BAB 7
Hari Selasa pun tiba dan entah
kenapa Maira tidak merasakan semangat seperti biasanya. Maira terduduk di
tempat tidur, mengusap wajahnya dengan kedua tangan, lalu bergeser ke tepi
tempat tidur dan menggantungkan kakinya begitu saja di pinggir tempat tidur. Ia
menghembuskan napas cepat, mencoba untuk mengubur rasa gelisah yang melandanya
selama beberapa hari ini.
Pikirannya melayang, membayangkan
apa yang akan ia lalui hari ini. Nanti sore, ia akan bertemu dengan keluarga
Ben yang ada di Jakarta. Saudara sepupu lebih tepatnya. Maira menarik napas
dalam-dalam, lalu menghembuskannya dengan cepat. Napasnya terasa begitu berat,
seperti ada sesuatu yang menghalangi saluran pernapasannya.
Sesaat kemudian, ia bangkit dan
berjalan menuju pintu kamar mandi. Maira berhenti di depan pintu kamar mandir,
pikirannya melayang lagi. Ingin sekali ia tinggal di rumah dan tidak melakukan
apa pun hari ini. Tapi ia tidak bisa, selain pertemuannya dengan keluarga Ben,
ia juga punya janji meeting hari ini dengan Micro Computer. Setelah itu, ia pun
harus mempersiapkan gathering untuk Dhirgan Media.
Maira menghembuskan napas berat
untuk yang kesekian kalinya sebelum ia membuka pintu itu lebar-lebar, kemudian
melangkah masuk dan menutup pintu di belakangnya. Maira berendam di bathtube sesaat
sambil terus memikirkan kegiatannya hari ini. Terbersit di pikirannya tentang
perubahan sikap Ben.
Semenjak kedatangan Ben dari Bali,
sudah dua hari ini pria itu bersikap aneh. Kemarin, Ben menjemputnya dan baru
kali ini pria itu terlambat menjemputnya. Ben beralasan kalau ia harus
mengunjungi ibunya terlebih dulu di hotel sebelum akhirnya ia menjemput Maira
dan terjebak macet.
Maira bersikeras untuk pulang
sendiri, tapi Ben memaksa kalau pria itu akan menjemputnya. Dan akhirnya, dua
jam kemudian, Ben tiba di depan rumah Desi. Maira mencoba untuk tidak
mempermasalahkan keterlambatan itu, apalagi dengan alasan karena ia baru saja
bertemu dengan ibu.
Yang Maira permasalahkan di sini
adalah sikap Ben. Pria itu awalnya merasa bersalah karena sudah terlambat
menjemputnya. Tapi, selama perjalanan, saat Maira mencoba bercerita dan
bergurau, Ben sama sekali tidak menyambut dengan baik.
Pria itu lebih banyak diam dan tidak
merespon lebih. Hanya tersenyum dan tertawa kecil seperlunya. Maira
memperhatikan wajah Ben dan pria itu menegurnya karena merasa tidak nyaman
ketika Maira menatapnya seperti itu. Ada apa ini? Kenapa Ben begitu
berubah? Sampai kapan Ben menutupi sesuatu yang ia sembunyikan ini? pikir
Maira.
Ia mengusap wajahnya, membasahi
kepalanya dengan air, lalu memeluk kedua kakinya dengan erat. Perasaan ini
begitu menyiksanya. Ingin sekali ia mengetahui apa yang disembunyikan Ben, tapi
bagaimana ia bisa tahu kalau Ben tidak menceritakan padanya. Bagaimana?
Maira menarik napas kemudian
menghembuskannya dengan cepat. Ia memejamkan mata, salah satu tangan meremas
rambutnya dengan sedikit erat, sedangkan yang satu lagi masih terus memeluk
kedua kakinya. Air mata pun menetes di pipinya.
Air mata ini bukan air mata
kesedihan, tapi air mata putus asa yang belum pernah ia rasakan sama sekali. Ia
pernah menangis karena sedih, karena patah hati. Tapi ini ... ini adalah air
mata putus asa. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan untuk mengungkap apa
yang disembunyikan Ben darinya. Rasa panas yang menjalar di tubuhnya, membuat
rasa sakit dan putus asa berubah menjadi amarah.
Maira marah. Bukan pada Ben, tapi
lebih kepada dirinya sendiri. Maira marah karena ia merasa tidak berguna,
gagal, dan tidak bisa membuat keadaan ini menjadi lebih baik. Ia marah karena
ia hanya bisa diam dan mengikuti kemauan Ben tanpa bisa berbuat apa-apa. Ia marah
karena ia merasa begitu bodoh, menyimpan semua rasa curiganya demi menjaga
perasaan Ben.
Ia memukul air di hadapannya, hingga
membuat cipratan kecil langsung mengenai wajahnya. Air itu seakan menampar dan
menyadarkannya dari pikirannya yang begitu kelam. Maira langsung berdiri dan
membuka penyumbat bathtube itu, lalu menyalakan shower yang
berada tepat di atas kepalanya.
Air dingin itu mengucur membasahi
dirinya yang sudah basah. Maira membilas tubuhnya dengan cepat, lalu memutar
kran shower dan keluar dari bathtube-nya. Maira
mengeringkan tubuh, lalu keluar dari kamar mandi.
Ia mengambil setelan blazer berwarna
abu-abu dengan tank top berwarna hitam. Rambut panjang berwarna kecokelatan
terurai indah. Kulitnya yang putih bersinar, membuatnya terlihat menonjol di
balik setelan baju kerjanya. Maira memoleskan riasan ringan di wajahnya,
kemudian menyemprotkan pewangi ke bajunya.
Waktu menunjukkan pukul setengah
delapan pagi dan ia pun bergegas menuju dapur, lalu menyiapkan sereal dan
segelas susu. Sambil menikmati makannya, sebuah pesan masuk ke ponselnya. Ben
mengucapkan selamat pagi dan mengatakan kalau pria itu sedang dalam perjalanan
menuju rumahnya. Maira langsung membalas pesan itu dengan sikap datar, kemudian
meletakkan ponsel itu di meja, tepat di samping gelas susu.
Ia menyelesaikan sarapannya dengan
cepat dan membersihkan semuanya. Setelah itu, Maira masuk ke kamar dan
mengambil tas kerja yang tergeletak di meja kecil, yang berada di samping meja
riasnya. Tak lama kemudian, terdengar suara deru mobil di depan rumah. Maira
langsung keluar dari kamar dan berjalan cepat menuju pintu rumah.
Ben menatapnya dari dalam mobil saat
ia mengunci gerbang rumah. Wajah pria itu masih terlihat sama seperti kemarin,
tanpa ekspresi dan terlihat murung. Maira mencoba untuk tidak terlalu
menghiraukan sikap Ben dan langsung masuk ke mobil tanpa kata-kata.
“Aku langsung ke Micro, ya,” kata
Maira memberitahu Ben.
“Daerah mana?” tanya Ben singkat.
“Slipi. Kamu mau antar aku?” tanya
Maira ragu.
Ben melihat jam tangannya. “Sepertinya
aku cuma bisa mengantarmu ke halte terdekat yang searah ke kantorku. Karena jam
sembilan aku ada rapat,” jelas Ben.
“OK. Nggak masalah,” jawab Maira
dengan tenang.
Dan lagi, perjalanan mereka penuh
dengan keheningan.
∞∞∞∞∞
Setelah seharian meeting dengan
Micro dan mempersiapkan beberapa hal untuk gathering Dhirgan,
akhirnya Maira bisa beristirahat. Ia duduk di salah satu kursi Starbucks sambil
menikmati Dark Mocha Frappuccino. Ia menyesap minuman itu sambil
memerhatikan sekelilingnya.
Tempat itu cukup ramai pengunjung
meskipun waktu sudah menunjukkan pukul empat sore. Ada beberapa mahasiswa yang
berkumpul di salah satu meja sambil membicarakan perkuliahan mereka. Ada pula
beberapa oranga yang sedang ebrcengkrama dan tertawa saat lawan bicaranya
sedang melontarkan sebuah lelucon.
Maira pun mengembalikan perhatiannya
ke layar laptop, di mana ia sedang memasukkan beberapa data, menyusun acara
untuk Micro, serta keperluan untuk Dhirgan.
Dua jam lagi. Ya, ia masih punya dua
jam lagi sebelum pertemuannya dengan keluarga Ben. Ingin rasanya ia tidak
hadir, tapi Ben mengatakan padanya kalau ia melakukan ini agar Maira dan
keluarganya bisa lebih dekat dan dikenal oleh keluarga besarnya.
Maira teringat akan pembicaraan
mereka – yang akhirnya ia tanyakan – tentang perubahan sikap Ben. Maira tidak
peduli kalau akhirnya Ben akan marah dan membencinya. Tapi ia tetap harus
melakukan hal ini, bukan hanya demi dirinya, tapi juga demi hubungan mereka.
“Ben, maafkan aku kalau aku
terdengar seperti mendesak atau curiga sama kamu, tapi jujur ... semenjak
kepulanganmu dari Bali, aku merasa ada yang salah dengan dirimu,” kata Maira
menghancurkan kesunyian di dalam mobil itu.
Ben tidak menjawab, pandangannya
tetap lurus ke arah jalan. “Kamu bisa mengatakan padaku kalau tidak terjadi
apa-apa di Bali dan bilang kalau kamu terlalu memikirkan pekerjaanmu. Tapi ...
aku tahu kamu menyembunyikan sesuatu dariku,” ucap Maira, semakin memberanikan
diri. Ia bertekad untuk menyelesaikan masalah ini sekarang. Ia tidak ingin bertemu
keluarga Ben dalam kondisi penuh kecurigaan.
“Kalau kamu belum siap dengan
pernikahan ini ... aku ... aku tidak akan memaksamu untuk menikah denganku,”
lanjut Maira, kemudian ia pun terdiam. Maira bisa merasakan rasa sakit di
dadanya ketika mengucapkan kalimat itu.
Maira memperhatikan Ben yang tampak
geram sesaat, meremas kemudi dengan kencang. Ben meminggirkan mobil, lalu
menghentikannya di bahu jalan. Maira masih diam, menunggu reaksi Ben. Ia sudah
siap. Ya, Maira sudah siap dengan segala kemungkinan yang terjadi.
Jika Ben belum siap menikah
dengannya, Maira tidak akan memaksa. Tapi, kalau Ben masih bersikeras untuk
menikah dengannya, Ben harus menjelaskan padanya sejelas mungkin sampai rasa
curiga dalam dirinya hilang.
Maira menunggu dan menunggu. Cukup
lama ia menunggu hingga akhirnya Ben menghembuskan napas dengan berat. “Aku
mencintaimu, Maira.”
Hanya itu yang Ben ucapkan, lalu
terdiam lagi. Maira tidak menjawab atau menyanggah perkataan itu. Ia tetap
menunggu penjelasan lebih dari Ben meskipun hatinya terasa sakit saat mendengar
Ben mengucapkan kata-kata itu.
“Aku mencintaimu dan ingin menikah
denganmu, Maira. Tapi ...”
Kata-kata Ben pun terhenti lagi. Ya,
ada ‘tapi’ di dalam hubungan ini. Dan ‘tapi’ itu adalah sebuah masalah besar
yang bisa mengganggu hubungan Ben dan Maira, dan ia harus tahu apa ‘tapi’ itu
sebelum semua ini berlanjut menjadi sebuah perkara yang lebih besar lagi.
“Tapi ... aku ...” Ben terdiam lagi,
bergumul dengan sesuatu yang saat ini ada dalam pikirannya.
“Maira, apa kamu harus bertanya hal
ini sekarang?” tanya Ben sebelum pria itu mencoba menjelaskan lebih lanjut.
Maira menatap Ben dengan penuh tanda tanya. Ia tidak tahu apa yang pria ini
sembunyikan darinya, tapi sepertinya rahasia yang disembunyikan Ben begitu
besar.
“Ya,” jawab Maira cepat, tanpa takut
sedikitpun. Ben menghembuskan napas panjang sebelum akhirnya melanjutkan
kata-katanya.
“Ini tentang keluargaku ...
menyangkut diriku dan ibuku,” jelas Ben sambil menimbang kalimat yang akan pria
itu katakan selanjutnya.
Ben menghembuskan napas dengan
cepat, lalu memejamkan matanya. “Ayahku menyuruhku melakukan sesuatu dalam
surat wasiatnya,” lanjut Ben.
Bukannya merasa tenang, Maira malah
semakin penasaran dengan wasiat itu. Maira menatap Ben semakin dalam dan
meneliti setiap tingkah lakunya yang terlihat semakin gugup dan gelisah.
“Ada surat wasiat yang diberikan
padaku sehari setelah kematian ayah. Dan karena wasiat itulah, beberapa hari
ini aku merasa tidak tenang,” jelas Ben, raut wajahnya tampak suram dan
bingung.
"Kenapa baru sekarang kamu
merasa tidak tenang?" tanya Maira bingung.
"Karena sebentar lagi kita akan
menikah dan aku rasa wasiat itu sedikit berpengaruh dalam rencana kita ke
depan," jelas Ben, tidak berani menatap Maira.
“Apa isi surat itu?” tanya Maira
langsung, ia tidak ingin menunda-nunda lagi.
“Bukan masalah besar ... hanya
sebuah janji yang harus aku tepati demi kebahagiaan ibu. Itu saja,” jawab Ben
yang tidak menjawab pertanyaan Maira dengan jelas.
“Apa isi janji itu?” tanya Maira
lebih mendesak.
"Aku tidak bisa mengatakannya
padamu, Maira. Ini hanya antara aku dan mendiang ayahku," jawab Ben. Pria
itu terlihat semakin gelisah dalam duduknya dan raut wajahnya menapakkan kalau
ia merasa sedikit terganggu dengan pertanyaan Maira yang semakin dalam dan terlalu
menyelidik.
"Apa, Ben? Kenapa kamu tidak
memberitahukan semuanya padaku? Aku bisa membantumu, jika itu yang kamu
perlukan. Aku bisa ..."
“Bukankah lebih baik jika aku saja
yang mengurus ini? Semua ini berhubungan dengan ibuku dan aku rasa belum
saatnya kamu untuk masuk ke dalam permasalahan ini,” jawab Ben memotong kalimat
Maira. Menatapnya dengan dingin dan tajam.
Kata-kata itu seakan menohoknya dan
menyadarkan dirinya kalau sekarang posisi Maira masih berada di luar lingkaran.
Ia belum bisa masuk ke dalam lingkaran keluarga Ben sebelum ia menjadi istri
sahnya.
Maira hanya bisa menghembuskan napas
kecewa, bahunya terkulai lemah dan tidak tahu harus berbuat apa-apa lagi. Ini
adalah masalah keluarga Ben, ia hanya bisa berharap agar masalah itu cepat
selesai dan melihat Ben kembali seperti sedia kala. Ingin sekali ia masuk ke
dalam permasalahan itu, tapi kata-kata tadi seakan memperjelas kedudukannya
saat ini.
“Maafkan aku, Sayang. Aku
sungguh-sungguh minta maaf,” kata Ben dengan wajah memohon, “aku benar-benar
tidak ingin kamu terlibat masalah ini. Aku hanya ingin membuatmu tenang.”
“Tapi kamu malah membuatku semakin
tidak tenang, Ben,” jawab Maira jujur.
“Aku tahu. Maafkan aku, Sayang,”kata
Ben sambil menggenggam tangan Maira semakin erat.
Maira menghembuskan napas dengan
sangat berat, beban dalam dadanya belum hilang sama sekali. Bahkan terasa
semakin berat. Ia tidak bisa membiarkan Ben mengatasi masalahnya sendiri tanpa
bantuan darinya sedikit pun.
"Kumohon, Sayang ... maafkan
aku ... aku akan berusaha menyelesaikan masalah keluargaku secepatnya. Aku
tidak ingin kamu menderita, begitu pula dengan ibuku," jelas Ben, wajahnya
berubah memelas dan kali ini tatapan memohon itu terlihat begitu tulus.
“Baiklah. Aku memaafkanmu, Ben,”
balas Maira pasrah, “tapi kamu jangan bersikap dingin lagi padaku. OK.”
“Aku janji, Sayang,” jawab Ben.
“Kamu sudah banyak ucapkan janji
padaku, Ben. Kamu sadar itu?” tanya Maira lagi, menyinggung dan menyadarkan
pria itu.
“Aku tahu, Sayang. Aku pasti akan
menepati setiap janjiku,” jawab Ben serius.
Maira memaksakan senyum di wajahnya
dan Ben pun tersenyum hangat padanya. Ben mengangkat tangan Maira, mendekatkan
ke bibirnya, lalu mengecup tangan Maira dengan begitu mesra. Ia pun terenyuh
dan senyum terpaksa itu pun berubah menjadi senyum tulus.
Aku harus mencoba memahami situasi
ini. Aku harus mencoba terus bersabar hingga masalah dalam keluarga Ben
selesai. Aku harus bersabar dan bersabar lagi. Demi hubungan ini. Harus, batin Maira mencoba untuk
membatasi dirinya dan perlahan-lahan menghapus rasa ragu dalam dirinya.
Dan sekarang, matahari
perlahan-lahan menghilangkan sinar teriknya, berganti dengan sinar hangat
berwarna jingga. Maira sedang berkutat dengan data-data penting yang harus ia
bereskan ketika ponselnya berbunyi dan nama Ben tertera di layar ponselnya. Ia
mengusap layar itu lalu menempelkan ponsel ke telinganya.
“Ben?” kata Maira, heran, karena Ben
mengatakan kalau kemungkinan ia akan rapat dengan atasannya sampai sore.
“Sayang, kamu lagi apa?”
tanya Ben, suaranya terdengar riang.
“Aku lagi di Starbucks. Lagi input
data sambil minum,” jawab Maira ringan.
“Mau aku jemput?” tanya Ben.
“Bukannya kamu ada rapat?” tanya
Maira balik.
“Aku pulang cepat, aku ijin sama
bos,” jawab Ben.
“Yakin nggak apa-apa kalau kamu
minta ijin gitu?” tanya Maira, sedikit rasa senang menyeruak di dadanya.
“Iya, Sayang. Aku mau menebus
kesalahanku padamu. Bolehkah aku menjemputmu?” tanya Ben lembut. Maira
tersenyum kecil saat mendengar ucapan itu. Ben kembali menjadi dirinya lagi.
Ben yang perhatian dan selalu mengutamakan dirinya. Ya, Ben berhak menerima
permintaan maafnya. Sangat berhak.
“Bagaimana dengan ibu?” tanya Maira,
yang sepenuhnya hanya basa-basi.
“Saudara ayahku berkunjung tadi
siang ke hotel dan akan membawa ibu sekalian ke tempat pertemuan,” jelas
Ben.
“Benarkah?” tanya Maira lagi.
“Iya, Sayang,” jawab Ben
lembut.
“Baiklah. Aku ada di Setia Budi,”
jawab Maira.
“OK, aku berangkat sekarang.
Tunggu aku, ya,” kata Ben dengan semangat.
“I love you, Maira.”
“Love you, too, Ben.”
Maira pun meletakkan ponselnya di
meja, lalu kembali berkutat dengan laptopnya. Jarak dari kantor Ben ke
sini kurang lebih satu jam, berarti masih ada waktu untuk menyelesaikan
pekerjaanku, batin Maira.
Perasaannya pun berubah menjadi
bahagia. Harapannya seakan tumbuh lagi setelah terjebak oleh sebuah wasiat yang
misterius itu. Maira begitu bahagia, setidaknya Ben mau berusaha untuk
menyelesaikan masalah keluarganya tersebut dan berjuang demi kebahagiaan Maira.
Kebahagiaan mereka.
∞∞∞∞∞
Tidak ada komentar:
Posting Komentar