Selasa, 06 Juni 2017

A STRUGGLE HEARTS (21+) - BAB 3




BAB 3


            Rumah bertingkat dua dengan model minimalis yang didominasi warna putih dengan bebe-rapa sentuhan warna hitam di beberapa tempat, memberikan sentuhan elegan yang memperindah rumah itu. Pekarangan di balik tembok pagar besar berwarna putih, dihiasi dengan berbagai macam bunga indah yang segar dan menyejukkan mata. Mama sangat pandai merawat tanaman, setiap bunga yang ia rawat tumbuh dengan subur, seakan bunga-bunga itu bahagia dan mendambakan setiap sentuhan tangan indahnya. Rumput hijau, yang selalu tampak segar dan terpangkas rapi pun, tidak pernah luput dari sentuhan Mama.
            Kicauan love birds yang berada dalam sangkar besar berwarna putih, yang berada di sudut tembok pekarangan, terdengar begitu merdu. Papa sangat menyukai segala jenis burung, terutama love bird. Menurut Papa, burung berukuran kecil itu menggambarkan kepribadian Papa, bukan hanya karena bentuknya yang lucu dan menggemaskan, tapi karena sifat burung itu yang selalu setia pada pasangannya. Seperti Papa yang akan selalu setia pada Mama sampai akhir hidupnya.
            Maira terus mengingat hal itu di benaknya. Salah satu bentuk rasa cinta terbesar yang pernah ia lihat dan rasakan dalam hidupnya. Dan, ia sangat berharap bisa mendapatkan seorang pria seperti Papa, yang akan mencintai dan setia padanya sampai akhir hidupnya. Saat ini, ia yakin dan percaya kalau Ben bisa mewujudkan sosok pria idamannya itu.
            Ben keluar dari mobil, langsung menuju ke sisi pintunya. Maira keluar dari mobil dan Ben langsung menutup pintu di belakangnya, lalu mereka berjalan bersama sambil bergandengan tangan menuju gerbang besar yang terbuat dari kayu tinggi dan kokoh berwarna hitam. Maira menekan bel rumah, yang berada di tembok pagar, dan tak lama kemudian terdengar suara derap kaki dari balik pagar.
            “Neng Maira!” ucap Bi Ijah riang, saat melihat Maira sambil membuka gerbang, “sudah lama tidak ke sini.”
            “Iya, Bi. Kangen deh sama Bi Ijah,” ucap Maira dengan senyum di wajahnya lalu memeluk tubuh renta itu.
            “Eh ... Mas Ben juga datang,” ucap Bi Ijah, senyum ramah itu selalu menghiasi wajah lelahnya.
            “Iya, Bi,” ucap Ben membalas senyuman ramah itu, lalu mengusap punggung Bi Ijah dengan lembut.
            “Mama sama Papa lagi ngapain, Bi?” tanya Maira.
            “Lagi nonton, Neng,” jawab Bi Ijah sambil menutup gerbang saat mereka sudah ada di tempat parkir mobil.
            Mereka berjalan menaiki beberapa anak tangga menuju pintu kayu kokoh dan berwarna hitam, yang langsung menuju ke ruang tamu. Satu set sofa berwarna hitam beserta meja berukuran persegi panjang berada di tengah-tengah keempat sofa tersebut, terlihat begitu kontras di ruangan yang berwarna putih bersih dengan cahaya lampu gantung, yang memancarkan cahaya putih dan terang. Sebuah pot kecil berisi bunga segar menghiasi meja panjang tersebut. Sebuah lukisan pemandangan pegunungan, menambah keindahan ruangan itu.
            Ruang tamu dan ruang TV dipisahkan oleh sebuah pemisah ruangan berbentuk rak cantik yang berisi berbagai macam pigura foto – yang kebanyakan berisi foto-foto masa kecilnya – dan patung-patung kecil yang terbuat dari keramik. Dari sela-sela rak itu, Maira bisa melihat Mama dan Papa sedang asik menonton TV, tampak sangat mesra.
            “Mama, Papa,” panggil Maira. Mama menengok ke arahnya dan langsung beranjak dari sofa, berlari kecil ke arah Maira.
            Maira tenggelam dalam pelukan Mama. Ia sangat merindukan pelukan ini. Pelukan hangat yang selalu membuatnya tenang, membawanya kembali ke masa kecil yang bahagia. Cukup lama mereka berpelukan, lalu Papa datang menghampiri dan membelai rambut Maira dengan lembut. Mama melepaskan pelukannya, memberikan ruang bagi Papa. Maira pun langsung memeluk Papa, aroma wangi yang sangat khas membuat Maira begitu rindu dengan pria ini.
            “Kamu baik-baik saja, Nak?” tanya Papa tanpa melepaskan pelukan itu.
            “Sangat baik, Pap,” jawab Maira sambil tersenyum di dalam pelukan itu, “bagaimana kabar Papa dan Mama?”
            “Baik, Nak. Kami baik-baik saja,” jawab pria itu sebelum mencium ujung kepala Maira.
            Papa melonggarkan pelukannya, menatap Maira dengan penuh kehangatan. Maira perlahan melepaskan pelukan itu, lalu menatap ke arah Ben yang berada di belakangnya, kemudian menggenggam tangan Ben. Pria itu langsung menjabat tangan Papa dan Mama yang menerimanya dengan tangan terbuka.
            “Papa, Mama, ada yang ingin kami sampaikan,” ucap Maira mencoba untuk langsung ke pokok pembicaraan.
            Mama menatap Maira dan tersenyum kecil, seakan tahu apa yang ada di benaknya. Tatapan lembut dan senyum hangat, yang selalu menghiasi wajah wanita itu, membuat Mama selalu terlihat cantik di usia yang sudah tidak muda lagi. Begitu juga dengan papa, wajah tampan dan karismatik tetap melekat di usianya sekarang.
            “Bagaimana kalau kita duduk dulu?” ajak Papa.
            Mereka pun berjalan menuju sofa besar yang ada di ruang tamu. Ben duduk di sebuah sofa kecil, sedangkan Maira dan orangtuanya duduk di sofa panjang. Ben terlihat sangat siap dan tidak ada sedikit pun ketakutan di mata pria itu. Maira menatap Ben, jatungnya mulai berdebar dengan cepat, berharap dan terus berdoa dalam hati agar Ben bisa meyakinkan Papa dan Mama, dan memperoleh restu dari mereka.
            “Apa yang ingin kalian bicarakan, Nak?” tanya Papa mulai membuka pembicaraan. Entah kenapa sepertinya Papa mengetahui apa yang akan Ben ucapkan. Suara Papa begitu berat dan tegas, menunjukkan sikap protektifnya, membuat jantung Maira berdebar semakin cepat.
            Maira duduk di antara Mama dan Papa. Ia menggenggam tangan Mama dengan erat. Maira sangat gugup saat ini, dan ia tahu kalau Mama bisa merasakan kegugupannya. Tangan dan kakinya semakin lama terasa semakin dingin, Mama mengusap punggung tangan Maira, mencoba untuk menenangkannya.
            “Begini, Om dan Tante ... saya ke sini bermaksud untuk meminta ijin sama Om dan Tante,” ucap Ben, menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya dengan cepat, “saya dan Maira sudah cukup lama menjalin hubungan, dan ... kami berencana membawa hubungan ini ke jenjang yang lebih serius.”
            “Mungkin saya lancang karena kemarin saya sudah melamar Maira secara pribadi. Tapi saat ini, saya ingin meminta ijin dan memohon restu langsung dari Om dan Tante .... Saya ingin memperistri Maira. Saya ingin menikahi Maira,” jelas Ben, lalu menghela dan menghembuskan napasnya lagi.
            “Saya mohon restu dari Om dan Tante, agar kami bisa melangkah ke arah yang lebih serius,” jelas Ben dengan nada penuh hormat. Pria itu menghentikan ucapannya, menunggu reaksi dari Papa.
            Maira pun tidak berkutik. Ia menunggu dengan debaran jantung yang semakin cepat. Matanya menatap ke arah Papa, lalu kembali menatap Ben. Maira dan Ben menunggu respon dari Papa, tapi tampaknya pria itu sedang berkutat dengan pikirannya sendiri.
            “Apa kamu bisa janji sama saya kalau kamu akan membahagiakan Maira, menjaga dan melindunginya seperti saya menjaganya?” tanya Papa tiba-tiba dengan suara yang tegas dan berat, benar-benar seperti ada sesuatu yang mengganjal hatinya.
            “Saya berjanji dan akan menepati janji saya, Om” jawab Ben dengan penuh percaya diri.
            Ada sedikit kegusaran di wajah Papa, membuat Maira semakin takut dan bingung. Entah apa yang akan terjadi, tapi jika Papa menolak, Maira pasti akan berusaha untuk meyakinkan Papa agar menerima lamaran Ben.
            Ia sangat mencintai Ben dan tidak ingin hidup tanpa kehadiran Ben di hidupnya. Hanya Ben satu-satunya pria yang ia inginkan menjadi suaminya. Menjadi pasangan hidupnya, satu-satunya orang yang akan menghabiskan sisa hidup bersamanya.
            “Apa kamu bisa menjamin kesejahteraan anak saya? Apa kamu sudah benar-benar yakin dengan perasaanmu? Karena ... “ Papa menghentikan perkataannya. Raut wajah itu terlihat sedikit menggerut, terlihat pergumulan yang begitu dalam sedang melanda Papa saat ini.
