Selasa, 13 Juni 2017

A STRUGGLE HEARTS (21+) - BAB 10




BAB 10

            D’aphrodite. Ya. Nama band itu terngiang di pikiran Maira, bagaikan kaset rusak yang terus berbunyi dan mengucapkan kata yang sama secara terus menerus. Maira duduk di dalam mobil, terdiam dan tidak banyak bicara selama perjalanannya menuju rumah.
            Ben menjemputnya tepat saat ia selesai mengurus acara itu sekitar pukul enam sore. Acara singkat, mewah dan benar-benar tidak akan pernah ia lupakan. Pak Sudarsono menghampirinya sebelum pria itu pergi meninggalkan hotel. Pria paruh baya itu menjabat tangannya dengan erat, lalu mengecup punggung tangannya dengan sangat lembut. Benar-benar pria yang sangat menyanjung dan menghormati wanita.
            Sebelum Pak Sudarsono masuk ke lift, pria itu mengatakan kalau tamu spesialnya sangat senang bisa tampil di acara ini dan kemungkinan besar akan menghubungi Maira untuk menyusun beberapa acara mereka yang akan diadakan di Jakarta.
            Maira benar-benar tidak mengerti apakah ia harus senang atau takut. Mengingat pandangan tajam dan senyum nakal yang diberikan padanya sebelum Nico pergi dari hadapannya, membuat bulu kuduknya berdiri seketika.
            “Kamu kenapa, Sayang?” tanya Ben yang memperhatikan Maira termenung.
            “Nggak apa-apa, Ben. Aku cuma sedikit lelah,” jawab Maira lemah.
            “Kamu yakin? Kamu sudah makan?” tanya Ben, khawatir.
            “Sudah,” jawab Maira singkat, “aku benar-benar lelah hari ini, Ben.”
            Ben tidak bertanya lagi dan kembali memusatkan perhatiannya ke arah jalan. Suasana dalam mobil terasa sepi, lalu Maira menyalakan radio. Ia menatap ke arah jendela mobil dan memperhatikan kepadatan di sore itu sambil mendengarkan suara pembawa radio yang terdengar begitu riang, menghibur para pendengar yang bosan dan lelah di tengah kemacetan Jakarta yang selalu menghantui setiap hari.
            Baru saja ia ingin memejamkan mata, sebuah alunan lagu yang diputar oleh radio itu seakan membangunkannya dari lamunan sesaatnya. Musik itu, lagu itu, suara itu, seakan mengikuti dan menghantuinya.
            ‘I am present in your life, in your every day, at every step you take
            I am present in each of your tears, in each of your pains
            You look at me with your beautiful smile
            Touching me deep down
            But your heart, your soul, your body ... is not mine'
            Dengan cepat Maira mengganti saluran radio itu dan menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya dengan perlahan. Ia benar-benar butuh istirahat hari ini. Pertemuan yang tidak terduga itu seakan menghabiskan energi dalam tubuhnya. Dan ia tidak tahu kenapa dirinya bereaksi sangat aneh setiap kali bertemu dengan pria itu.
            Tubuhnya seakan-akan menjerit dan hilang kendali seketika setiap kali bertemu dengan pria itu. Ia tidak mengerti kenapa. Kehadiran pria itu seakan merongrong jiwanya yang kelaparan dan haus akan sesuatu. Sesuatu yang belum pernah sama sekali ia rasakan, bahkan dengan Ben sekali pun.
            Maira menarik tuas kursi, merebahkan sandarannya, dan berbaring sejenak di sana. “Tidurlah, Sayang. Nanti aku bangunin kalau sudah sampai rumah,” ucap Ben sebelum akhirnya Maira memejamkan mata dan terlelap dalam perasaan lelahnya.
∞∞∞∞∞
            “You’re mine, Maira ... you’re mine.
            Maira membuka matanya, menatap sekelilingnya yang dipenuhi warna putih, bersih dan kosong. Apa aku sudah mati? pikir Maira sedih.
            “You’re mine, Maira ... you’re mine.
            Maira membalikkan badan, mencari-cari asal suara itu. Suara itu tidak asing bagi telinganya. Dalam, berat, dan terdengar bagaikan ancaman yang menyenangkan.
            “You’re mine, Maira.
            Suara itu lagi dan Maira semakin ketakutan. Ia tidak tahu dari mana asal suara itu, ia hanya seorang diri dan tak ada setitik pun warna lain selain warna putih bersih yang ada di depan matanya. “Halo!” teriak Maira, berharap ada yang datang dan menemaninya di tempat yang semakin lama membuat dirinya takut.
            Sebuah tangan mencengkram dan menarik tangannya dengan keras. Maira tersentak dan terkejut saat tubuhnya berada dalam dekapan hangat yang membuatnya merasa tenang dan aman. “You’re mine, Maira,” ucap pria itu.
            Dengan cepat Maira menengadahkan wajahnya, menatap asal suara itu. Perasaan takut dan nyaman bercampur menjadi satu, membuatnya tidak mengerti apa yang sebenarnya ia rasakan saat itu. Mata cokelat almond itu menatapnya dalam-dalam.
            Tatapan itu terasa begitu panas, membuat aliran darah dalam tubuhnya seperti mendidih dan bergelora “You’re mine, Maira,” ucap Nico sebelum bibir indah itu menciumnya dengan lembut dan perlahan-lahan berubah menjadi ciuman yang dalam dan penuh hasrat.
            Seluruh saraf di tubuhnya berteriak kegirangan, yang membuat dirinya kehilangan akal dan tidak berpikir sama sekali. Ia pun menyambut bibir itu dan membuka bibirnya, membiarkan Nico menjelajahinya dengan bebas. Nico mengecap lidahnya dan menarik bibir bawah Maira, menggigitnya dengan sangat lembut. Tubuh Maira bergetar hebat karena sensasi liar yang belum pernah ia rasakan, membuatnya kecanduan.
            Tangan Nico memeluk Maira dengan erat, membungkusnya dengan kehangatan yang terpancar dari tiap sentuhan kulit pria itu di tubuhnya. Maira mengangkat tangannya, sangat berani dan tak ada ragu sedikit pun. Ia meraba dada Nico yang begitu keras dengan debaran jantung yang sama cepatnya dengan debaran jantungnya sendiri.
            Maira menutup matanya, meresapi setiap sentuhan dan bibir lembut itu. Pikiran Maira benar-benar melayang, napasnya terengah-engah, dan jantungnya berdebar dengan sangat cepat. Ia tidak ingin rasa ini hilang dari dalam dirinya. Ia ingin terus dan terus merasakan sentuhan dan bibir itu.
            Ciuman itu bagai memuja dirinya, menyentuhnya dengan sensual, dan menjelajahi dirinya begitu dalam. Nico menciumnya semakin dalam dan liar, membuat kakinya terasa goyah. Tangan kanan Nico menyusup ke balik kemejanya dan menyentuh kulit Maira yang lembut dengan penuh kehangatan. Begitu hangat hingga ia ingin kehangatan itu menyentuh tiap jengkal tubuhnya.
            Tangan kiri pria itu mencengkram leher Maira dengan lembut, membuat ciuman mereka semakin dalam dan semakin liar. Maira memberanikan diri untuk membuka matanya dan memperhatikan mata Nico yang mengunci tatapannya dengan penuh gairah. Seketika itu pula, sesuatu dalam dirinya seperti meledak hebat sampai ke puncak kepalanya.
            Matanya kembali terpejam dan ciuman Nico terasa semakin manis, nikmat, dan penuh gairah. Ia senang dan bahagia melihat Nico yang ternyata menikmati hal ini sama seperti dirinya. Maira merasa kalau dirinya sudah gila karena menikmati ciuman itu.
            Oh Tuhan, kenapa aku bisa luluh begitu saja padanya? pikir Maira sekelebat yang akhirnya menyadarkannya dari kegilaan sementara itu. Maira membuka matanya, mencoba melepaskan tautan bibir itu dan mendorong tubuh itu sedikit menjauh darinya. Tapi betapa terkejutnya Maira saat menemukan wajah Ben yang berada begitu dekat, sedang menciumnya dengan rakus.
            Dengan kasar Maira melepaskan ciuman itu dan mendorong tubuh Ben. Napasnya terengah-engah, takut dan marah. Ia tidak tahu kenapa perasaan marah itu muncul ketika menyadari bahwa Ben-lah yang menciumnya, bukan Nico. Sedangkan ia tahu dan sadar kalau pria yang bersamanya saat ini adalah tunangannya. Calon suaminya.
            “Maafkan aku, Ben,” kata Maira sambil menundukkan kepala, ia tidak berani menatap Ben. Ia benar-benar merasa bersalah karena secara tidak langsung ia sudah mengkhianati Ben. Pria lain menyusup ke dalam alam bawah sadarnya, menciumnya dan yang lebih membuatnya merasa semakin bersalah adalah ia merasa senang dan gairahnya kembali bangkit saat membayangkan dirinya sedang berciuman dengan Nico.
            Ini nggak benar. Ini salah. Aku harus menjernihkan kepalaku dan menata perasaanku yang entah kenapa berubah menjadi tidak karuan seperti ini, gerutu Maira dalam hatinya.
            “Aku yang minta maaf karena sudah menciummu diam-diam, Sayang –“
            “Nggak, Ben. Ini ... ini bukan salahmu. Aku hanya terlalu lelah saja. Aku ... aku benar-benar butuh istirahat sekarang,” jawab Maira dengan penuh penyesalan.
            Ben menggenggam tangannya dan menatapnya dengan hangat. Maira membalas tatapan itu dan ada sedikit perasaan takut dalam dadanya. Ia takut Ben bisa merasakan apa yang sedang ia rasakan saat ini. Ia tidak ingin Ben tahu kalau ada pria lain yang mulai mengusik perasaannya.
            “Maafkan aku, ya,” kata Ben lagi sambil tersenyum lembut.
            Oh Tuhan, pria ini begitu mencintaiku, lalu kenapa aku bisa memimpikan pria lain? Kenapa? tanya Maira dengan perasaan bersalah yang semakin besar.
            Maira mengangkat tangan Ben, lalu mengecup tangan itu dengan lembut, kemudian menatap Ben dengan penuh cinta. Ben mendekat dan menciumnya lagi. Ciuman yang singkat, dalam, dan hangat. And guess what?? getaran itu tidak ada. Getaran liar saat ia bermimpi mencium Nico. Getaran penuh gairah. Getaran liar yang membuatnya kecanduan.
            Tidak ada. Sama sekali tidak ada. Maira langsung keluar dari mobil dan membuka pintu gerbang rumahnya. Ia melambaikan tangan sebelum Ben pergi dari hadapannya, dan ia pun terdiam di pintu gerbang. Terdiam membayangkan mimpi indah yang seharusnya tidak pernah ia mimpikan.
            Dan ia menginginkan mimpi itu menjadi kenyataan. Oh Tuhan ....
∞∞∞∞∞
            Pagi segera menghampiri dan Maira masih enggan untuk bangkit dari tempat tidurnya. Ia ingin sekali berdiam diri di dalam rumah dan tidak pergi ke mana-mana. Ia pun mengambil ponsel yang ia letakkan begitu saja di samping bantalnya saat ia tidur semalam.
            Ia mencari nama Sasha di daftar panggilnya, dalam dua deringan Sasha menjawab panggilannya. “Kenapa, Ra?” tanya Sasha langsung, seakan tahu apa yang akan ia ucapkan.
            “Gue nggak ke kantor hari ini, ya. Badan gue sakit semua,” jawab Maira.
            “Lo kenapa? Habis berantem sama Hulk?” ledek Sasha, membuat Maira terhibur sedikit dengan banyolan temannya yang selalu membuatnya tersenyum.
            “Iya. Hulk-nya lagi ngomong sama gue nih sekarang,” jawab Maira langsung, lalu tertawa kecil.
            “Sialan, lo. Udah, tidur sana. Kalau lo kenapa-kenapa entar gue yang repot,” kata Sasha dengan nada gerutunya yang khas.
            “Lah ... kenapa jadi lo?” tanya Maira kebingungan.
