Sabtu, 10 Juni 2017

A STRUGGLE HEARTS (21+) - BAB 7



BAB 7


            Hari Selasa pun tiba dan entah kenapa Maira tidak merasakan semangat seperti biasanya. Maira terduduk di tempat tidur, mengusap wajahnya dengan kedua tangan, lalu bergeser ke tepi tempat tidur dan menggantungkan kakinya begitu saja di pinggir tempat tidur. Ia menghembuskan napas cepat, mencoba untuk mengubur rasa gelisah yang melandanya selama beberapa hari ini.
            Pikirannya melayang, membayangkan apa yang akan ia lalui hari ini. Nanti sore, ia akan bertemu dengan keluarga Ben yang ada di Jakarta. Saudara sepupu lebih tepatnya. Maira menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya dengan cepat. Napasnya terasa begitu berat, seperti ada sesuatu yang menghalangi saluran pernapasannya.
            Sesaat kemudian, ia bangkit dan berjalan menuju pintu kamar mandi. Maira berhenti di depan pintu kamar mandir, pikirannya melayang lagi. Ingin sekali ia tinggal di rumah dan tidak melakukan apa pun hari ini. Tapi ia tidak bisa, selain pertemuannya dengan keluarga Ben, ia juga punya janji meeting hari ini dengan Micro Computer. Setelah itu, ia pun harus mempersiapkan gathering untuk Dhirgan Media.
            Maira menghembuskan napas berat untuk yang kesekian kalinya sebelum ia membuka pintu itu lebar-lebar, kemudian melangkah masuk dan menutup pintu di belakangnya. Maira berendam di bathtube sesaat sambil terus memikirkan kegiatannya hari ini. Terbersit di pikirannya tentang perubahan sikap Ben.
            Semenjak kedatangan Ben dari Bali, sudah dua hari ini pria itu bersikap aneh. Kemarin, Ben menjemputnya dan baru kali ini pria itu terlambat menjemputnya. Ben beralasan kalau ia harus mengunjungi ibunya terlebih dulu di hotel sebelum akhirnya ia menjemput Maira dan terjebak macet.
            Maira bersikeras untuk pulang sendiri, tapi Ben memaksa kalau pria itu akan menjemputnya. Dan akhirnya, dua jam kemudian, Ben tiba di depan rumah Desi. Maira mencoba untuk tidak mempermasalahkan keterlambatan itu, apalagi dengan alasan karena ia baru saja bertemu dengan ibu.
            Yang Maira permasalahkan di sini adalah sikap Ben. Pria itu awalnya merasa bersalah karena sudah terlambat menjemputnya. Tapi, selama perjalanan, saat Maira mencoba bercerita dan bergurau, Ben sama sekali tidak menyambut dengan baik.
            Pria itu lebih banyak diam dan tidak merespon lebih. Hanya tersenyum dan tertawa kecil seperlunya. Maira memperhatikan wajah Ben dan pria itu menegurnya karena merasa tidak nyaman ketika Maira menatapnya seperti itu. Ada apa ini? Kenapa Ben begitu berubah? Sampai kapan Ben menutupi sesuatu yang ia sembunyikan ini? pikir Maira.
            Ia mengusap wajahnya, membasahi kepalanya dengan air, lalu memeluk kedua kakinya dengan erat. Perasaan ini begitu menyiksanya. Ingin sekali ia mengetahui apa yang disembunyikan Ben, tapi bagaimana ia bisa tahu kalau Ben tidak menceritakan padanya. Bagaimana?
            Maira menarik napas kemudian menghembuskannya dengan cepat. Ia memejamkan mata, salah satu tangan meremas rambutnya dengan sedikit erat, sedangkan yang satu lagi masih terus memeluk kedua kakinya. Air mata pun menetes di pipinya.
            Air mata ini bukan air mata kesedihan, tapi air mata putus asa yang belum pernah ia rasakan sama sekali. Ia pernah menangis karena sedih, karena patah hati. Tapi ini ... ini adalah air mata putus asa. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan untuk mengungkap apa yang disembunyikan Ben darinya. Rasa panas yang menjalar di tubuhnya, membuat rasa sakit dan putus asa berubah menjadi amarah.
            Maira marah. Bukan pada Ben, tapi lebih kepada dirinya sendiri. Maira marah karena ia merasa tidak berguna, gagal, dan tidak bisa membuat keadaan ini menjadi lebih baik. Ia marah karena ia hanya bisa diam dan mengikuti kemauan Ben tanpa bisa berbuat apa-apa. Ia marah karena ia merasa begitu bodoh, menyimpan semua rasa curiganya demi menjaga perasaan Ben.
            Ia memukul air di hadapannya, hingga membuat cipratan kecil langsung mengenai wajahnya. Air itu seakan menampar dan menyadarkannya dari pikirannya yang begitu kelam. Maira langsung berdiri dan membuka penyumbat bathtube itu, lalu menyalakan shower yang berada tepat di atas kepalanya.
            Air dingin itu mengucur membasahi dirinya yang sudah basah. Maira membilas tubuhnya dengan cepat, lalu memutar kran shower  dan keluar dari bathtube-nya. Maira mengeringkan tubuh, lalu keluar dari kamar mandi.
            Ia mengambil setelan blazer berwarna abu-abu dengan tank top berwarna hitam. Rambut panjang berwarna kecokelatan terurai indah. Kulitnya yang putih bersinar, membuatnya terlihat menonjol di balik setelan baju kerjanya. Maira memoleskan riasan ringan di wajahnya, kemudian menyemprotkan pewangi ke bajunya.
            Waktu menunjukkan pukul setengah delapan pagi dan ia pun bergegas menuju dapur, lalu menyiapkan sereal dan segelas susu. Sambil menikmati makannya, sebuah pesan masuk ke ponselnya. Ben mengucapkan selamat pagi dan mengatakan kalau pria itu sedang dalam perjalanan menuju rumahnya. Maira langsung membalas pesan itu dengan sikap datar, kemudian meletakkan ponsel itu di meja, tepat di samping gelas susu.
            Ia menyelesaikan sarapannya dengan cepat dan membersihkan semuanya. Setelah itu, Maira masuk ke kamar dan mengambil tas kerja yang tergeletak di meja kecil, yang berada di samping meja riasnya. Tak lama kemudian, terdengar suara deru mobil di depan rumah. Maira langsung keluar dari kamar dan berjalan cepat menuju pintu rumah.
            Ben menatapnya dari dalam mobil saat ia mengunci gerbang rumah. Wajah pria itu masih terlihat sama seperti kemarin, tanpa ekspresi dan terlihat murung. Maira mencoba untuk tidak terlalu menghiraukan sikap Ben dan langsung masuk ke mobil tanpa kata-kata.
            “Aku langsung ke Micro, ya,” kata Maira memberitahu Ben.
            “Daerah mana?” tanya Ben singkat.
            “Slipi. Kamu mau antar aku?” tanya Maira ragu.
            Ben melihat jam tangannya. “Sepertinya aku cuma bisa mengantarmu ke halte terdekat yang searah ke kantorku. Karena jam sembilan aku ada rapat,” jelas Ben.
            “OK. Nggak masalah,” jawab Maira dengan tenang.
            Dan lagi, perjalanan mereka penuh dengan keheningan.
∞∞∞∞∞
            Setelah seharian meeting dengan Micro dan mempersiapkan beberapa hal untuk gathering Dhirgan, akhirnya Maira bisa beristirahat. Ia duduk di salah satu kursi Starbucks sambil menikmati Dark Mocha Frappuccino. Ia menyesap minuman itu sambil memerhatikan sekelilingnya.
            Tempat itu cukup ramai pengunjung meskipun waktu sudah menunjukkan pukul empat sore. Ada beberapa mahasiswa yang berkumpul di salah satu meja sambil membicarakan perkuliahan mereka. Ada pula beberapa oranga yang sedang ebrcengkrama dan tertawa saat lawan bicaranya sedang melontarkan sebuah lelucon.
            Maira pun mengembalikan perhatiannya ke layar laptop, di mana ia sedang memasukkan beberapa data, menyusun acara untuk Micro, serta keperluan untuk Dhirgan.
            Dua jam lagi. Ya, ia masih punya dua jam lagi sebelum pertemuannya dengan keluarga Ben. Ingin rasanya ia tidak hadir, tapi Ben mengatakan padanya kalau ia melakukan ini agar Maira dan keluarganya bisa lebih dekat dan dikenal oleh keluarga besarnya.
            Maira teringat akan pembicaraan mereka – yang akhirnya ia tanyakan – tentang perubahan sikap Ben. Maira tidak peduli kalau akhirnya Ben akan marah dan membencinya. Tapi ia tetap harus melakukan hal ini, bukan hanya demi dirinya, tapi juga demi hubungan mereka.
            “Ben, maafkan aku kalau aku terdengar seperti mendesak atau curiga sama kamu, tapi jujur ... semenjak kepulanganmu dari Bali, aku merasa ada yang salah dengan dirimu,” kata Maira menghancurkan kesunyian di dalam mobil itu.
            Ben tidak menjawab, pandangannya tetap lurus ke arah jalan. “Kamu bisa mengatakan padaku kalau tidak terjadi apa-apa di Bali dan bilang kalau kamu terlalu memikirkan pekerjaanmu. Tapi ... aku tahu kamu menyembunyikan sesuatu dariku,” ucap Maira, semakin memberanikan diri. Ia bertekad untuk menyelesaikan masalah ini sekarang. Ia tidak ingin bertemu keluarga Ben dalam kondisi penuh kecurigaan.
            “Kalau kamu belum siap dengan pernikahan ini ... aku ... aku tidak akan memaksamu untuk menikah denganku,” lanjut Maira, kemudian ia pun terdiam. Maira bisa merasakan rasa sakit di dadanya ketika mengucapkan kalimat itu.
            Maira memperhatikan Ben yang tampak geram sesaat, meremas kemudi dengan kencang. Ben meminggirkan mobil, lalu menghentikannya di bahu jalan. Maira masih diam, menunggu reaksi Ben. Ia sudah siap. Ya, Maira sudah siap dengan segala kemungkinan yang terjadi.
            Jika Ben belum siap menikah dengannya, Maira tidak akan memaksa. Tapi, kalau Ben masih bersikeras untuk menikah dengannya, Ben harus menjelaskan padanya sejelas mungkin sampai rasa curiga dalam dirinya hilang.
            Maira menunggu dan menunggu. Cukup lama ia menunggu hingga akhirnya Ben menghembuskan napas dengan berat. “Aku mencintaimu, Maira.”
            Hanya itu yang Ben ucapkan, lalu terdiam lagi. Maira tidak menjawab atau menyanggah perkataan itu. Ia tetap menunggu penjelasan lebih dari Ben meskipun hatinya terasa sakit saat mendengar Ben mengucapkan kata-kata itu.
            “Aku mencintaimu dan ingin menikah denganmu, Maira. Tapi ...”
            Kata-kata Ben pun terhenti lagi. Ya, ada ‘tapi’ di dalam hubungan ini. Dan ‘tapi’ itu adalah sebuah masalah besar yang bisa mengganggu hubungan Ben dan Maira, dan ia harus tahu apa ‘tapi’ itu sebelum semua ini berlanjut menjadi sebuah perkara yang lebih besar lagi.
            “Tapi ... aku ...” Ben terdiam lagi, bergumul dengan sesuatu yang saat ini ada dalam pikirannya.
            “Maira, apa kamu harus bertanya hal ini sekarang?” tanya Ben sebelum pria itu mencoba menjelaskan lebih lanjut. Maira menatap Ben dengan penuh tanda tanya. Ia tidak tahu apa yang pria ini sembunyikan darinya, tapi sepertinya rahasia yang disembunyikan Ben begitu besar.
            “Ya,” jawab Maira cepat, tanpa takut sedikitpun. Ben menghembuskan napas panjang sebelum akhirnya melanjutkan kata-katanya.
            “Ini tentang keluargaku ... menyangkut diriku dan ibuku,” jelas Ben sambil menimbang kalimat yang akan pria itu katakan selanjutnya.
            Ben menghembuskan napas dengan cepat, lalu memejamkan matanya. “Ayahku menyuruhku melakukan sesuatu dalam surat wasiatnya,” lanjut Ben.
            Bukannya merasa tenang, Maira malah semakin penasaran dengan wasiat itu. Maira menatap Ben semakin dalam dan meneliti setiap tingkah lakunya yang terlihat semakin gugup dan gelisah. 
            “Ada surat wasiat yang diberikan padaku sehari setelah kematian ayah. Dan karena wasiat itulah, beberapa hari ini aku merasa tidak tenang,” jelas Ben, raut wajahnya tampak suram dan bingung.
            "Kenapa baru sekarang kamu merasa tidak tenang?" tanya Maira bingung.
            "Karena sebentar lagi kita akan menikah dan aku rasa wasiat itu sedikit berpengaruh dalam rencana kita ke depan," jelas Ben, tidak berani menatap Maira.
            “Apa isi surat itu?” tanya Maira langsung, ia tidak ingin menunda-nunda lagi.
            “Bukan masalah besar ... hanya sebuah janji yang harus aku tepati demi kebahagiaan ibu. Itu saja,” jawab Ben yang tidak menjawab pertanyaan Maira dengan jelas.
            “Apa isi janji itu?” tanya Maira lebih mendesak.
            "Aku tidak bisa mengatakannya padamu, Maira. Ini hanya antara aku dan mendiang ayahku," jawab Ben. Pria itu terlihat semakin gelisah dalam duduknya dan raut wajahnya menapakkan kalau ia merasa sedikit terganggu dengan pertanyaan Maira yang semakin dalam dan terlalu menyelidik.
            "Apa, Ben? Kenapa kamu tidak memberitahukan semuanya padaku? Aku bisa membantumu, jika itu yang kamu perlukan. Aku bisa ..."
            “Bukankah lebih baik jika aku saja yang mengurus ini? Semua ini berhubungan dengan ibuku dan aku rasa belum saatnya kamu untuk masuk ke dalam permasalahan ini,” jawab Ben memotong kalimat Maira. Menatapnya dengan dingin dan tajam.
            Kata-kata itu seakan menohoknya dan menyadarkan dirinya kalau sekarang posisi Maira masih berada di luar lingkaran. Ia belum bisa masuk ke dalam lingkaran keluarga Ben sebelum ia menjadi istri sahnya.
            Maira hanya bisa menghembuskan napas kecewa, bahunya terkulai lemah dan tidak tahu harus berbuat apa-apa lagi. Ini adalah masalah keluarga Ben, ia hanya bisa berharap agar masalah itu cepat selesai dan melihat Ben kembali seperti sedia kala. Ingin sekali ia masuk ke dalam permasalahan itu, tapi kata-kata tadi seakan memperjelas kedudukannya saat ini.
            “Maafkan aku, Sayang. Aku sungguh-sungguh minta maaf,” kata Ben dengan wajah memohon, “aku benar-benar tidak ingin kamu terlibat masalah ini. Aku hanya ingin membuatmu tenang.”
            “Tapi kamu malah membuatku semakin tidak tenang, Ben,” jawab Maira jujur.
            “Aku tahu. Maafkan aku, Sayang,”kata Ben sambil menggenggam tangan Maira semakin erat.
            Maira menghembuskan napas dengan sangat berat, beban dalam dadanya belum hilang sama sekali. Bahkan terasa semakin berat. Ia tidak bisa membiarkan Ben mengatasi masalahnya sendiri tanpa bantuan darinya sedikit pun. 
            "Kumohon, Sayang ... maafkan aku ... aku akan berusaha menyelesaikan masalah keluargaku secepatnya. Aku tidak ingin kamu menderita, begitu pula dengan ibuku," jelas Ben, wajahnya berubah memelas dan kali ini tatapan memohon itu terlihat begitu tulus.
            “Baiklah. Aku memaafkanmu, Ben,” balas Maira pasrah, “tapi kamu jangan bersikap dingin lagi padaku. OK.”
            “Aku janji, Sayang,” jawab Ben.
            “Kamu sudah banyak ucapkan janji padaku, Ben. Kamu sadar itu?” tanya Maira lagi, menyinggung dan menyadarkan pria itu.
            “Aku tahu, Sayang. Aku pasti akan menepati setiap janjiku,” jawab Ben serius.
            Maira memaksakan senyum di wajahnya dan Ben pun tersenyum hangat padanya. Ben mengangkat tangan Maira, mendekatkan ke bibirnya, lalu mengecup tangan Maira dengan begitu mesra. Ia pun terenyuh dan senyum terpaksa itu pun berubah menjadi senyum tulus.
            Aku harus mencoba memahami situasi ini. Aku harus mencoba terus bersabar hingga masalah dalam keluarga Ben selesai. Aku harus bersabar dan bersabar lagi. Demi hubungan ini. Harus, batin Maira mencoba untuk membatasi dirinya dan perlahan-lahan menghapus rasa ragu dalam dirinya.
            Dan sekarang, matahari perlahan-lahan menghilangkan sinar teriknya, berganti dengan sinar hangat berwarna jingga. Maira sedang berkutat dengan data-data penting yang harus ia bereskan ketika ponselnya berbunyi dan nama Ben tertera di layar ponselnya. Ia mengusap layar itu lalu menempelkan ponsel ke telinganya.
            “Ben?” kata Maira, heran, karena Ben mengatakan kalau kemungkinan ia akan rapat dengan atasannya sampai sore.
            “Sayang, kamu lagi apa?” tanya Ben, suaranya terdengar riang.
            “Aku lagi di Starbucks. Lagi input data sambil minum,” jawab Maira ringan.
            “Mau aku jemput?” tanya Ben.
            “Bukannya kamu ada rapat?” tanya Maira balik.
            “Aku pulang cepat, aku ijin sama bos,” jawab Ben.
            “Yakin nggak apa-apa kalau kamu minta ijin gitu?” tanya Maira, sedikit rasa senang menyeruak di dadanya.
            “Iya, Sayang. Aku mau menebus kesalahanku padamu. Bolehkah aku menjemputmu?” tanya Ben lembut. Maira tersenyum kecil saat mendengar ucapan itu. Ben kembali menjadi dirinya lagi. Ben yang perhatian dan selalu mengutamakan dirinya. Ya, Ben berhak menerima permintaan maafnya. Sangat berhak.
            “Bagaimana dengan ibu?” tanya Maira, yang sepenuhnya hanya basa-basi.
            “Saudara ayahku berkunjung tadi siang ke hotel dan akan membawa ibu sekalian ke tempat pertemuan,” jelas Ben.
            “Benarkah?” tanya Maira lagi.
            “Iya, Sayang,” jawab Ben lembut.
            “Baiklah. Aku ada di Setia Budi,” jawab Maira.
            “OK, aku berangkat sekarang. Tunggu aku, ya,” kata Ben dengan semangat.
            “I love you, Maira.”
            “Love you, too, Ben.”
            Maira pun meletakkan ponselnya di meja, lalu kembali berkutat dengan laptopnya. Jarak dari kantor Ben ke sini kurang lebih satu jam, berarti masih ada waktu untuk menyelesaikan pekerjaanku, batin Maira.
            Perasaannya pun berubah menjadi bahagia. Harapannya seakan tumbuh lagi setelah terjebak oleh sebuah wasiat yang misterius itu. Maira begitu bahagia, setidaknya Ben mau berusaha untuk menyelesaikan masalah keluarganya tersebut dan berjuang demi kebahagiaan Maira. Kebahagiaan mereka.

∞∞∞∞∞

Tidak ada komentar: