BAB 1
Angin
pantai bertiup lembut menerpa wajahnya. Sinar bulan menyinari malam itu dengan
cahaya yang begitu indah dan bintang-bintang di langit berkelap-kelip menghiasi
langit malam. Alunan lagu yang begitu merdu dari sang penyanyi yang berdiri di atas
panggung kecil, yang berada tidak jauh dari mereka, membuat suasana malam itu
terasa begitu syahdu. Deburan ombak terdengar begitu lembut, memberikan sensasi
menenangkan yang sangat ia sukai.
Ben mengajak Maira makan malam di
sebuah restoran yang berada tepat di pinggir pantai Ancol. Malam itu tidak
terlalu ramai pengunjung, membuat tempat itu bagaikan milik mereka berdua.
Maira begitu senang saat mengetahui kalau Ben membawanya ke sini.
Pantai. Ya, Maira sangat menyukai
pantai. Suara deburan ombak, kicauan burung yang merdu, aroma laut yang khas,
dan angin laut yang menyentuh wajahnya, selalu bisa memberikan ketenangan
tersendiri baginya.
“Selamat ulang tahun, Sayang,” ucap
Ben dengan wajah tersenyum, setelah seorang pelayan membawa sebuah kue ulang
tahun berbentuk lingkaran ke meja mereka.
Ben terlihat begitu tampan dengan
kemeja berwarna biru muda dan celana bahan berwarna hitam, yang melekat pas di
kakinya yang tinggi dan jenjang. Mata berwarna hitam pekat, senyum menawan dan
wajah maskulin pria itu selalu saja membuat Maira terpesona.
Maira menatap kue yang mungil namun
indah itu dengan tatapan terharu. Ia tersenyum kecil melihat beberapa lilin
kecil, yang ada di atas kue itu, tampak memenuhi hampir keseluruhan permukaan.
Kalimat ucapan selamat ulang tahun diukir pada sebuah cokelat putih berbentuk
persegi panjang kecil, terletak tepat di depan lilin angka tiga dan nol. Ya,
hari ini ia memasuki usia tiga puluh tahun.
“Ohhh ... Ben,” ucap Maira,
lalumenutup mulutnya dengan tangan, mencoba menahan rasa haru yang mulai
menyelimutinya. Ia menatap Ben dengan penuh cinta dan pria itu membalas
tatapannya sambil tersenyum hangat.
“Make a wish, Sayang,” ucap
Ben lagi sambil menyodorkan kue itu ke hadapan Maira.
Maira menutup mata, lalu berdoa
dalam hatinya. Tuhan, jaga selalu hubunganku dan Ben. Berkati setiap
rencana kami dan jagalah selalu perasaan kami agar kami bisa melanjutkan
hubungan ini ke arah yang lebih serius. Amin, doa Maira dalam hati. Ia
membuka matanya, menarik napas dan menghembuskannya ke arah lilin-lilin itu.
Senyum mengembang di wajah Ben,
membuat wajah Maira merona. Kemudian, ia mengambil pisau kecil yang berada di
meja, lalu menusukkannya ke dalam kue ulang tahun itu. Potongannya terhenti
sebelum mencapai dasar. Ia bisa merasakan ada sesuatu di dalam kue, yang
berusaha menahan gesekan pisau.
Maira mengangkat matanya, menatap
langsung ke mata Ben. Seakan menyadari kecurigaannya, Ben tersenyum sambil
mengangkat salah satu alis tebalnya, berusaha memberikan petunjuk pada Maira.
Ia pun menarik pisau itu keluar, lalu meletakkannya di meja.
Tanpa ragu, ia menusukkan jari
telunjuknya ke tempat di mana benda itu berada. Maira menatap ke arah Ben lagi,
kali ini tatapan itu terlihat seperti tatapan tidak percaya dan terkejut yang
bercampur menjadi satu. Oh Tuhan, apakah ini...? tanya Maira
dalam hatinya.
Ben membalas tatapannya dengan
lembut. Senyum hangat di wajah pria itu pun membuat Maira semakin tidak percaya
pada pikirannya sendiri. Apakah secepat ini Tuhan mengabulkan doaku?? batinnya.
Perlahan namun pasti, Maira mengeluarkan benda kecil itu dari dalam kue, lalu
meletakkannya di telapak tangannya.
Air mata menggenang di kelopak
matanya saat menyadari apa yang ada di balik lumuran kream putih tersebut.
Maira tidak bisa berkata-kata. Ia sama sekali tidak menyangka kalau Ben akan
melakukan hal ini tepat di hari ulang tahunnya.
Maira semakin tidak kuasa menahan
rasa bahagia yang begitu besar dalam dirinya. Perasaan senang dan kaget
bercampur menjadi satu. Ben beranjak dari kursi dan berlutut tepat di hadapan
Maira. Ben mengambil cincin itu dari tangan Maira, yang bergetar hebat,
sementara air mata mulai mengalir di pipinya.
Ben membersihkan cincin dengan kain
serbet yang ada di meja, lalu mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna hitam
dari saku celananya, dan meletakkan cincin ke dalam kotak. Maira makin
tersentuh saat menyadari bahwa cincin itu begitu indah dan sangat berkilau. Ben
mengangkat kotak itu sambil menengadahkan wajah, menatap Maira yang masih
terdiam.
“Maira, aku rasa tiga tahun kita
menjalani hubungan merupakan waktu yang cukup lama untuk dirimu mengenalku,
begitu pun sebaliknya. Di hari ulang tahunmu ini, aku mohon padamu, Sayang ...
maukah kamu menjadi satu-satunya wanita terakhir dalam hidupku? Menjadi
satu-satunya wanita yang akan menghabiskan sisa hidup bersamaku?” tanya Ben,
menatap Maira dalam-dalam.
Ben terdiam sesaat, memperhatikan
Maira yang masih tersihir oleh romantisme yang begitu indah dan memabukkan.
“Maira, maukah kamu menikah dan menjadi istriku untuk selamanya?” tanya Ben
lagi. Mata Maira semakin terbelalak, bukan karena kaget, tapi karena tidak
percaya kalau apa yang ia harapkan selama ini terjadi tepat di depan matanya.
Benar-benar seperti mimpi yang menjadi nyata.
“Ya ... ya ... aku mau, Ben,” jawab
Maira tanpa pikir panjang. Suaranya bergetar menahan tangis.
Ben langsung menyematkan cincin di
jari manis Maira, lalu mengecup jari manis itu dengan lembut. Pria itu pun
berdiri, lalu membungkukkan badan, dan mencium bibir Maira. Ciuman itu terasa
begitu lembut, hangat dan tenang. Waktu seakan berhenti, ikut merasakan betapa
indah dan romantisnya saat itu.
“Terima kasih, Ben. Kamu memberikan
hadiah terindah untukku,“ kata Maira saat Ben melepaskan ciumannya, mata mereka
saling mengunci.
“Tidak, Sayang ... kamulah hadiah
terindah yang ada di dalam hidupku, Maira,“ ucap Ben, sebelum pria itu mengecup
ringan bibir Maira dan kembali ke kursi.
Maira terus menatap cincin yang
tersemat di jari manisnya, masih tidak percaya. “Terima kasih, Ben,” kata Maira
lagi.
“I love you, Maira,”
kata Ben sambil menggenggam tangan Maira.
“I love you, too, Ben,”
balas Maira, tersenyum lembut. Hari ini adalah hari terindah yang pernah ia
alami.
∞∞∞∞∞
“Maira, kamu senang hari ini?” tanya
Ben saat pria itu berhenti tepat di depan gerbang rumah Maira. Malam semakin
larut dan rasa lelah pun mulai melanda dirinya. Tapi rasa bahagia itu masih
melekat di dadanya.
“Bukan hanya senang ... tapi aku
sangat bahagia, Ben. Ini ulang tahun terindah yang pernah aku miliki,” jawab
Maira. Senyum manis tersungging di wajahnya, sementara tangannya membelai wajah
Ben dengan lembut.
Ben menarik tangan Maira, lalu
membelai cincin indah yang tersemat di jari manisnya. Maira menatap Ben dengan
pandangan penuh cinta dan pria itu menatap mata Maira dalam-dalam, lalu
bergerak semakin dekat ke Maira. Ben mengecup bibir Maira perlahan-lahan. Maira
memejamkan mata, menikmati setiap kecupan yang pria itu berikan. Kecupan itu
pun berubah menjadi sebuah ciuman yang hangat, lembut dan penuh cinta, membuat
Maira seakan tenggelam dalam nikmatnya ciuman itu
Tangan Ben membelai tengkuk Maira
dengan lembut, menariknya semakin mendekat, dan masuk ke dalam pelukan Ben.
Tangan Maira membelai dada bidang itu saat Ben merengkuhnya semakin erat.
Ciuman hangat itu perlahan berubah menjadi penuh gairah, begitu dalam dan
menyesakkan dada. Maira bisa merasakan debaran jantung Ben yang sangat cepat di
bawah telapak tangannya.
Ben tidak pernah menciumnya seperti
ini. Pria ini berubah menjadi sangat bergairah. Ben mulai mencoba memasukkan
lidah ke dalam mulut Maira dan dengan cepat ia mendorong dada Ben, melepaskan
ciuman itu dengan cepat. Napas Maira terengah-engah karena sesuatu yang belum
pernah ia rasakan sama sekali. Ciuman itu bukannya membuat ia merasa senang
ataupun bergairah, tapi malah membuatnya merasa takut.
“Ben?” Maira menatap Ben dengan
tatapan curiga, keningnya berkerut, dan jantungnya berdebar dengan cepat. Maira
tidak yakin dengan apa yang ia rasakan saat ini. Pria ini akan menjadi suaminya
dan ia mencintainya dengan sepenuh hati, tapi sesuatu dalam dirinya seakan
menolak hal yang baru saja terjadi. Ada apa ini? batin Maira,
ragu dan tidak percaya dengan dirinya sendiri.
“Ada apa denganmu, Ben? Kenapa kamu
menciumku seperti itu?” tanya Maira, terengah-engah, masih mencoba menghapus
keraguan dalam dirinya dan mencoba untuk mengembalikan akal sehatnya.
“Maaf ... maafkan aku, Sayang. Aku
... aku terlalu terbawa suasana, Maira. Aku begitu bahagia. Maafkan aku,
Maira,” ucap Ben, tampak ketakutan dan bersalah. Ben menarik dan menggenggam
kedua tangannya dengan sangat erat.
Maira menatap raut wajah Ben.
Hatinya pun luluh seketika. Maira menyunggingkan senyumannya, lalu membelai
wajah Ben dengan lembut, mencoba menghapus rasa bersalah di wajah itu.
“Aku juga bahagia, Ben. Sangat
bahagia,“ ucap Maira, mengecup Ben dan memandang pria itu dengan lembut.
Senyuman mulai menghiasi wajah Ben.
Sebuah kelegaan terpancar di wajah
Ben. Kemudian, Ben keluar dari dalam mobil, membukakan pintu untuknya, dan
membantu Maira keluar. Maira membuka gerbang, lalu mereka berjalan menuju pintu
rumah. Ben mengecupnya sekali lagi sebelum ia melangkah masuk ke rumahnya.
Maira bisa mendengar suara deru
mobil yang semakin lama semakin menjauh dari balik pintu. Ingatan akan ciuman
Ben yang begitu rakus dan penuh gairah, membuat bulu kuduk Maira bergidik
seketika. Ia menuju kamar sambil mencoba menghapus ingatan itu dari kepalanya.
Maira meletakkan tas kecilnya di meja kecil yang berada di sudut ruangan, lalu
duduk di tempat tidur.
Ia mengangkat tangan dan memandangi
cincin indah yang tersemat di jari manisnya. Perasaan ragu itu pun menghilang
seketika.
Aku akan segera menikah. Ben akan
menjadi suamiku. Pria yang sangat aku cintai seumur hidupku. Terima kasih,
Tuhan. Hidupku begitu indah dan bahagia, ucapnya dalam hati sambil mengecup
cincin itu dengan lembut.
Maira beranjak dari tempat tidur,
lalu berjalan menuju kamar mandi dengan sisa-sisa perasaan bahagia yang masih
ada dalam dirinya. Ia melepaskan pakaian, lalu berjalan ke bawah shower,
kemudian memutar krannya dan membiarkan air membasahi tubuh.
Setelah mandi, ia langsung
mengenakan gaun tidur kemudian berbaring di ranjangnya yang empuk. Malam ini ia
akan bermimpi indah. Sangat indah.
∞∞∞∞∞
“Pagi semua,” sapa Maira saat ia
memasuki ruangan itu.
“Pagi, Ra,” jawab Desi.
“Pagi, Say,” jawab Sasha.
Maira berjalan menuju mejanya, lalu
meletakkan tasnya di meja itu. Wajahnya berseri-seri, ia tidak bisa sedikit pun
menyembunyikan perasaannya. Maira duduk di kursi, kemudian menyalakan laptop.
Ia terlalu tenggelam dalam rasa bahagianya, sampai tidak menyadari Desi dan
Sasha yang berjalan ke arahnya sambil membawakan sebuah kue ulang tahun dan
beberapa piring kecil di tangan mereka masing-masing.
“SELAMAT ULANG TAHUN, MAIRA!!” ucap
Sasha dan Desi dengan suara yang sangat kencang dan senyum mengembang di wajah
mereka. Maira terkejut dan tersenyum lebar sambil menutup telinganya, mencoba
menahan pekikan suara kedua sahabatnya itu.
“Maaf, ya. Kami baru bisa kasih kue
hari ini. Kemarin lo sibuk banget sih,” ucap Sasha sambil menyodorkan kue ulang
tahun itu ke hadapannya.
“It’s OK, Sha. Kemarin gue
seharian meeting sama direktur Meganza. Gathering-nya
akan diselenggarakan lebih besar dari biasa,” ucap Maira mencoba menjelaskan
kepada kedua sahabatnya itu.
“Udah, udah. Tiup dulu lilinnya,
biar kita bisa makan kuenya. Gue lapar, belum sarapan,” kata Desi sambil
memotong pembicaraan itu, tampak tidak sabaran.
“Jangan lupa make a wish,”
lanjut Desi dengan riang.
Maira menarik napas dan meniup lilin
itu dengan lembut. “SELAMAT ULANG TAHUN!!” teriak Sasha dan Desi lagi, Maira
tersenyum melihat tingkah laku kedua sahabatnya. Ia mengambil pisau yang berada
tepat di samping kue, lalu memotongnya.
Dengan cepat, Desi mengambil piring,
lalu melahap kuenya. “Ya ampun, Des. Nggak segitunya juga kali,” ledek Sasha,
menatap Desi dengan pandangan kesal sambil mengambil sepiring kue dari tangan
Maira. Sasha tidak mau kalah aksi dengan Desi dan mereka terlihat seperti dua
anak kecil yang sedang berlomba menghabiskan kue mereka masing-masing. Maira
menyantap kuenya sambil tersenyum geli melihat tingkah kedua sahabatnya ini.
Ya. Desi dan Sasha adalah dua orang
yang selalu mengisi hari-harinya selain Ben. Mereka adalah orang yang sangat
penting dalam hidupnya. Mereka bertiga bertemu saat masih kuliah. Desi adalah
seorang wanita dewasa, agak cuek, mandiri, meski kadang bisa menjadi orang yang
sangat pemalu. Sahabatnya ini sangat teliti dalam setiap pekerjaannya dan
senyuman Desi mampu membuat pria manapun terpesona.
Sedangkan Sasha sangat berbeda
dengan Desi. Sifat supel dan periangnya membuat wanita itu menjadi incaran
setiap pria lajang di sekitarnya. Tapi bukan Sasha namanya jika dengan mudahnya
tunduk pada seorang pria. Sasha memiliiki moto yang selalu dipegang dalam
hidupnya. NO TIME FOR A MAN.
Sasha tidak terlalu memikirkan hal
yang berhubungan dengan pria. Baginya, hidup tanpa pria benar-benar tenang,
tanpa beban, dan tidak menghambat dirinya untuk mengepakkan sayap lebar-lebar.
Sedangkan Maira memiliki sifat yang sangat dewasa dan keibuan, sangat sabar dan
selalu mengerti kedua sahabatnya dengan sangat baik.
Bagi Desi dan Sasha, Maira bagaikan
kakak mereka. Maira sangat bahagia memiliki sahabat seperti Sasha dan Desi.
Mereka bertiga memang memiliki sifat dan latar belakang yang berbeda-beda.
Tapi, perbedaan itu membuat mereka begitu dekat dan saling memiliki.
“Des! Lo tenang dong makannya,”
gerutu Sasha kesal saat melihat Desi yang begitu cepat menghabiskan kuenya.
“Gue lapar,” jawab Desi cuek sambil
mengambil pisau yang tergeletak di meja, lalu memotong kue itu dan meletakkan
di piringnya yang sudah kosong.
“Tapi gue juga masih mau. Jangan
banyak-banyak dong!” kata Sasha sambil merebut pisau kecil itu dari tangan
Desi.
“Ya ampun, Sha,” ucap Maira sambil
menengahi kedua temannya itu, “sabar ... sini gue potongin.”
“Rakus!” ledek Sasha sambil
mengoleskan jarinya yang penuh cokelat ke wajah Desi.
Desi tampak terkejut, wajahnya
merengut dan menatap kesal ke arah Sasha. Mereka berdua saling mengoleskan jari
mereka ke wajah temannya. Mereka pun tertawa bahagia sambil terus bermain dan
menghabiskan kue ulang tahun yang sudah tak berbentuk itu.
∞∞∞∞∞
Tidak ada komentar:
Posting Komentar