            “Ya iyalah. Kan gue sayang sama lo, Ra.
            “Isshhh ... kenapa gue jadi jijay bajay gitu denger lo ngomong ‘sayang’, ya?” ucap Maira sambil tertawa geli.
            “Udah, ah. Nggak jadi istirahat deh gue kalau gini,” kata Maira mengakhiri guyonan itu.
            “OK – lah. Have a nice dream, Beib.
            “Asli gue geli banget. Udah, ah.”
            “Hehehehe ... becanda, becanda ... Ya udah, deh. Bye,” ucap Sasha sebelum mematikan teleponnya.
            Maira menghubungi Ben dan memberitahunya kalau hari ini ia tidak ke kantor dan ingin beristirahat seharian. Ben menawarkan dirinya untuk merawat Maira, tapi ia menolak dengan baik-baik. Yang ia butuhkan saat ini bukan Ben. Ia hanya butuh waktu sendirian dan menata perasaannya yang masih tidak ia mengerti sampai saat ini.
            Maira pun kembali tertidur di balik selimutnya yang hangat.
∞∞∞∞∞
            “Kamu sudah bertemu dengannya?” tanya wanita itu. Senyum indah dengan suara yang begitu lembut dan mata berwarna senada dengannya, menatap dan bertanya sesuatu yang sangat sensitif padanya.
            “Aku rasa kamu tidak perlu selalu bertanya tentang wanita itu padaku,” jawab Nico datar. Ia sedang asik duduk di ruang musiknya saat Alexa datang dan langsung bertanya hal itu lagi padanya.
            “Kamu harus segera bertemu dengannya, Nico,” saran Alexa, bergerak semakin mendekat ke sebuah sofa panjang tempat Nico duduk sambil bermain gitar.
            Sebuah alunan nada terngiang-ngiang di pikirannya, namun tak ada satu pun kata-kata yang bisa ia tuliskan untuk mengisi alunan nada tersebut. Nico merekam setiap nada-nada itu dengan alat perekam dan menulisnya di kertas partitur.
            Nico tidak menghiraukan perkataan Alexa, ia tidak ingin alunan indah itu menghilang dari pikirannya. Entah kenapa, sejak ia bertemu dengan Maira, alunan nada itu terus berdengung di telinganya. Bukan hanya nada-nada itu saja yang selalu menghantuinya. Tapi wajah itu, suara itu, mata itu, membuatnya seperti terhipnotis.
            “Nico, apa kamu mendengarkanku?” tanya Alexa.
            “Sudahlah ... aku tidak mau membicarakannya lagi,” jawab Nico ketus, kemudian beranjak dari sofa dan meletakkan gitarnya begitu saja di sofa.
            “Tapi wanita itu adalah milikmu, Nico,” kata Alexa dengan nada kesal. Alexa tidak tahu harus bagaimana lagi supaya Nico mau bergerak dan mengambil yang seharusnya menjadi miliknya.
            “Belum ... dia belum menjadi milikku,” ucap Nico tegas, membelakangi Alexa sambil meletakkan kertas partitur di dalam tasnya.
            “Terserah! Aku hanya mengingatkan, jangan sampai kamu kehilangan dia dan kamu menyesal seumur hidupmu,” jelas Alexa ketus. Ia pun bergerak menjauh, pergi meninggalkan ruangan itu. Meninggalkan Nico sendiri dengan pergumulannya.
            Ingin sekali ia menghampiri dan mengenal wanita itu lebih dalam. Tapi, saat ia melihat wanita itu dengan seorang pria di bandara, dengan tegas Nico bertekad kalau ia tidak akan masuk ke dalam hubungan itu. Ia tidak ingin menghancurkan hubungan itu hanya karena statusnya.
            Nico tahu wanita itu adalah miliknya, seharusnya menjadi miliknya. Tapi ia tidak ingin wanita itu merasa diperdaya dan terpaksa menjadi miliknya. Tidak. Ia bukanlah seorang bajingan yang suka merebut kekasih orang lain. Selama wanita itu masih bersama kekasihnya, ia tidak akan mengganggu dan menyentuhnya. Tidak akan.
            Ia kembali ke sofa, mengambil gitar dan memainkan alunan nada itu berulang-ulang kali. Bahkan tanpa kertas partitur, nada-nada itu terus mengalun di pikiran dan hatinya. Nada-nada itu seakan terpatri dan tertanam di dalam dirinya begitu saja.
            Sebuah ketukan di pintu, tak menghentikannya untuk memainkan nada-nada itu. Pintu terbuka tanpa perintah dan langkah kaki tegas dan dalam pun menghampirinya. “Nada yang indah. Ku rasa itu harus masuk ke album selanjutnya.”
            Pria dengan tubuh tinggi, kurus,  dan wajah tampan, menghampirinya. Cio membawa sebuah map berwarna hitam dan meletakkannya di meja. Pria ini adalah manajer band mereka. Cio selalu mengatur jadwal panggung, press conference, jadwal pemotretan, serta segala sesuatu yang berhubungan dengan band. Hanya tentang band. Di luar itu atau yang berhubungan dengan pekerjaan kantor, Cio hanyalah anak buahnya yang selalu siap sedia jika ia butuhkan. Dengan kata lain, Cio adalah anak buah sekaligus manajernya.
            Ia meminta Cio untuk menyuruh beberapa anak buahnya untuk menjaga, mengikuti, dan mengawasi setiap kegiatan dan keberadaan Maira. Dan setiap hari, ia meminta mereka untuk memberikan laporan padanya. Ia ingin tahu semua yang wanita itu lakukan, apa yang wanita itu suka dan tidak suka, apa yang wanita itu inginkan, dan segala hal yang berhubungan dengan Maira.
            “Bukan untuk umum,” jawab Nico dingin.
            “Kurasa itu akan laku di pasaran. Nadanya begitu mengena dan –“
            Pria itu langsung diam saat Nico menatapnya dengan sangat tajam dan dingin. Nico tersenyum sinis saat melihat pria itu tampak ketakutan dan langsung menutup mulutnya seketika. Ia meletakkan gitar di sampingnya, lalu mengambil map hitam itu.
            ‘Maira’
            Sebuah tulisan besar bertuliskan nama wanita itu tertempel di bagian depan map. Jantung Nico mulai berdebar dengan cepat, napasnya terasa berat. Ia membuka map itu dan melihat foto Maira sedang melakukan aktivitasnya selama beberapa hari ini.
            Ia bisa merasakan aliran panas dalam darahnya saat melihat setiap foto yang ada di dalam map. Senyum itu seakan tersenyum padanya. Nico meremas map itu dan rasa sakit mulai menyelimutinya. Senyum itu bukan miliknya. Belum menjadi miliknya.
            Ingin sekali rasanya ia menggunakan kekuasaan dan kekuatannya untuk segera memiliki wanita itu, tapi ia tidak bisa. Sebisa mungkin ia akan membuat wanita itu merasakan dan menyadari akan kehadiran dirinya. Ia akan membuat Maira tidak bisa lepas darinya. Maira adalah milikku. Hanya milikku.
            “Besok penerbangan jam sepuluh, ya,” kata Cio mengingatkan.
            “Ke mana?” tanya Nico datar, tidak peduli dengan rencana manggung mereka yang semakin padat. Yang menjadi tujuan utamanya datang ke Indonesia hanya karena wanita ini.
            “Sidney,” jawab Cio singkat.
            “OK. Sampai ketemu di bandara besok,” kata Nico sambil beranjak dari sofa dan berjalan menuju keyboard yang berada di sudut ruangan dengan beberapa monitor dan pengatur suara.
            “Dan satu lagi,” lanjut Nico saat ia duduk di kursi keyboard, “tetap suruh anak buah untuk mengawasi dan menjaganya, jangan lupa beri laporan padaku setiap hari.”
            “Baik, Nico,” ucap Eki yang tak lama kemudian keluar dari ruangan itu.
            Nico menatap foto itu untuk yang kesekian kalinya. Senyum itu. Mata itu. Wajah itu. Milikku.

∞∞∞∞∞

Tidak ada komentar: