PART 9
Akhirnya
Desi bisa membuat Mike setuju dengan apa yang ia mau. Dia merasa senang sekali.
Rasanya ia ingin sekali memeluk pria yang saat ini sedang duduk merenung di
sampingnya. Ia ingin berterimakasih pada Mike, setidaknya walaupun pria itu
sudah membuatnya kesal, akhirnya Mike mau mempercayainya untuk melakukan
pekerjaannya sendiri.
Mereka
berdua masih duduk di atas tempat tidur yang empuk itu. Desi masih bisa
merasakan bibirnya yang basah akibat ciuman indah yang Mike berikan padanya.
Dia ingin sekali merasakannya lagi, namun dengan pernyataan Mike barusan
membuat Desi mengesampingkan sesaat kenikmatan dari ciuman itu.
Pria
itu pencium andal. Ciumannya begitu memabukkan, membuat Desi tak bisa menolak.
Bahkan membuatnya ketagihan. Tapi mulai sekarang Desi benar-benar harus menjaga
jarak dari Mike. Kalau tidak, Desi tidak tahu apakah ia bisa menahan gairahnya
lagi atau tidak.
"Mike.",
panggil Desi dengan nada halus. Mike langsung menatapnya dan mencoba untuk
mendengar apa yang ia katakan.
"Bisakah
kau meminta doktermu untuk melepaskan infus ini? Ku rasa aku sudah tidak
memerlukannya lagi.", pinta Desi.
"Kau
yakin?", tanya Mike.
"Ya.
aku yakin. Aku rasa aku baik-baik saja.", jawab Desi sambil tersenyum
"Baiklah.",
kata Mike.
Pria
itu pun mengeluarkan ponselnya, lalu menelepon Alex. Beberapa menit kemudian
Alex beserta dokter datang menghampiri mereka. Saat dokter itu memeriksa Desi
untuk memastikan kondisinya, Desi memperhatikan Mike yang berubah menjadi
pendiam dan murung.
Mike
menjauh dan tidak memandangnya sedikitpun. Sesekali ia mencuri pandang ke arah
Mike, namun pria itu sama sekali tidak melihat ke arahnya. Desi berfikir,
mungkin Mike mencoba untuk menjaga jarak dengannya, yang mana hal itu baik
untuk mereka berdua. Dan Desi sangat berterima kasih pada Mike karena mau
melakukannya.
Akhirnya
dokter itu melepaskan jarum infus dari lengannya lalu menempelkan kapas dan
perekatnya untuk menahan darah yang akan keluar. "Terima kasih sudah merawatku.",
kata Desi kepada Alex dan dokter itu diiringi dengan senyuman.
"Baiklah.
Sekarang saatnya bekerja. Sudah hampir setengah tiga.", kata Desi sambil
melihat jam tangannya. Ia pun beranjak dari tempat tidur menuju tas nya yang
diletakkan di atas meja di samping tempat tidurnya. Ia mengeluarkan lembaran
kertas yang berisikan susunan acara.
Lalu
ia memberikannya kepada Mike yang sedang berdiri di salah satu sisi tembok
sambil memainkan ponselnya. "Ini.", kata Desi sambil menyodorkan
kertas-kertas itu ke hadapan Mike. "Apa ini?", tanya Mike. Namun pria
itu tidak ingin memandang wajahnya. Aneh. Pikir Desi.
"Ini
susunan acara yang aku buat. Kalau kau setuju, aku akan memberikannya ke
MC.", jelas Desi.
Pria
itu mengambil kertas yang Desi berikan. Membacanya sekilas, lalu mengembalikan
kertas itu kepada Desi. "Semua sudah OK.", kata Mike sambil lalu.
Desi
menerima kertas itu, lalu Mike pergi begitu saja dari ruangan itu tanpa sepatah
kata pun. Ah sudahlah. Kata Desi dalam hati. Biarkan saja dia mau berbuat apa, yang penting aku akan
menyelesaikan pekerjaan ini dengan sebaik mungkin lalu pergi dari hidupnya. Pikir Desi.
Lembaran
kertas itu ia masukkan kembali ke dalam tas laptopnya, lalu ia pun keluar dari
ruangan itu. Kamar yang begitu besar, indah, tertata rapih dan pemandangannya
yang menakjubkan bagaikan surga. Desi membayangkan andaikan ia memiliki kamar
seperti itu, ia pasti akan betah berlama-lama di dalamnya. Ia pun melangkahkan
kakinya keluar dari kamar itu dan berjalan menuju lift.
∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞
"Baiklah.
Semua sudah beres. Sekarang tinggal memberikan susunan acara ini ke MC.",
gumam Desi sambil berjalan meninggalkan ruang auditorium. Desi memeriksa sekali
lagi checklist-nya. Setelah
ia yakin semuanya sudah siap, ia pun keluar dari ruangan itu dengan hati yang
sangat senang.
Semua
barang-barang yang akan dijadikan bahan hadiah dan doorprice akan
tiba malam ini. Besok pagi-pagi sekali ia sudah harus tiba di hotel ini untuk
memeriksa jumlah dan kerapihan vendornya dalam menyiapkan hadiah-hadiah
tersebut.
Ia
memasukkan kembali checklist-nya
ke dalam tas laptop sambil berjalan keluar. Desi masuk ke dalam lift dan
menunggu dengan hati riang hingga pintu lift itu terbuka dan ia tiba di lantai
dasar hotel itu.
"Sore,
Pak Alex.", sapa Desi saat melihat Alex yang sedang berdiri di depan meja
resepsionis.
"Sore,
Mba Desi.", sapa Pak Alex sambil tersenyum.
"Aku
akan pulang. Apakah di sini ada taksi atau semacamnya?", tanya Desi kepada
Pak Alex.
"Mba
Desi mau pulang?", tanya Pak Alex memastikan
"Iya,
Pak. Soalnya saya masih harus mengurus beberapa hal kecil lagi. Besok
subuh-subuh sekali saya sudah harus sampai di sini untuk pengecekan terakhir.
Karena para tamu akan datang sekitar jam sepuluh siang.", jela Desi pada
Pak Alex.
"Baiklah.
Saya akan ke ruangan Tuan Larosky untuk memastikan siapa yang akan mengantar
Mba Desi. Soalnya tadi Tuan Larosky bilang kalau Mba Desi akan menginap di
sini.", kata Pak Alex.
Desi
menunggu di depan meja resepsionis. Dia memperhatikan sebuah piano besar
berwarna hitam pekat. Tampak begitu elegan. Saat masih kecil, Desi ingin sekali
bisa bemain piano. Tapi karena dulu kondisi keuangan kedua orang tuanya masih
belum baik, akhirnya Desi mengubur dalam-dalam keinginannya itu.
Desi
mengambil ponselnya dan memberi kabar kepada kedua temannya. Lalu ia pun
memberi kabar kepada kedua orang tuanya, kalau akhir minggu ini ia tidak bisa
berkunjung ke sana karena ada pekerjaan yang harus dia lakukan.
Ia
melihat jam yang terpampang di layar ponselnya. Sudah setengah tujuh malam. Dia
benar-benar harus berangkat sekarang, kalau tidak ia akan terlambat sampai ke
rumah. MC kenalannya akan tiba di rumah sekitar jam sembilan malam. Kalau
sekarang ia tidak berangkat, ia pasti akan membuat MC itu menunggu di halaman
rumahnya.
"Huh...
Lama sekali.", gerutu Desi.
"Siapa
yang lama?", tanya Mike. Suara Mike, yang terdengar tepat di belakang
tubuhnya, membuat Desi terkejut. Pria itu terlihat berantakan. Rambutnya
sedikit acak-acakan. Wajahnya begitu kusut. Seperti ada masalah besar yang
sedang dihadapi oleh pria itu.
"Aku
harus pulang sekarang. Ada seseorang yang akan datang ke rumahku. Kalau aku
tidak berangkat sekarang, aku akan membuatnya menunggu.", jelas Desi tanpa
disuruh.
"Siapa?",
tanya Mike
"Kenalanku.
Dia yang akan membantuku besok.", jawab Desi.
"Siapa
dia?", tanya Mike lagi
"Aduuuhhh...
Kalau kau bertanya terus, waktuku akan benar-benar terbuang. Ini penting
soalnya.", kata Desi tanpa menjawab pertanyaan Mike.
"Sepenting
itukah dia?", kata Mike dengan nada ketus.
"Aahh...
Terserah. Kalau kau mau berlama-lama di sini. Aku akan mencari taksi dan pulang
sekarang.", kata Desi kesal.
"Aku
yang akan mengantarmu pulang.", kata Mike singkat. Raut wajahnya berubah.
"Apa?",
tanya Desi memastikan apa yang ia dengar.
"Telingamu
masih berfungsi dengan baik, kan? Aku bilang aku yang akan mengatarmu.",
kata Mike lagi sambil membalikkan badannya dan berjalan pergi.
Desi
tidak mengerti ucapan pria itu. Apakah
maksudnya pria itu yang akan mengantarkannya pulang? Mike yang menyetir? Lalu
buat apa ada supir? Aneh. Pikir Desi.
Ia
pun berjalan mengikuti arah kaki Mike. Mereka berjalan menuju pintu keluar
dimana mobil jaguarnya sudah menunggu di depan pintu. Desi memperhatikan Mike
yang meminta kunci dari supirnya, dan wajah supir yang kebingungan dengan
tingkah laku tuannya. Si supir memberikan kunci mobil itu kepada Mike.
"Ayo
masuk. Aku akan mengantarmu pulang.", perintah Mike sambil membukakan
pintu untuk Desi.
"Nggak
salah?", tanya Desi lagi memastikan.
"Kau
mau pulang atau tidak?", tanya Mike dengan nada kesal.
"Baiklah.",
jawab Desi singkat. Ia pun masuk ke dalam mobil dan Mike menutup pintunya
dengan lembut.
Pria
itu duduk di belakang kemudi, lalu menyalakan mesin mobilnya. Mereka pun
berangkat meninggalkan hotel mewah itu. Mike sama sekali tidak berbicara, dan
Desi mulai merasakan bosan yang tak terhingga. Ia mengambil ponselnya dan
membalas beberapa pesan masuk.
Salah
satu pesan masuk berasal dari ibunya, yang mengatakan kalau dia tidak boleh
terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Dia harus memikirkan dirinya, harus mencari
pengganti Steve dan membangun sebuah rumah tangga.
Saat
membaca nama Steve di dalam pesan itu, pikirannya langsung kembali ke masa
lalunya. Pengkhianatannya. Keterpurukannya. Hatinya benar-benar sakit.
Ia
langsung memasukkan ponselnya ke dalam tas jinjing kecilnya dan meletakkan tas
itu di pangkuannya. Mike mengendarai mobil itu dengan penuh konsentrasi.
Sebagian dirinya ingin sekali mengajaknya berbicara. Tapi bagian lain dirinya,
berusaha untuk menjaga jarak.
Perjalanan
mereka cukup lancar, membuat mereka tiba di halaman rumah Desi lebih cepat dari
yang ia perkirakan. Desi mengeluarkan ponselnya dan menekan nomor MC tersebut.
"Halo...Ryan...
Iya, ini aku sudah sampai rumah. Kamu bisa ke sini sekarang, kan? Biar nggak
kemalaman.", kata Desi.
"Baiklah.
Aku tunggu, ya.", kata Desi lagi. Ia pun memasukkan ponselnya lagi ke
dalam tas. Lalu mengambil tas laptopnya.
"Terima
kasih sudah mau anterin aku. Maaf ya, aku sudah ngerepotin.", kata Desi.
Ia menatap Mike yang ternyata memperhatikannya sedari tadi. Wajahnya penuh
pertanyaan dan sedikit aura marah terpancar di matanya.
"Aku
akan mengantarmu sampai depan pintu.", kata Mike singkat. Pria itu
mematikan mesin mobilnya, lalu keluar dari mobil itu. Mike melangkah ke sisi
pintu Desi dan membukakan pintu untuknya. Desi keluar dari mobil itu dan Mike
dengan segera menutup pintunya, lalu menguncinya.
Mereka
berjalan menuju pintu rumah Desi yang masih gelap gulita. Desi mengeluarkan
kunci rumahnya dari dalam tas dan membukakan pintunya. Rumahnya begitu gelap
gulita. Pandangannya terhalang oleh kegelapan yang begitu pekat.
"Tunggu
di sini. Aku akan menyalakan lampunya sebentar.", pinta Desi. Mike pun
menunggu dan duduk di salah satu kursi yang ada di teras rumah. Tak lama
kemudian, cahaya lampu mulai menyinari satu per satu ruangan di dalam rumah
itu.
"OK.
Terima kasih untuk semuanya, ya Mike.", kata Desi sambil menghampiri Mike
yang masih duduk di kursi teras.
"Kau
tidak pulang?", tanya Desi yang bingung melihat Mike yang sama sekali
tidak beranjak dari kursi itu.
"Aku
akan menunggu di sini sebentar.", jawab Mike.
"Maksudnya?",
tanya Desi balik, kebingungan.
"Iya.
Aku akan menunggu orang yang akan kau temui malam-malam. Tidak baik seorang
wanita menerima tamu malam-malam begini. Apalagi yang mau datang sekarang pasti
laki-laki, kan?", kata Mike dengan nada protektif.
"Lah...trus
kamu? Bukannya kamu juga laki-laki?", tanya Desi kesal.
"Aku
beda. Aku bisa mempertanggung jawabkan segala perbuatanku.", jelas Mike.
"Hahahaha...
kau ini lucu.", kata Desi sambil tertawa. Ia berjalan menuju kursi teras
yang berada di samping Mike dan duduk di sana.
"Aku
ini sudah besar. Bukan anak kecil yang butuh perlindungan atau
semacamnya.", kata Desi ringan.
"Ya...Ya...
Terserah apa yang akan kau katakan, yang pasti aku akan menunggu di sini sampai
pria itu datang.", kata Mike mencoba tidak memperdulikan Desi yang
tersenyum geli melihat tingkah laku Mike.
"Terserahlah.
Kalau kau mau menunggu, ya tunggu saja. Aku akan membuatkan minuman. Kau mau
minum apa?", tanya Desi.
"Tidak
perlu. Aku akan menunggu di sini.", jawab Mike.
"Ya
sudah. Aku mau mandi dulu. Kalau Ryan datang, bisa minta tolong suruh dia
menunggu?", pinta Desi.
Pria
itu mengangguk dan mengeluarkan ponselnya lalu membaca-baca berita melalui
ponselnya. Desi masuk ke dalam rumah dan ia pun membuatkan segelas teh manis
untuk Mike. Setelah ia membuat teh manis, ia mengantarkannya ke luar dan
meletakkannya di atas meja kecil.
"Diminum
saja dulu. Lumayan untuk menghangatkan diri.", kata Desi kemudian ia pun
meninggalkan pria itu sendiriian di teras rumahnya. Ia berjalan menuju kamarnya
dan masuk ke kamar mandinya. Dengan cepat ia melepaskan seluruh pakaiannya dan
menghidupkan kran air bathtub-nya.
Tamunya
mungkin akan tiba, namun ia menyempatkan diri untuk berendam sebentar. Musik
mengalun dari ipod-nya
dan ia pun mulai merasakan ketenangan di setiap jengkal tubuhnya. Air hangat
menenangkan hatinya dan menghilangkan lelah yang ada di tubuhnya. Ahhh...ini adalah surga dunia. Kata Desi dalam hati.
"Berapa
lama lagi kau akan tertidur di dalam sana?". Suara Mike membangunkan Desi
dari tidurnya. Ia begitu lelah hingga tak sadar bahwa ia tertidur di dalam bathtub-nya. Mike berdiri di pintu kamar mandinya dan
tidak menatapnya sama sekali.
Pria
itu memalingkan wajahnya, berusaha untuk tidak melihat ke arahnya. Mike langsung
pergi dari kamarnya, setelah membangunkan Desi dari tidurnya. Pria yang sopan. Pikir Desi. Ia pun keluar dari bathtub-nya dan mengeringkan tubuhnya dengan handuk.
Dengan
cepat ia mengenakan pakaiannya dan menyisir rambutnya. Setelah ia berpakaian,
Desi langsung berjalan keluar kamarnya menuju teras rumah. Di luar terlihat
Ryan yang sedang berbicara dengan Mike. Mereka terlihat santai, saling
bercengkrama.
Desi
melihat Ryan yang sedang berdiri dan Mike sedang duduk di kursinya. Mereka
sedang menertawakan sesuatu, entah apa itu. Mereka pun memandang Desi yang
datang menghampiri.
"Waw...
Cantik sekali kau hari ini.", puji Ryan saat melihat Desi yang datang
menggunakan kaos santai dan celana yang ukurannya cukup minim. Mike melihat ke
arahnya dan pria itu langsung memalingkan wajahnya kembali ke arah Ryan.
"Apa
yang kalian bicarakan? Sepertinya kalian cepat akrab.", tanya Desi ingin
tahu.
"Pacarmu
ini orangnya asik juga, ya. Senang sekali berkenalan dengannya.", kata
Ryan
"Ehhh...Apa
kau bilang? Pa...", kata Desi
"HEI...
Katanya kamu mau kasih dia susunan acara. Cepat ambil. Kasihan Ryan. Dia nunggu
lumayan lama, loh.", kata Mike seraya memutus perkataan Desi. Ia memandang
Mike dengan pandangan penuh curiga. Desi membalikkan badannya dan masuk ke
dalam rumah. Ia mengambil susunan acara itu dari dalam tasnya, lalu
memberikannya kepada Ryan.
"Baiklah.
Sepertinya aku harus pulang. Sudah malam. Besok kita harus tempur, nih.",
kata Ryan sambil memasukkan lembar susunan acara itu ke dalam tasnya.
"Malam,
Mike. Senang berkenalan denganmu. Sampai ketemu besok.", kata Ryan.
"Hati-hati,
bro. Sampai ketemu besok.", balas Mike.
Desi
memperhatikan gaya Mike berbicara dengan Ryan. Sungguh berbeda sekali ketika
Mike berbicara dengannya. Desi melambaikan tangannya saat Ryan pergi
meninggalkan rumahnya. Mike pun kembali asik dengan ponselnya.
"Apa
maksudnya tadi?", tanya Desi kesal.
"Yang
mana?", tanya Mike seakan tidak mengerti.
"Itu
tadi. Kau bilang padanya kalau kau itu 'pacarku'", jelas Desi.
"Oh.
Itu.", jawab Mike singkat. Ia meneguk teh manisnya.
"Apa
maksudnya?"
"Menurutmu,
kalau aku mengatakan aku bukan pacarmu, apakah aku boleh masuk ke dalam kamarmu
dan membangunkanmu saat di bathtub?",
tanya Mike santai.
"Ya...
tapikan nggak harus ngaku jadi pacar. Kan bisa bilang saudara atau apa
gitu.", proters Desi.
"Ahh...
sudahlah... tidak usah diperpanjang.", sambut Mike dengan nada malas.
Desi
memperhatikan pria itu yang masih saja asik dengan ponselnya. "Trus. Kamu
nggak pulang?", tanya Desi.
"Besok
mau berangkat jam berapa?", tanya Mike
"Aku
berangkat dari sini jam tiga subuh. Karena ada beberapa hal yang masih harus
aku cek ulang.", jelas Desi.
"Baiklah.
Besok kita akan berangkat jam empat subuh."
"Maksudmu?"
"Ya...besok
aku yang akan mengantarmu lagi. Jam empat subuh, kan."
"Trus?
Kamu nggak pulang atau gimana? Aku jadi nggak ngerti."
"Kalau
kamu nggak ijinin aku nginep di rumahmu, ya aku tinggal tidur di mobil. Tidak
masalah bagiku."
"Hah!!!
Apa kau sudah gila?"
"Nggak.
Kenapa? Lagian seorang wanita tidak baik tinggal di rumah ini sendirian. Kalau
ada apa-apa bagaimana? Lagi pula sepertinya kau terlalu lelah. Buktinya tadi
kau sampai tertidur saat kau sedang mandi. Bisa-bisanya.", jelas Mike
sambil tertawa kecil.
"Hadeh...
Kamu itu terlalu horor pemikirannya. Memangnya menurutmu selama aku tinggal di
sini sendirian, aku nggak aman gitu?"
"Yap.",
jawab Mike singkat sambil asik bermain game di ponselnya.
"Ya
sudah! Terserah! Aku lelah berdebat denganmu."
"Good night.",
kata Mike tanpa menghiraukan Desi yang kesal.
Desi
masuk ke kamarnya. Ia mempersiapkan pakaiannya, yang akan digunakan selama tiga
hari di sana, dan memasukkannya ke dalam koper kecil. Dia juga memasukkan
peralatan make up-nya
serta alat mandinya ke dalam tas kecil.
Setelah
semuanya selesai, ia memastikan sekali lagi barang-barangnya agar tak ada yang
tertinggal satu pun. Ia meletakkan koper kecilnya tepat di samping pintu
kamarnya. Lalu, ia juga membereskan berkas-berkas yang diperlukan untuk acara
besok serta laptop dan buku catatannya.
Desi
kembali ke dalam kamarnya dan berbaring di atas tempat tidurnya. Beberapa menit
ia berbaring di atas tempat tidurnya, namun tak sedikit pun ia merasakan
kantuk. Desi memikirkan Mike yang sedang duduk di teras depan. Entah apa yang
pria itu inginkan.
Semenjak
bertemu dengannya, rasanya pria itu seperti mendominasi kehidupannya. Selalu
mengatur dan berusaha berbuat semaunya. Sejenak ia memikirkan Mike. Perasaannya
sangat terganggu membayangkan pria itu tidur di dalam mobilnya. Bukankah tidak aman jika tidur di dalam mobil? Pikir Desi berulang-kali.
Setelah
setengah jam berkutat dengan pikirannya, akhirnya Desi bangun dari tidurnya dan
berjalan keluar dari kamar tidurnya. Ia memperhatikan dari jauh, Mike masih
duduk di depan teras. Ah...pria ini
memang keras kepala. Pikirnya.
"Masuklah.",
kata Desi. Akhirnya ia menyuruh Mike untuk menginap di rumahnya. Dia tidak tega
melihat pria itu menyiksa dirinya sendiri hanya karena keangkuhan dan
egoisme-nya.
"Kau
bisa tidur di sofa tamu. Tapi ingat. Jangan macam-macam, ya!", pesan Desi.
"Baik,
Tuan Putri.", jawab Mike.
Lalu
mereka pun masuk ke dalam rumah, Desi menutup dan mengunci pintunya.
∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