Rabu, 07 Juni 2017

A STRUGGLE HEARTS (21+) - BAB 4




BAB 4


            Maira masih bisa merasakan perasaan bahagia itu setiap kali mengingat kejadian dua hari yang lalu, ketika Ben melamarnya langsung ke Mama dan Papa. Meskipun sempat terlihat raut ragu di wajah Papa, tapi pada akhirnya Papa menerima dan semua pun tersenyum dan menangis bahagia.
            Ben berencana membawa ibunya untuk datang ke Jakarta dan melamar Maira secara resmi. Ibu Ben tinggal di Bali hanya ditemani oleh seorang perawat yang selalu menjaga dan merawatnya, sedangkan ayah Ben sudah meninggal saat pria itu berumur dua puluh lima tahun.
            Kemarin malam, Ben langsung membeli tiket penerbangan dan tiba di Bali pukul setengah sebelas. Pria itu langsung menghubunginya saat mendaat di Bandara Internasional Ngurah Rai, Bali. Hal ini memang sangat mendadak karena Ben sudah tidak sabar dan tidak ingin mengulur-ulur waktu lagi.
            Saat Ben mengatakan padanya kalau pria itu ingin menyusun pernikahan mereka sesegera mungkin, Maira hanya bisa tersenyum lembut dan membelai wajah Ben dengan penuh cinta. Maira tidak menyangka bahwa begitu besar antusias dan keseriusan Ben dengan rencana pernikahan ini. Pria itu tidak main-main dengan perasaannya.
            Hari ini adalah waktunya Ben bersama keluarga. Ia tidak ingin mengganggu mereka, jadi Maira mulai mencari-cari kesibukan untuk mengisi hari Sabtunya yang kosong. Maira membuka kulkas dan menyadari kalau kulkas tersebut hampir kosong. Ia pun segera mandi dan bersiap-siap untuk pergi ke mall terdekat, mengisi waktu dengan berjalan-jalan di mall, dan membeli persediaan makanan untuk satu minggu ke depan.
            Setelah selesai mengenakan baju, ia langsung menyisir rambutnya yang panjang dan menguncir kuda. Ia mengenakan celana hotpants berwarna hitam dan kaos polos berwarna putih, yang melekat tepat di tubuhnya. Sepatu kets berwarna putih membuatnya tampak sporty namun santai. Ia menyemprotkan parfum, lalu mengambil tas kecilnya, kemudian memasukkan dompet, parfum serta ponsel ke tas itu. Maira menyelempangkan tas itu dan menatap pancaran dirinya di cermin sebelum akhirnya ia keluar dari rumah dan mengunci pagarnya.
            Hari ini Maira memutuskan untuk berjalan kaki menuju salah satu halte busway, yang tidak begitu jauh dari rumah, dan meninggalkan mobilnya di rumah. Hanya sekitar sepuluh menit berjalan kaki dan ia pun tiba di halte tersebut. Maira mendengarkan musik yang mengalun melalui earphone sambil menunggu bus. Beberapa menit kemudian, bus pun tiba. Ia langsung melangkah masuk ke dalam bus yang tidak terlalu penuh itu.
            Maira mencari tempat duduk yang kosong, tapi ternyata semua tempat duduk telah terisi. Ia pun berdiri sambil berpegangan di salah satu pengait. Alunan syahdu dan suara merdu Adelle saat menyanyikan lagu all i ask, membuat perasaannya tenang.
            Hari ini cuaca begitu cerah. Kendaraan di jalanan pun tampak tidak terlalu ramai. Tiba-tiba ponsel Maira berbunyi. Ia langsung menekan tombol di earphone-nya.
            “Halo,” jawab Maira.
            “Ra, lo lagi di mana? Gue mau cerita sesuatu,” ucap Desi langsung di seberang sana.
            “Gue lagi di bus, mau ke mall. Kenapa?” tanya Maira sambil terus berpegangan pada pegangannya.
            “Ooh gitu ... ya udah, nanti sore gue telepon lagi deh,” jawab Desi dengan nada sedikit kecewa.
            “Nggak apa-apa. Cerita aja, Des. Gue masih jauh kok,” bujuk Maira pada temannya itu.
            Desi terdiam beberapa detik dan Maira tetap dengan sabar menunggu temannya itu untuk berbicara.
            “Gini, Ra. Sebenarnya ini tentang Steve,” ucap Desi, suaranya terdengar sedih.
            “Kenapa? Lo masih mikirin dia?” tanya Maira dengan tenang, meskipun ada sedikit perasaan kesal dan tak percaya saat Desi menyebut nama Steve. Entah mengapa Desi begitu sulit melupakan Steve. Ia tahu, Desi sangat mencintai Steve, tapi pria itu sudah menyakiti dan meninggalkannya begitu saja.
            “Semalam gue mimpiin dia lagi, Ra,” jawab Desi lemah lalu terdiam.
            “Mimpi?” tanya Maira.
            “Iya, Ra. Gue mimpi kalau dia datang terus minta maaf sama gue,” jawab Desi, suaranya terdengar semakin terpuruk dan sedih.
            “Desi,” panggil Maira lembut, “gini, ya. Bukannya gue mau jelek-jelekin Steve, tapi lo harus sadar, Des. Laki-laki itu udah pergi gitu aja. Apa lo masih mau balik lagi sama dia? Coba deh lo pikir lagi.”
            Sahabatnya yang satu ini masih belum bisa menerima kenyataan dan begitu sulit untuk lepas dari bayang-bayang Steve. Bahkan setelah kabar tentang Steve akan menikah dengan selingkuhannya itu mulai tersebar, Desi malah semakin terpuruk dan hancur. Maira sangat tidak menyukai hal itu.
            “Tapi ... sampai sekarang gue nggak tahu apa alasan dia melakukan itu ke gue, Ra,” ucap Desi mencoba membela Steve.
            “Lo masih butuh penjelasan dari dia? Terus, kalau dia jelasin semuanya, lo mau terima dia lagi? Gitu maksud lo?” tanya Maira, mencoba menyadarkan Desi.
            “Nggak gitu, Ra,” jawab Desi, merasa serba salah.
            "Lah, terus?" tanya Maira lagi. Desi terus diam, seakan sedang bergelut dengan pikirannya sendiri.
            “Des, gue nggak senang lihat lo menderita seperti ini. Tapi lo harus pikir berulang kali, apa benar lo masih mau terima pria yang udah nyakitin perasaan lo dan keluarga lo? Yang sudah selingkuh di belakang lo? Please, Des ... pria di dunia ini bukan cuma Steve. Masih banyak di luar sana yang lebih tampan dan lebih baik daripada si Steve,” kata Maira memberi nasehat, berharap Desi bisa membuka hati dan pikiran yang selama ini tertutupi oleh Steve.
            Desi masih terdiam. Tak lama kemudian, Maira mendengar suara hembusan napas Desi yang berat. “Iya, Ra. Gue tahu. Tapi, semua ini masih terasa berat, Ra,” jawab Desi, merasa putus asa.
            “Gue ngerti, Des. Makanya, kalau ada yang ajak kenalan atau apa pun itu, lo terima saja. Siapa tahu bisa menghilangkan kenangan laki-laki itu dari pikiran lo,” kata Maira, mencoba memberi saran pada Desi.
            “Iya kali, ya,” ucap Desi, terdengar sedikit semangat di suara wanita itu.
            “Terima kasih, Ra. Lo udah mau dengerin gue,” lanjut Desi.
            “Kita itu sahabat, Des. Lo ingat, kan?”
            “Iya, Ra. Gue selalu ingat itu. Terima kasih ya, Ra.
            “Sama-sama, Des. Have a nice day.”
            “Have a nice day, too, Ra.
            Percakapan mereka pun berakhir dan berselang beberapa menit kemudian, bus itu pun berhenti di halte yang berada tepat di depan mall. Maira langsung beranjak dari tempatnya dan berjalan keluar dari bus bersama dengan beberapa orang yang seakan memiliki tujuan yang sama dengannya. 
            Maira berjalan di jembatan penyeberangan yang cukup panjang dan berisi beberapa orang yang sedang menjajakan dagangannya. Udara terasa semakin panas dan sinar matahari pun semakin terik bersamaan dengan bertambah siangnya hari, membuat kulitnya yang putih bersinar terasa seperti terbakar.
            Ia berjalan cepat menuju pintu masuk mall dan berjalan melalui pintu kaca yang terbuka otomatis. Kedatangannya pun disambut oleh suasana yang begitu sejuk dan dingin. Matanya mengamati setiap toko-toko yang menjajakan bermacam-macam barang. Tanpa ragu ia pun langsung berjalan menuju eskalator, yang berada tepat di tengah-tengah lantai dasar, yang membawanya turun ke lantai basement tempat pusat perbelanjaan yang ia tuju.
            Sesampainya di lantai itu, ia mengambil sebuah troli, dan mendorongnya ke dalam pusat perbelanjaan. Rak-rak yang tersusun rapi dengan berbagai macam makanan, minuman serta segala macam kebutuhan hidup tersedia di sana. Ia berjalan menuju tempat sayur-sayuran. 
            Aroma yang berasal dari buah-buah serta berbagai macam sayuran terasa begitu menyegarkan. Maira mengambil beberapa ikat sayur dan buah untuk persediaan selama seminggu. Tak lupa juga ia mengambil beberapa bumbu dapur yang sudah terbungkus menjadi satu.
            Setelah itu, ia berjalan ke arah los daging. Lemari pendingin yang berbaris rapi, menyimpan berbagai macam daging ayam, sapi, ikan, dan beberapa jenis daging lainnya. Ia mengambil dua pak daging ayam dan satu pak daging sapi potong. Setelah itu, ia pun mengambil sebungkus sosis serta nugget, lalu mengambil sebungkus kentang potong, dan memasukkannya ke troli.
            Ia pun berjalan santai meninggalkan bagian sayur dan daging-dagingan itu menuju lorong yang lain. Matanya tertuju pada barang-barang yang terpajang di kanan-kirinya sambil mencari sesuatu yang mungkin ia butuhkan.
            ‘BRAKKK!!’
            Troli lain menabrak trolinya dengan sangat keras dari sebelah kirinya. Begitu keras sampai gagang troli itu mendorong tubuhnya, membentur perut Maira dengan kencang, seakan sebuah batu menghujam perutnya, dan membuatnya mengernyit kesakitan. Sedangkan roda besi troli melindas kakinya. Meskipun mengenakan sepatu, tapi tetap saja terasa sakit.
            Maira berusaha menahan trolinya agar tidak jatuh, tapi yang terjadi malah sebaliknya. Tenaga orang yang menabraknya begitu besar dibandingkan dengan tubuh mungilnya, yang hanya berukuran seratus enam puluh centimeter dengan berat lima puluh kilo saja. Trolinya pun miring seketika dan Maira ikut terjatuh ke samping. Gagang troli itu pun menimpa tangannya dan earphone-nya terlepas begitu saja dari telinganya.
            “AAAAWWW!!!” rintih Maira kesakitan. Ia tersungkur di lantai. Untung sekali lorong itu tidak terlalu ramai, tapi tetap saja hal itu sangat memalukan baginya. Ada seorang ibu dengan anak dalam gendongan, menatapnya dengan pandangan kaget bercampur kasihan, tapi tak berdaya untuk menolong Maira. Orang yang menabraknya langsung menghampiri dan membantunya berdiri.
            “Maaf. Aku nggak sengaja. Maaf. Sekali lagi maaf,” ucap pria itu cepat sambil membantunya berdiri.
            Maira tidak menjawab permintaan maaf itu. Ia masih terpusat dengan rasa sakit yang sedang melandanya saat ini. Maira menggelengkan kepala, mencoba menepis amarah dan rasa nyeri yang ia rasakan di perut, kaki, dan tangannya, lalu mengalihkan pandangan ke arah si penabrak.
            “Maaf. Aku benar-benar minta maaf. Aku buru-buru,” ucap pria itu lagi sambil mendirikan troli Maira yang tergeletak di lantai, kemudian memasukkan belanjaannya, yang berserakan di lantai, ke troli itu.
            Maira memperhatikan pria itu, yang masih memasukkan satu per satu belanjaannya dengan cepat. Ia mengenakan masker serta kupluk dari bahan rajutan, dengan baju kaos lengan panjang dan celana jeans berwarna biru dongker. Mungkin orang ini lagi sakit ... tapi kalau dilihat dari postur tubuhnya yang kuat dan proposional, sepertinya pria ini terlihat sehat dan bugar. Atau ... jangan-jangan orang ini penjahat atau .... pikiran Maira mulai berasumsi yang aneh-aneh.
            “Maaf. Sekali lagi aku minta maaf,” ucap pria itu sambil menatap Maira yang sedang memperhatikan dan mengamati pria itu.
            “Ya ... ya ... lain kali hati-hati, ya,” pesan Maira sambil terus mengelus tangannya yang sakit karena tertimpa troli yang sangat berat itu.
            “Ada yang luka?” tanya pria itu tampak peduli.
            “Nggak. Nggak apa-apa,” jawab Maira cepat, tapi tidak bisa menyembunyikan kernyitan di wajahnya saat ia mencoba mendorong troli dengan tangannya. Ia menarik tangannya lalu mengusap-usap lagi tangannya yang mulai memerah.
            “Kamu terluka. Aku tahu itu,” ucap pria itu semakin mendekat dan memperhatikan Maira yang masih sibuk dengan tangan dan rasa sakit yang coba ia sembunyikan.
            “Nggak apa-apa. Nggak masalah,” ucap Maira, lalu menghembuskan napas cepat, mencoba menahan rasa kesal yang mulai timbul dalam dadanya.
            “Kamu yakin? Aku rasa kamu terluka dan perlu di ...”
            “Aku baik-baik saja, OK,” potong Maira, nadanya mulai terdengar dalam dan tegas. Berharap pria itu menjauh dan meninggalkannya sendirian.
            “Maaf. Tapi kamu yakin nggak apa-apa?” tanya pria itu lagi, yang membuat Maira benar-benar kesal kali ini.
            “Menurut kamu?? Aku ditabrak sama orang yang tenaganya kayak buldoser gitu, apa aku masih baik-baik aja? Pakai nanya lagi!” jawab Maira, menatap sinis pria itu.
            “Perutku sakit, tanganku nyeri. Puas?!” lanjut Maira lagi, ketus.
            Ia tidak pernah semarah ini sama orang, tapi campuran rasa sakit dan sikap sok perhatian yang sangat menyebalkan itu merupakan kombinasi yang benar-benar membuat amarahnya bangkit seketika. Bagaikan gunung merapi yang meletus, mengeluarkan larva panas yang dapat menyakiti siapa saja yang berada di dekatnya.
            Pria itu tidak menjawab apa-apa dan langsung dengan cekatan mendorong kedua troli mereka dengan dua tangan kekar itu.
            “Hei! Kamu mau ke mana? Mau dibawa ke mana troliku?” tanya Maira semakin kesal – benar-benar kesal – sambil mencoba menyamakan langkah dan mencegah pria itu, tapi langkah pria itu lebih besar dan lebih cepat darinya.
            “Aku akan membayar semua belanjaanmu sebagai tanda permintaan maaf. Apakah masih ada yang ingin kamu beli?” ucap pria itu tanpa memandang ke arahnya sambil terus mendorong troli itu menjauh dari lorong tempat kejadian.
            “Dasar orang aneh,” gerutu Maira dengan suara kecil hampir seperti berbisik. Ia mengerutkan keningnya, menatap pria itu dengan tatapan kesal. Seakan menyadari pandangan kesal Maira, pria itu mengalihkan pandangannya ke Maira dan dengan cepat Maira memalingkan wajahnya ke arah lain.
            Pria itu melangkah semakin cepat dan Maira pun mulai berlari kecil hingga bisa berada tepat di samping pria itu. “Tunggu!” kata Maira tiba-tiba, mencoba menghentikan langkah pria itu. Dengan seketika, pria itu menghentikan langkah dan menoleh ke arahnya. Maira pun berhenti dan napasnya terengah-engah karena rasa lelah, sakit, dan kesal bercampur menjadi satu.
            “Masih mau beli sesuatu?” tanya pria itu datar.
            Maira tampak diam sesaat. Apa benar orang ini mau bayarin semua belanjaanku? Kalau benar, aku jadi nggak enak sama dia. Tapi ... ah sudahlah, pikir Maira sesaat.
            “UHT ... aku mau beli susu UHT. Tunggu di sini,” ucap Maira seperti memerintah.
            Maira berjalan menuju lorong susu, mengambil tiga kotak susu UHT berukuran besar, membawanya dalam pelukan, lalu kembali troli, dan meletakkan susu itu di dalamnya.
            “Ada lagi?” tanya pria itu.
            Maira menggelengkan kepala. Pria itu langsung berjalan sambil mendorong troli mereka menuju meja kasir. Mereka mengantri, menunggu dua orang yang ada di depan mereka. Selama menunggu, ia sama sekali tidak berbicara dengan pria itu, keadaan ini benar-benar sangat canggung.
            Akhirnya tiba giliran mereka maju ke depan kasir. Pria itu dengan cekatan meletakkan semua belanjaan mereka di meja kasir. Si kasir bekerja dengan sangat cepat, lalu seorang petugas yang lain memasukkan belanjaan mereka ke beberapa plastik, kemudian meletakkan belanjaan itu ke dalam troli.
            Pria itu mengeluarkan dompet, mengeluarkan sebuah kartu, lalu memberikannya pada kasir. Setelah membayar semua, pria itu langsung mendorong troli yang berisi belanjaan. Maira memperhatikan pria itu dengan tatapan heran.
            “Hei ... tunggu!” panggil Maira saat pria itu berjalan sambil lalu.
            “Apa?” tanya pria itu, menghentikan langkah lalu menoleh ke arah Maira.
            “Belanjaanku?” tanya Maira sambil mengulurkan tangan, meminta belanjaannya dari pria itu.
            “Aku yang bawa. Tanganmu masih sakit, aku akan mengantar sampai ke mobilmu,” ucap pria itu dengan nada sedikit sinis. Mata berwarna cokelat almond, yang menatapnya dengan tajam, membuat Maira merasakan sebuah serangan ketakutan yang begitu dalam. Perasaan kesal dan keketusan yang coba ia tunjukkan pun sirna seketika karena tatapan itu.
            “Aku ... aku naik bus ke sini. Aku bisa bawa belanjaan itu sendiri,” jawab Maira gugup. Kenapa aku jadi gugup? batinnya.
            “OK. Aku akan mengantarmu pulang,” ucap pria itu singkat.
            “What?” ucap Maira tak percaya. Pria itu seakan tidak peduli dengan penolakan Maira dan berjalan semakin menjauh. Maira langsung berjalan cepat, menyamakan langkahnya dengan pria itu.
            “Stop!” perintah Maira, kali ini ia benar-benar mengumpulkan keberanian dalam dirinya. Seberapa tajam dan dalamnya mata cokelat itu, ia tetap harus bisa mengambil kontrol di sini. Pria itu langsung berhenti, begitu juga dengan troli yang ada di hadapannya. Pria itu membalikkan badan, menghadap ke Maira, lalu melipat kedua tangan di depan dada bidang itu sambil menatap Maira dalam-dalam.
            “Ini nggak benar,” ucap Maira langsung.
            “Kenapa?” tanya pria itu cuek.
            “Aku nggak kenal siapa kamu. Siapa tahu kamu itu buronan atau psikopat. Nggak. Nggak. Nggak. Aku nggak sebodoh itu. Sini! Balikin belanjaanku!” ucap Maira, kali ini terdengar benar-benar tegas.
            Pria itu tidak langsung menanggapi ucapan Maira. Tatapan itu semakin dalam dan tajam, wajah pria itu terlihat geram dan kesal, yang malah membuat Maira jadi semakin salah tingkah. “Aku bukan orang jahat apalagi psiko seperti yang kamu pikirkan. Lagi pula ...” ucap pria itu sambil menatap Maira dari ujung kaki ke kepala dengan pandangan menyelidik, “kamu bukan tipeku, jadi aku nggak mungkin berbuat hal yang aneh-aneh.”
            Dengan tatapan tidak peduli, pria itu beranjak meninggalkan Maira yang masih berdiri di tempatnya. What?? Kenapa jadi dia yang lebih ketus? batinnya semakin tidak percaya. Ia pun beranjak dari tempatnya, mengejar pria yang sudah berada membawa belanjaannya itu.

∞∞∞∞∞

Tidak ada komentar: