BAB 6
Maira
berdiri di depan pagar pembatas pintu kedatangan. Jantungnya berdebar dengan
cepat, antara gugup dan senang. Tangan dan kakinya terasa dingin. Ia terus
menggenggam tali tas dengan semakin erat. Matanya terus mencari ke salah satu
sudut di mana semakin banyak orang keluar dari sebuah tempat tersembunyi.
Mata Maira berbinar bahagia saat ia
melihat sosok pria yang begitu ia cintai berjalan menuju pintu keluar dengan
dua koper di kedua tangannya. Seorang wanita, yang mengenakan pakaian suster,
berjalan di samping Ben sambil mendorong kursi roda ibunya. Ibu Ben duduk diam
di kursi roda, memandang setiap orang yang berada di sekitarnya. Sedangkan Ben,
yang melihat ke arahnya, tersenyum lebar dan mempercepat jalannya.
“Ben,” ucap Maira, suaranya bergetar
saat Ben berada tepat di depannya. Ia mencoba menahan rasa haru dalam dirinya
yang mulai tak terbendung. Ia begitu merindukan pria ini. Baru dua hari saja
tidak bertemu dengan Ben, perasaannya sudah gundah gulana seperti ini. Bagaimana
kalau satu bulan? batinnya. Entah bagaimana nasibnya nanti.
Seakan menyadari apa yang Maira
rasakan, Ben langsung membelai wajah Maira yang tak kuasa menahan air mata di
pelupuk matanya yang mulai menetes. “Aku pulang, Sayang,” kata Ben dengan
lembut, yang akhirnya membuat air matanya semakin berderai.
Maira mencoba menahan hal ini,
tetapi ia begitu rapuh. Ia tidak bisa membohongi dirinya kalau ia benar-benar
tidak bisa berada jauh dari Ben. Maira menarik napas dan mencoba menahan isak
tangisnya. Ben tersenyum lembut, lalu menggenggam tangan Maira, seperti memberi
kekuatan dan ketegaran yang hilang setiap kali ia berada jauh dari Ben.
“Maira, ini ibuku,” ucap Ben
memperkenalkan ibunya yang sedari tadi tersenyum pada Maira. Ia pun merasa malu
dan wajahnya merona melihat wanita itu tersenyum lembut padanya.
“Bu, ini Maira, wanita yang kuceritakan
kemarin,” lanjut Ben.
Maira menjabat tangan ibu sambil
tersenyum malu. Wanita itu terlihat lebih cantik dibandingkan dengan foto yang
pernah Ben tunjukkan padanya. “Selamat datang, Tante,” sambut Maira. Ibu Ben
mengangguk tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, hanya tersenyum padanya.
“Kamu parkir di mana?” tanya Ben
pada Maira.
“Tidak jauh dari sini,” jawab Maira
sambil menunjukkan arah pada Ben.
Mereka pun berjalan meninggalkan
tempat itu menuju ke tempat parkiran mobil. Sesampai mereka di depan mobil
Maira, Ben meminta kunci padanya dan memaksa agar ia yang menyetir. Dengan
senang hati Maira memberikan kunci mobil pada Ben.
Ben memasukkan dua koper berukuran
sedang ke dalam bagasi, lalu menggendong ibunya masuk ke mobil. Kemudian suster
pun masuk ke mobil. Perawat Ibu Ben tidak terlalu banyak bicara, yang mana hal
itu tidak terlalu berpengaruh pada Maira.
Maira dan Ben masuk ke mobil,
kemudian meninggalkan bandara menuju salah satu hotel yang berada tidak jauh
dari tempat tinggal Ben. Perjalanan mereka cukup lancar, sama seperti saat
Maira datang ke bandara.
Selama perjalanan, Ben tidak terlalu
banyak bicara seperti biasanya. Pria itu hanya menanyakan hal-hal biasa,
seperti bagaimana kabarnya dan apakah ia sudah makan. Hanya itu saja. Biasanya,
setiap kali mereka berada di dalam mobil, Ben selalu bercerita tentang kegiatan
yang pria itu jalani selama di kantor atau apa saja kejadian lucu yang terjadi
hari itu.
Tapi tidak hari ini, padalah mereka
sudah berpisah selama dua hari. Maira yakin pasti ada cerita yang lucu atau apa
pun itu yang bisa Ben ceritakan padanya. Tapi pria itu malah terus terdiam dan
pandangannya lurus ke depan. Mungkin Ben sedang lelah, pikir Maira.
Begitu juga Ibu Ben yang lebih
memilih diam tanpa bertanya sedikit pun padanya, tidak seperti layaknya seorang
calon ibu mertua yang sangat suka mencari tahu tentang calon menantunya dan
mencari-cari kelemahan si calon menantunya. Ibu Ben benar-benar sangat pendiam.
Sedikit banyak, Maira merasa
bersyukur jika ia mendapatkan seorang calon mertua yang tidak terlalu cerewet.
Tapi di sisi lain, Maira merasakan ada sesuatu yang aneh di dalam mobil ini.
Sikap Ben yang pendiam, begitu juga ibunya. Lalu, senyum Ben yang selalu
menghiasi wajahnya pun menghilang. Ben hanya tersenyum padanya saat di gerbang
kedatangan saja. Setelah itu, tidak ada sama sekali.
Biasanya saat mengendarai mobil, Ben
sesekali melirik dan tersenyum ke arahnya. Apakah karena ada ibunya
sehingga Ben bersikap kaku begini padaku? pikir Maira mencoba mencari
alasan.
Perjalanan singkat itu terasa lama
dan membosankan sampai akhirnya Maira memutuskan untuk menyalakan radio. Sebuah
lagu lawas dari Air Supply yang berjudul ‘Without You’ mengalun
indah dan memberi kesejukan di hati Maira sampai tiba-tiba Ben mengganti
saluran radio tersebut dan mengecilkan volumenya.
Maira langsung menoleh ke arah Ben,
ia terkejut melihat sikap Ben. Ingin sekali ia memprotes sikap itu, tapi ia
tidak ingin membuat calon mertuanya menganggap ia sebagai calon istri yang
cerewet, suka melawan dan suka mengatur. Tidak. Maira tidak menginginkan hal
itu.
Ia pun membuang wajahnya ke samping
dan memandangi jalan tol yang penuh dengan kendaraan lalu lalang. Ingin sekali
Maira membuka pembicaraan, tapi ia tidak tahu harus bertanya apa atau
membicarakan apa. Akhirnya Maira pun memutuskan untuk diam seribu bahasa sambil
mendengarkan suara radio yang begitu pelan, hampir tak terdengar.
Satu jam kemudian, mereka pun tiba
di sebuah hotel. Tempat itu tidak terlalu mewah, tapi juga tidak terlalu buruk.
Ben memarkirkan mobil di lahan parkir yang berada tidak jauh dari pintu lobby.
Ben langsung keluar dari mobil, kemudian berjalan menuju pintu bagasi, lalu
mengeluarkan kursi roda ibunya. Kemudian, Ben membuka pintu penumpang,
menggendong, dan menempatkan ibunya di kursi roda dengan hati-hati. Maira
memperhatikan betapa perhatian dan sayangnya Ben pada ibunya itu.
Ada sedikit rasa cemburu atas
perhatian yang pria itu berikan pada ibunya, namun dengan cepat Maira mengubur
perasaan itu. Ia tidak ingin merasa tersaingi oleh satu-satunya wanita yang
tidak mungkin tergantikan di dalam hidup Ben. Wanita itu yang melahirkan dan
merawat Ben dengan baik dari kecil hingga menjadi pria yang ia cintai saat ini.
Setelah ibu Ben dan perawatnya
keluar dari mobil, Ben langsung menurunkan koper-koper dari bagasi, kemudian
menutup pintu dengan cepat. Maira pun langsung turun dari mobil dan menutup
pintu di sampingnya. Ben mengunci mobil, lalu melangkah menuju pintu lobby.
Pria itu berjalan di samping kursi roda, masih tetap dalam kondisi tanpa bicara
sedikit pun.
Maira berusaha sabar dan mengikuti
langkah Ben dari belakang. Mereka pun masuk ke dalam hotel dan menunggu sesaat
di salah satu sofa besar di dekat meja resepsionis saat Ben melakukan
reservasi. Beberapa menit kemudian, Ben menghampiri mereka dan mengajak mereka
– lebih tepatnya hanya ibu dan perawatnya saja – untuk masuk ke dalam lift.
Ben memintanya untuk menunggu di
sofa tamu sementara pria itu mengantarkan ibunya ke kamar hotel. Ingin rasanya
ia menolak dan menawarkan diri untuk ikut, tapi apalah dayanya, ia baru menjadi
tunangan Ben, bukan istrinya. Akhirnya ia pun pasrah dan menunggu di sofa
sambil melihat mereka masuk ke dalam lift.
Kenapa aku nggak boleh ikut? Apa
ibunya nggak suka sama aku? Ada apa ini?
∞∞∞∞∞
Hampir satu jam Maira menunggu di
ruang lobby tapi Ben belum juga turun. Maira mengeluarkan
ponsel dari tas, kemudian menelepon Ben. Ia sudah tidak bisa bersabar lagi.
Baginya ini sudah tidak masuk akal. Mana ada seorang tunangan menunggu
di bawah seperti orang asing, sedangkan si pria malah di kamar hotel bersama
ibunya dan melupakan tunangannya sendiri.
Maira menghubungi Ben sampai dua
kali, tapi pria itu tetap tidak menjawab panggilannya. Maira mencoba
menghubungi Ben untuk yang ketiga kalinya dan akhirnya pria itu menjawab.
“Kenapa?” tanya Ben cepat, terdengar terengah-engah seperti sedang berjalan
dengan cepat.
“Kenapa??” ulang Maira seakan tidak
percaya dengan apa yang pria itu ucapkan. Setelah menunggu lama di bawah
menunggu kedatangannya dan pria itu malah bertanya ‘kenapa?’, ingin rasanya
Maira langsung memaki dan meninggalkan pria itu.
“Ada apa?” tanya Ben lagi, merasa
tidak bersalah sama sekali.
“Kamu turun sekarang atau aku pulang
naik taxi,” jawab Maira sedikit mengancam. Ini sudah di luar batas sabarnya.
Ben benar-benar aneh hari ini. Sikapnya yang dingin, wajah tanpa senyuman, dan
menganggapnya tidak ada. Ini bukan Ben yang ia kenal.
Maira langsung memutuskan
pembicaraan tanpa mendengar penjelasan apa pun dari Ben. Akhirnya, pintu lift
itu terbuka dan ia melihat Ben keluar dari lift sambil berjalan cepat. Masih
dengan ekspresi wajah yang tidak terbaca, pria itu menghampiri Maira yang
beranjak dari sofa.
“Maafkan aku, Sayang,” ucap Ben
dengan lembut, wajah pria itu pun berubah seketika. Menjadi wajah Ben yang ia
kenal, wajah yang ramah dan memandangnya dengan penuh cinta.
“Ben,” ucap Maira hati-hati, “apa
ada masalah?”
Ben terdiam, terlihat agak terkejut.
Kemudian dengan cepat raut wajah itu berubah lagi. “Oh ... itu ... nggak
apa-apa, Sayang,” jawab Ben terpatah-patah, “semua baik-baik saja.”
Maira menatap mata Ben dalam-dalam
dan instingnya mengatakan kalau ada sesuatu yang pria ini sembunyikan. “Maafkan
aku karena membuatmu menunggu lama ya, Sayang,” ucap Ben sambil menarik tangan
Maira, lalu menggenggamnya dengan erat. Sedangkan tangan yang lain, membelai
wajah Maira dengan penuh cinta dan mata Ben menatapnya dalam-dalam.
Meskipun perasaan ragu itu masih
ada, tapi akhirnya ia memaafkan Ben. Senyuman menghiasi wajah itu dan Ben pun
terlihat lega. “Kamu sangat cantik hari ini. Apakah aku sudah mengatakannya?”
tanya Ben mengalihkan pembicaraan.
Maira menggelengkan kepala, merengut
kecewa seperti seorang anak kecil. Ben memberikan tatapan penuh penyesalan.
“Maafkan aku, Sayang. Aku benar-benar mengecewakanmu, ya?” tanya Ben penuh rasa
bersalah.
“Nggak apa-apa, Ben. Aku mengerti,
kok,” jawab Maira ekstra sabar.
“Kamu sudah makan? Gimana kalau kita
cari makan siang?” tanya Ben. Mereka pun berjalan meninggalkan ruang tunggu itu
menuju parkiran.
Maira melihat jam tangannya, sudah
jam sebelas lewat. “Kita makan di tempat biasa, yuk,” ajak Maira. Ben tersenyum
hangat, menyetujui usulnya.
Ya. Senyum inilah yang ia tunggu
dari tadi. Senyum penuh hangat dan cinta.
∞∞∞∞∞
Maira mengunyah makanannya sambil
memandang Ben yang juga sedang menikmati sepiring iga bakar kesukaannya.
Sesekali Ben tersenyum padanya, mencoba untuk terlihat santai dan bahagia. Tapi
bukan Maira namanya jika ia tidak bisa merasakan kejanggalan pada sikap Ben
yang terkesan dibuat-buat itu. Ia harus bertanya atau ia akan melewati malam
ini dengan penuh rasa curiga di pikirannya.
“Ben,” ucap Maira membuka
pembicaraan.
“Ya, Sayang,” jawab Ben santai.
“Boleh aku tanya sesuatu?” tanya
Maira sambil menatap wajah Ben yang seketika itu berubah kaku, seakan
mengetahui apa yang akan ia tanyakan.
“Kenapa, Sayang?” tanya Ben balik,
mencoba tersenyum untuk menutupi kegugupan di wajah itu.
“Apa ada masalah waktu kamu di
Bali?” tanya Maira pelan.
Ben tidak langsung menjawab pertanyaan
itu. Pria itu mengangkat gelas, lalu meneguk es teh manis dengan gugup. Maira
menatap mata Ben, tapi pria itu berusaha agar tidak bertatapan dengannya. Dan
saat itu juga, Maira benar-benar yakin kalau Ben menyembunyikan sesuatu
darinya.
“Ben ... kamu nggak bisa menutupi
apa pun dariku. Aku bisa lihat hari ini kamu sangat berbeda, kamu –“
“Maafkan aku, Sayang. Tidak ada
masalah apa pun di Bali,” potong Ben, membuat Maira berhenti seketika. Tapi
sikap itu begitu dingin.
“Kamu bisa cerita padaku, Ben.
Sikapmu begitu kaku dan raut wajahmu seakan sedang memikirkan sesuatu,” lanjut
Maira. Ia tidak akan berhenti sampai Ben menceritakan yang sebenarnya.
“Aku hanya memikirkan pekerjaanku,
Sayang. Ada beberapa hal yang harus aku selesaikan dalam waktu dekat ini,”
jawab Ben.
Maira ingin sekali mempercayai
alasan itu, tapi tingkah laku dan cara bicara Ben yang begitu kaku, membuktikan
kalau ada hal lain yang berusaha ia sembunyikan. Ben tidak menatapnya saat
berbicara, terlihat gugup dan mencoba sibuk dengan makanannya. Ini bukan Ben
yang ia kenal. Pria yang ada di hadapannya saat ini seperti dikendalikan oleh
sesuatu. Seakan-akan jiwa dan pikirannya pergi entah ke mana.
“Kamu yakin hanya itu saja, Ben?”
tanya Maira.
Ben meletakkan sendok, mengangkat
tangannya ke wajah Maira, lalu membelainya dengan lembut. Sangat lembut hingga
membuat Maira terbuai. Membuat rasa galaunya sedikit memudar.
“Iya, Sayang. Hanya itu saja. Maaf
sudah membuatmu kawatir,” jawab Ben. Ibu jarinya mengusap wajah Maira dengan
lembut. Maira meletakkan tangannya di atas tangan Ben, yang masih terus
membelai wajahnya.
“Tapi, Ben ... ini ... aku
benar-benar merasa ada yang salah padamu hari ini,” kata Maira, belum puas
dengan jawaban Ben.
“Kamu begitu dingin padaku. Bahkan
membiarkanku menunggu begitu lama. Kamu nggak pernah begitu padaku,” jelas
Maira, menuntut penjelasan lebih.
Pria itu langsung menarik tangannya
menjauh dari wajah Maira, lebih tepatnya menghempaskan tangan Maira menjauh
dari tangannya. Maira tersentak kaget melihat sikap Ben yang baru.
“Aku sudah mengatakan kalau tidak
ada apa-apa. Apa lagi yang kamu mau??” tanya Ben kesal. Kali ini wajah itu
benar-benar terlihat muak padanya. Perasaan Maira begitu terluka menerima
tatapan itu.
“Aku ... aku cuma –“
“Hentikan, Maira! Jangan tanya
apa-apa lagi untuk saat ini. Bisa?” ucap Ben tegas dan penuh penekanan.
Maira langsung terdiam dan
mengurungkan niatnya untuk bertanya lebih banyak. Ya, aku yakin sekali
kalau ada sesuatu yang Ben sembunyikan dariku. Entah apa itu, tapi suatu saat
aku pasti akan mencari tahu, batin Maira.
Ia mengangkat gelas lalu
menghabiskan es teh manisnya. Maira mencoba untuk tidak mengungkit masalah itu
lagi dan mencoba untuk memendam perasaannya yang tersakiti. Ben, yang terlihat
mulai kehilangan semangat makan, langsung menghabiskan minumnya, kemudian
beranjak dari meja dan melangkah menuju meja kasir.
Maira masih terdiam, pikirannya
terus berputar sambil menahan rasa kesal yang semakin membuncah di dadanya.
Maira menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya dengan cepat. Berulang
kali ia lakukan hal itu agar bisa meredam rasa sedih dan terlukanya.
Lambat laun, perasaannya terasa
lebih ringan, meskipun perasaan curiga dan sedih itu masih ada. Beberapa menit
kemudian, Ben kembali ke meja mereka, lalu duduk di kursinya. “Maira,” panggil
Ben.
Maira mencoba untuk menanggapi Ben
dengan sabar, mencoba agar pria itu tidak marah dan kesal lagi padanya. “Hari
Selasa ini kita ada pertemuan dengan keluarga dari pihak ayahku yang ada di
Jakarta. Usahakan supaya hari itu kamu tidak ada kegiatan,” pinta Ben, nadanya
masih dingin dan kaku.
“Aku usahakan,” jawab Maira cepat.
“Di mana pertemuannya?” tanya Maira
langsung.
“Bandar Djakarta. Jam enam sore,”
jawab Ben.
“Kamu menjemputku atau kita ketemuan
di sana?” tanya Maira.
“Ketemuan di sana,” jawab Ben
singkat.
Sebuah pukulan keras seolah menohok
dadanya saat mendengar jawaban itu. Maira mengerutkan dahinya, namun seketika
itu juga ia menarik napas dan membiarkan sikap dingin Ben berlalu begitu saja.
“Baiklah,” jawab Maira, lalu beranjak dari kursi.
Mereka pergi meninggalkan tempat itu
dan berjalan menuju mobil yang berada tepat di depan rumah makan itu. Maira
dengan segera masuk ke mobil, lalu menutup pintu yang ada di sampingnya, begitu
juga dengan Ben.
Pria itu langsung menyalakan mobil,
mengeluarkannya dari tempat parkir, lalu melajukan mobil itu di tengah-tengah
hiruk pikuk kendaraan yang ada di jalan pada siang itu menuju tempat tinggal
Ben.
∞∞∞∞∞
“Hai, Ben,” sapa wanita di
seberang sana.
“Hai,” jawab Ben, yang sedang
berbaring di tempat tidur, dengan sedikit perasaan senang ketika mengetahui
kalau wanita itu menghubunginya tepat di saat ia sedang memikirkannya. Aneh?
Ya, itulah yang sempat terbersit dipikirannya.
“Bagaimana hari ini? lancar?”
tanya wanita di seberang sana, suaranya juga terdengar ringan dan riang.
“Lumayan. Bagaimana denganmu?” tanya
Ben, tersenyum-senyum sendiri saat membayangkan wajah wanita itu, yang mungkin
saat ini sedang tersenyum sambil mendengar suaranya melalui ponsel.
“Nggak terlalu lancar, Ben,”
jawab wanita itu, nadanya terdengar sedikit gelisah diselingi tawa kecil yang
dipaksakan.
“Ada apa?” tanya Ben cepat. Ia
langsung terduduk di tempat tidur.
“Orangtuaku mulai menanyakanmu,
Ben. Dan ...” Wanita itu pun terdiam, hanya terdengar hembusan napas berat
yang menandakan kalau ada sesuatu yang sedang mengusik ketenangannya.
“Kenapa?” tanya Ben mulai khawatir.
“Mereka sepertinya sudah tahu
kalau aku ... aku sudah ... aku –“
“Seminggu. Beri waktu seminggu
untukku dan aku akan kembali ke sana untuk memperbaiki semua ini,” potong Ben
langsung. Ia berharap wanita ini mau memberinya waktu dan bisa menahan masalah
ini agar tidak menjadi lebih besar.
“Aku nggak tahu apakah aku bisa
meredam semua ini, Ben.”
“Aku yakin kamu bisa.”
“Kamu yakin, Ben?”
“Aku yakin,” jawab Ben yakin,
“seminggu. Hanya seminggu.”
“Baiklah, Ben,” jawab wanita
itu, lalu terdengar hembusan napas berat di seberang sana, membuat Ben semakin
khawatir dan tidak tenang.
“Bagaimana dengan ibu? Apakah ibu
senang bertemu dengan Maira?” tanya wanita itu, mengalihkan pembicaraan.
“Aku rasa begitu,” jawab Ben sambil
lalu.
“Ada apa, Ben?” tanya wanita
itu penasaran.
“Ibu terlalu dingin pada Maira, dia
juga tidak terlalu banyak bicara dan terlihat tidak terlalu tertarik pada
Maira,” jawab Ben. Ia menyesal karena sikap ibu pada Maira sudah membuat wanita
yang ia cintai terluka. Ben tahu kalau Maira mungkin merasakan betapa dingin
sikap ibu pada Maira. Ibu juga terlihat tidak peduli, bahkan seperti
menganggapnya tidak ada. Ben benar-benar merasa begitu bersalah.
“Sabar, Ben. Kamu tahu, kan? Ibu
memang begitu,” kata wanita itu.
“Terkadang, ibu memang suka lupa
akan keberadaan dirinya dan bisa saja dalam waktu seketika ibu merasa sedih
karena mengingat sesuatu,” jelas wanita itu, mencoba memberikan pengertian
pada Ben.
“Ya. Aku tahu itu,” kata Ben.
Ia tahu semua itu dan tidak menutupi
hal itu dalam kehidupannya. Sejak kematian ayah, ibu memang suka berdiam diri,
menyendiri, bahkan melamun. Bahkan ibu terkadang suka melupakan segala sesuatu,
kecuali ayah.
Ya, kecuali ayah. Ibu begitu
mencintai ayah. Semua hal yang berhubungan dengan ayah selalu membekas di
hatinya. Semuanya. Mulai dari parfum kesayangan, makanan dan minuman favorit,
bahkan lagu yang selalu ayah nyanyikan pada ibu.
‘Without you’ dari Air Supply selalu terngiang di
pikiran ibu. Setiap kali ayah berada jauh dari ibu, ayah selalu menyanyikan
sepenggal lagu itu melalui ponsel. Bahkan sampai saat terakhir – saat di rumah
sakit – tepat di menit-menit terakhir sebelum ayah menghembuskan napas, ayah
menyanyikan lagu itu dengan napas terputus-putus dan suara serak di telinga
ibu.
Makanya, saat di mobil tadi pagi,
saat radio tidak sengaja memutar lagu itu, Ben langsung menggantinya ke siaran
lain. Ia tidak ingin ibunya bersedih dan sakit. Rasa cinta ibu pada ayah sangat
besar, begitu juga sebaliknya. Ayah adalah pria yang sangat romantis dan
mencintai ibu hingga akhir khayat, dan Ben berharap ia bisa seperti ayah.
Mencintai Maira hingga akhir khayat.
“Aku harap apa yang kamu lakukan
di sana bisa berjalan dengan lancar, Ben,” ucap wanita itu pelan.
“Terima kasih,” balas Ben.
“Kabari aku kalau terjadi sesuatu,
OK,” pesan Ben pada wanita itu.
“Baik, Ben,” jawab wanita itu
patuh.
Mereka pun mengakhiri pembicaraan
itu, lalu Ben meletakkan ponselnya begitu saja di tempat tidur dan merenung
sejenak, mengingat dan menyusun agar semua rencananya di Jakarta bisa berjalan
dengan baik sebelum ia kembali ke Bali.
Semoga semua berjalan dengan baik.
∞∞∞∞∞
Tidak ada komentar:
Posting Komentar