Jumat, 09 Juni 2017

A STRUGGLE HEARTS (21+) - BAB 6



BAB 6


Maira berdiri di depan pagar pembatas pintu kedatangan. Jantungnya berdebar dengan cepat, antara gugup dan senang. Tangan dan kakinya terasa dingin. Ia terus menggenggam tali tas dengan semakin erat. Matanya terus mencari ke salah satu sudut di mana semakin banyak orang keluar dari sebuah tempat tersembunyi.
            Mata Maira berbinar bahagia saat ia melihat sosok pria yang begitu ia cintai berjalan menuju pintu keluar dengan dua koper di kedua tangannya. Seorang wanita, yang mengenakan pakaian suster, berjalan di samping Ben sambil mendorong kursi roda ibunya. Ibu Ben duduk diam di kursi roda, memandang setiap orang yang berada di sekitarnya. Sedangkan Ben, yang melihat ke arahnya, tersenyum lebar dan mempercepat jalannya.
            “Ben,” ucap Maira, suaranya bergetar saat Ben berada tepat di depannya. Ia mencoba menahan rasa haru dalam dirinya yang mulai tak terbendung. Ia begitu merindukan pria ini. Baru dua hari saja tidak bertemu dengan Ben, perasaannya sudah gundah gulana seperti ini. Bagaimana kalau satu bulan? batinnya. Entah bagaimana nasibnya nanti.
            Seakan menyadari apa yang Maira rasakan, Ben langsung membelai wajah Maira yang tak kuasa menahan air mata di pelupuk matanya yang mulai menetes. “Aku pulang, Sayang,” kata Ben dengan lembut, yang akhirnya membuat air matanya semakin berderai.
            Maira mencoba menahan hal ini, tetapi ia begitu rapuh. Ia tidak bisa membohongi dirinya kalau ia benar-benar tidak bisa berada jauh dari Ben. Maira menarik napas dan mencoba menahan isak tangisnya. Ben tersenyum lembut, lalu menggenggam tangan Maira, seperti memberi kekuatan dan ketegaran yang hilang setiap kali ia berada jauh dari Ben.
            “Maira, ini ibuku,” ucap Ben memperkenalkan ibunya yang sedari tadi tersenyum pada Maira. Ia pun merasa malu dan wajahnya merona melihat wanita itu tersenyum lembut padanya.
            “Bu, ini Maira, wanita yang kuceritakan kemarin,” lanjut Ben.
            Maira menjabat tangan ibu sambil tersenyum malu. Wanita itu terlihat lebih cantik dibandingkan dengan foto yang pernah Ben tunjukkan padanya. “Selamat datang, Tante,” sambut Maira. Ibu Ben mengangguk tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, hanya tersenyum padanya.
            “Kamu parkir di mana?” tanya Ben pada Maira.
            “Tidak jauh dari sini,” jawab Maira sambil menunjukkan arah pada Ben.
            Mereka pun berjalan meninggalkan tempat itu menuju ke tempat parkiran mobil. Sesampai mereka di depan mobil Maira, Ben meminta kunci padanya dan memaksa agar ia yang menyetir. Dengan senang hati Maira memberikan kunci mobil pada Ben.
            Ben memasukkan dua koper berukuran sedang ke dalam bagasi, lalu menggendong ibunya masuk ke mobil. Kemudian suster pun masuk ke mobil. Perawat Ibu Ben tidak terlalu banyak bicara, yang mana hal itu tidak terlalu berpengaruh pada Maira.
            Maira dan Ben masuk ke mobil, kemudian meninggalkan bandara menuju salah satu hotel yang berada tidak jauh dari tempat tinggal Ben. Perjalanan mereka cukup lancar, sama seperti saat Maira datang ke bandara.
            Selama perjalanan, Ben tidak terlalu banyak bicara seperti biasanya. Pria itu hanya menanyakan hal-hal biasa, seperti bagaimana kabarnya dan apakah ia sudah makan. Hanya itu saja. Biasanya, setiap kali mereka berada di dalam mobil, Ben selalu bercerita tentang kegiatan yang pria itu jalani selama di kantor atau apa saja kejadian lucu yang terjadi hari itu.
            Tapi tidak hari ini, padalah mereka sudah berpisah selama dua hari. Maira yakin pasti ada cerita yang lucu atau apa pun itu yang bisa Ben ceritakan padanya. Tapi pria itu malah terus terdiam dan pandangannya lurus ke depan. Mungkin Ben sedang lelah, pikir Maira.
            Begitu juga Ibu Ben yang lebih memilih diam tanpa bertanya sedikit pun padanya, tidak seperti layaknya seorang calon ibu mertua yang sangat suka mencari tahu tentang calon menantunya dan mencari-cari kelemahan si calon menantunya. Ibu Ben benar-benar sangat pendiam.
            Sedikit banyak, Maira merasa bersyukur jika ia mendapatkan seorang calon mertua yang tidak terlalu cerewet. Tapi di sisi lain, Maira merasakan ada sesuatu yang aneh di dalam mobil ini. Sikap Ben yang pendiam, begitu juga ibunya. Lalu, senyum Ben yang selalu menghiasi wajahnya pun menghilang. Ben hanya tersenyum padanya saat di gerbang kedatangan saja. Setelah itu, tidak ada sama sekali.
            Biasanya saat mengendarai mobil, Ben sesekali melirik dan tersenyum ke arahnya. Apakah karena ada ibunya sehingga Ben bersikap kaku begini padaku? pikir Maira mencoba mencari alasan.
            Perjalanan singkat itu terasa lama dan membosankan sampai akhirnya Maira memutuskan untuk menyalakan radio. Sebuah lagu lawas dari Air Supply yang berjudul ‘Without You’ mengalun indah dan memberi kesejukan di hati Maira sampai tiba-tiba Ben mengganti saluran radio tersebut dan mengecilkan volumenya.
            Maira langsung menoleh ke arah Ben, ia terkejut melihat sikap Ben. Ingin sekali ia memprotes sikap itu, tapi ia tidak ingin membuat calon mertuanya menganggap ia sebagai calon istri yang cerewet, suka melawan dan suka mengatur. Tidak. Maira tidak menginginkan hal itu.
            Ia pun membuang wajahnya ke samping dan memandangi jalan tol yang penuh dengan kendaraan lalu lalang. Ingin sekali Maira membuka pembicaraan, tapi ia tidak tahu harus bertanya apa atau membicarakan apa. Akhirnya Maira pun memutuskan untuk diam seribu bahasa sambil mendengarkan suara radio yang begitu pelan, hampir tak terdengar.
            Satu jam kemudian, mereka pun tiba di sebuah hotel. Tempat itu tidak terlalu mewah, tapi juga tidak terlalu buruk. Ben memarkirkan mobil di lahan parkir yang berada tidak jauh dari pintu lobby. Ben langsung keluar dari mobil, kemudian berjalan menuju pintu bagasi, lalu mengeluarkan kursi roda ibunya. Kemudian, Ben membuka pintu penumpang, menggendong, dan menempatkan ibunya di kursi roda dengan hati-hati. Maira memperhatikan betapa perhatian dan sayangnya Ben pada ibunya itu.
            Ada sedikit rasa cemburu atas perhatian yang pria itu berikan pada ibunya, namun dengan cepat Maira mengubur perasaan itu. Ia tidak ingin merasa tersaingi oleh satu-satunya wanita yang tidak mungkin tergantikan di dalam hidup Ben. Wanita itu yang melahirkan dan merawat Ben dengan baik dari kecil hingga menjadi pria yang ia cintai saat ini.
            Setelah ibu Ben dan perawatnya keluar dari mobil, Ben langsung menurunkan koper-koper dari bagasi, kemudian menutup pintu dengan cepat. Maira pun langsung turun dari mobil dan menutup pintu di sampingnya. Ben mengunci mobil, lalu melangkah menuju pintu lobby. Pria itu berjalan di samping kursi roda, masih tetap dalam kondisi tanpa bicara sedikit pun.
            Maira berusaha sabar dan mengikuti langkah Ben dari belakang. Mereka pun masuk ke dalam hotel dan menunggu sesaat di salah satu sofa besar di dekat meja resepsionis saat Ben melakukan reservasi. Beberapa menit kemudian, Ben menghampiri mereka dan mengajak mereka – lebih tepatnya hanya ibu dan perawatnya saja – untuk masuk ke dalam lift.
            Ben memintanya untuk menunggu di sofa tamu sementara pria itu mengantarkan ibunya ke kamar hotel. Ingin rasanya ia menolak dan menawarkan diri untuk ikut, tapi apalah dayanya, ia baru menjadi tunangan Ben, bukan istrinya. Akhirnya ia pun pasrah dan menunggu di sofa sambil melihat mereka masuk ke dalam lift.
            Kenapa aku nggak boleh ikut? Apa ibunya nggak suka sama aku? Ada apa ini?
∞∞∞∞∞
            Hampir satu jam Maira menunggu di ruang lobby tapi Ben belum juga turun. Maira mengeluarkan ponsel dari tas, kemudian menelepon Ben. Ia sudah tidak bisa bersabar lagi. Baginya ini sudah tidak masuk akal. Mana ada seorang tunangan menunggu di bawah seperti orang asing, sedangkan si pria malah di kamar hotel bersama ibunya dan melupakan tunangannya sendiri.
            Maira menghubungi Ben sampai dua kali, tapi pria itu tetap tidak menjawab panggilannya. Maira mencoba menghubungi Ben untuk yang ketiga kalinya dan akhirnya pria itu menjawab. “Kenapa?” tanya Ben cepat, terdengar terengah-engah seperti sedang berjalan dengan cepat.
            “Kenapa??” ulang Maira seakan tidak percaya dengan apa yang pria itu ucapkan. Setelah menunggu lama di bawah menunggu kedatangannya dan pria itu malah bertanya ‘kenapa?’, ingin rasanya Maira langsung memaki dan meninggalkan pria itu.
            “Ada apa?” tanya Ben lagi, merasa tidak bersalah sama sekali.
            “Kamu turun sekarang atau aku pulang naik taxi,” jawab Maira sedikit mengancam. Ini sudah di luar batas sabarnya. Ben benar-benar aneh hari ini. Sikapnya yang dingin, wajah tanpa senyuman, dan menganggapnya tidak ada. Ini bukan Ben yang ia kenal.
            Maira langsung memutuskan pembicaraan tanpa mendengar penjelasan apa pun dari Ben. Akhirnya, pintu lift itu terbuka dan ia melihat Ben keluar dari lift sambil berjalan cepat. Masih dengan ekspresi wajah yang tidak terbaca, pria itu menghampiri Maira yang beranjak dari sofa.
            “Maafkan aku, Sayang,” ucap Ben dengan lembut, wajah pria itu pun berubah seketika. Menjadi wajah Ben yang ia kenal, wajah yang ramah dan memandangnya dengan penuh cinta.
            “Ben,” ucap Maira hati-hati, “apa ada masalah?”
            Ben terdiam, terlihat agak terkejut. Kemudian dengan cepat raut wajah itu berubah lagi. “Oh ... itu ... nggak apa-apa, Sayang,” jawab Ben terpatah-patah, “semua baik-baik saja.”
            Maira menatap mata Ben dalam-dalam dan instingnya mengatakan kalau ada sesuatu yang pria ini sembunyikan. “Maafkan aku karena membuatmu menunggu lama ya, Sayang,” ucap Ben sambil menarik tangan Maira, lalu menggenggamnya dengan erat. Sedangkan tangan yang lain, membelai wajah Maira dengan penuh cinta dan mata Ben menatapnya dalam-dalam.
            Meskipun perasaan ragu itu masih ada, tapi akhirnya ia memaafkan Ben. Senyuman menghiasi wajah itu dan Ben pun terlihat lega. “Kamu sangat cantik hari ini. Apakah aku sudah mengatakannya?” tanya Ben mengalihkan pembicaraan.
            Maira menggelengkan kepala, merengut kecewa seperti seorang anak kecil. Ben memberikan tatapan penuh penyesalan. “Maafkan aku, Sayang. Aku benar-benar mengecewakanmu, ya?” tanya Ben penuh rasa bersalah.
            “Nggak apa-apa, Ben. Aku mengerti, kok,” jawab Maira ekstra sabar.
            “Kamu sudah makan? Gimana kalau kita cari makan siang?” tanya Ben. Mereka pun berjalan meninggalkan ruang tunggu itu menuju parkiran.
            Maira melihat jam tangannya, sudah jam sebelas lewat. “Kita makan di tempat biasa, yuk,” ajak Maira. Ben tersenyum hangat, menyetujui usulnya.
            Ya. Senyum inilah yang ia tunggu dari tadi. Senyum penuh hangat dan cinta.
∞∞∞∞∞
            Maira mengunyah makanannya sambil memandang Ben yang juga sedang menikmati sepiring iga bakar kesukaannya. Sesekali Ben tersenyum padanya, mencoba untuk terlihat santai dan bahagia. Tapi bukan Maira namanya jika ia tidak bisa merasakan kejanggalan pada sikap Ben yang terkesan dibuat-buat itu. Ia harus bertanya atau ia akan melewati malam ini dengan penuh rasa curiga di pikirannya.
            “Ben,” ucap Maira membuka pembicaraan.
            “Ya, Sayang,” jawab Ben santai.
            “Boleh aku tanya sesuatu?” tanya Maira sambil menatap wajah Ben yang seketika itu berubah kaku, seakan mengetahui apa yang akan ia tanyakan.
            “Kenapa, Sayang?” tanya Ben balik, mencoba tersenyum untuk menutupi kegugupan di wajah itu.
            “Apa ada masalah waktu kamu di Bali?” tanya Maira pelan.
            Ben tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Pria itu mengangkat gelas, lalu meneguk es teh manis dengan gugup. Maira menatap mata Ben, tapi pria itu berusaha agar tidak bertatapan dengannya. Dan saat itu juga, Maira benar-benar yakin kalau Ben menyembunyikan sesuatu darinya.
            “Ben ... kamu nggak bisa menutupi apa pun dariku. Aku bisa lihat hari ini kamu sangat berbeda, kamu –“
            “Maafkan aku, Sayang. Tidak ada masalah apa pun di Bali,” potong Ben, membuat Maira berhenti seketika. Tapi sikap itu begitu dingin.
            “Kamu bisa cerita padaku, Ben. Sikapmu begitu kaku dan raut wajahmu seakan sedang memikirkan sesuatu,” lanjut Maira. Ia tidak akan berhenti sampai Ben menceritakan yang sebenarnya.
            “Aku hanya memikirkan pekerjaanku, Sayang. Ada beberapa hal yang harus aku selesaikan dalam waktu dekat ini,” jawab Ben.
            Maira ingin sekali mempercayai alasan itu, tapi tingkah laku dan cara bicara Ben yang begitu kaku, membuktikan kalau ada hal lain yang berusaha ia sembunyikan. Ben tidak menatapnya saat berbicara, terlihat gugup dan mencoba sibuk dengan makanannya. Ini bukan Ben yang ia kenal. Pria yang ada di hadapannya saat ini seperti dikendalikan oleh sesuatu. Seakan-akan jiwa dan pikirannya pergi entah ke mana.
            “Kamu yakin hanya itu saja, Ben?” tanya Maira.
            Ben meletakkan sendok, mengangkat tangannya ke wajah Maira, lalu membelainya dengan lembut. Sangat lembut hingga membuat Maira terbuai. Membuat rasa galaunya sedikit memudar.
            “Iya, Sayang. Hanya itu saja. Maaf sudah membuatmu kawatir,” jawab Ben. Ibu jarinya mengusap wajah Maira dengan lembut. Maira meletakkan tangannya di atas tangan Ben, yang masih terus membelai wajahnya.
            “Tapi, Ben ... ini ... aku benar-benar merasa ada yang salah padamu hari ini,” kata Maira, belum puas dengan jawaban Ben.
            “Kamu begitu dingin padaku. Bahkan membiarkanku menunggu begitu lama. Kamu nggak pernah begitu padaku,” jelas Maira, menuntut penjelasan lebih.
            Pria itu langsung menarik tangannya menjauh dari wajah Maira, lebih tepatnya menghempaskan tangan Maira menjauh dari tangannya. Maira tersentak kaget melihat sikap Ben yang baru.
            “Aku sudah mengatakan kalau tidak ada apa-apa. Apa lagi yang kamu mau??” tanya Ben kesal. Kali ini wajah itu benar-benar terlihat muak padanya. Perasaan Maira begitu terluka menerima tatapan itu.
            “Aku ... aku cuma –“
            “Hentikan, Maira! Jangan tanya apa-apa lagi untuk saat ini. Bisa?” ucap Ben tegas dan penuh penekanan.
            Maira langsung terdiam dan mengurungkan niatnya untuk bertanya lebih banyak. Ya, aku yakin sekali kalau ada sesuatu yang Ben sembunyikan dariku. Entah apa itu, tapi suatu saat aku pasti akan mencari tahu, batin Maira.
            Ia mengangkat gelas lalu menghabiskan es teh manisnya. Maira mencoba untuk tidak mengungkit masalah itu lagi dan mencoba untuk memendam perasaannya yang tersakiti. Ben, yang terlihat mulai kehilangan semangat makan, langsung menghabiskan minumnya, kemudian beranjak dari meja dan melangkah menuju meja kasir.
            Maira masih terdiam, pikirannya terus berputar sambil menahan rasa kesal yang semakin membuncah di dadanya. Maira menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya dengan cepat. Berulang kali ia lakukan hal itu agar bisa meredam rasa sedih dan terlukanya.
            Lambat laun, perasaannya terasa lebih ringan, meskipun perasaan curiga dan sedih itu masih ada. Beberapa menit kemudian, Ben kembali ke meja mereka, lalu duduk di kursinya. “Maira,” panggil Ben.
            Maira mencoba untuk menanggapi Ben dengan sabar, mencoba agar pria itu tidak marah dan kesal lagi padanya. “Hari Selasa ini kita ada pertemuan dengan keluarga dari pihak ayahku yang ada di Jakarta. Usahakan supaya hari itu kamu tidak ada kegiatan,” pinta Ben, nadanya masih dingin dan kaku.
            “Aku usahakan,” jawab Maira cepat.
            “Di mana pertemuannya?” tanya Maira langsung.
            “Bandar Djakarta. Jam enam sore,” jawab Ben.
            “Kamu menjemputku atau kita ketemuan di sana?” tanya Maira.
            “Ketemuan di sana,” jawab Ben singkat.
            Sebuah pukulan keras seolah menohok dadanya saat mendengar jawaban itu. Maira mengerutkan dahinya, namun seketika itu juga ia menarik napas dan membiarkan sikap dingin Ben berlalu begitu saja. “Baiklah,” jawab Maira, lalu beranjak dari kursi.
            Mereka pergi meninggalkan tempat itu dan berjalan menuju mobil yang berada tepat di depan rumah makan itu. Maira dengan segera masuk ke mobil, lalu menutup pintu yang ada di sampingnya, begitu juga dengan Ben.
            Pria itu langsung menyalakan mobil, mengeluarkannya dari tempat parkir, lalu melajukan mobil itu di tengah-tengah hiruk pikuk kendaraan yang ada di jalan pada siang itu menuju tempat tinggal Ben.
∞∞∞∞∞
            “Hai, Ben,” sapa wanita di seberang sana.
            “Hai,” jawab Ben, yang sedang berbaring di tempat tidur, dengan sedikit perasaan senang ketika mengetahui kalau wanita itu menghubunginya tepat di saat ia sedang memikirkannya. Aneh? Ya, itulah yang sempat terbersit dipikirannya.
            “Bagaimana hari ini? lancar?” tanya wanita di seberang sana, suaranya juga terdengar ringan dan riang.
            “Lumayan. Bagaimana denganmu?” tanya Ben, tersenyum-senyum sendiri saat membayangkan wajah wanita itu, yang mungkin saat ini sedang tersenyum sambil mendengar suaranya melalui ponsel.
            “Nggak terlalu lancar, Ben,” jawab wanita itu, nadanya terdengar sedikit gelisah diselingi tawa kecil yang dipaksakan.
            “Ada apa?” tanya Ben cepat. Ia langsung terduduk di tempat tidur.
            “Orangtuaku mulai menanyakanmu, Ben. Dan ...” Wanita itu pun terdiam, hanya terdengar hembusan napas berat yang menandakan kalau ada sesuatu yang sedang mengusik ketenangannya.
            “Kenapa?” tanya Ben mulai khawatir.
            “Mereka sepertinya sudah tahu kalau aku ... aku sudah ... aku –
            “Seminggu. Beri waktu seminggu untukku dan aku akan kembali ke sana untuk memperbaiki semua ini,” potong Ben langsung. Ia berharap wanita ini mau memberinya waktu dan bisa menahan masalah ini agar tidak menjadi lebih besar.
            “Aku nggak tahu apakah aku bisa meredam semua ini, Ben.
            “Aku yakin kamu bisa.”
            “Kamu yakin, Ben?
            “Aku yakin,” jawab Ben yakin, “seminggu. Hanya seminggu.”
            “Baiklah, Ben,” jawab wanita itu, lalu terdengar hembusan napas berat di seberang sana, membuat Ben semakin khawatir dan tidak tenang.
            “Bagaimana dengan ibu? Apakah ibu senang bertemu dengan Maira?” tanya wanita itu, mengalihkan pembicaraan.
            “Aku rasa begitu,” jawab Ben sambil lalu.
            “Ada apa, Ben?” tanya wanita itu penasaran.
            “Ibu terlalu dingin pada Maira, dia juga tidak terlalu banyak bicara dan terlihat tidak terlalu tertarik pada Maira,” jawab Ben. Ia menyesal karena sikap ibu pada Maira sudah membuat wanita yang ia cintai terluka. Ben tahu kalau Maira mungkin merasakan betapa dingin sikap ibu pada Maira. Ibu juga terlihat tidak peduli, bahkan seperti menganggapnya tidak ada. Ben benar-benar merasa begitu bersalah.
            “Sabar, Ben. Kamu tahu, kan? Ibu memang begitu,” kata wanita itu.
            “Terkadang, ibu memang suka lupa akan keberadaan dirinya dan bisa saja dalam waktu seketika ibu merasa sedih karena mengingat sesuatu,” jelas wanita itu, mencoba memberikan pengertian pada Ben.
            “Ya. Aku tahu itu,” kata Ben.
            Ia tahu semua itu dan tidak menutupi hal itu dalam kehidupannya. Sejak kematian ayah, ibu memang suka berdiam diri, menyendiri, bahkan melamun. Bahkan ibu terkadang suka melupakan segala sesuatu, kecuali ayah.
            Ya, kecuali ayah. Ibu begitu mencintai ayah. Semua hal yang berhubungan dengan ayah selalu membekas di hatinya. Semuanya. Mulai dari parfum kesayangan, makanan dan minuman favorit, bahkan lagu yang selalu ayah nyanyikan pada ibu.
            ‘Without you’ dari Air Supply selalu terngiang di pikiran ibu. Setiap kali ayah berada jauh dari ibu, ayah selalu menyanyikan sepenggal lagu itu melalui ponsel. Bahkan sampai saat terakhir – saat di rumah sakit – tepat di menit-menit terakhir sebelum ayah menghembuskan napas, ayah menyanyikan lagu itu dengan napas terputus-putus dan suara serak di telinga ibu.
            Makanya, saat di mobil tadi pagi, saat radio tidak sengaja memutar lagu itu, Ben langsung menggantinya ke siaran lain. Ia tidak ingin ibunya bersedih dan sakit. Rasa cinta ibu pada ayah sangat besar, begitu juga sebaliknya. Ayah adalah pria yang sangat romantis dan mencintai ibu hingga akhir khayat, dan Ben berharap ia bisa seperti ayah. Mencintai Maira hingga akhir khayat.
            “Aku harap apa yang kamu lakukan di sana bisa berjalan dengan lancar, Ben,” ucap wanita itu pelan.
            “Terima kasih,” balas Ben.
            “Kabari aku kalau terjadi sesuatu, OK,” pesan Ben pada wanita itu.
            “Baik, Ben,” jawab wanita itu patuh.
            Mereka pun mengakhiri pembicaraan itu, lalu Ben meletakkan ponselnya begitu saja di tempat tidur dan merenung sejenak, mengingat dan menyusun agar semua rencananya di Jakarta bisa berjalan dengan baik sebelum ia kembali ke Bali.
            Semoga semua berjalan dengan baik.
∞∞∞∞∞


















Tidak ada komentar: