BAB 5
"Hei! Tunggu
dulu!" teriak Maira sambil mengejar pria itu, lalu menarik ujung bajunya.
Pria itu pun
berhenti, menoleh cepat ke arah Maira, lalu menatapnya dengan tatapan kesal
bercampur malas. "Apa lagi?" tanya pria itu terdengar geram di balik
masker yang menutupi mulutnya. Loh ... loh ... kenapa jadi pria ini lebih galak
dari aku? batin Maira sambil
mengatur napasnya.
"Aku ... aku
... naik taksi," kata Maira terengah-engah.
Pria itu
memperhatikan, meneliti, dan mempelajarinya dengan seksama. Seakan menyadari
isi pikirannya, pria itu terlihat tampak ragu sesaat, menaikkan salah satu alis
matanya, lalu menghembuskan napas singkat. "OK, aku antar," ucap pria
itu cepat, lalu meninggalkan Maira begitu saja tanpa basa-basi.
Isshhh ... apa sih maunya? batin Maira semakin kesal sambil mengekor di belakang pria itu.
Tak lama kemudian, mereka pun tiba di pintu utama. Pria itu menyuruh Maira
untuk duduk di kursi tunggu, sementara pria itu menunggu sebuah taksi yang
sedang berjalan ke arah mereka. Taksi itu berhenti tepat di depannya.
Maira langsung
berdiri dan berjalan ke sisi mobil. Supir taksi membuka pintu untuknya,
sedangkan pria itu memasukkan plastik belanjaannya ke mobil. "Terima
kasih," ucap Maira singkat, tanpa melihat sedikit pun ke arah pria itu.
"Take care," ucap pria itu sebelum
menutup pintu di sampingnya. Maira mencuri pandang melalui kaca spion taksi
saat ia bergerak menjauh dari mall. Pria itu masih terus berdiri memperhatikan
taksi yang ia tumpangi, sampai akhirnya pria itu menghilang dari arah
pandangnya. Maira berharap ia tidak bertemu lagi dengan pria itu.
∞∞∞∞∞
Ia tiba di rumah
menjelang sore. Maira mengeluarkan belanjaan dari taksi, lalu membiarkannya
tergeletak begitu saja di meja makan. Maira masih bisa merasakan sedikit nyeri
di bagian perut dan tangan. Ia melangkah menuju kamar mandi, membuka baju, dan
melihat sedikit memar yang semakin terlihat jelas di perut dan tangannya.
Setelah mengamati
sebentar memar tersebut, ia langsung berjalan ke bawah pancuran air. Membasuh
tubuhnya dengan perlahan sambil menikmati air dingin yang menyentuh sekujur
tubuhnya dengan lembut.
Setelah mandi,
dengan segera ia mengenakan pakaian tidur dan menggulung rambutnya yang masih
basah dengan handuk kecil, lalu berjalan keluar dari kamar tidur. Ia merapikan
belanjaannya, kemudian menyiapkan makan malam untuk dirinya sendiri.
Biasanya, ketika
Ben masih ada di Jakarta, pria itu selalu makan malam di rumah Maira. Dan saat
ini, kesepian itu mulai mengisi sorenya. Maira meletakkan makanan di meja
makan, lalu menyalakan televisi, kemudian duduk di kursi sambil menikmati makan
malamnya.
Maira mencoba menghubungi
Ben. Hari ini pria itu sama sekali belum memberinya kabar. "Halo, Sayang," sapa Ben menjawab
teleponnya.
"Bagaimana
keadaan di sana, Ben?" tanya Maira lalu memasukkan sesendok makanan ke
dalam mulutnya yang lapar.
"Lancar, Sayang. Besok aku pulang, tapi ..."
Ben terdiam sejenak. Maira, yang merasakan ada sesuatu kejanggalan dalam nada
bicara Ben, langsung meletakkan sendoknya dan menelan makanan dalam mulutnya
dengan cepat. Seketika itu pula rasa kenyang menghampirinya.
"Tapi apa,
Ben?" tanya Maira, mencoba untuk tenang meskipun keresahan mulai
melandanya.
"Minggu depan aku harus kembali
ke Bali ... atasanku ... ada proyek khusus yang harus aku kerjakan di sini," jawab
Ben, terdengar gugup dan ragu.
Maira mencoba
untuk mencerna informasi yang baru saja ia terima. Namun ada sesuatu di dalam
hatinya, yang entah kenapa, mengatakan kalau tugas ini terlalu mendadak.
"Berapa lama, Ben?" tanya Maira mencoba tenang sambil memutar
pikirannya.
"Maafkan aku, Sayang. Ini kesempatan untukku.
Kalau proyeknya lancar dan sukses, aku bisa dipromosikan untuk naik jabatan.
Aku melakukan ini untuk kita, Sayang. Untuk masa depan kita," kata Ben
lagi mencoba memberi pengertian padanya.
Penjelasan itu
bukannya membuat Maira tenang, malah semakin menguatkan rasa curiga dalam
dirinya. "Aku tanya, berapa lama kamu di sana, Ben?" tanya Maira
lagi, masih mencoba untuk tetap tenang dan sabar.
"Kurang lebih satu bulan, Sayang," jawab
Ben ragu-ragu.
Maira tidak
langsung menanggapi jawaban Ben. Otaknya berpikir dengan keras. Baru kali ini
ia merasa kalau hati dan pikirannya tidak sejalan. Satu
bulan? Kenapa lama sekali? Proyek apa yang sedang ia urus? Apakah harus selama
itu? tanya Maira dalam
hatinya sambil terus berpikir keras.
"Maaf, Sayang. Ini perintah langsung dari
atasanku, aku tidak mungkin menolaknya. Percayalah padaku, Sayang. Aku
melakukan semua ini untuk masa depan kita," kata Ben mencoba
menjelaskan.
Belum saja Maira
mengatakan apa-apa, tapi Ben sudah meminta maaf padanya. Maira tetap diam dan
menyerap semua ini dengan sikap tenang yang ia paksakan. Ia tidak ingin masalah
ini membuat hubungan mereka menjadi rusak dan menghancurkan impiannya.
Maira merasakan
perasaan kesal mulai menghampirinya. Ia pun menarik napas panjang, lalu
menghembuskannya dengan pelan, mencoba membuat dirinya tetap tenang.
"Kapan kamu
tahu kalau kamu ada tugas di Bali?" tanya Maira, tenang, datar, dan dalam.
"Tadi siang, Sayang," jawab Ben,
suaranya kecil seakan takut membuat Maira marah.
"Aku usahakan tidak sampai sebulan di sini, aku
pasti segera kembali ke Jakarta," lanjut Ben, mencoba membuat Maira
mengerti.
"Kenapa kamu
baru kasih tahu aku sekarang?" tanya Maira, masih menjaga intonasi nadanya
agar terdengar tenang meskipun sebenarnya ia merasa sedikit kecewa karena Ben
tidak langsung memberitahunya, sedangkan pria itu pasti tahu kalau hal ini
sangat berpengaruh pada hubungan mereka.
"Maafkan aku, Sayang. Aku bermaksud memberitahu
saat aku tiba di Jakarta. Aku nggak mau kamu kecewa atau berpikiran buruk
padaku, Ra," ucap Ben mencoba membela diri.
"Lalu
bagaimana dengan lamaran keluargamu ke orangtuaku, Ben?" tuntut Maira. Ia
tidak ingin lamaran ini diundur dan membuat dirinya malu di depan keluarganya.
"Aku sudah atur semuanya, Sayang. Aku sudah minta
ijin ke atasanku dan dia memberiku ijin satu minggu ini untuk melaksanakan
semuanya. Besok ... besok aku akan datang bersama ibuku ke Jakarta. Aku tidak
akan mengecewakanmu, Maira," jelas Ben dengan penuh kesungguhan.
Jawaban itu
setidaknya memberikan ketenangan sesaat pada Maira. Meskipun rasa kecewa itu
masih ada, namun setidaknya kesungguhan dan keseriusan Ben padanya,
menghilangkan kerisauan yang melanda hatinya.
Maira terdiam
sesaat sambil berpikir. Ini memang sangat mendadak, tapi mungkin Ben
benar. Semua ini demi diriku. Demi masa depan mereka. Aku tidak boleh egois.
Jika ini adalah jalannya menuju kesuksesan, maka aku harus mendukung Ben. Sama
seperti saat Ben mendukungku dalam bisnis yang aku bangun bersama kedua
temanku, batin Maira.
"Percayalah padaku, Sayang. Aku tidak akan
mengecewakanmu sama sekali," mohon Ben dengan suara memelas, membuat
Maira luluh.
"Maukah kamu
berjanji padaku?" tanya Maira. Ia harus melakukan ini agar ia merasa
tenang selama pria itu berada jauh darinya.
"Apa pun, Sayang," jawab Ben dengan
cepat. Maira tersenyum saat mendengar kata-kata itu.
"Kamu harus
terus memberi kabar padaku. Di mana, sedang apa, sama siapa. Harus!" pinta
Maira dengan nada sedikit menuntut, "kamu nggak boleh sedikit pun lupa
padaku, nggak boleh lirik-lirik wanita lain. Setiap pagi, saat makan siang,
bahkan saat kamu mau tidur, kamu harus mengabariku. Janji?"
"Aku janji, Sayang," jawab Ben langsung,
tanpa keraguan sedikitpun. Maira tersenyum kecil, lalu menghembuskan napas.
"Kamu tidak marah padaku, kan?" tanya
Ben padanya.
Ingin sekali ia
mengatakan kalau ia marah, kecewa, sedih, dan tidak ingin berada jauh dari Ben.
Tapi Maira harus berusaha untuk bersikap dewasa demi kebaikan bersama. Ini
pertama kalinya ia harus jauh – benar-benar jauh – dari Ben. Ia tidak tahu,
apakah ia bisa menjalani hari-hari tanpa kehadiran Ben di sampingnya.
Ingin sekali ia
menyuruh Ben untuk menolak proyek itu, tapi itu sangat egois dan
kekanak-kanakan. Mereka berdua sudah dewasa. Jika ini yang terbaik untuk karir
Ben, maka ia harus mendukung sepenuhnya.
"Sedikit.
Tapi ... selama kamu menepati janjimu, mungkin aku bisa memaafkanmu karena kamu
tidak langsung memberitahuku tentang hal ini," jawab Maira, wajahnya
tersenyum lembut.
"Maafkan aku, Sayang. Aku janji ini adalah yang
terakhir kali. Aku pasti akan langsung memberitahumu. Kamu akan selalu menjadi
prioritas utamaku, Maira. Kamu tahu itu kan, Sayang?" tanya Ben
padanya.
Mendengar
kata-kata itu membuat rasa kecewa dalam dadanya menghilang begitu saja. Inilah
yang membuat Maira tidak bisa jauh dari Ben. Pria ini begitu memujanya, begitu
memanjakannya. Maira tidak akan bisa berlama-lama marah pada Ben.
"Ya, Ben.
Aku tahu itu. Kamu juga prioritas utamaku, Ben," ucap Maira sambil kembali
memasukkan sesendok makanan lagi ke dalam mulutnya. Nafsu makan pun kembali dan
hidangan di hadapannya tampak semakin menggiurkan.
"Aku tiba di Jakarta sekitar jam delapan pagi ..."
kata Ben.
"Aku akan
menjemputmu," potong Maira dengan cepat. Ia sudah tidak sabar ingin
bertemu Ben dan calon mertuanya.
"Kamu yakin?" tanya Ben, terdengar
seperti ingin menolak.
"Iya, Ben.
Kenapa?" tanya Maira.
"Nggak apa-apa ... sampai ketemu besok, Sayang,"
ucap Ben dengan lembut.
"I love you, Ben,"
ucap Maira dengan penuh cinta.
"I love you, too, Maira," ucap Ben
sebelum pria itu memutuskan pembicaraan mereka.
Maira meletakkan
ponselnya di meja makan lalu kembali berkutat dengan makanan yang ada di
hadapannya, lalu menghabiskannya dengan segera.
∞∞∞∞∞
"Bagaimana,
Ben?" tanya wanita itu dari belakang punggungnya.
"Ini harus
segera selesai. Semua ini harus kita akhiri. Aku nggak mau menyakiti Maira
begitu juga orangtua kita," jelas Ben pada wanita itu, sambil memasukkan
ponsel ke saku celananya.
"Aku juga
nggak mau ini semua terjadi. Lalu apa yang harus kita lakukan?" tanya
wanita itu pada Ben. Wanita itu berjalan mendekati Ben dan menatapnya
dalam-dalam. Ben merasakan sesuatu yang mengganjal di hatinya. Ia tahu apa yang
akan ia pilih, apa yang akan ia lakukan akan mempengaruhi masa depannya.
"Aku akan
mengatur semuanya. Kamu ikuti apa yang aku katakan dan jangan beritahu siapa
pun tentang masalah ini dulu. Hanya kita," ucap Ben sambil terus
menggenggam kedua tangan wanita itu.
"Hanya kita
yang boleh tahu rencana ini. Jangan beritahu siapa pun, bahkan orangtua kita.
Percaya padaku, kamu akan memperoleh apa yang kamu mau, begitu juga
denganku," kata Ben dengan percaya diri.
"Kamu yakin,
Ben?" tanya wanita itu lagi.
"Ya. Aku
yakin," jawab Ben cepat.
"Minggu
depan aku akan datang lagi. Setelah itu, kita baru bisa menjalankan rencana
kita selanjutnya," jelas Ben sambil terus memberikan keyakinan pada wanita
itu, meskipun sebenarnya ia tidak yakin kalau rencana ini akan berjalan lancar
sepenuhnya.
Wanita itu
menghembuskan napas panjang, terlihat sedikit kelegaan di wajah cantik itu. Ben
menarik tubuh wanita itu, lalu memeluknya dengan erat.
Sayang sekali, seandainya wanita ini
bisa menyentuh hatiku terlebih dahulu sebelum Maira, mungkin kami akan bersama.
Tapi, hatiku milik Maira, selamanya milik Maira. Dan wanita ini ... Hah,
sudahlah. Yang penting aku harus membereskan masalah ini satu per satu dan
menjalankan semuanya dengan baik. Semoga semua bisa berjalan sesuai rencanaku.
Semoga.
∞∞∞∞∞
Maira tiba di
bandara pukul setengah delapan pagi. Ia sudah tidak sabar ingin segera bertemu
dengan Ben, bahkan semalam ia tidak bisa tidur nyenyak hanya karena memikirkan
pertemuan pertamanya dengan ibu Ben. Perasaan senang dan resah bercampur
menjadi satu.
Selama menjalin
hubungan dengan Ben, ia sama sekali belum pernah bertemu dengan calon mertuanya
itu. Ben hanya bercerita kalau ibu Ben adalah seorang wanita berparas cantik,
dengan hati secantik parasnya. Ben juga bercerita kalau ibunya pernah mengalami
kecelakaan saat berusia tujuh belas tahun yang mengakibatkan ibu harus duduk di
kursi roda selama sisa hidupnya.
Sebuah kecelakaan
mobil yang terjadi menimpa ayah dan ibu Ben. Kecelakaan itu membuat ibunya
lumpuh dan sempat mengalami kritis selama beberapa hari. Sampai akhirnya ibu
Ben tersadar dan diberitahu kalau ada saraf tulang belakang yang terluka dan
beberapa saraf di kedua kakinya rusak karena kecelakaan itu, mengakibatkan ibu
Ben lumpuh dan tidak bisa berjalan lagi. Hanya itu yang Maira tahu tentang ibu
Ben.
Maira merapikan
dandanannya yang terlihat natural, menyisir rambut lurusnya yang tak terlihat
berantakan sedikit pun, lalu menyemprotkan pewangi ke pakaiannya. Setelah itu,
ia keluar dari mobil dan mengunci kendaraan tersebut.
Ia mengenakan
baju terusan berbahan katun. Atasan berwarna abu-abu dengan panjang lengan
tanggung, serta rok berwarna jingga terang, yang jatuh tepat di atas lutut, dan
ikat pinggang kecil yang melingkar di pinggangnya, membuat Maira terlihat
begitu cantik.
Angin bertiup
cukup kencang saat ia berjalan dari area parkir menuju ke pintu kedatangan. Maira
menggenggam erat-erat tali tas kecil yang ia selempangkan di bahunya saat ia
menyeberang. Hari ini bandara cukup ramai, mobil-mobil lalu lalang, bus-bus
besar berwarna biru menunggu di haltenya, beberapa orang sedang mendorong troli
yang berisi koper-koper, dan ada juga yang duduk di kursi tunggu sambil sibuk
dengan kegiatan mereka masing-masing.
Maira berjalan
menuju salah satu restoran cepat saji, memesan sebotol air mineral dan cheeseburger untuk mengisi perutnya yang mulai
terasa lapar. Maira membawa nampan berisi makanan ke sebuah meja yang berada
tak jauh dari meja kasir.
Ia menarik kursi,
meletakkan nampan di meja, lalu duduk dan memulai ancang-ancang untuk menikmati
sarapannya. Maira membuka kertas pembungkus burger dan
menghirup aroma lezat yang begitu menggoda. Ia mengambil roti paling atas,
menaruh sedikit saus di atas daging, meletakkan kembali roti ke atas daging,
lalu mengangkat burger itu
tepat di depan mulutnya.
Baru saja ia
ingin merasakan nikmat rasa daging menyentuh lidahnya, sebuah hentakan, tak
tiba-tiba, menyenggolnya dengan cukup keras. Bagaikan gerakan slowmotion ia menatap burger itu terhempas melayang dari tangannya,
sampai akhirnya burger itu
tergeletak berserakan di lantai. Matanya terbelalak dan mulutnya menganga
melihat betapa malang nasib perutnya dan burger itu.
Seketika itu pula
rasa kaget bercampur perut kosong yang menuntut diberi makan, membuat Maira
menjadi kesal.
"Maaf ...
maaf ... aku nggak sengaja," kata pria itu cepat namun tanpa ekspresi
bersalah sama sekali.
Maira langsung
menoleh ke arah si penabrak lalu beranjak dari kursi, berdiri tepat di hadapan
orang itu. "Maaf saja nggak bisa balikin burger-ku loh," ucap Maira menuntut
pertanggungjawaban, sambil menunjuk ke arah lantai di mana burger itu berserakan.
"Kamu?"
ucap pria itu tak percaya.
"Kenapa?"
tanya Maira tidak mengerti sambil mengerutkan kening, lalu menatap mata itu
dengan tajam. Mata itu. Mata berwarna cokelat almond yang begitu khas.
"Kamu lagi!" kata Maira setelah menyadari siapa yang menyenggolnya.
Pria itu terdiam,
seperti berpikir. Masih sama seperti saat pertama kali mereka bertemu, pria ini
mengenakan masker, menutup kepalanya dengan topi kupluk, dan mengenakan baju
lengan panjang. Kupluk yang dikenakan berwarna hitam pekat, membuat warna mata
itu terlihat begitu bersinar. Sedangkan baju lengan panjang yang berbahan rajut
dan melekat tepat mengikuti lekukan tubuh yang terlihat cukup berotot tersebut.
Terakhir kali
mereka bertemu, Maira mencoba untuk menahan dan menenangkan dirinya, tapi tidak
untuk saat ini. Perut kosong yang memberontak membuat kendali dalam dirinya
lepas begitu saja.
"Jangan
bilang kalau nambrak orang jadi salah satu hobby-mu sekarang," kata Maira
kesal.
"Maaf."
Hanya itu yang pria itu ucapkan.
"Ganti! Aku
nggak mau tahu, pokoknya kamu harus ganti," lanjut Maira menuntut
pertanggungjawaban.
Tanpa basa-basi
sedikitpun, pria itu pergi begitu saja ke arah kasir, memesan sesuatu, menunggu
sesaat, menerima pesanan, lalu kembali ke meja Maira. "Ini," kata
pria itu, meletakkan plastik di meja dengan tangan kanan, sedangkan nampan
berisi makanan berada di tangan kirinya.
Maira langsung
membuka plastik dan menemukan burger di
dalamnya. "Terima kasih," ucap Maira tanpa memeriksa jenis burger apa yang pria itu berikan, lalu
mengeluarkannya dari plastik tersebut dan meletakkannya di piring.
Pria itu tidak
membalas ucapan terima kasihnya dan langsung beranjak dari meja Maira.
"Tunggu," panggil Maira. Pria itu menghentikan langkahnya, lalu
menoleh ke arah Maira dan mata itu menatapnya dengan tajam.
"Rasanya
aneh kalau aku tidak tahu siapa namamu sedangkan kita sudah dua kali
bertemu," ucap Maira.
"Nico,"
jawab pria itu singkat, lalu pergi begitu saja meninggalkan Maira tanpa
bertanya balik padanya dan berjalan menuju salah satu meja yang berada di
pojokan.
Maira mengangkat
sedikit bahunya, lalu duduk kembali di kursi. Matanya memandang sekilas ke arah burger yang terjatuh di lantai, lalu ia pun
memanggil salah seorang pelayan agar membersihkan kekacauan itu. Setelah
pelayan itu membersihkan lantai, barulah Maira memulai membuka plastik
pembungkus burger yang ada di hadapannya saat ini.
Burger itu sama dengan apa yang ia pesan sebelumnya. Hebat
sekali, batin Maira, melirik sekilas ke arah Nico yang sedang asik
mengunyah makanan tanpa memedulikan sekitar. Tanpa pikir panjang, ia pun
memakan burger itu dengan lahap sambil sesekali
melirik ke arah Nico.
Maira
menghabiskan burger-nya,
setelah itu ia mengeluarkan ponsel dari tas kecilnya. Sudah jam delapan. Ia pun
beranjak dari kursi dan pergi meninggalkan tempat itu menuju pintu kedatangan.
Maira berjalan melewati meja Nico yang masih asik menikmati makanannya.
Ia berjalan tanpa
melihat ke arah Nico, tapi Maira bisa merasakan tatapan panas dan tajam
mengikutinya saat ia berjalan melewati pria itu. Maira mencoba untuk tidak
peduli dan berjalan dengan santai sampai ia berada jauh dari tempat itu.
Semoga aku nggak ketemu sama dia
lagi.
∞∞∞∞∞
Tidak ada komentar:
Posting Komentar