            Ben dengan sabar menunggu Papa untuk menyelesaikan ucapan itu. “Karena saya ... orangtua kandungnya ... mereka ...“ lanjut Papa ragu, lalu berhenti lagi, kemudian menarik dan menghembuskan napas dengan berat. Maira menjulurkan tangan dan menggenggam tangan Papa, mencoba memberikan ketenangan pada Papa, meskipun sebenarnya ia sendiri merasa gugup dan takut.
            Papa menoleh dan menatap Maira dalam-dalam. Kegundahan dan pergumulan itu terlihat begitu jelas di mata Papa. Maira mengerutkan keningnya, seakan memohon pada Papa agar tidak menolak lamaran itu. Papa menghembuskan napas sekali lagi, lalu kembali menatap ke arah Ben.
            “Saya tidak bisa melihat anak saya ini meneteskan air mata sedikit pun. Karena ... kalau saya melihat sedikit saja raut kesedihan di wajahnya, saya akan pastikan kalau kamu tidak akan hidup dengan tenang,” jelas Papa dengan nada sedikit mengancam.
            Maira terkejut mendengar kata-kata terakhir yang keluar dari mulut Papa. Ia menatap Papa dengan tatapan terharu sekaligus tak percaya. Ia tidak menyangka bahwa begitu besar rasa cinta dan kasih sayang Papa padanya. Air mata mulai menggenang di kelopak matanya, tapi ia mencoba untuk menahan air mata itu.
            “Saya berjanji, Om. Saya memang hanya bekerja sebagai karyawan swasta biasa, tapi saya bisa memastikan agar Maira hidup sejahtera dan bahagia, Om,” jawab Ben dengan sungguh-sungguh.
            Papa terdiam sesaat, lalu menoleh dan menatap ke arah istrinya. Terlihat senyum kecil di wajah Mama, tapi entah mengapa Papa tidak menunjukkan sedikit pun ekspresi di wajahnya. Apa yang Papa pikirkan? Apa Papa tidak menyukai Ben? tanya Maira dalam hati.
            Sejak awal, Papa memang tidak terlalu menyukai Ben. Saat pertama kali Maira mengenalkan Ben pada mereka, hanya Mama yang bisa menerima Ben dengan tangan terbuka. Namun berbeda dengan Papa. Pria paruh baya itu tampak sekali tidak menyukai kehadiran Ben dalam hidup Maira.
            Sampai pada suatu waktu di sore hari, saat mereka sedang asik duduk-duduk di kursi taman belakang rumah, yang begitu asri dan terawat, tiba-tiba Papa membuka pembicaraan tentang hubungannya dengan Ben.
            “Maira ... Papa mau tanya sesuatu sama kamu, Nak. Bolehkan?” tanya Papa saat itu, sebelum menyerup segelas kopi yang sangat harum.
            “Ada apa, Pap? Apa ada masalah di perusahaan Papa?” tanya Maira dengan nada agak khawatir.
            “Tidak, Nak. Perusahaan Papa baik-baik saja, bahkan tahun ini laba perusahaan semakin meningkat,” jawab Papa dengan wajah tenang. Maira menatap Papa dengan wajah penuh tanya.
            “Bagaimana hubunganmu dengan Ben?” tanya Papa langsung pada Maira. Meskipun ia sudah tahu bahwa saat ini akan terjadi, tapi tetap saja ia merasa terkejut mendengar pertanyaan itu.
            “Hubungan kami baik-baik saja, Pap. Kenapa? Apa ada sesuatu yang mengganggu pikiran Papa?” tanya Maira langsung.
            “Tidak, Nak. Papa hanya ingin tahu apakah kamu serius berhubungan dengan Ben?” jelas Papa. Tatapan hangat itu menatap Maira begitu dalam. Ia tahu Papa sangat mencintainya, begitu menjaga dan menyayanginya melebihi dirinya sendiri.
            “Saat ini kami memang serius menjalani hubungan, Pap. Tapi untuk pembicaraan ke arah yang lebih serius, aku belum mau membicarakannya. Kami baru saja menjalani hubungan ini sekitar tiga bulan, Pap,” jelas Maira pada Papa, raut wajah pria itu pun mulai berubah, menjadi lebih agak tenang.
            “Ada apa, Pap? Apa ada yang salah dengan Ben?” tanya Maira. Ia melembutkan suaranya, mencoba menenangkan perasaan Papa.
            “Tidak, Sayang. Papa hanya bertanya. Papa tidak ingin seorang pun menyakitimu, Nak. Kamu tahu Papa begitu mencintai dan menyayangimu, Maira,” jelas Papa mencoba menutupi kerisauan di wajah itu. Tapi, ia tidak bisa dibohongi.
            “Aku juga sangat mencintai dan menyayangi Papa. Tapi aku mohon sama Papa, jelaskan padaku ada apa, Pap? Kenapa Papa tampak begitu khawatir?” tanya Maira. Ia beranjak dari kursi, melangkah menuju kursi Papa dan bersimpuh di atas kaki pria itu.
            “Katakan padaku, Pap. Aku tidak bisa melihat wajah Papa seperti ini. Katakan padaku, Pap,” bujuk Maira sambil menatap lembut ke arah Papa. Pria itu mengangkat tangan lalu membelai rambut panjang Maira yang terurai indah sambil menatapnya dengan pandangan memuja dan penuh kehangatan. Tatapan yang selalu membuat dirinya merasa bagaikan seorang putri kecil.
            “Tidak apa-apa, Nak. Maafkan Papa karena sudah membuatmu khawatir,” ucap Papa sebelum pria itu mencium kening Maira dengan lembut. Ia memeluk kedua kaki Papa dengan manja dan kehangatan pun mulai menyelimuti dirinya.
            Maira tidak suka melihat raut wajah Papa yang tampak risau dan khawatir. Ingin sekali ia mengatakan pada Papa untuk mengungkapkan semua isi hatinya pada Maira. Ia bukanlah tipe anak yang suka membantah. Ia sangat mencintai orangtuanya, terutama Papa.
            Papa selalu memberikan apa pun yang ia inginkan. Tidak pernah sekali pun pria itu marah padanya, bahkan Papa memperlakukannya bagaikan seorang putri raja. Hal itu membuat Maira sama sekali tidak bisa tenang ketika melihat kerisauan yang menyelimuti pikiran dan hati Papa.
            Maira akan melakukan apa pun – apa pun – untuk menghilangkan kerisauan yang menyelimuti wajah Papa. Bahkan saat itu ia rela melepaskan Ben demi membuat Papa tenang.
            Tapi itu dulu. Tiga tahun yang lalu. Dan sekarang, Papa memperlihatkan raut wajah itu lagi. Raut wajah yang pernah ia lihat saat di taman belakang waktu itu. Kerisauan dan kekhawatiran langsung tampak di wajah itu.
            Apakah Papa akan menolak lamaran Ben? Apakah Papa tega melakukan hal itu padaku? Mungkin jika saat itu Papa menyuruhku meninggalkan Ben, aku mungkin akan melakukannya. Tapi saat ini, saat aku benar-benar jatuh cinta dan tidak bisa hidup tanpa Ben, aku tidak mungkin melakukannya. Aku tidak bisa, ucap Maira dalam hatinya.
            Ingin rasanya Maira menangis dan memohon pada Papa. Saat ini, ia akan melakukan apa pun agar Papa merestui dan menerima lamaran ini. Papa menatap Maira dalam-dalam, terlihat sekali di mata itu kalau Papa ingin sekali menolak lamaran Ben. “Please,” ucap Maira hanya dengan gerakan bibir tanpa suara.
            Papa menarik dan menghembuskan napas, lalu menatap kembali ke arah Ben. “Baiklah. Saya merestui dan menerima lamaranmu,” kata Papa dengan cepat.
            Air mata Maira langsung mengalir di pipinya. Maira mencoba menahan isakan tangisnya, tapi ia tidak bisa karena perasaan haru dan lega yang menyelimuti dirinya saat ini sangatlah besar.
            “Papa,” ucap Maira diiringi isakan tangis.
            “Iya, Anakku. Papa merestui kalian,” jawab Papa.
            Maira langsung beranjak dari tempatnya dan bersimpuh di kaki Papa. Ia memeluk kedua kaki itu dengan erat dan seketika itu juga tangisan Maira meledak semakin keras. Mama hanya bisa tersenyum bahagia dan membelai rambut Maira dengan penuh rasa cinta.
            “Terima kasih, Papa. Terima kasih, Mama,” ucap Maira sambil tetap memeluk kaki Papa bagaikan seorang gadis kecil yang begitu manja.
            “Semoga kalian bahagia, Nak. Doa kami selalu menyertai kalian,” ucap Papa.
            Lalu, Papa menengadahkan wajah Maira, membantunya berdiri, dan memeluknya dengan erat. Tangis bahagia bercampur rasa haru mengisi ruangan itu. Tak lama kemudian, Maira mencoba menghentikan tangisnya. Papa melepaskan pelukan itu dan menyerahkan tangan Maira pada Ben.
            “Jaga anak kesayanganku ini. Jangan pernah kamu sakiti dia. Bahagiakanlah dia lebih dari yang pernah kuberikan padanya,” pesan Papa pada Ben.
            “Saya berjanji, Om,” janji Ben pada Papa sambil menerima Maira dan menjabat tangan Papa dan Mama.
            Terima kasih, Papa.

∞∞∞∞∞

Tidak ada komentar: