Kamis, 08 Juni 2017

A STRUGGLE HEARTS (21+) - BAB 5




BAB 5


            "Hei! Tunggu dulu!" teriak Maira sambil mengejar pria itu, lalu menarik ujung bajunya.
            Pria itu pun berhenti, menoleh cepat ke arah Maira, lalu menatapnya dengan tatapan kesal bercampur malas. "Apa lagi?" tanya pria itu terdengar geram di balik masker yang menutupi mulutnya. Loh ... loh ... kenapa jadi pria ini lebih galak dari aku? batin Maira sambil mengatur napasnya.
            "Aku ... aku ... naik taksi," kata Maira terengah-engah.
            Pria itu memperhatikan, meneliti, dan mempelajarinya dengan seksama. Seakan menyadari isi pikirannya, pria itu terlihat tampak ragu sesaat, menaikkan salah satu alis matanya, lalu menghembuskan napas singkat. "OK, aku antar," ucap pria itu cepat, lalu meninggalkan Maira begitu saja tanpa basa-basi.
            Isshhh ... apa sih maunya? batin Maira semakin kesal sambil mengekor di belakang pria itu. Tak lama kemudian, mereka pun tiba di pintu utama. Pria itu menyuruh Maira untuk duduk di kursi tunggu, sementara pria itu menunggu sebuah taksi yang sedang berjalan ke arah mereka. Taksi itu berhenti tepat di depannya.
            Maira langsung berdiri dan berjalan ke sisi mobil. Supir taksi membuka pintu untuknya, sedangkan pria itu memasukkan plastik belanjaannya ke mobil. "Terima kasih," ucap Maira singkat, tanpa melihat sedikit pun ke arah pria itu.
            "Take care," ucap pria itu sebelum menutup pintu di sampingnya. Maira mencuri pandang melalui kaca spion taksi saat ia bergerak menjauh dari mall. Pria itu masih terus berdiri memperhatikan taksi yang ia tumpangi, sampai akhirnya pria itu menghilang dari arah pandangnya. Maira berharap ia tidak bertemu lagi dengan pria itu.
∞∞∞∞∞
            Ia tiba di rumah menjelang sore. Maira mengeluarkan belanjaan dari taksi, lalu membiarkannya tergeletak begitu saja di meja makan. Maira masih bisa merasakan sedikit nyeri di bagian perut dan tangan. Ia melangkah menuju kamar mandi, membuka baju, dan melihat sedikit memar yang semakin terlihat jelas di perut dan tangannya.
            Setelah mengamati sebentar memar tersebut, ia langsung berjalan ke bawah pancuran air. Membasuh tubuhnya dengan perlahan sambil menikmati air dingin yang menyentuh sekujur tubuhnya dengan lembut.
            Setelah mandi, dengan segera ia mengenakan pakaian tidur dan menggulung rambutnya yang masih basah dengan handuk kecil, lalu berjalan keluar dari kamar tidur. Ia merapikan belanjaannya, kemudian menyiapkan makan malam untuk dirinya sendiri.
            Biasanya, ketika Ben masih ada di Jakarta, pria itu selalu makan malam di rumah Maira. Dan saat ini, kesepian itu mulai mengisi sorenya. Maira meletakkan makanan di meja makan, lalu menyalakan televisi, kemudian duduk di kursi sambil menikmati makan malamnya.
            Maira mencoba menghubungi Ben. Hari ini pria itu sama sekali belum memberinya kabar. "Halo, Sayang," sapa Ben menjawab teleponnya.
            "Bagaimana keadaan di sana, Ben?" tanya Maira lalu memasukkan sesendok makanan ke dalam mulutnya yang lapar.
            "Lancar, Sayang. Besok aku pulang, tapi ..." Ben terdiam sejenak. Maira, yang merasakan ada sesuatu kejanggalan dalam nada bicara Ben, langsung meletakkan sendoknya dan menelan makanan dalam mulutnya dengan cepat. Seketika itu pula rasa kenyang menghampirinya.
            "Tapi apa, Ben?" tanya Maira, mencoba untuk tenang meskipun keresahan mulai melandanya.
            "Minggu depan aku harus kembali ke Bali ... atasanku ... ada proyek khusus yang harus aku kerjakan di sini," jawab Ben, terdengar gugup dan ragu.
            Maira mencoba untuk mencerna informasi yang baru saja ia terima. Namun ada sesuatu di dalam hatinya, yang entah kenapa, mengatakan kalau tugas ini terlalu mendadak. "Berapa lama, Ben?" tanya Maira mencoba tenang sambil memutar pikirannya.
            "Maafkan aku, Sayang. Ini kesempatan untukku. Kalau proyeknya lancar dan sukses, aku bisa dipromosikan untuk naik jabatan. Aku melakukan ini untuk kita, Sayang. Untuk masa depan kita," kata Ben lagi mencoba memberi pengertian padanya.
            Penjelasan itu bukannya membuat Maira tenang, malah semakin menguatkan rasa curiga dalam dirinya. "Aku tanya, berapa lama kamu di sana, Ben?" tanya Maira lagi, masih mencoba untuk tetap tenang dan sabar.
            "Kurang lebih satu bulan, Sayang," jawab Ben ragu-ragu.
            Maira tidak langsung menanggapi jawaban Ben. Otaknya berpikir dengan keras. Baru kali ini ia merasa kalau hati dan pikirannya tidak sejalan. Satu bulan? Kenapa lama sekali? Proyek apa yang sedang ia urus? Apakah harus selama itu? tanya Maira dalam hatinya sambil terus berpikir keras.
            "Maaf, Sayang. Ini perintah langsung dari atasanku, aku tidak mungkin menolaknya. Percayalah padaku, Sayang. Aku melakukan semua ini untuk masa depan kita," kata Ben mencoba menjelaskan.
            Belum saja Maira mengatakan apa-apa, tapi Ben sudah meminta maaf padanya. Maira tetap diam dan menyerap semua ini dengan sikap tenang yang ia paksakan. Ia tidak ingin masalah ini membuat hubungan mereka menjadi rusak dan menghancurkan impiannya.
            Maira merasakan perasaan kesal mulai menghampirinya. Ia pun menarik napas panjang, lalu menghembuskannya dengan pelan, mencoba membuat dirinya tetap tenang.
            "Kapan kamu tahu kalau kamu ada tugas di Bali?" tanya Maira, tenang, datar, dan dalam.
            "Tadi siang, Sayang," jawab Ben, suaranya kecil seakan takut membuat Maira marah.
            "Aku usahakan tidak sampai sebulan di sini, aku pasti segera kembali ke Jakarta," lanjut Ben, mencoba membuat Maira mengerti.
            "Kenapa kamu baru kasih tahu aku sekarang?" tanya Maira, masih menjaga intonasi nadanya agar terdengar tenang meskipun sebenarnya ia merasa sedikit kecewa karena Ben tidak langsung memberitahunya, sedangkan pria itu pasti tahu kalau hal ini sangat berpengaruh pada hubungan mereka.
            "Maafkan aku, Sayang. Aku bermaksud memberitahu saat aku tiba di Jakarta. Aku nggak mau kamu kecewa atau berpikiran buruk padaku, Ra," ucap Ben mencoba membela diri.
            "Lalu bagaimana dengan lamaran keluargamu ke orangtuaku, Ben?" tuntut Maira. Ia tidak ingin lamaran ini diundur dan membuat dirinya malu di depan keluarganya.
            "Aku sudah atur semuanya, Sayang. Aku sudah minta ijin ke atasanku dan dia memberiku ijin satu minggu ini untuk melaksanakan semuanya. Besok ... besok aku akan datang bersama ibuku ke Jakarta. Aku tidak akan mengecewakanmu, Maira," jelas Ben dengan penuh kesungguhan.
            Jawaban itu setidaknya memberikan ketenangan sesaat pada Maira. Meskipun rasa kecewa itu masih ada, namun setidaknya kesungguhan dan keseriusan Ben padanya, menghilangkan kerisauan yang melanda hatinya.
            Maira terdiam sesaat sambil berpikir. Ini memang sangat mendadak, tapi mungkin Ben benar. Semua ini demi diriku. Demi masa depan mereka. Aku tidak boleh egois. Jika ini adalah jalannya menuju kesuksesan, maka aku harus mendukung Ben. Sama seperti saat Ben mendukungku dalam bisnis yang aku bangun bersama kedua temanku, batin Maira.
            "Percayalah padaku, Sayang. Aku tidak akan mengecewakanmu sama sekali," mohon Ben dengan suara memelas, membuat Maira luluh.
            "Maukah kamu berjanji padaku?" tanya Maira. Ia harus melakukan ini agar ia merasa tenang selama pria itu berada jauh darinya.
            "Apa pun, Sayang," jawab Ben dengan cepat. Maira tersenyum saat mendengar kata-kata itu.
            "Kamu harus terus memberi kabar padaku. Di mana, sedang apa, sama siapa. Harus!" pinta Maira dengan nada sedikit menuntut, "kamu nggak boleh sedikit pun lupa padaku, nggak boleh lirik-lirik wanita lain. Setiap pagi, saat makan siang, bahkan saat kamu mau tidur, kamu harus mengabariku. Janji?"
            "Aku janji, Sayang," jawab Ben langsung, tanpa keraguan sedikitpun. Maira tersenyum kecil, lalu menghembuskan napas.
            "Kamu tidak marah padaku, kan?" tanya Ben padanya.
            Ingin sekali ia mengatakan kalau ia marah, kecewa, sedih, dan tidak ingin berada jauh dari Ben. Tapi Maira harus berusaha untuk bersikap dewasa demi kebaikan bersama. Ini pertama kalinya ia harus jauh – benar-benar jauh – dari Ben. Ia tidak tahu, apakah ia bisa menjalani hari-hari tanpa kehadiran Ben di sampingnya.
            Ingin sekali ia menyuruh Ben untuk menolak proyek itu, tapi itu sangat egois dan kekanak-kanakan. Mereka berdua sudah dewasa. Jika ini yang terbaik untuk karir Ben, maka ia harus mendukung sepenuhnya.
            "Sedikit. Tapi ... selama kamu menepati janjimu, mungkin aku bisa memaafkanmu karena kamu tidak langsung memberitahuku tentang hal ini," jawab Maira, wajahnya tersenyum lembut.
            "Maafkan aku, Sayang. Aku janji ini adalah yang terakhir kali. Aku pasti akan langsung memberitahumu. Kamu akan selalu menjadi prioritas utamaku, Maira. Kamu tahu itu kan, Sayang?" tanya Ben padanya.
            Mendengar kata-kata itu membuat rasa kecewa dalam dadanya menghilang begitu saja. Inilah yang membuat Maira tidak bisa jauh dari Ben. Pria ini begitu memujanya, begitu memanjakannya. Maira tidak akan bisa berlama-lama marah pada Ben.
            "Ya, Ben. Aku tahu itu. Kamu juga prioritas utamaku, Ben," ucap Maira sambil kembali memasukkan sesendok makanan lagi ke dalam mulutnya. Nafsu makan pun kembali dan hidangan di hadapannya tampak semakin menggiurkan.
            "Aku tiba di Jakarta sekitar jam delapan pagi ..." kata Ben.
            "Aku akan menjemputmu," potong Maira dengan cepat. Ia sudah tidak sabar ingin bertemu Ben dan calon mertuanya.
            "Kamu yakin?" tanya Ben, terdengar seperti ingin menolak.
            "Iya, Ben. Kenapa?" tanya Maira.
            "Nggak apa-apa ... sampai ketemu besok, Sayang," ucap Ben dengan lembut.
            "I love you, Ben," ucap Maira dengan penuh cinta.
            "I love you, too, Maira," ucap Ben sebelum pria itu memutuskan pembicaraan mereka.
            Maira meletakkan ponselnya di meja makan lalu kembali berkutat dengan makanan yang ada di hadapannya, lalu menghabiskannya dengan segera.
∞∞∞∞∞
            "Bagaimana, Ben?" tanya wanita itu dari belakang punggungnya.
            "Ini harus segera selesai. Semua ini harus kita akhiri. Aku nggak mau menyakiti Maira begitu juga orangtua kita," jelas Ben pada wanita itu, sambil memasukkan ponsel ke saku celananya.
            "Aku juga nggak mau ini semua terjadi. Lalu apa yang harus kita lakukan?" tanya wanita itu pada Ben. Wanita itu berjalan mendekati Ben dan menatapnya dalam-dalam. Ben merasakan sesuatu yang mengganjal di hatinya. Ia tahu apa yang akan ia pilih, apa yang akan ia lakukan akan mempengaruhi masa depannya.
            "Aku akan mengatur semuanya. Kamu ikuti apa yang aku katakan dan jangan beritahu siapa pun tentang masalah ini dulu. Hanya kita," ucap Ben sambil terus menggenggam kedua tangan wanita itu.
            "Hanya kita yang boleh tahu rencana ini. Jangan beritahu siapa pun, bahkan orangtua kita. Percaya padaku, kamu akan memperoleh apa yang kamu mau, begitu juga denganku," kata Ben dengan percaya diri.
            "Kamu yakin, Ben?" tanya wanita itu lagi.
            "Ya. Aku yakin," jawab Ben cepat.
            "Minggu depan aku akan datang lagi. Setelah itu, kita baru bisa menjalankan rencana kita selanjutnya," jelas Ben sambil terus memberikan keyakinan pada wanita itu, meskipun sebenarnya ia tidak yakin kalau rencana ini akan berjalan lancar sepenuhnya.
            Wanita itu menghembuskan napas panjang, terlihat sedikit kelegaan di wajah cantik itu. Ben menarik tubuh wanita itu, lalu memeluknya dengan erat.
            Sayang sekali, seandainya wanita ini bisa menyentuh hatiku terlebih dahulu sebelum Maira, mungkin kami akan bersama. Tapi, hatiku milik Maira, selamanya milik Maira. Dan wanita ini ... Hah, sudahlah. Yang penting aku harus membereskan masalah ini satu per satu dan menjalankan semuanya dengan baik. Semoga semua bisa berjalan sesuai rencanaku. Semoga.
∞∞∞∞∞
            Maira tiba di bandara pukul setengah delapan pagi. Ia sudah tidak sabar ingin segera bertemu dengan Ben, bahkan semalam ia tidak bisa tidur nyenyak hanya karena memikirkan pertemuan pertamanya dengan ibu Ben. Perasaan senang dan resah bercampur menjadi satu.
            Selama menjalin hubungan dengan Ben, ia sama sekali belum pernah bertemu dengan calon mertuanya itu. Ben hanya bercerita kalau ibu Ben adalah seorang wanita berparas cantik, dengan hati secantik parasnya. Ben juga bercerita kalau ibunya pernah mengalami kecelakaan saat berusia tujuh belas tahun yang mengakibatkan ibu harus duduk di kursi roda selama sisa hidupnya.
            Sebuah kecelakaan mobil yang terjadi menimpa ayah dan ibu Ben. Kecelakaan itu membuat ibunya lumpuh dan sempat mengalami kritis selama beberapa hari. Sampai akhirnya ibu Ben tersadar dan diberitahu kalau ada saraf tulang belakang yang terluka dan beberapa saraf di kedua kakinya rusak karena kecelakaan itu, mengakibatkan ibu Ben lumpuh dan tidak bisa berjalan lagi. Hanya itu yang Maira tahu tentang ibu Ben.
            Maira merapikan dandanannya yang terlihat natural, menyisir rambut lurusnya yang tak terlihat berantakan sedikit pun, lalu menyemprotkan pewangi ke pakaiannya. Setelah itu, ia keluar dari mobil dan mengunci kendaraan tersebut.
            Ia mengenakan baju terusan berbahan katun. Atasan berwarna abu-abu dengan panjang lengan tanggung, serta rok berwarna jingga terang, yang jatuh tepat di atas lutut, dan ikat pinggang kecil yang melingkar di pinggangnya, membuat Maira terlihat begitu cantik.
            Angin bertiup cukup kencang saat ia berjalan dari area parkir menuju ke pintu kedatangan. Maira menggenggam erat-erat tali tas kecil yang ia selempangkan di bahunya saat ia menyeberang. Hari ini bandara cukup ramai, mobil-mobil lalu lalang, bus-bus besar berwarna biru menunggu di haltenya, beberapa orang sedang mendorong troli yang berisi koper-koper, dan ada juga yang duduk di kursi tunggu sambil sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing.
            Maira berjalan menuju salah satu restoran cepat saji, memesan sebotol air mineral dan cheeseburger untuk mengisi perutnya yang mulai terasa lapar. Maira membawa nampan berisi makanan ke sebuah meja yang berada tak jauh dari meja kasir.
            Ia menarik kursi, meletakkan nampan di meja, lalu duduk dan memulai ancang-ancang untuk menikmati sarapannya. Maira membuka kertas pembungkus burger dan menghirup aroma lezat yang begitu menggoda. Ia mengambil roti paling atas, menaruh sedikit saus di atas daging, meletakkan kembali roti ke atas daging, lalu mengangkat burger itu tepat di depan mulutnya.
            Baru saja ia ingin merasakan nikmat rasa daging menyentuh lidahnya, sebuah hentakan, tak tiba-tiba, menyenggolnya dengan cukup keras. Bagaikan gerakan slowmotion ia menatap burger itu terhempas melayang dari tangannya, sampai akhirnya burger itu tergeletak berserakan di lantai. Matanya terbelalak dan mulutnya menganga melihat betapa malang nasib perutnya dan burger itu.
            Seketika itu pula rasa kaget bercampur perut kosong yang menuntut diberi makan, membuat Maira menjadi kesal.
            "Maaf ... maaf ... aku nggak sengaja," kata pria itu cepat namun tanpa ekspresi bersalah sama sekali.
            Maira langsung menoleh ke arah si penabrak lalu beranjak dari kursi, berdiri tepat di hadapan orang itu. "Maaf saja nggak bisa balikin burger-ku loh," ucap Maira menuntut pertanggungjawaban, sambil menunjuk ke arah lantai di mana burger itu berserakan.
            "Kamu?" ucap pria itu tak percaya.
            "Kenapa?" tanya Maira tidak mengerti sambil mengerutkan kening, lalu menatap mata itu dengan tajam. Mata itu. Mata berwarna cokelat almond yang begitu khas. "Kamu lagi!" kata Maira setelah menyadari siapa yang menyenggolnya.
            Pria itu terdiam, seperti berpikir. Masih sama seperti saat pertama kali mereka bertemu, pria ini mengenakan masker, menutup kepalanya dengan topi kupluk, dan mengenakan baju lengan panjang. Kupluk yang dikenakan berwarna hitam pekat, membuat warna mata itu terlihat begitu bersinar. Sedangkan baju lengan panjang yang berbahan rajut dan melekat tepat mengikuti lekukan tubuh yang terlihat cukup berotot tersebut.
            Terakhir kali mereka bertemu, Maira mencoba untuk menahan dan menenangkan dirinya, tapi tidak untuk saat ini. Perut kosong yang memberontak membuat kendali dalam dirinya lepas begitu saja.
            "Jangan bilang kalau nambrak orang jadi salah satu hobby-mu sekarang," kata Maira kesal.
            "Maaf." Hanya itu yang pria itu ucapkan.
            "Ganti! Aku nggak mau tahu, pokoknya kamu harus ganti," lanjut Maira menuntut pertanggungjawaban.
            Tanpa basa-basi sedikitpun, pria itu pergi begitu saja ke arah kasir, memesan sesuatu, menunggu sesaat, menerima pesanan, lalu kembali ke meja Maira. "Ini," kata pria itu, meletakkan plastik di meja dengan tangan kanan, sedangkan nampan berisi makanan berada di tangan kirinya.
            Maira langsung membuka plastik dan menemukan burger di dalamnya. "Terima kasih," ucap Maira tanpa memeriksa jenis burger apa yang pria itu berikan, lalu mengeluarkannya dari plastik tersebut dan meletakkannya di piring.
            Pria itu tidak membalas ucapan terima kasihnya dan langsung beranjak dari meja Maira. "Tunggu," panggil Maira. Pria itu menghentikan langkahnya, lalu menoleh ke arah Maira dan mata itu menatapnya dengan tajam.
            "Rasanya aneh kalau aku tidak tahu siapa namamu sedangkan kita sudah dua kali bertemu," ucap Maira.
            "Nico," jawab pria itu singkat, lalu pergi begitu saja meninggalkan Maira tanpa bertanya balik padanya dan berjalan menuju salah satu meja yang berada di pojokan.
            Maira mengangkat sedikit bahunya, lalu duduk kembali di kursi. Matanya memandang sekilas ke arah burger yang terjatuh di lantai, lalu ia pun memanggil salah seorang pelayan agar membersihkan kekacauan itu. Setelah pelayan itu membersihkan lantai, barulah Maira memulai membuka plastik pembungkus burger yang ada di hadapannya saat ini.
            Burger itu sama dengan apa yang ia pesan sebelumnya. Hebat sekali, batin Maira, melirik sekilas ke arah Nico yang sedang asik mengunyah makanan tanpa memedulikan sekitar. Tanpa pikir panjang, ia pun memakan burger itu dengan lahap sambil sesekali melirik ke arah Nico.
            Maira menghabiskan burger-nya, setelah itu ia mengeluarkan ponsel dari tas kecilnya. Sudah jam delapan. Ia pun beranjak dari kursi dan pergi meninggalkan tempat itu menuju pintu kedatangan. Maira berjalan melewati meja Nico yang masih asik menikmati makanannya.
            Ia berjalan tanpa melihat ke arah Nico, tapi Maira bisa merasakan tatapan panas dan tajam mengikutinya saat ia berjalan melewati pria itu. Maira mencoba untuk tidak peduli dan berjalan dengan santai sampai ia berada jauh dari tempat itu.
            Semoga aku nggak ketemu sama dia lagi.

∞∞∞∞∞

Tidak ada komentar: