalu bertanya tentang wanita itu padaku,” jawab Nico datar. Ia sedang asik duduk di ruang musiknya saat Alexa datang dan langsung bertanya hal itu lagi padanya.
            “Kamu harus segera bertemu dengannya, Nico,” saran Alexa, bergerak semakin mendekat ke sebuah sofa panjang tempat Nico duduk sambil bermain gitar.
            Sebuah alunan nada terngiang-ngiang di pikirannya, namun tak ada satu pun kata-kata yang bisa ia tuliskan untuk mengisi alunan nada tersebut. Nico merekam setiap nada-nada itu dengan alat perekam dan menulisnya di kertas partitur.
            Nico tidak menghiraukan perkataan Alexa, ia tidak ingin alunan indah itu menghilang dari pikirannya. Entah kenapa, sejak ia bertemu dengan Maira, alunan nada itu terus berdengung di telinganya. Bukan hanya nada-nada itu saja yang selalu menghantuinya. Tapi wajah itu, suara itu, mata itu, membuatnya seperti terhipnotis.
            “Nico, apa kamu mendengarkanku?” tanya Alexa.
            “Sudahlah ... aku tidak mau membicarakannya lagi,” jawab Nico ketus, kemudian beranjak dari sofa dan meletakkan gitarnya begitu saja di sofa.
            “Tapi wanita itu adalah milikmu, Nico,” kata Alexa dengan nada kesal. Alexa tidak tahu harus bagaimana lagi supaya Nico mau bergerak dan mengambil yang seharusnya menjadi miliknya.
            “Belum ... dia belum menjadi milikku,” ucap Nico tegas, membelakangi Alexa sambil meletakkan kertas partitur di dalam tasnya.
            “Terserah! Aku hanya mengingatkan, jangan sampai kamu kehilangan dia dan kamu menyesal seumur hidupmu,” jelas Alexa ketus. Ia pun bergerak menjauh, pergi meninggalkan ruangan itu. Meninggalkan Nico sendiri dengan pergumulannya.
            Ingin sekali ia menghampiri dan mengenal wanita itu lebih dalam. Tapi, saat ia melihat wanita itu dengan seorang pria di bandara, dengan tegas Nico bertekad kalau ia tidak akan masuk ke dalam hubungan itu. Ia tidak ingin menghancurkan hubungan itu hanya karena statusnya.
            Nico tahu wanita itu adalah miliknya, seharusnya menjadi miliknya. Tapi ia tidak ingin wanita itu merasa diperdaya dan terpaksa menjadi miliknya. Tidak. Ia bukanlah seorang bajingan yang suka merebut kekasih orang lain. Selama wanita itu masih bersama kekasihnya, ia tidak akan mengganggu dan menyentuhnya. Tidak akan.
            Ia kembali ke sofa, mengambil gitar dan memainkan alunan nada itu berulang-ulang kali. Bahkan tanpa kertas partitur, nada-nada itu terus mengalun di pikiran dan hatinya. Nada-nada itu seakan terpatri dan tertanam di dalam dirinya begitu saja.
            Sebuah ketukan di pintu, tak menghentikannya untuk memainkan nada-nada itu. Pintu terbuka tanpa perintah dan langkah kaki tegas dan dalam pun menghampirinya. “Nada yang indah. Ku rasa itu harus masuk ke album selanjutnya.”
            Pria dengan tubuh tinggi, kurus,  dan wajah tampan, menghampirinya. Cio membawa sebuah map berwarna hitam dan meletakkannya di meja. Pria ini adalah manajer band mereka. Cio selalu mengatur jadwal panggung, press conference, jadwal pemotretan, serta segala sesuatu yang berhubungan dengan band. Hanya tentang band. Di luar itu atau yang berhubungan dengan pekerjaan kantor, Cio hanyalah anak buahnya yang selalu siap sedia jika ia butuhkan. Dengan kata lain, Cio adalah anak buah sekaligus manajernya.
            Ia meminta Cio untuk menyuruh beberapa anak buahnya untuk menjaga, mengikuti, dan mengawasi setiap kegiatan dan keberadaan Maira. Dan setiap hari, ia meminta mereka untuk memberikan laporan padanya. Ia ingin tahu semua yang wanita itu lakukan, apa yang wanita itu suka dan tidak suka, apa yang wanita itu inginkan, dan segala hal yang berhubungan dengan Maira.
            “Bukan untuk umum,” jawab Nico dingin.
            “Kurasa itu akan laku di pasaran. Nadanya begitu mengena dan –“
            Pria itu langsung diam saat Nico menatapnya dengan sangat tajam dan dingin. Nico tersenyum sinis saat melihat pria itu tampak ketakutan dan langsung menutup mulutnya seketika. Ia meletakkan gitar di sampingnya, lalu mengambil map hitam itu.
            ‘Maira’
            Sebuah tulisan besar bertuliskan nama wanita itu tertempel di bagian depan map. Jantung Nico mulai berdebar dengan cepat, napasnya terasa berat. Ia membuka map itu dan melihat foto Maira sedang melakukan aktivitasnya selama beberapa hari ini.
            Ia bisa merasakan aliran panas dalam darahnya saat melihat setiap foto yang ada di dalam map. Senyum itu seakan tersenyum padanya. Nico meremas map itu dan rasa sakit mulai menyelimutinya. Senyum itu bukan miliknya. Belum menjadi miliknya.
            Ingin sekali rasanya ia menggunakan kekuasaan dan kekuatannya untuk segera memiliki wanita itu, tapi ia tidak bisa. Sebisa mungkin ia akan membuat wanita itu merasakan dan menyadari akan kehadiran dirinya. Ia akan membuat Maira tidak bisa lepas darinya. Maira adalah milikku. Hanya milikku.
            “Besok penerbangan jam sepuluh, ya,” kata Cio mengingatkan.
            “Ke mana?” tanya Nico datar, tidak peduli dengan rencana manggung mereka yang semakin padat. Yang menjadi tujuan utamanya datang ke Indonesia hanya karena wanita ini.
            “Sidney,” jawab Cio singkat.
            “OK. Sampai ketemu di bandara besok,” kata Nico sambil beranjak dari sofa dan berjalan menuju keyboard yang berada di sudut ruangan dengan beberapa monitor dan pengatur suara.
            “Dan satu lagi,” lanjut Nico saat ia duduk di kursi keyboard, “tetap suruh anak buah untuk mengawasi dan menjaganya, jangan lupa beri laporan padaku setiap hari.”
            “Baik, Nico,” ucap Eki yang tak lama kemudian keluar dari ruangan itu.
            Nico menatap foto itu untuk yang kesekian kalinya. Senyum itu. Mata itu. Wajah itu. Milikku.

∞∞∞∞∞

Senin, 12 Juni 2017

A STRUGGLE HEARTS (21+) - BAB 9



BAB 9

            Maira tiba di Hotel Luxury tepat pukul sebelas siang. Ia pun langsung menuju ruang serbaguna yang berada di lantai lima. Ruangan itu sudah dipenuhi oleh dekorasi-dekorasi dan barisan meja katering yang tersusun rapi.
            Teknisi pencahayaan dan sound system akan tiba satu jam lagi, sedangkan beberapa hadiah yang sudah ia pesan melalui salah satu vendor kepercayaannya, masih dalam perjalanan menuju tempat itu. Tapi secara keseluruhan, tempat ini sudah siap dan tertata sesuai dengan keinginannya.
            Maira berjalan ke tengah ruangan itu dan memperhatikan dengan seksama. Ia mengeluarkan buku catatannya dan mengecek setiap kelengkapan yang diperlukan untuk acara hari ini. Pertama, ia memeriksa tata panggung yang dihiasi dengan dekorasi megah.
            Di atas panggung berkarpet merah itu tersusun empat kursi besar berwarna keemasan, sebuah meja di depan keempat kursi tersebut, sebuah podium yang terbungkus kain berwarna merah, empat hiasan bunga yang dirangkai dengan indah, sebuah layar putih yang berada di sisi kiri panggung, dan dua buah standing mic yang sudah diletakkan sesuai posisinya.
            Maira memperhatikan puluhan meja bundar bertaplak putih bersih, yang dikelilingi oleh sepuluh kursi di tiap-tiap meja, yang juga ditutupi oleh kain penutup berwarna putih. Di atas meja itu sudah tersusun rapi sepuluh set piring dan gelas kaca serta sendok dan garpu berwarna keemasan. Pot bunga mungil dan indah menghiasi di tengah meja-meja tersebut.
            Ia sedang asik memperhatikan setiap detail di ruangan itu ketika pintu besar itu terbelah menjadi dua dan beberapa orang masuk ke ruangan. Tim teknisi pencahayaan dan sound system tiba lebih cepat dari dugaannya. Senyum ramahnya terlukis indah di wajah Maira, menyambut para pria yang sudah tampak familiar baginya.
            Kepala teknisi menghampirinya, berbincang sejenak sebelum akhirnya mereka mulai bekerja sesuai arahan Maira. Tak lama kemudian, vendor hadiah pun tiba dan membawa puluhan hadiah yang sudah disiapkan sebagai hadiah doorprice.
            Maira sangat menyukai pekerjaan ini. Melihat orang-orang bekerja di bawah arahannya, mengatur, dan merencanakan, serta menyusun sebuah acara begitu menyenangkan baginya. Melihat wajah-wajah para tamu serta kliennya, yang tersenyum bahagia serta puas ketika acara selesai dilaksanakan, merupakan sebuah kebanggaan tersendiri baginya.
            Waktu terasa berjalan sangat cepat, tak terasa sekarang sudah pukul dua siang. Para penerima tamu dan dua orang MC pun sudah siap posisi mereka masing-masing. Para petugas katering pun sudah mempersiapkan hidangan di tempat mereka masing-masing.
            Jantung Maira berdebar semakin cepat karena ia begitu antusias setiap kali acara mulai mendekati menit-menit terakhir. Para tamu pun mulai berdatangan dan petugas penerima tamu mulai sibuk dengan tugas mereka. Maira memperhatikan dari kejauhan dan terus berkoordinasi dengan masing-masing kepala vendor melalui walkie talkie yang tidak pernah lepas dari genggamannya.
            Lambat laun, ruangan itu mulai penuh dan kesibukan Maira pun mulai terasa karena para jajaran manajer, direksi, owner, serta tamu spesial dari pihak owner akan tiba sebentar lagi. Para tamu menikmati alunan musik yang sedari tadi mengisi ruangan tersebut.
            Seorang pria berpakaian serba hitam menghampirinya dan memberitahunya kalau owner Dhirgan sudah tiba di lantai dasar. Maira langsung memberikan aba-aba kepada para petugas-petugas andalannya dan mulai mempersiapkan kedatangan owner tersebut.
            Jantung Maira terus berdebar kencang, ia tidak bisa menahan antusias dalam dirinya. Ia menatap sekali lagi ke dalam ruangan dan bangga atas kerja kerasnya yang terlihat begitu sempurna. Pintu lift pun terbuka dan Maira bisa melihat seorang pria paruh baya berusia enam puluhan keluar dari lift, didampingi sekitar enam orang pengawal bertubuh tinggi besar dengan pakaian serba hitam dan wajah kaku bagaikan patung.
            Pak Sudarsono memang sudah tidak muda lagi, tubuhnya yang berisi dengan tinggi sekitar seratus tujuh puluh centimeter, masih terlihat cukup bugar. Wajahnya yang ramah dan senyuman yang selalu menghiasi wajah keriput itu, membuat Pak Sudarsono menjadi salah satu owner perusahaan paling ramah yang pernah Maira temui.
            Pria itu menyapa dan tersenyum hangat pada Maira sebelum akhirnya pria itu memasuki ruangan. Mata pria itu memperhatikan ruangan yang penuh dengan para karyawan, yang berdiri menyambut kedatangannya, serta dekorasi indah yang membuat Pak Sudarsono tersenyum lebih lebar lagi.
            Setelah Pak Sudarsono masuk dan duduk di meja khusus yang disediakan untuknya, para jajaran manajer dan direksi pun masuk menyusul di belakangnya dan duduk di meja mereka masing-masing. Maira menghitung dan mencentrang setiap tamu penting yang tercatat di buku catatannya. Hanya satu orang yang masih belum tiba hingga saat ini. Tamu spesial Pak Sudarsono.
            Maira bertanya pada salah satu petugas keamanan di lantai dasar, kemudian bertanya pada salah satu petugas penerima tamu, tapi tamu spesial itu memang belum datang. Mungkin tamu itu nggak jadi datang, pikir Maira sambil berdiri di ambang pintu ruangan sebelum akhirnya ia menutup pintu ruangan itu. MC acara itu pun memulai tugasnya dan Maira berdiri di salah satu sudut ruangan sambil memperhatikan kelangsungan acara tersebut.
            Semua berjalan dengan lancar dan sesuai dengan perhitungan Maira. Pak Sudarsono beserta para tamu yang hadir saat itu pun terlihat menikmati jalannya acara. MC yang riang dan ceria membuat acara tidak terlalu monoton dan Maira bersyukur mempunyai MC andalan seperti mereka. 
            Saatnya acara makan dan para tamu pun mulai beranjak dari kursi mereka masing-masing menuju meja prasmanan yang sudah siap sedia menerima kedatangan para tamu. Maira kemudian berjalan menghampiri meja Pak Sudarsono, yang sedang menikmati segelas anggur putih di tangannya dan makanan yang tersaji di hadapannya.
            “Bagaimana makanannya, Pak?” tanya Maira dengan sopan.
            “Kamu selalu tahu kesukaanku, Cantik,” jawab Pak Sudarsono sambil tersenyum ramah.
            “Maaf, Pak. Bolehkah saya bertanya sesuatu?” tanya Maira sebelum melanjutkan pertanyaannya.
            “Silakan, Cantik,” jawabnya.
            “Apakah tamu spesial yang waktu itu Bapak bilang tidak jadi datang? Karena saya sudah memeriksa berulang kali dan tamu tersebut belum hadir hingga sekarang,” tanya Maira mencoba untuk mengkonfirmasi.
            “Oh, dia ... sebentar lagi mungkin dia akan datang. Dia memang selalu datang ke suatu acara tepat beberapa menit sebelum dia tampil,” jawab Pak Sudarsono sebelum meneguk segelas air putih.
            “Tampil, Pak?” tanya Maira bingung.
            “Ya. Dia akan tampil dengan band-nya sebagai salah satu pengisi acara,” jelas Pak Sudarsono.
            Maira mulai tampak semakin bingung. Kemudian ia mencoba mengecek susunan acara yang ada di tangannya dan tidak menemukan satu pun acara di mana akan diisi oleh penampilan tamu spesial itu, selain dari pemain band yang sudah ia tentukan. Dan saat ini, pemain band itu sedang mengisi acara dan menghibur para tamu yang sedang menikmati makanannya.
            Ia mencoba mengingat-ingat kembali dan Maira sangat yakin, sangat-sangat yakin, kalau tidak ada dari pihak Dhirgan yang memintanya untuk menyelipkan penampilan band tersebut ke dalam susunan acaranya. Dan ia tidak mungkin melakukan kesalahan ataupun lupa dengan hal penting seperti ini.
            “Tapi ... kemarin tidak ada yang mengkonfirmasi pada saya kalau akan ada perform selain yang tampil sekarang, Pak,” kata Maira, mencoba untuk meluruskan semua ini.
            “Memang. Saya yang menyuruhnya untuk mengisi acara ini sebagai salah satu hadiah ulang tahun saya," jawab Pak Sudarsono dengan penuh wibawa, namun tetap dengan senyum di wajah sambil menatap Maira dengan ramah.
            "Jadi ... bisakah kamu menyelipkannya di susunan acaramu itu, Cantik?” tanya Pak Sudarsono dengan sangat sopan.
            “Baik, Pak,” jawab Maira dengan cepat dan ia pun pamit, pergi meninggalkan meja itu. Maira langsung berkoordinasi dengan para MC, petugas sound system, dan penata cahaya kalau akan ada satu penampilan lagi dari sebuah band yang entah kapan akan tampil.
            Setelah Maira meyakinkan acara tambahan itu sebisa mungkin terlaksana dengan sempurna, ia pun kembali berdiri di salah sudut dinding yang dilapisi tirai besar berwarna merah. Ia memperhatikan setiap wajah dan berharap tidak menemukan satu pun wajah kecewa di wajah para tamu saat ini.
            Acara makan pun hampir selesai dan sampai saat ini tamu spesial itu belum juga tiba. Maira memberi instruksi pada penerima tamu dan pihak keamanan, yang berada di lantai dasar, agar segera memberitahunya jika tamu spesial itu tiba di hotel.
            Setelah acara makan selesai, para MC mulai melanjutkan tugasnya dan masuklah ke sesi doorprice. Maira memperhatikan wajah tiap-tiap karyawan kantor yang sangat berharap mendapatkan salah satu doorprice yang sudah tersusun rapi di atas panggung dan beberapa hadiah besar seperti hadiah motor, TV, mesin cuci, dan kulkas yang berjumlah sekitar lima unit per jenisnya berada di bawah panggung.
            Setelah pengocokan doorprice yang ketiga, pintu besar itu tiba-tiba terbuka dan Maira melihat empat orang masuk ke ruangan itu dengan membawa beberapa alat musik. Mereka berempat berjalan di tengah-tengah karpet merah yang menjulur hingga ke panggung.
            Dengan cekatan, Maira langsung berlari kecil menuju meja Pak Sudarsono, dan sebelum ia tiba di sana, Pak Sudarsono memberikan aba-aba padanya. Yap, inilah si tamu spesial itu. Datang tiba-tiba tanpa pemberitahuan dan masuk begitu saja bagaikan artis papan atas.
            Maira langsung memberi aba-aba pada MC. Para pemain band itu berhenti tepat di depan meja Pak Sudarsono dan salah seorang dari mereka sedang berbicara dengan penuh hormat dan sopan pada pria paruh baya itu. Setelah berbincang sebentar, mereka pun melangkah menuju sisi panggung, menunggu aba-aba dari MC untuk naik ke panggung.
            Setelah mereka diperbolehkan untuk naik, mereka pun mulai mempersiapkan alat musik mereka masing-masing dan pihak sound system mulai melakukan tugasnya. Sedangkan pria yang tadi berbicara dengan Pak Sudarsono, hanya berdiri sambil mengeluarkan sebuah mic dari dalam koper kecil berwarna perak yang sedari tadi ada dalam genggamannya.
            Ternyata pria itu adalah penyanyinya. Siapa dia? batin Maira dari kejauhan. Ia tidak pernah melihat artis atau siapa pun mereka ini. Setelah Maira memperhatikan bahwa pemain Band itu sudah siap di posisi mereka masing-masing dan pihak sound system pun sudah turun dari panggung, maka Maira memberikan aba-aba pada MC agar memberikan waktu pada pengisi acara tersebut.
            Ponsel Maira berbunyi saat MC sedang berbincang dengan para pemain band tersebut. Maira langsung menjawab panggilan itu sambil bersembunyi di salah satu sudut tirai.
            “Ben, ada apa?” tanya Maira dengan nada berbisik.
            “Tiba-tiba aku kepikiran sama kamu, Sayang. Apa kamu baik-baik saja?” tanya Ben, nadanya terdengar begitu khawatir.
            “Aku baik-baik saja, Ben,” jawab Maira cepat.
            “Bisa kamu meneleponku nanti? Sedang ada perubahan susunan acara di sini. Nanti aku hubungi balik, OK,” jelas Maira dengan terburu-buru. Pandangannya masih tertuju pada MC yang sedang asik bercanda gurau sebelum akhirnya MC itu turun dan memberikan panggung itu untuk penampilan mereka.
            “Kamu mau aku jemput?” tanya Ben.
            “Aku tidak tahu, Ben,” jawab Maira ingin segera memutuskan pembicaraan, “aku kabari nanti, OK.”
            “Baiklah, kabari aku secepatnya. Aku mencintaimu, Maira,” ucap Ben, suaranya terdengar begitu serius.
            “Aku juga mencintaimu, Ben.” Maira langsung memasukkan ponsel ke dalam sakunya setelah ia mengakhiri pembicaraan itu. Lampu mulai diredupkan saat petikan gitar memulai penampilan pertama mereka. Cahaya lampu sorot warna-warni, membuat penampilan band itu terlihat begitu mengagumkan.
            Band itu membawakan sebuah lagu ciptaan mereka sendiri. Entah apa judulnya, tapi setiap kata dalam lagu itu begitu menyentuh dan terasa begitu sedih. Si penyanyi utama menyanyikan lagunya dengan penuh penjiwaan. Dan seakan terhipnotis oleh penampilan itu, Maira tidak menyadari bahwa bukan hanya dia yang terpesona oleh penampilan pria itu. Tapi semua orang yang ada di dalam ruangan itu benar-benar bagaikan tersihir olehnya.


“You’re not mine, by : Oktaviana_vivi (A Struggle Hearts)”
            ‘I am present in your life, in your every day, at every step you take
            I am present in each of your tears, in each of your pains
            You look at me with your beautiful smile
            Touching me deep down
            But your heart, your soul, your body ... is not mine

                                    You crushed me very hard ... but i fell so glad
                                    You hurt me so deeply ... but i fell so glad
                                    I'm glad ... i'm glad ... glad to know you
                                    even though you're not mine

            You are present in each of my dreams, filling my days and prayers
            You touched me, made me unable to live without you
            I see you with my highest hopes
            Love you and keep waiting for you
            But your heart, your soul, your body ... is not mine

                                    You crushed me very hard ... but i fell so glad
                                    You hurt me so deeply ... but i fell so glad
                                    I'm glad ... i'm glad ... glad to know you
                                    even though you're not mine
                                    You're not mine’

            Maira seakan terhipnotis dengan suara merdu dan gaya pembawaan penyanyi itu. Terlihat dari jauh saja, Maira sangat yakin penyanyi itu memiliki pesona dan kharisma yang mampu meruntuhkan setiap wanita – mungkin pria juga – hanya dengan suara indah itu.
            Lagu itu selesai dinyanyikan dengan sangat memesona. Suara tepuk tangan yang begitu riuh, mengisi ruangan itu. Pria itu membungkukkan badannya, berterima kasih pada sambutan yang begitu besar. Setelah suara tepuk tangan itu berhenti, mereka pun bersiap untuk menyanyikan lagu kedua, yang merupakan lagu permintaan dari Pak Sudarsono. Penyanyi itu membawakan lagu Michael Jackson yang berjudul One Day In Your Life.
            Perasaan Maira begitu tersentuh mendengar suara pria itu, yang berat, serak, dan dalam, mengalun indah di telinganya. Bagaikan terhipnotis, seorang petugas penerima tamu sampai harus mengguncang pundaknya agar Maira tersadar dan menoleh ke belakang.
            “Kenapa?” tanya Maira langsung, kesal karena wanita mungil ini mengganggu dirinya yang sedang menikmati penampilan terindah yang pernah ia lihat.
            “Bu, sepertinya ada beberapa fotografer dan pihak media di depan pintu. Katanya mereka datang untuk wawancara dengan mereka,” jelas wanita itu sambil menunjuk ke arah panggung.
            Maira benar-benar terkejut, selama ini ia belum pernah berurusan dengan fotografer, apalagi dengan media. Dengan cepat Maira berjalan menuju pintu besar itu, membukanya sedikit dan melihat ada sekitar tiga atau empat fotografer dan reporter yang sibuk dengan mic di tangan mereka masing-masing.
            Apa-apaan ini? batin Maira. Ia mencoba keluar dan mendorong pintu besar itu dengan kuat, karena beberapa pria bertubuh besar, kekar, wajah menyeramkan, dan berpakaian serba hitam menjaga agar tidak seorang pun keluar dan masuk tanpa melewati tubuh-tubuh besar itu.
            “Maaf, ada apa ini?” tanya Maira ke salah satu fotografer yang berada tidak jauh darinya setelah akhirnya ia bisa melewati barisan tubuh besar itu.
            “Kau tidak tahu?” tanya fotografer itu dan dengan cepat Maira menggelengkan kepalanya.
            “Kami sedang menunggu mereka,” jawab fotografer itu sambil menunjuk ke arah datangnya nyanyian.
            “Mereka? Memang siapa mereka?” tanya Maira lagi, kali ini benar-benar merasa seperti orang yang sudah tinggal lama di dalam gua sehingga tidak terlalu memperhatikan perkembangan musik bahkan artis pendatang baru sekali pun.
            “D’aphrodite,” jawab fotografer itu.
            Meskipun pria itu menyebutkan ‘D’aphrodite’ dengan sangat jelas, tetap saja Maira tidak mengenal mereka. Nyanyian dari balik pintu itu pun terhenti. Semua orang yang ada di depan pintu terlihat mulai bersiap-siap dengan alat perang mereka sendiri.
            Ada yang merapikan baju, menyalakan alat perekam, ada yang mulai menyalakan kamera, dan ada pula yang sudah siap sedia dengan mic menyala lalu menyodorkannya ke depan wajah mereka sendiri. Maira tersenyum geli melihat tingkah laku para pekerja media ini, begitu sigap dan siap sedia menunggu pintu terbuka.
            Tak lama kemudian, salah seorang pria bertubuh besar itu menekan sesuatu di telinganya dan seakan memberi perintah pada yang lainnya untuk bersiap menerima kedatangan seseorang dari balik pintu itu. Terdengar derap kaki yang semakin lama terdengar semakin jelas. Dengan cepat dua orang bertubuh besar membuka pintu itu dan membelahnya menjadi dua.
            Para pemusik itu keluar dengan cepat dan si penyanyi berada tepat di paling belakang. Suara kamera dan pertanyaan yang dilemparkan oleh reporter membuat Maira tidak bisa mendengar apa yang sebenarnya mereka katakan.
            Si penyanyi itu mengangkat salah satu tangan untuk menghalangi sinar kamera yang begitu menyilaukan. Maira terus memperhatikan mereka. Penyanyi itu memiliki ukiran tato di salah satu tangannya, tampak begitu indah di tangan kekar itu. Wajah tampan dengan kulit berwarna kecokelatan, dan rambut hitam yang menyempurnakan ketampanan itu. Seakan mengetahui di mana Maira berdiri, pria itu menoleh ke arahnya dan menatapnya dengan tajam.
            Matanya bertemu dengan mata penyanyi itu. Seketika itu pula ia tersontak kaget melihat mata itu lagi. Ada ragu sesaat yang ia rasakan di dalam dirinya dan mencoba menepis kenyataan yang baru saja terjadi di depan matanya. Pria itu. Pria dengan mata cokelat almond yang tajam dan dalam, menatapnya sambil menyunggingkan senyum padanya.
            Nico??

∞∞∞∞∞