BAB 4
Maira masih bisa merasakan perasaan
bahagia itu setiap kali mengingat kejadian dua hari yang lalu, ketika Ben
melamarnya langsung ke Mama dan Papa. Meskipun sempat terlihat raut ragu di
wajah Papa, tapi pada akhirnya Papa menerima dan semua pun tersenyum dan
menangis bahagia.
Ben berencana membawa ibunya untuk
datang ke Jakarta dan melamar Maira secara resmi. Ibu Ben tinggal di Bali hanya
ditemani oleh seorang perawat yang selalu menjaga dan merawatnya, sedangkan
ayah Ben sudah meninggal saat pria itu berumur dua puluh lima tahun.
Kemarin malam, Ben langsung membeli
tiket penerbangan dan tiba di Bali pukul setengah sebelas. Pria itu langsung
menghubunginya saat mendaat di Bandara Internasional Ngurah Rai, Bali. Hal ini
memang sangat mendadak karena Ben sudah tidak sabar dan tidak ingin
mengulur-ulur waktu lagi.
Saat Ben mengatakan padanya kalau
pria itu ingin menyusun pernikahan mereka sesegera mungkin, Maira hanya bisa
tersenyum lembut dan membelai wajah Ben dengan penuh cinta. Maira tidak
menyangka bahwa begitu besar antusias dan keseriusan Ben dengan rencana
pernikahan ini. Pria itu tidak main-main dengan perasaannya.
Hari ini adalah waktunya Ben bersama
keluarga. Ia tidak ingin mengganggu mereka, jadi Maira mulai mencari-cari
kesibukan untuk mengisi hari Sabtunya yang kosong. Maira membuka kulkas dan
menyadari kalau kulkas tersebut hampir kosong. Ia pun segera mandi dan
bersiap-siap untuk pergi ke mall terdekat, mengisi waktu dengan berjalan-jalan
di mall, dan membeli persediaan makanan untuk satu minggu ke depan.
Setelah selesai mengenakan baju, ia
langsung menyisir rambutnya yang panjang dan menguncir kuda. Ia mengenakan
celana hotpants berwarna hitam dan kaos polos berwarna putih,
yang melekat tepat di tubuhnya. Sepatu kets berwarna putih membuatnya tampak sporty namun
santai. Ia menyemprotkan parfum, lalu mengambil tas kecilnya, kemudian
memasukkan dompet, parfum serta ponsel ke tas itu. Maira menyelempangkan tas
itu dan menatap pancaran dirinya di cermin sebelum akhirnya ia keluar dari
rumah dan mengunci pagarnya.
Hari ini Maira memutuskan untuk
berjalan kaki menuju salah satu halte busway, yang tidak begitu
jauh dari rumah, dan meninggalkan mobilnya di rumah. Hanya sekitar sepuluh
menit berjalan kaki dan ia pun tiba di halte tersebut. Maira mendengarkan musik
yang mengalun melalui earphone sambil menunggu bus. Beberapa
menit kemudian, bus pun tiba. Ia langsung melangkah masuk ke dalam bus yang
tidak terlalu penuh itu.
Maira mencari tempat duduk yang
kosong, tapi ternyata semua tempat duduk telah terisi. Ia pun berdiri sambil
berpegangan di salah satu pengait. Alunan syahdu dan suara merdu Adelle saat
menyanyikan lagu all i ask, membuat perasaannya tenang.
Hari ini cuaca begitu cerah.
Kendaraan di jalanan pun tampak tidak terlalu ramai. Tiba-tiba ponsel Maira
berbunyi. Ia langsung menekan tombol di earphone-nya.
“Halo,” jawab Maira.
“Ra, lo lagi di mana? Gue mau
cerita sesuatu,” ucap Desi langsung di seberang sana.
“Gue lagi di bus, mau ke mall.
Kenapa?” tanya Maira sambil terus berpegangan pada pegangannya.
“Ooh gitu ... ya udah, nanti sore
gue telepon lagi deh,” jawab Desi dengan nada sedikit kecewa.
“Nggak apa-apa. Cerita aja, Des. Gue
masih jauh kok,” bujuk Maira pada temannya itu.
Desi terdiam beberapa detik dan
Maira tetap dengan sabar menunggu temannya itu untuk berbicara.
“Gini, Ra. Sebenarnya ini tentang
Steve,” ucap Desi, suaranya terdengar sedih.
“Kenapa? Lo masih mikirin dia?”
tanya Maira dengan tenang, meskipun ada sedikit perasaan kesal dan tak percaya
saat Desi menyebut nama Steve. Entah mengapa Desi begitu sulit melupakan Steve.
Ia tahu, Desi sangat mencintai Steve, tapi pria itu sudah menyakiti dan
meninggalkannya begitu saja.
“Semalam gue mimpiin dia lagi,
Ra,” jawab Desi lemah lalu terdiam.
“Mimpi?” tanya Maira.
“Iya, Ra. Gue mimpi kalau dia
datang terus minta maaf sama gue,” jawab Desi, suaranya terdengar semakin
terpuruk dan sedih.
“Desi,” panggil Maira lembut, “gini,
ya. Bukannya gue mau jelek-jelekin Steve, tapi lo harus sadar, Des. Laki-laki
itu udah pergi gitu aja. Apa lo masih mau balik lagi sama dia? Coba deh lo
pikir lagi.”
Sahabatnya yang satu ini masih belum
bisa menerima kenyataan dan begitu sulit untuk lepas dari bayang-bayang Steve.
Bahkan setelah kabar tentang Steve akan menikah dengan selingkuhannya itu mulai
tersebar, Desi malah semakin terpuruk dan hancur. Maira sangat tidak menyukai
hal itu.
“Tapi ... sampai sekarang gue
nggak tahu apa alasan dia melakukan itu ke gue, Ra,” ucap Desi mencoba
membela Steve.
“Lo masih butuh penjelasan dari dia?
Terus, kalau dia jelasin semuanya, lo mau terima dia lagi? Gitu maksud lo?”
tanya Maira, mencoba menyadarkan Desi.
“Nggak gitu, Ra,” jawab Desi,
merasa serba salah.
"Lah, terus?" tanya Maira
lagi. Desi terus diam, seakan sedang bergelut dengan pikirannya sendiri.
“Des, gue nggak senang lihat lo menderita
seperti ini. Tapi lo harus pikir berulang kali, apa benar lo masih mau terima
pria yang udah nyakitin perasaan lo dan keluarga lo? Yang sudah selingkuh di
belakang lo? Please, Des ... pria di dunia ini bukan cuma Steve.
Masih banyak di luar sana yang lebih tampan dan lebih baik daripada si Steve,”
kata Maira memberi nasehat, berharap Desi bisa membuka hati dan pikiran yang
selama ini tertutupi oleh Steve.
Desi masih terdiam. Tak lama
kemudian, Maira mendengar suara hembusan napas Desi yang berat. “Iya, Ra.
Gue tahu. Tapi, semua ini masih terasa berat, Ra,” jawab Desi, merasa putus
asa.
“Gue ngerti, Des. Makanya, kalau ada
yang ajak kenalan atau apa pun itu, lo terima saja. Siapa tahu bisa
menghilangkan kenangan laki-laki itu dari pikiran lo,” kata Maira, mencoba
memberi saran pada Desi.
“Iya kali, ya,” ucap Desi,
terdengar sedikit semangat di suara wanita itu.
“Terima kasih, Ra. Lo udah mau
dengerin gue,” lanjut Desi.
“Kita itu sahabat, Des. Lo ingat,
kan?”
“Iya, Ra. Gue selalu ingat itu.
Terima kasih ya, Ra.”
“Sama-sama, Des. Have a nice
day.”
“Have a nice day, too, Ra.”
Percakapan mereka pun berakhir dan
berselang beberapa menit kemudian, bus itu pun berhenti di halte yang berada
tepat di depan mall. Maira langsung beranjak dari tempatnya dan berjalan keluar
dari bus bersama dengan beberapa orang yang seakan memiliki tujuan yang sama
dengannya.
Maira berjalan di jembatan
penyeberangan yang cukup panjang dan berisi beberapa orang yang sedang
menjajakan dagangannya. Udara terasa semakin panas dan sinar matahari pun
semakin terik bersamaan dengan bertambah siangnya hari, membuat kulitnya yang
putih bersinar terasa seperti terbakar.
Ia berjalan cepat menuju pintu masuk
mall dan berjalan melalui pintu kaca yang terbuka otomatis. Kedatangannya pun
disambut oleh suasana yang begitu sejuk dan dingin. Matanya mengamati setiap
toko-toko yang menjajakan bermacam-macam barang. Tanpa ragu ia pun langsung
berjalan menuju eskalator, yang berada tepat di tengah-tengah lantai dasar,
yang membawanya turun ke lantai basement tempat pusat perbelanjaan yang ia
tuju.
Sesampainya di lantai itu, ia
mengambil sebuah troli, dan mendorongnya ke dalam pusat perbelanjaan. Rak-rak
yang tersusun rapi dengan berbagai macam makanan, minuman serta segala macam
kebutuhan hidup tersedia di sana. Ia berjalan menuju tempat
sayur-sayuran.
Aroma yang berasal dari buah-buah
serta berbagai macam sayuran terasa begitu menyegarkan. Maira mengambil
beberapa ikat sayur dan buah untuk persediaan selama seminggu. Tak lupa juga ia
mengambil beberapa bumbu dapur yang sudah terbungkus menjadi satu.
Setelah itu, ia berjalan ke arah los
daging. Lemari pendingin yang berbaris rapi, menyimpan berbagai macam daging
ayam, sapi, ikan, dan beberapa jenis daging lainnya. Ia mengambil dua pak
daging ayam dan satu pak daging sapi potong. Setelah itu, ia pun mengambil
sebungkus sosis serta nugget, lalu mengambil sebungkus kentang potong, dan
memasukkannya ke troli.
Ia pun berjalan santai meninggalkan
bagian sayur dan daging-dagingan itu menuju lorong yang lain. Matanya tertuju
pada barang-barang yang terpajang di kanan-kirinya sambil mencari sesuatu yang
mungkin ia butuhkan.
‘BRAKKK!!’
Troli lain menabrak trolinya dengan
sangat keras dari sebelah kirinya. Begitu keras sampai gagang troli itu
mendorong tubuhnya, membentur perut Maira dengan kencang, seakan sebuah batu
menghujam perutnya, dan membuatnya mengernyit kesakitan. Sedangkan roda besi
troli melindas kakinya. Meskipun mengenakan sepatu, tapi tetap saja terasa
sakit.
Maira berusaha menahan trolinya agar
tidak jatuh, tapi yang terjadi malah sebaliknya. Tenaga orang yang menabraknya
begitu besar dibandingkan dengan tubuh mungilnya, yang hanya berukuran seratus
enam puluh centimeter dengan berat lima puluh kilo saja. Trolinya pun miring
seketika dan Maira ikut terjatuh ke samping. Gagang troli itu pun menimpa
tangannya dan earphone-nya terlepas begitu saja dari telinganya.
“AAAAWWW!!!” rintih Maira kesakitan.
Ia tersungkur di lantai. Untung sekali lorong itu tidak terlalu ramai, tapi
tetap saja hal itu sangat memalukan baginya. Ada seorang ibu dengan anak dalam
gendongan, menatapnya dengan pandangan kaget bercampur kasihan, tapi tak
berdaya untuk menolong Maira. Orang yang menabraknya langsung menghampiri dan
membantunya berdiri.
“Maaf. Aku nggak sengaja. Maaf.
Sekali lagi maaf,” ucap pria itu cepat sambil membantunya berdiri.
Maira tidak menjawab permintaan maaf
itu. Ia masih terpusat dengan rasa sakit yang sedang melandanya saat ini. Maira
menggelengkan kepala, mencoba menepis amarah dan rasa nyeri yang ia rasakan di
perut, kaki, dan tangannya, lalu mengalihkan pandangan ke arah si penabrak.
“Maaf. Aku benar-benar minta maaf.
Aku buru-buru,” ucap pria itu lagi sambil mendirikan troli Maira yang
tergeletak di lantai, kemudian memasukkan belanjaannya, yang berserakan di
lantai, ke troli itu.
Maira memperhatikan pria itu, yang
masih memasukkan satu per satu belanjaannya dengan cepat. Ia mengenakan masker
serta kupluk dari bahan rajutan, dengan baju kaos lengan panjang dan celana jeans
berwarna biru dongker. Mungkin orang ini lagi sakit ... tapi kalau
dilihat dari postur tubuhnya yang kuat dan proposional, sepertinya pria ini
terlihat sehat dan bugar. Atau ... jangan-jangan orang ini penjahat atau .... pikiran
Maira mulai berasumsi yang aneh-aneh.
“Maaf. Sekali lagi aku minta maaf,”
ucap pria itu sambil menatap Maira yang sedang memperhatikan dan mengamati pria
itu.
“Ya ... ya ... lain kali hati-hati,
ya,” pesan Maira sambil terus mengelus tangannya yang sakit karena tertimpa
troli yang sangat berat itu.
“Ada yang luka?” tanya pria itu
tampak peduli.
“Nggak. Nggak apa-apa,” jawab Maira
cepat, tapi tidak bisa menyembunyikan kernyitan di wajahnya saat ia mencoba
mendorong troli dengan tangannya. Ia menarik tangannya lalu mengusap-usap lagi
tangannya yang mulai memerah.
“Kamu terluka. Aku tahu itu,” ucap
pria itu semakin mendekat dan memperhatikan Maira yang masih sibuk dengan
tangan dan rasa sakit yang coba ia sembunyikan.
“Nggak apa-apa. Nggak masalah,” ucap
Maira, lalu menghembuskan napas cepat, mencoba menahan rasa kesal yang mulai
timbul dalam dadanya.
“Kamu yakin? Aku rasa kamu terluka
dan perlu di ...”
“Aku baik-baik saja, OK,” potong
Maira, nadanya mulai terdengar dalam dan tegas. Berharap pria itu menjauh dan
meninggalkannya sendirian.
“Maaf. Tapi kamu yakin nggak
apa-apa?” tanya pria itu lagi, yang membuat Maira benar-benar kesal kali ini.
“Menurut kamu?? Aku ditabrak sama
orang yang tenaganya kayak buldoser gitu, apa aku masih baik-baik aja? Pakai
nanya lagi!” jawab Maira, menatap sinis pria itu.
“Perutku sakit, tanganku nyeri.
Puas?!” lanjut Maira lagi, ketus.
Ia tidak pernah semarah ini sama
orang, tapi campuran rasa sakit dan sikap sok perhatian yang sangat menyebalkan
itu merupakan kombinasi yang benar-benar membuat amarahnya bangkit seketika.
Bagaikan gunung merapi yang meletus, mengeluarkan larva panas yang dapat
menyakiti siapa saja yang berada di dekatnya.
Pria itu tidak menjawab apa-apa dan
langsung dengan cekatan mendorong kedua troli mereka dengan dua tangan kekar
itu.
“Hei! Kamu mau ke mana? Mau dibawa
ke mana troliku?” tanya Maira semakin kesal – benar-benar kesal – sambil
mencoba menyamakan langkah dan mencegah pria itu, tapi langkah pria itu lebih
besar dan lebih cepat darinya.
“Aku akan membayar semua belanjaanmu
sebagai tanda permintaan maaf. Apakah masih ada yang ingin kamu beli?” ucap
pria itu tanpa memandang ke arahnya sambil terus mendorong troli itu menjauh
dari lorong tempat kejadian.
“Dasar orang aneh,” gerutu Maira
dengan suara kecil hampir seperti berbisik. Ia mengerutkan keningnya, menatap
pria itu dengan tatapan kesal. Seakan menyadari pandangan kesal Maira, pria itu
mengalihkan pandangannya ke Maira dan dengan cepat Maira memalingkan wajahnya
ke arah lain.
Pria itu melangkah semakin cepat dan
Maira pun mulai berlari kecil hingga bisa berada tepat di samping pria itu.
“Tunggu!” kata Maira tiba-tiba, mencoba menghentikan langkah pria itu. Dengan
seketika, pria itu menghentikan langkah dan menoleh ke arahnya. Maira pun
berhenti dan napasnya terengah-engah karena rasa lelah, sakit, dan kesal
bercampur menjadi satu.
“Masih mau beli sesuatu?” tanya pria
itu datar.
Maira tampak diam sesaat. Apa
benar orang ini mau bayarin semua belanjaanku? Kalau benar, aku jadi nggak enak
sama dia. Tapi ... ah sudahlah, pikir Maira sesaat.
“UHT ... aku mau beli susu UHT.
Tunggu di sini,” ucap Maira seperti memerintah.
Maira berjalan menuju lorong susu,
mengambil tiga kotak susu UHT berukuran besar, membawanya dalam pelukan, lalu
kembali troli, dan meletakkan susu itu di dalamnya.
“Ada lagi?” tanya pria itu.
Maira menggelengkan kepala. Pria itu
langsung berjalan sambil mendorong troli mereka menuju meja kasir. Mereka
mengantri, menunggu dua orang yang ada di depan mereka. Selama menunggu, ia
sama sekali tidak berbicara dengan pria itu, keadaan ini benar-benar sangat
canggung.
Akhirnya tiba giliran mereka maju ke
depan kasir. Pria itu dengan cekatan meletakkan semua belanjaan mereka di meja
kasir. Si kasir bekerja dengan sangat cepat, lalu seorang petugas yang lain
memasukkan belanjaan mereka ke beberapa plastik, kemudian meletakkan belanjaan
itu ke dalam troli.
Pria itu mengeluarkan dompet,
mengeluarkan sebuah kartu, lalu memberikannya pada kasir. Setelah membayar
semua, pria itu langsung mendorong troli yang berisi belanjaan. Maira
memperhatikan pria itu dengan tatapan heran.
“Hei ... tunggu!” panggil Maira saat
pria itu berjalan sambil lalu.
“Apa?” tanya pria itu, menghentikan
langkah lalu menoleh ke arah Maira.
“Belanjaanku?” tanya Maira sambil
mengulurkan tangan, meminta belanjaannya dari pria itu.
“Aku yang bawa. Tanganmu masih
sakit, aku akan mengantar sampai ke mobilmu,” ucap pria itu dengan nada sedikit
sinis. Mata berwarna cokelat almond, yang menatapnya dengan tajam, membuat
Maira merasakan sebuah serangan ketakutan yang begitu dalam. Perasaan kesal dan
keketusan yang coba ia tunjukkan pun sirna seketika karena tatapan itu.
“Aku ... aku naik bus ke sini. Aku
bisa bawa belanjaan itu sendiri,” jawab Maira gugup. Kenapa aku jadi
gugup? batinnya.
“OK. Aku akan mengantarmu pulang,”
ucap pria itu singkat.
“What?” ucap Maira tak
percaya. Pria itu seakan tidak peduli dengan penolakan Maira dan berjalan semakin
menjauh. Maira langsung berjalan cepat, menyamakan langkahnya dengan pria itu.
“Stop!” perintah Maira, kali
ini ia benar-benar mengumpulkan keberanian dalam dirinya. Seberapa tajam dan
dalamnya mata cokelat itu, ia tetap harus bisa mengambil kontrol di sini. Pria
itu langsung berhenti, begitu juga dengan troli yang ada di hadapannya. Pria
itu membalikkan badan, menghadap ke Maira, lalu melipat kedua tangan di depan
dada bidang itu sambil menatap Maira dalam-dalam.
“Ini nggak benar,” ucap Maira
langsung.
“Kenapa?” tanya pria itu cuek.
“Aku nggak kenal siapa kamu. Siapa
tahu kamu itu buronan atau psikopat. Nggak. Nggak. Nggak. Aku nggak sebodoh
itu. Sini! Balikin belanjaanku!” ucap Maira, kali ini terdengar benar-benar
tegas.
Pria itu tidak langsung menanggapi
ucapan Maira. Tatapan itu semakin dalam dan tajam, wajah pria itu terlihat
geram dan kesal, yang malah membuat Maira jadi semakin salah tingkah. “Aku
bukan orang jahat apalagi psiko seperti yang kamu pikirkan. Lagi pula ...” ucap
pria itu sambil menatap Maira dari ujung kaki ke kepala dengan pandangan
menyelidik, “kamu bukan tipeku, jadi aku nggak mungkin berbuat hal yang
aneh-aneh.”
Dengan tatapan tidak peduli, pria
itu beranjak meninggalkan Maira yang masih berdiri di tempatnya. What??
Kenapa jadi dia yang lebih ketus? batinnya semakin tidak percaya. Ia
pun beranjak dari tempatnya, mengejar pria yang sudah berada membawa
belanjaannya itu.
∞∞∞∞∞
Tidak ada komentar:
Posting Komentar