Selasa, 31 Januari 2017

A STOLEN HEART (21+) - BAB 6



BAB 6


     Semua ini sudah berakhir. Na sudah menikah dengan Rico. Na sudah menjadi milik Rico selamanya. Aku sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi untuk mempertahankan Na. Dan ini adalah jalan terbaik untuk semuanya. Batin Ted sambil memandang ke kejauhan.

     Wanita yang ia cintai telah menikah dengan pria pilihannya. Pria yang benar-benar ia cintai. Kejadian semalam saat di kamar Na, membuat Ted sadar. Cintanya pada Na begitu besar hingga ia tidak ingin kehidupan yang wanita itu harapkan hancur begitu saja.

     Sejak pertama kali Na memperkenalkan Rico padanya, ia sadar. Ia tahu bahwa Na tidak akan pernah ia miliki. Wanita itu sungguh jatuh cinta dan tergila-gila pada pria itu. Bahkan pancaran wajah Na tampak semakin cantik dan mempesona ketika wanita itu bercerita tentang Rico padanya.

     Hatinya begitu sakit saat menyadari bahwa ada pria lain yang mampu membuat wajahnya merona bahagia seperti itu. Hatinya begitu hancur saat menyadari bahwa bukan dirinyalah yang membuat wanita itu bahagia, melainkan pria lain.

     Na begitu dekat dengannya. Kedua ayah mereka memang sudah bersahabat sejak mereka masih duduk dibangku kuliah. Bahkan kedua orang tua mereka sempat berencana untuk menjodohkan Ted dan Na. Namun karena beberapa alasan Ted menolak rencana itu.

     Awalnya ia ingin Na mencintainya dengan tulus tanpa harus dipaksakan dengan perjodohan tersebut dan ia memberikan kebebasan bagi Na hanya untuk melihat wanita itu bahagia. Namun saat Ted mengetahui bahwa hati wanita itu sudah dimiliki oleh Rico, dunianya serasa hancur berkeping-keping.

     Sempat terbersit dipikirannya untuk memaksakan perjodohan itu, namun ia tahu kalau hal itu akan menghancurkan perasaan Na dan membuat wanita itu menjadi benci padanya. Dan ia tidak ingin hal itu terjadi.

     Dan semalam, saat Na mengatakan kalau wanita itu mencintainya, Ted pun sadar. Na memang membutuhkannya, tidak dapat jauh darinya, tidak dapat hidup tanpanya. Tapi bukan sebagai pria yang ia cintai. Bukan sebagai pria yang ingin ia ajak untuk hidup bersama. Tapi sebagai saudara. Sebagai kakak laki-lakinya yang selalu ada dan setia hadir dalam hidupnya setiap saat.

     Ted sadar itu. Dan saat ia melihat langsung raut wajah wanita itu, yang sedang duduk berdampingan dengan Rico di atas pelaminan, entah mengapa sebagian dari dirinya merasakan bahagia yang tak terkira. Walaupun sebagian lagi dari dirinya merasa hancur berkeping-keping, tapi baginya yang terpenting saat itu adalah menyaksikan Na bahagia dan hidup bersama dengan pria yang sangat ia cintai.

     Sekarang Na sudah menjadi milik Rico selamanya dan Ted hanya bisa berperan sebagai kakak yang baik baginya. Ted bisa menerima hal itu, selama ia masih bisa bertemu dan bersama dengan Na tanpa ada halangan sedikit pun. Dan ia yakin perasaannya pada Na tak akan berubah sedikit pun.

     “Aku kira kau sudah pergi dari sini.” Terdengar suara Sasha saat wanita itu berjalan meng-hampirinya. Sejak Ted melihat Sasha pertama kali di bar siang itu, entah mengapa wanita ini langsung menarik perhatiannya. Wajahnya, aroma tubuhnya, tawanya, sikapnya, bibirnya. Ya, bibirnya. Bibir itu begitu manis dan sangat menggoda.

     Bukan bermaksud kasar atau pun mencari pelarian dari patah hati karena kehilangan Na, tapi aku bisa merasakan sesuatu dalam diriku. Perasaanku langsung berubah setiap kali aku berada bersamanya. Wanita ini begitu dingin dan misterius. Dan wajahnya selalu terbayang dalam pikiranku sejak pertama kali aku melihatnya di siang itu, sendirian dan tampak sangat murung. Batin Ted.

     “Aku menunggumu. Kamu tahu itu, kan.”

   “Tidak. Aku malah mengira kau sudah pergi dari sini,” ucap Sasha sambil meletakkan bokong mungilnya di atas kursi pantai itu.

      “Lalu kenapa kamu datang ke sini?” tanya Ted dengan nada menggoda.

    “Aku hanya penasaran saja,” jawab Sasha santai. Rambut wanita itu tergerai indah. Bahkan di bawah sinar matahari yang semakin meredup, warna hitam pekat rambut itu tampak semakin bersinar. Salah satu hal yang dapat menarik perhatian setiap pria yang melihatnya.

     “Penasaran padaku?” tanya Ted dengan nada sedikit bingung.

    “Yup. Aku hanya penasaran saja dengan pertanyaanmu tadi,” jawab Sasha sambil melihat ke arah Ted.

    “Pertanyaanku?” tanya Ted lagi. Ia bangun dari posisinya dan duduk menghadap Sasha.

   “Ya, pertanyaanmu. Kau tampak seperti orang yang sedang putus asa sebelum aku mening-galkanmu tadi,” jelas Sasha. Wajah wanita itu tampak sedikit kebingungan.

     Wanita ini begitu menarik. Setiap ekspresi yang ia tunjukkan membuat Ted begitu gemas dan ingin sekali ia mencium bibir indah itu. Jantung Ted selalu berdebar dengan cepat setiap kali Sasha menunjukkan ekspresi-ekspresi yang berbeda.

     Dia membayangkan wanita itu berada di atas tempat tidur, berada di bawahnya, mendesah nikmat dan mengerang kenikmatan saat mencapai puncak klimaksnya. Setiap saraf dalam tubuhnya seakan-akan menjerit tak karuan setiap kali ia membayangkan hal itu.

   Ia memang baru tiga hari berkenalan dengan wanita ini, tetapi wanita ini terasa tepat dalam pelukannya, terasa manis dan begitu rapuh. Seakan-akan wanita ini memerlukan dirinya. Memerlukan perlindungan dan kekuatan dalam hidupnya.

     Ted memperhatikan setiap jengkal wajah Sasha. Wajah yang begitu menarik, mata yang berwarna hitam pekat seperti rambutnya, bibirnya yang indah dan merekah serta hidung yang mungil. Wajah yang mampu dengan mudahnya merayu setiap pria.

     Tapi saat ia mendengar kalau wanita ini sedang tidak ingin memiliki sebuah hubungan, membuat Ted tidak percaya. Karena setiap wanita cantik yang ia temui, hampir semuanya mendekatinya karena kekayaannya, karena ketenarannya. Dan hampir semua wanita cantik yang ia kenal, hampir semuanya, menggunakan kencantikannya hanya untuk keuntungan mereka sendiri. Memanfaatkan, memeras dan menguras semua kekayaan pria mereka demi kesenangan mereka sendiri.

     Tapi entah mengapa Sasha berbeda dari wanita-wanita itu. Secara tidak langsung, wanita ini selalu mencoba untuk menjaga jarak darinya. Dia tidak tahu apa yang telah terjadi dalam kehidupannya, sepertinya wanita ini begitu misterius. Dan Ted sangat penasaran dengan Sasha.

   “Aku rasa kamu tidak perlu terlalu memikirkan pertanyaanku sebelumnya,” ucap Ted mencoba mengalihkan pembicaraan.

    “Terserahlah, lagi pula aku ingin istirahat sebentar di sini sambil menikmati sunset. Hari ini cukup melelahkan dan kakiku rasanya mau copot,” ucap Sasha sambil melepaskan sepatunya. Ia merebahkan tubuhnya dan menghela nafasnya dengan cepat. Pandangannya menatap lurus ke depan, memandangan hamparan biru laut yang terbentang di hadapannya.

     Ted memperhatikan setiap jengkal tubuh Sasha. Ingin sekali ia memalingkan wajahnya dari wanita itu, tapi tubuh wanita itu begitu sempurna. Tidak kurus bagaikan tengkorak hidup, dan tidak terlalu besar untukku. Pas. Ya, itulah kata-kata yang tepat untuk tubuh indah itu.

     Ia mengutuk dirinya sendiri karena matanya begitu terpaku pada payudara indah yang bergerak halus saat Sasha sedang bernafas. Payudara itu tidak terlalu besar, tidak seperti balon udara yang menyembul di udara, tapi ukuran yang begitu pas dengan tubuhnya.

     Matanya menjalar lagi ke kaki Sasha yang mulus dan bersih. Kulitnya yang berwarna kuning langsat tampak sedikit menggelap akibat terbakar sinar matahari. Namun hal itu tidak menghilangkan aura kecantikannya.

     “Mengapa kau melihatku seperti itu? Dan kapan kau akan berhenti menatapku seperti itu?” tanya Sasha tiba-tiba, membuat Ted terkejut bukan main. Wanita itu tidak bergerak sedikit pun, pandangannya masih tertuju ke arah lautan biru.

      “Aku? Aku tidak melihatmu seperti yang kamu pikirkan,” jawab Ted dengan gugup.

   “Ya, kau melihatku seperti yang aku pikirkan. Dan kau tahu? Aku tahu apa yang ada dalam pikiranmu,” kata Sasha sambil menyunggingkan senyum di wajahnya.

     “Aku... Aku... Ahh... Kamu ini benar-benar,” ucap Ted terbata-bata, baru kali ini ia merasa gugup berbicara dengan seorang wanita.

      “Sudahlah, aku sudah terbiasa dengan pandangan seperti itu. Lagi pula itu bukanlah sesuatu hal yang bisa menggangguku,” ucap Sasha santai sambil mengangkat sedikit bahunya.

     “Kamu benar-benar wanita yang cantik, kamu tahu itu?” ucap Ted sambil membaringkan tubuhnya kembali ke kursi pantai.

   “Mungkin kau orang ke seribu yang berkata seperti itu, dan aku sama sekali tidak terlalu memusingkan hal itu,” kata Sasha sambil melihat ke arah Ted.

      Ted tidak membalas kata-kata Sasha, ia tersenyum dan membalas tatapan Sasha. Wanita ini sama sekali tidak canggung dengan tatapanku, bahkan sebaliknya, tatapan wanita itu seakan menenggelamkanku dan membuatku merasakan sesuatu yang baru. Sesuatu yang belum pernah aku rasakan. Batin Ted.

     Waktu berlalu begitu cepat. Matahari perlahan-lahan terbenam di balik hamparan lautan biru itu. Cahaya lampu-lampu kecil yang berwarna kuning, membuat suasana sore itu semakin hangat. Tiba-tiba kilatan tentang senyum dan wajah Na kembali terlintas di pikirannya. Apa yang sedang Na lakukan dengan Rico? Apakah Rico bisa memperlakukan Na dengan lembut? Apakah Na merasakan sakit? Apakah... Pikir Ted.

    Pikiran Ted kembali memikirkan Na. Ia harus melakukan sesuatu agar bayangan tentang Na bercinta dengan pria lain bisa menghilang dari pikirannya. Aku harus melupakan Na. Aku harus membuang perasaanku jauh-jauh. Aku harus... HARUS.

     Ted bangkit dari kursi pantainya dan duduk menghadap ke kursi Sasha. “Bagaimana kalau malam ini kamu makan malam denganku lagi?” ajak Ted dengan senyuman merekah di wajahnya, mencoba menyembunyikan perasaannya yang hancur.

     “Aku rasa aku tidak bisa. Maafkan aku. Karena aku harus mengurus acara makan malam pengantin baru itu, yang akan berlangsung... dua jam dari sekarang,” jelas Sasha sambil melihat ke arah jam tangannya.

     “Aku akan membantumu. Bagaimana? Apakah itu boleh?” tanya Ted lagi.

    Sasha menatap tajam ke arahnya. Seakan mencoba untuk membaca pikiran Ted dan ia pun berharap wanita itu tidak bisa membaca apa yang sedang ia rasakan saat ini. Wanita itu terdiam beberapa saat, tampak sedang menimbang sesuatu. Dahinya berkerut dan wanita itu bermain-main dengan bibirnya.

     “Baiklah. Tapi kau harus menuruti semua perkataanku dan jangan pernah membantahku. OK?” ucap Sasha seakan memerintah bawahannya sambil mengajungkan jari telunjuknya ke arah Ted.
“Baik, tuan putri.”

     Sasha tersenyum lebar saat mendengar kata-kata Ted. Dan ia sangat menyukai senyuman itu. Banyak hal yang ia sukai dari wanita ini. I like this woman. Like her very much.

      “Lebih baik kita berganti pakaian dan bersiap-siap untuk pekerjaan selanjutnya,” kata Sasha seraya beranjak dari kursinya. Mereka pun berjalan berdampingan menuju hotel.

∞∞∞∞∞∞∞∞

Jumat, 27 Januari 2017

A STOLEN HEART (21+) - BAB 5



BAB 5
     Sasha tidak bisa tidur malam itu. Bayangan akan masa lalunya kembali menghantuinya. Sasha terbangun dan nafasnya terengah-engah. Dengan cepat ia masuk ke dalam kamar mandi, membasuh wajahnya dengan air dingin dan menatap kembali wajahnya yang memerah di depan cermin.
     Ia melihat bekas tamparan yang ia berikan pada dirinya sendiri. Wajahnya terlihat sedikit lebam merah karena ia menampar dirinya dengan sangat kencang. Ya. ia menghukum dirinya karena dengan mudahnya menerima ciuman dari seorang pria.
     Setiap kali ia jatuh ke dalam pelukan pria, Sasha pasti langsung menghukum dirinya sendiri. Semua itu ia lakukan agar ia tetap tersadar dan fokus untuk menjaga dirinya sendiri. Jauh dari pria. Jauh dari segala bentuk bujuk rayu pria. Jauh dari sentuhan pria. Memang selama ini di mata kedua sahabatnya, ia adalah wanita yang menarik, mudah menaklukan pria dan dengan mudahnya juga memutuskan hubungan dengan pria.
     Ya. Ia melakukan itu semua untuk menutupi masa lalunya. Setiap kali ada pria yang datang mendekatinya, mencoba untuk merebut hatinya, Sasha pasti berusaha untuk menjauhkan dirinya dari pria tersebut. Kalau pun ia tidak bisa menolak pria itu, Sasha selalu menerima kehadiran pria itu dan tidak lama kemudian ia pasti membuang pria itu layaknya sebuah pakaian kotor.
     Sasha tidak bisa menjalin hubungan dengan pria mana pun. Tapi entah mengapa, ke-jadian di lift membuat pertahanan dirinya runtuh seketika. Kehangatan dan kelembutan bibir Ted membuat Sasha meleleh bagaikan bongkahan batu es yang terpapar sinar panah matahari.
     Pria itu membuat Sasha tidak bisa mengotrol dirinya, tidak bisa mempertahankan tem-bok besar yang selama ini ia bangun. Ia harus menjauhi Ted. Harus.
     Sasha mengelus pipinya yang memerah. Matanya yang tajam tertuju pada cermin di hadapannya. "Kau tidak boleh melakukan hal itu lagi! Kau ingat itu! Atau kau akan merasakan hal yang lebih menyakitkan dari ini," ucap Sasha pada dirinya sendiri melalui cermin itu.
     Ia melangkahkan kakinya beranjak dari kamar mandi menuju tempat tidur. Cukup lama ia berbaring di atas tempat tidur itu, tapi tak sedikit pun ia merasakan ngantuk. Ia pejamkan matanya, mencoba untuk menenangkan pikiran dan hatinya.
     Dan beberapa saat kemudian ia pun tertidur pulas.
∞∞∞∞∞∞∞∞
     Pagi hari pun tiba dan alarm di ponselnya pun berbunyi dengan sangat kencang. Mata Sasha terasa begitu berat, ingin sekali ia mematikan alarm dan menarik selimutnya. Tapi hari ini adalah hari pelaksanaan pernikahaan sepupunya.
     Sasha duduk di tempat tidurnya, ia langsung mengambil ponselnya dan mematikan alarmnya. Sekarang pukul lima subuh dan tidurnya yang hanya beberapa jam saja membuat kepalanya terasa sedikit sakit. Ia menapakkan kakinya di lantai kamar dan dengan sekujur tenaga dalam tubuhnya, ia beranjak dari tempat tidur lalu berjalan menuju kamar mandi.
     Sesampainya ia di kamar mandi, dengan malas ia menanggalkan pakaian tidurnya dan melangkah masuk ke bawah shower. Dinyalakannya shower itu dan dengan seketika air hangat menghujaninya. Tubuhnya terasa rileks saat air hangat itu menyentuh kulitnya.
     Sasha dengan cepat membersihkan sekujur tubuhnya, lalu dimatikannya shower itu. Kemudian ia mengeringkan tubuh dan rambutnya. Lalu ia keluar dari kamar mandi, mengenakan pakaian yang sudah ia siapkan semalam kemudian mengeringkan rambutnya.
     Ia mengenakan kemeja lengan panjang berwarna biru langit dengan rok berwarna hitam dan sepatu hells berwarna senada. Rambutnya yang panjang, ia biarkan tergerai indah. Setelah itu ia menyemprotkan parfum ke tubuhnya. Wajahnya yang cantik terpoles sempurna dengan make up yang menempel di wajahnya.
     Sasha tampil sempurna hari ini. Ia berjalan meninggalkan kamarnya menuju pintu lift. Ia menunggu sesaat sampai pintu lift itu terbuka. Ia masuk ke dalam lift dan menekan tombol ke lantai sembilan. Setelah ia sampai di lantai sembilan, ia langsung berjalan menuju kamar sepupunya.
     Pintu kamar sepupunya sudah terbuka lebar. Di dalam sana dapat terlihat beberapa orang sedang sibuk melakukan pekerjaan dan tugasnya masing-masing. "Selamat pagi, Rico. Apakah kau sudah siap?" tanya Sasha saat memasuki ruangan itu.
     "Sangat siap," jawab Rico dengan penuh keyakinan.
     "Baiklah. Apakah kalian sudah selesai dengan Rico?" tanya Sasha pada dua orang yang sedang sibuk membereskan peralatan make up.
     "Sudah, mba Sasha."
     "Baiklah. Kalian bisa meninggalkan kami berdua dan kalian bisa melanjutkan ke kamar yang lain," ucap Sasha dengan nada sedikit memerintah.
     "Usahakan semua cepat dan tepat waktu sesuai dengan yang saya jadwalkan, ya. Jangan sampai ada yang terlewatkan sedikit pun," perintah Sasha sebelum dua orang itu keluar dari ruangan.
     "Sasha," panggil Rico. Pria itu tampak tampan dan sempurna. Pria yang mapan, kaya dan cukup terpandang. Wanita yang mendapatkan Rico adalah wanita yang sangat beruntung. Batin Sasha.
    "Terima kasih, ya. Kamu sudah mau membantuku untuk mengurus pernikahanku ini," ucap Rico sambil berjalan dan tersenyum lembut ke arahnya.
    "Itu sudah tugasku, Rico. Kau membayarku dan aku akan berikan yang terbaik," kata Sasha sambil tersenyum. Tatapannya kembali ke arah buku catatannya, mengecek segalanya dan memastikan semuanya sempurna.
     "Apakah kau membawa pasanganmu ke sini?" tanya Rico sambil lalu.
     "Itu bukanlah proritas utamaku, Rico."
    "Kau ini memang tidak bisa diprediksi, ya. Aku berharap kau bisa menemukan cinta sejatimu di sini," ucap Rico sambil menatap ke arahnya.
     "Thank you," jawab Sasha santai.
    "Aku akan ke bawah, mengecek semuanya," kata Sasha sambil berjalan keluar dari ruangan itu, "kau jaga staminamu. Hari ini adalah hari yang panjang dan melelahkan."
     "Aku tahu, Sha."
     "Sampai ketemu nanti jam delapan,ya."
     Sasha pun beranjak pergi dari ruangan itu menuju pintu lift. Ia menunggu sesaat dan saat pintu itu terbuka, ia melihat Ted yang tampak sangat berantakan. Sasha berusaha untuk tidak masuk ke dalam lift itu, tapi ia harus segera turun ke lantai dasar karena beberapa vendor sudah tiba dan membutuhkan arahan darinya.
     Akhirnya Sasha dengan terpaksa masuk ke dalam lift itu. Ted tidak bicara sama sekali, begitu juga dirinya. Ingin sekali rasanya ia menyapa Ted, tapi ia tidak ingin lagi masuk ke dalam jurang yang sama. Ia tidak ingin kembali terlena dengan pria itu.
     Sasha terus berusaha sibuk dengan ponselnya hingga akhirnya lift membawa mereka ke lantai dasar. Pintu lift terbuka dan dengan cepat Sasha melangkahkan kakinya keluar dari lift itu. Ted sama sekali tidak berkutik, bahkan melihat ke arahnya saja tidak.
     Pintu lift itu pun tertutup dan Ted menghilang di balik pintu itu. Sasha berusaha tidak memperdulikan hal itu dan mencoba kembali fokus pada pekerjaannya.
∞∞∞∞∞∞∞∞
     Kedua pengantin berjalan santai di tengah-tengah tamu yang sedang asik menikmati hidangan mereka. Prosesi janji setia mereka pun berjalan dengan lancar. Acara yang berlangsung selama kurang lebih dua jam itu berlangsung dengan tenang dan damai.
     Sekarang Sasha sedang berdiri di sebuah pojokan, memperhatikan jalannya acara. Semua orang tampak bahagia. Pengantin wanitanya pun terlihat sangat cantik dan bahagia. Rico tidak bisa melepaskan pandangannya dari pengantinnya. Pria itu benar-benar jatuh cinta pada wanita itu.
      Sasha memperhatikan satu per satu tamu yang hadir. Tak ada satu pun dari mereka yang tidak bahagia. Acaranya ini berlangsung sukses dan sempurna sesuai dengan rencananya. Pandangan Sasha jatuh ke sosok pria yang ia kenal. Ted. Pria itu berdiri di salah satu pojokan tepat di samping sebuah pohon kelapa.
     Wajahnya tampak begitu tampan dan pakaian yang pria itu kenakan melekat sempurna di tubuhnya yang ramping. Tapi raut wajah pria itu tampak tidak terlalu bahagia. Seakan-akan ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Ingin sekali Sasha menghampiri Ted, tapi di sisi lain dirinya memaksanya untuk berdiam diri dan menjauh dari pria itu.
     Tatapan Ted terus mengarah ke arah pelaminan. Tatapannya kosong dan hampa, tidak seperti Ted yang ia kenal. Pria itu tampak berada di dalam dunianya sendiri. Berkelana dengan pikirannya sendiri. Entah apa yang pria itu pikirkan saat ini, tapi tampaknya sesuatu sedang melanda perasaannya saat itu.
      Sasha memalingkan wajahnya dari pria itu, mencoba memperhatikan tempat lain. Lalu ia berjalan menuju barisan makanan, memastikan setiap tamu tidak kekurangan makanan. Setelah itu ia menghampiri kedua pengantin yang sedang duduk di singgasana mereka.
     "Bagaimana semuanya, Sha?" tanya Rico.
    "Semua berjalan lancar. Setelah acara makan dan acara penutup, kalian berdua bisa kembali ke kamar yang telah aku siapkan," jawab Sasha dengan penuh percaya diri.
     "Baiklah. Terima kasih banyak, Sasha."
     "Sama-sama, Rico."
    Wanita di sampingnya pun tersenyum lebar ke arah Sasha. Wanita yang cantik, pikir Sasha. Acara itu berlangsung hingga pukul tiga sore. Semua tamu mulai kembali ke kamarnya masing-masing, begitu juga dengan pasangan pengantin.
  Seluruh vendor dan para pihak hotel yang ikut membantu acara tersebut mulai membereskan tempat itu. Karena setelah acara ini, para vendor itu pun harus dengan cepat menyusun serta menambah beberapa hiasan dan ornamen yang akan digunakan untuk acara makan malam si pengantin dengan para tamu undangan.
   Sasha berjalan menuju salah satu kursi santai yang berada di pinggir pantai. Cahaya matahari sudah tidak terlalu menyengat saat itu. Saat yang tepat baginya untuk mengistirahatkan sejenak kakinya yang lelah.
    Ia merebahkan dirinya di kursi santai itu dan meletakkan buku catatan serta ponselnya di meja kecil yang berada tepat di sampingnya. Baru saja ia ingin memejamkan matanya sebentar, tapi indra penciumannya dapat merasakan suatu aroma wangi yang tak asing.
    "Tampaknya kamu begitu lelah," kata Ted yang berdiri di belakang kursi santai Sasha.
  "Tampaknya kau selalu datang tiba-tiba dan mengagetkanku," kata Sasha sambil menengadahkan wajahnya ke arah Ted.
    Pria itu kemudian berjalan ke kursi santai yang kosong. "Apakah..."
  "Silahkan duduk," jawab Sasha sebelum pria itu menyelesaikan kalimatnya. Ted tersenyum, lalu duduk di kursi santai tersebut.
     Sasha tidak berbicara sedikit pun, hanya memandang ke depan. Pemandangan laut. Ya, ia sangat menyukai pemandangan laut dan pantai, suara deburan ombak dan kicauan burung di langit. Membuat perasaannya damai dan tenang. Membuatnya lupa akan segala kepenatan dan beban pekerjaannya.
     Ted pun ridak bergeming. Pria itu diam dan pandangannya pun jauh ke depan. Tampak-nya pria itu memiliki suatu beban yang cukup berat. "Sha," panggil Ted, suaranya begitu lemah.
     "Hmmm," jawab Sasha singkat.
     "Apakah kamu pernah merasa lelah dengan kehidupanmu?" tanya Ted, tatapannya tetap lurus ke depan.
   "Apakah kamu pernah merasakan bahwa apa yang sudah kamu lakukan ternyata semuanya sia-sia?" tanya Ted lagi.
     Sasha menoleh dan menatap Ted dengan seksama. Tampaknya ada sesuatu yang mengganggu dalam pikirannya. "Apakah kau baik-baik saja?" tanya Sasha khawatir. Pria itu menganggukkan kepalanya dengan pelan. Sasha tidak percaya begitu saja. Ingin sekali ia memaksa pria itu untuk bercerita padanya, tapi ia merasa bahwa itu bukanlah kapasitasnya untuk memaksakan hal itu pada Ted.
     Mereka baru saja saling mengenal. Dan ya, mereka pun sudah berciuman. Tapi hal itu tidak berarti bahwa Sasha berhak mengetahui segalanya tentang Ted. Tiba-tiba ponsel Sasha berbunyi.
      "Halo," jawabnya, "baiklah... saya akan ke sana sekarang."
     "Aku permisi sebentar, ya. Para vendorku sudah selesai membereskan pekerjaannya dan ada beberapa hal yang harus aku lakukan," jelas Sasha pada Ted meskipun ia merasa dirinya tidak berkewajiban untuk memberi penjelasan apa-apa pada pria itu.
     "Baiklah." Hanya kata-kata itu yang keluar dari bibir pria itu.
   Sasha bergegas pergi menuju para vendornya. Sesekali ia menoleh ke belakang, memperhatikan Ted yang masih terbaring di kursi pantai itu. Ia harus menyelesaikan pekerjaannya dan setelah itu ia pasti kembali menemani Ted. Just wait for me.
∞∞∞∞∞∞∞∞

A STOLEN HEART (21+) - BAB 4


BAB 4
     Angin pantai yang bertiup lembut dan suara deburan ombak malam itu menemani Sasha dan Ted yang sedang asik menikmati makan malam mereka. Kehadiran Ted di saat ini setidaknya menghapus kesepiannya. Ted adalah pria yang menyenangkan dan setiap kali Sasha bercerita tentang sesuatu, pria itu selalu mendengarkan Sasha dan tatapan pria itu sangat menyejukan.
   Entah mengapa Sasha merasa nyaman dengan kehadiran Ted. Bahkan ia pun bisa tertawa lepas saat Ted melontarkan gurauan yang begitu menggelikan. Hari pun semakin larut dan angin pantai pun perlahan-lahan berubah menjadi sedikit kencang.
    "Bagaimana dengan makananmu? Apakah kamu menikmatinya?" tanya Ted saat Sasha meneguk habis minuman dalam gelasnya.
    "Ya, makanan ini sangat nikmat. Bagaimana denganmu?" tanya Sasha sambil ter-senyum.
    "Ya, aku juga sangat menikmati makan malam ini. Terutama karena aku bisa meng-habiskan malam ini denganmu," jelas Ted sebelum ia meneguk minumannya.
     Sasha tersenyum saat mendengar kata-kata itu. Pria ini memang mengerti cara menye-nangkan hati wanita, pikir Sasha. Ia melihat jam tangannya, sekarang pukul sembilan malam. Sudah waktunya ia untuk beristirahat karena besok dia harus mempersiapkan pernikahan sepupunya.
     "Sepertinya sudah larut malam dan aku harus beristirahat karena besok ada pekerjaan yang harus aku kerjakan," ucap Sasha dengan santai.
    "Baiklah... Bagaimana kalau kita kembali ke kamar dan beristirahat?" ucap Ted sambil memasukkan ponselnya ke dalam saku celananya.
     "Ide yang bagus," ucap Sasha sambil beranjak dari kursinya.
     Mereka berdua pergi dari tempat itu dan berjalan santai menuju pintu masuk hotel. Ted menekan tombol lift dan mereka pun menunggu sejenak sampai pintu lift itu terbuka. Mereka pun langsung melangkahkan kaki mereka memasuki ruangan lift saat pintu itu terbuka.
     Ted menekan tombol lantai empat belas dan pria itu pun melirik ke arah Sasha. Tanpa sengaja Sasha pun melirik ke arah Ted dan pandangan mereka saling bertemu. Wajah Sasha merona dan jantungnya pun berdebar secepat kuda yang sedang berlari kencang.
     Pria itu tersenyum kecil dan Sasha pun tersenyum malu. Ted berusaha untuk mendekati Sasha dan ia pun tidak beranjak dari posisinya, seakan-akan ia menunggu reaksi selanjutnya dari Ted. Pria itu melingkarkan tangannya di pinggang Sasha.
     Sasha merasa kali ini mungkin ia akan menerima apa saja yang pria itu lakukan pada-nya. Ted memutar tubuh Sasha dan menengadahkan wajah Sasha. Perlahan namun pasti, pria itu mulai mendekat dan semakin mendekati wajah Sasha.
     Bibir indah itu merekah, membuat Sasha begitu tergoda untuk mencobanya. Ted me-nyentuhkan bibirnya ke bibir Sasha. Lembut dan hangat. Itu yang ia rasakan saat bibir pria itu menyentuhnya. Ted memberikan ciuman yang begitu tenang, seakan menunggu reaksi Sasha.
     Pria itu tidak bergerak lebih lanjut, hanya menempelkan bibirnya pada bibir Sasha. Se-sekali pria itu melepaskan ciumannya dan mengecup bibir Sasha berkali-kali, mencoba memancing reaksi Sasha.
     Sasha mencoba untuk mempertahankan benteng pertahanannya, tapi bibir indah dan hangat itu membuat jantung Sasha berdebar semakin cepat dan dengan seketika itu juga Sasha membuka bibirnya perlahan-lahan. Seakan mengetahui sinyal yang ia berikan, Ted pun langsung menekankan bibirnya semakin dalam.
     Baru saja ia ingin menikmati ciuman yang hangat itu, tiba-tiba ponsel Ted berbunyi. Sebagian dari dirinya merasa kesal, karena siapa pun yang saat ini menghubungi Ted telah merusak suasana dimana Sasha sedang menikmati bibir indah itu.
     Namun di sisi lain, ia merasa lega. Karena ia tidak bisa menjamin dirinya bisa bertahan lama dengan ciuman itu. Kemungkinan besar ia akan mengeluarkan sisi liar dalam dirinya dan ia juga akan menyesali apa pun itu yang mungkin terjadi selanjutnya.
     Ted melepaskan ciuman itu dengan terpaksa, wajah pria itu tampak merona. Nafasnya terengah-engah karena menahan gairah dalam tubuhnya. Dengan berat hati, pria itu pun mengeluarkan ponsel dari dalam sakunya dan wajah Ted berubah seketika saat melihat layar ponselnya.
     "Halo," jawab Ted. Pria itu terdam sejenak mendengarkan kata-kata yang diucapkan oleh seseorang di seberang sana.
     "Baiklah... aku akan ke sana sekarang," jawab pria itu lagi dengan raut wajah agak lebih tegang.
     Ted memasukkan ponselnya ke dalam saku, menekan tombol lift ke lantai sepuluh dan tubuh pria itu tampak begitu kaku. "Maafkan aku... sepertinya aku sudah terlalu lancang karena melakukan hal itu tadi. Aku harap kamu tidak berpikiran buruk tentangku. Aku harus menemui seseorang. Orang yang sangat berarti dalam hidupku," ucap Ted tanpa melirik sedikit pun ke arah Sasha.
     Apa yang terjadi? Kenapa sikap pria itu berubah menjadi dingin dan kaku seperti ini? siapa yang meneleponnya tadi sampai bisa merubahnya seketika? Pikir Sasha.
     "Tidak masalah... Aku sudah terbiasa seperti ini... Ini bukanlah hal yang besar bagiku," ucap Sasha dengan nada sedikit ketus. Ia berusaha terlihat tidak peduli dan tanpa sadar Sasha melangkah beberapa langkah sedikit menjauh dari Ted.
     "Kenapa kamu menjauh?" tanya Ted saat melihat Sasha yang melangkah mundur men-jauhi pria itu.
     "Tidak apa-apa... aku... aku hanya..."
     Pria itu mendekati Sasha dan dengan cekatan menarik Sasha ke dalam pelukannya. Pelukan itu terasa hangat dan nyaman, membuat kegundahan dalam hati Sasha sedikit berkurang. Rasa kesal dalam dirinya pun mereda seketika.
    "Maafkan aku... Aku tidak bermaksud seperti itu," ucap Ted sambil terus memeluk Sasha. Ia pun terdiam dalam pelukan itu, mencoba menikmati pelukan itu sambil memusatkan pendengarannya pada setiap kata yang pria itu ucapkan.
     "Aku benar-benar harus menemui seseorang, karena hal ini adalah hal yang sangat penting. Aku harap kamu bisa mengerti," kata Ted mencoba menjelaskan.
     Sasha mencoba untuk menerima dan tetap diam dalam keheningannya. Pria itu mulai melepaskan pelukannya perlahan-lahan. Sasha tetap berdiri tegap, berusaha menunjukkan kalau ia tidak terpengaruh sama sekali dengan kondisi ini, bahkan setelah ia menerima ciuman yang singkat itu.
     Ted menengadahkan wajah Sasha, mencoba menatap langsung ke mata Sasha. Tapi ia langsung memalingkan pandangannya, berusaha untuk menutupi kekecewaannya. Tiba-tiba pintu lift pun terbuka dan Ted pun melangkah menjauh dari Sasha.
     "Maafkan aku," ucap pria itu.
     Sasha menatap Ted yang terdiam di luar lift. Ia tidak bergerak sedikit pun, begitu juga dengan Ted. Pintu lift pun perlahan-lahan tertutup. Bagaikan di film-film drama, ia menyaksikan sosok Ted yang menghilang di balik pintu lift itu.
     Air mata Sasha pun menetes saat pintu itu tertutup rapat. Entah apa yang ia pikirkan saat ini, yang pasti ia merasakan sakit dalam dirinya. Ia tidak menangis, tak ada sedikit pun suara tangisan keluar dari bibirnya. Namun air mata itu terus mengalir di pipinya.
     Ia menatap dirinya melalui pintu lift yang tampak seperti cermin. Ia menatap dirinya yang dulu. Dirinya yang hancur, kotor dan bodoh. Ia melihat dirinya yang rapuh, dan ia tidak menyukai hal itu. Diusapnya air mata itu dengan kasar.
     "KAU BODOH!" makinya pada dirinya sendiri. Wajahnya tampak memerah. Bukan kare-na malu, tapi karena marah pada dirinya sendiri. "KAU BODOH! KAU MUDAH SEKALI DIRAYU OLEH PRIA MURAHAN SEPERTI ITU!", makinya lagi.
     Jantungnya semakin berdebar dengan cepat, karena amarah yang melingkupi dirinya. Pintu lift pun terbuka dan dengan cepat ia keluar dari dalam lift itu. Ia benar-benar marah. Marah pada dirinya. Pada kebodohan yang telah ia lakukan. Dan tubuhnya yang kotor itu harus menerima ganjaran karena kebodohannya itu. HARUS.
∞∞∞∞∞∞∞∞
      "Ada apa ini?" tanya Ted saat ia melihat seluruh isi kamar hotel yang berantakan.
     "Aku tidak bisa, Ted. Aku tidak bisa menikah dengannya," ucap wanita itu sambil me-nangis kencang di atas tempat tidurnya.
     "Kamu sudah memutuskannya, Na. Kamu tidak bisa mundur sekarang," jelas Ted pada wanita itu.
     "Tapi bagaimana denganmu?" tanya Na itu sambil menatap lemah ke arah Ted. Tatapan Na membuat Ted bisa merasakan kesedihan yang begitu mendalam.
    "Kenapa denganku? Aku baik-baik saja, kamu tahu itu. Aku baik-baik saja," ucap Ted sambil duduk di samping wanita itu. Ia memeluk tubuh wanita itu dengan lembut.
    "Aku baik-baik saja, Na. Kamu tidak perlu khawatir," ucap Ted mencoba membuat Na tenang. Tapi yang terjadi malah sebaliknya. Tangisan Na semakin kencang, semakin kuat. Membuat hati Ted bagaikan tersayat-sayat.
    "Kamu mencintaiku. Dan sepertinya aku membodohi diriku selama ini, Ted. Aku juga mencintaimu, Ted. Aku tidak bisa menikah dengan Rico. Ini semua kesalahan. Kesalahanku," kata Na sambil menatap ke arah Ted.
     Ted terdiam mendengar kata-kata itu. Entah apa yang ada di dalam pikiran wanita itu, tapi kata-kata itu membuat Ted terluka. Ia mencintai wanita ini sejak kecil. Wanita ini adalah cinta pertamanya. Ted pernah mengungkapkan perasaannya pada Na beberapa tahun lalu, tapi dengan jelas Na menolak perasaan itu.
     Wanita itu hanya menganggapnya sebagai seorang kakak. Tidak lebih. Dan saat Ted mengetahui bahwa Na akan menikah dengan Rico, hatinya benar-benar hancur. Berkali-kali ia berusaha untuk mencegah Na menikah dengan Rico. Tapi tak satu pun usahanya yang membuahkan hasil.
     Sampai ia pernah mencoba untuk melamar Na, tapi wanita itu tetap menolaknya. Dan bulan lalu, sebelum Na mengatakan bahwa wanita itu akan menikah dengan Rico di Bali, Ted berusaha untuk melamar Na untuk yang terakhir kalinya. Wanita itu menolak dan tetap memilih Rico.
     Ted tahu bahwa Rico dan dirinya memang sama-sama pria yang kaya dan mapan. Pria yang bisa membahagiakan Na seumur hidupnya. Tapi yang tidak ia mengerti adalah mengapa Na lebih memilih Rico, bukan dirinya.
     Dan sekarang, saat ia mulai bisa mengubur perasaan itu, Na malah mengatakan kalau wanita itu mencintainya. Kenapa sekarang? Kenapa bukan saat ia dengan penuh perjuangan merebut hati Na? Kenapa? Tanya Ted dalam hatinya.
     "Aku mencintaimu, Ted. Aku tidak bisa hidup tanpamu," ucap wanita itu dengan nada segukan.
     Ted tidak menjawab atau pun membalas kata-kata Na. Ia hanya terdiam. Pikirannya melayang entah kemana.
     "Ted... Kamu mendengarkanku, kan? Aku mencintaimu, Ted. Aku tidak ingin menikah dengan Rico," ucap Na dengan suara seperti rengekan seorang bayi.
     Ted menjauhkan tubuhnya dari Na, menatap wanita itu dalam-dalam dan memperhatikan wanita itu dengan seksama. "Apa alasanmu mengatakan hal itu sekarang, Na?" tanya Ted dengan tatapan dalam dan nada suaranya sedikit tegas.
    "Aku mencintaimu, Ted. Aku tidak bisa hidup tanpa dirimu. Tanpa kehadiranmu dalam hidupku," jelas Na dengan yakin.
    Ted menjauh dari Na. Ia beranjak dari tempat tidur itu. Na menatapnya dengan pandangan bingung. Tak percaya. "Ted," panggil Na dengan wajah kebingungan.
      "Kamu tidak mencintaiku, Na. Kamu mencintai Rico."
    "Aku mencintaimu, Ted. Aku sungguh-sungguh mencintaimu," ucap Na dengan nada memohon.
     "Aku mencintaimu, Na. Melebihi aku mencintai diriku sendiri. Tapi sekarang di saat aku sudah mulai bisa berdiri tegap menghadapi pernikahanmu, kamu berusaha untuk menarikku kembali ke dalam kegelapan itu. Kegelapan dimana aku merasa terpuruk dan ketakutan akan kehilanganmu.
     Dan sekarang aku sadar, Na. Aku memang mencintaimu, tapi aku merelakan semuanya karena aku tidak bisa memilikimu. Aku mengerti apa yang kamu rasakan sekarang, Na. Kamu tidak mencintaiku seperti yang aku rasakan. Kamu hanya takut kehilanganku. Takut diriku menghilang dari kehidupanmu. Takut kehilangan perhatian dan cintaku.
     Ya... Kamu takut kehilangan itu semua dan aku mengerti itu. Tapi aku berjanji padamu, Na. Kamu tidak akan kehilangan itu semua. Aku tetap ada dalam kehidupanmu dan tetap memperhatikanmu. Bahkan aku tetap menyayangimu seperti dulu.
    Kamu bisa datang padaku saat kamu membutuhkanku, dan aku akan selalu ada untukmu. Jadi mulai sekarang, berhentilah berpikir untuk mundur dari pernikahan ini. Karena aku tahu, kamu mencintai Rico melebihi apa pun. Menikahlah dengannya," ucap Ted dengan senyuman di wajahnya.
     Entah mengapa perasaan Ted begitu lega setelah ia mengatakan semua itu. Seakan-akan sebuah beban berat menghilang begitu saja dari dirinya. Sekarang perasaannya begitu tenang. Wajah Na begitu terkejut mendengar kata-kata yang keluar dari bibir Ted.
     Tapi perlahan-lahan raut wajah itu berubah menjadi senyuman. Wajah itu kembali ber-sinar kembali. Wajah cantik dan mempesona. Wajah yang begitu ia cintai dan sayangi. Na beranjak dari tempat tidur dan memeluk Ted dengan erat.
     "Terima kasih karena kamu sudah mau menjadi seseorang yang selalu bisa aku andal-kan. Aku mencintaimu, Ted."
     "Aku juga mencintaimu, Na"
     Mereka pun berpelukan sesaat. Dan saat perasaan Na membaik, wanita itu pun mele-paskan pelukannya.
     "Kamar ini seperti kapal pecah," ucap Ted sambil melirik ke ruangan yang begitu beran-takan.
     "Hehehehe... Maafkan aku. Mau kah kamu membantuku membereskan semua ini?" tanya Na sambil tersenyum nakal seperti anak kecil.
     Mereka pun membereskan kamar itu dan menghabiskan malam itu dengan saling berce-rita dan tawa.
∞∞∞∞∞∞∞∞

A STOLEN HEART (21+) - BAB 3


BAB 3


     Sasha bangun dari tidurnya, cahaya bulan menerangi malam itu. Ia mengambil jam tangannya, yang ia letakkan di meja samping tempat tidurnya, dan melihatnya dengan seksama. Waktu menunjukkan pukul satu dini hari. Ingin sekali ia kembali meringkuk ke dalam selimut dan melanjutkan tidurnya. Tapi entah kenapa dirinya sama sekali tidak merasa mengantuk.
     Ia beranjak dari tempat tidur dan berjalan menuju pintu kaca besar yang mengarah ke balkon kamar itu. Sasha menggeser pintu kaca itu dan sejenak ia menikmati angin malam yang menyentuh kulitnya dengan lembut.
     Suara deburan ombak terdengar di kejauhan. Pandangannya memandang jauh ke arah hamparan laut. Suasana saat itu begitu sunyi dan tenang. Sasha melangkahkan kakinya menuju balkon dan berdiri terdiam di pinggiran balkon. Bayangan pria itu selalu muncul dalam mimpinya setiap kali ia mendapatkan tugas untuk mengurus suatu pernikahan.
     Bayangan pria yang pernah menghancurkan hidupnya dan membuatnya menjadi seperti sekarang. Wanita yang selalu anti akan komitmen dan menolak untuk jatuh cinta pada seorang pria. Sasha menghirup nafas dalam-dalam dan menghelanya dengan pelan.
     "Bebanmu berat sekali."
    Terdengar suara Ted dari balkon sebelah. Sasha terkejut dan langsung mengalihkan pandangannya ke sebelah kanan. Ia melihat Ted yang sedang duduk santai di balkon sambil memegang secangkir kopi di tangannya. Apakah orang ini tidak pernah tidur atau dia memang sengaja mencoba menggangguku? Pikir Sasha.
     "Bukan urusanmu," jawab Sasha ketus.
  "Aku bersedia menjadi tempat untuk berbagi beban," ucap Ted mencoba untuk membujuknya.
     "Aku tidak perlu tempat berbagi."
    "Baiklah kalau begitu," ucap Ted sambil berjalan ke pinggir balkonnya, berusaha agar semakin dekat ke sisi balkon Sasha.
     Sasha tidak memperdulikan apa yang pria itu lakukan. Pandangannya tetap mengarah ke depan, sedangkan Ted terus memperhatikan Sasha yang sedang berdiri tak berkutik. Entah apa yang ada di dalam pikiran Ted, yang pasti saat ini Sasha ingin sekali menghapus kegelisahan dalam dirinya.
    Pandangan Sasha tampak kosong, pikirannya pergi jauh ke masa di mana ia bisa merasakan cinta dan tergila-gila akan seorang pria. Bulu kuduknya berdiri seketika saat ia membayangkan sentuhan pria itu di kulitnya yang lembut.
     Sasha masih bisa mengingat betapa manis dan lembutnya bibir itu saat pria itu mencium dan bermain dengan bibirnya. Pria itu benar-benar membuat Sasha mabuk kepayang. Kejadian itu sudah berlalu lama sekali, hingga bayangan wajah pria itu pun hampir saja terlihat samar-samar dalam pikirannya.
     Tapi apa yang pria itu lakukan padanya tidak bisa hilang dari ingatan Sasha. Sama sekali tidak bisa hilang. Dan hal itu begitu berbekas di diri Sasha hingga saat ini. Entah sampai kapan.
     "Apa kau pernah mencintai seseorang?" tanya Sasha tiba-tiba.
   "Aku? Ya. Aku pernah mencintai seseorang dan sampai sekarang pun aku masih mencintainya," jelas Ted sambil bertumpu pada pinggiran balkon.
   "Apa kau pernah merasakan sakit karena mencintai seseorang?" tanya Sasha lagi, pandangannya tetap mengarah ke lautan sambil mencoba menyimak apa yang pria itu katakan.
    "Ya, saat ini pun aku masih merasakan sakit itu, tapi aku mencoba untuk bangkit dari perasaan itu," jawab Ted sambil menghela nafas dalam-dalam. Suara pria itu terdengar berat saat menjawab pertanyaan Sasha.
     Sasha kembali terdiam, pandangannya kosong dan raut wajahnya begitu murung. Apa yang sedang aku lakukan saat ini? kenapa aku bertanya hal yang tidak-tidak pada pria ini? Semua ini tidak ada hubungannya dengan pria ini, aku harus menghentikan ini. Pikir Sasha.
     "Maaf aku sudah bertanya yang tidak-tidak," kata Sasha sambil membalikkan badannya dan melangkahkan kakinya menuju pintu kaca.
     "Tunggu!" panggil Ted. Sasha menghentikan langkahnya dan melihat ke arah Ted. Entah kenapa air matanya jatuh begitu saja. Sasha memalingkan wajahnya dan dengan cepat masuk ke dalam kamarnya meninggalkan Ted yang kebingungan di luar sana.
∞∞∞∞∞∞∞∞
    Sasha terbangun di pagi harinya dan dengan cepat ia pun mandi dan bergegas mengenakan pakaiannya. Pagi ini ia sudah mempunyai janji untuk bertemu dengan vendor dekorasi, dan di sinilah dia. Berdiri di pinggir pantai bersama beberapa petugas dekorasi dan kepala vendornya.
    Pernikahan kali ini akan diadakan di pinggir pantai. Sepupunya meminta untuk mengadakan acara garden beach party untuk pernikahannya yang akan di adakan besok. Beberapa orang sedang mengangkat beberapa kursi dan meja yang akan mereka gunakan esok hari.
     Beberapa orang yang lain sedang mengangkat sebuah altar berwarna putih. Pihak dekorasi juga sibuk menghias sebuah gerbang berwarna putih, yang dihiasi dengan mawar putih dan pita-pita kecil yang menjulur ke bawah, membuat gerbang untuk jalan masuk pengantin terlihat begitu indah dan mewah. 
     Sasha dan pemilik vendor sedang berbicara mengenai peletakan kursi, meja dan beberapa keperluan lainnya. Setelah semua kursi, meja dan altar sudah diletakkan sesuai dengan arahannya, Sasha mencoba untuk berkoordinasi dengan pihak katering dan pengelola hotel.
     Waktu terasa berjalan begitu cepat. Tak terasa waktu hampir menunjukkan pukul empat sore. Sasha baru saja selesai berkoordinasi dengan pihak hotel untuk pengaturan listrik dan segala macam yang berhubungan dengan acara pernikahan besok.
     Hari ini terasa melelahkan, tapi Sasha sangat menyukainya. Ia sangat suka dengan yang ia kerjakan. Mengatur dan menyusun sebuah acara dengan rapih dan sempurna. Sasha sedang duduk di salah satu kursi santai di pinggir pantai saat Ted menghampirinya. "Hai! Ternyata kamu di sini. Apa yang sedang kamu lakukan?" tanya Ted sambil berdiri di samping kursi Sasha.
   "Aku baru saja selesai mengurus persiapan acara pernikahan sepupuku yang akan diadakan besok hari," jawab Sasha sambil menulis beberapa catatan di bukunya.
     "Besok? Dimana?" tanya Ted penasaran.
    "Iya, besok," jawab Sasha tanpa melihat sedikit pun ke arah Ted, "di sinilah, memangnya mau dimana lagi?"
    Pria itu langsung duduk di kursi santai tepat di samping Sasha, sedangkan Sasha terus berkutat dengan buku catatan dan ponselnya.
     "Kenapa kamu yang harus mengurus semuanya?" tanya Ted semakin mendekat.
     "Huff... " Sasha menghela nafasnya, "apakah kau akan berhenti menggangguku jika aku menjawab pertanyaanmu itu? Karena aku benar-benar butuh konsentrasi saat ini."
    "Yup, aku akan diam kalau kamu menjelaskan semuanya padaku," jawab Ted sambil tersenyum kecil.
     Sasha meletakkan buku catatannya dan memutar badannya ke arah Ted. Wajah pria itu benar-benar tampan, membuat konsentrasi Sasha buyar seketika. Jantung Sasha pun berdebar dengan cepat, tapi ia berusaha untuk tidak terlalu menggubris perasaannya saat ini. yang ia butuhkan saat ini adalah berkonsentrasi pada pekerjaannya.
    "Aku memiliki usaha bersama kedua sahabatku. Kami mendirikan perusahaan Event Organizer. Belle Organizer. Kami biasa mengurus hal-hal yang berhubungan dengan penyelenggaraan sebuah acara, biasanya seperti acara rapat kantor, gathering atau pun pernikahan
    Dan saat ini sepupuku menyewa jasa perusahaan kami untuk mengurus pernikahannya yang akan diadakan besok siang di pinggir pantai ini. Kau bisa melihat altar yang sudah berdiri kokoh di sana?" tunjuk Sasha ke arah altar yang sudah berdiri kokoh di tempatnya, "ya... semua itu aku yang persiapkan. Aku sudah mempersiapkan semuanya dan sekarang aku sedang mempersiapkan detail-detail terakhir agar semuanya bisa berjalan sesuai rencana dan sempurna."
    Sasha menjelaskan pada Ted dan pria itu mendegarkan penjelasannya dengan serius. Selama ini ia mengira mata pria itu berwarna hitam gelap, ternyata Sasha baru menyadari bahwa Ted memiliki bola mata berwarna biru gelap jika terkena sinar matahari.
    "Ternyata kamu orang yang sangat perfeksionis ya," ucap Ted setelah Sasha selesai memberi penjelasan.
   "Terserah bagaimana penilaianmu, tapi sekarang beri aku waktu sebentar untuk menyelesaikan ini. Karena aku harus memastikan semua sudah terkoordinasi dengan baik," pinta Sasha pada Ted.
     "Baiklah," ucap Ted.
    Ted membiarkan Sasha kembali berkutat dengan buku catatannya, sedangkan pria itu asik dengan ponselnya. Sesekali Sasha melirik ke arah Ted, mencoba untuk mengetahui apa yang pria itu lakukan. Tapi pria itu hanya asik bermain dengan ponselnya tanpa mengganggunya sedikit pun.
     Matahari semakin lama semakin tenggelam di balik hamparan lautan. Warna senja itu menarik perhatian Sasha. Ia menutup buku catatannya dan meletakkannya di atas meja kecil yang berada tepat di samping kursinya. Sasha merebahkan dirinya di kursi pantai itu dan menikmati sunset yang sangat indah .
    "Kamu sudah selesai?" tanya Ted saat melihat Sasha yang tampak rileks di atas kursinya.
     "Sudah," jawab Sasha singkat.
  "Maukah kamu makan malam denganku?" tanya Ted tiba-tiba dengan senyum mengembang di wajah tampan itu.
    "Apakah kau selalu mengajak setiap wanita yang tidak kau kenal sama sekali?" tanya Sasha sambil lalu, matanya tetap tertuju pada matahari yang perlahan-lahan menghilang di balik lautan biru itu.
    "Aku mengenalmu. Namamu Sasha, seorang wanita yang selalu menyendiri bahkan selalu membentengi diri setiap kali aku dekati. Kamu juga seorang wanita mandiri yang memiliki usaha bersama kedua sahabatmu dan sekarang kamu sedang mempersiapkan sebuah acara pernikahan sepupumu."
    "Apakah aku benar atau aku memang benar?" tanya Ted dengan wajah penuh senyum-an.
    "Kau hanya mengenalku sebatas itu. Dan semoga hanya sebatas itu. Karena aku tidak terlalu suka dekat dengan seorang pria," ucap Sasha agak sinis, berusaha untuk membuat pria itu menjauh.
     "Apakah kamu seorang penyuka sesama jenis?" tanya Ted langsung.
     "Hahahahaha," tawa Sasha sambil menggelengkan kepalanya.
   "Bukan, aku masih menyukai pria. Tapi untuk saat ini aku sedang tidak ingin menjalin hubungan atau apa pun itu yang berbau romantisme," jelas Sasha masih sedikit tertawa kecil melihat wajah Ted yang tampak sedikit terkejut.
   "Hufff... Syukurlah kalau begitu. Setidaknya aku masih punya kesempatan, bukankah begitu?" ucap Ted mencoba menggoda Sasha. Tapi ia sama sekali tidak tergoda dengan kata-kata pria itu.
    Ted memang pria yang tampan dan menyenangkan. Tapi seperti biasa, pria seperti itu akan pergi begitu saja setelah tahu tentang masa laluku. Pria seperti Ted hanya akan mencari wanita yang suci, bukan seperti aku yang kotor ini. Batin Sasha.
     Ia mencoba menutupi sakit hatinya. Ia tidak ingin seorang pun mengetahui masa lalunya. Sasha mencoba untuk menutup dan menyembunyikan masa lalunya dari siapa pun, bahkan Desi dan Maira sama sekali tidak mengetahui tentang dirinya yang dulu. Dirinya yang kotor dan rusak.
   "Yahh... terserahlah. Sekarang aku mau makan," ucap Sasha sambil beranjak dari kursinya, "tawaranmu masih berlaku, kan? Kalau tidak, aku akan makan sendiri lagi malam ini."
    "Tentu saja masih," jawab Ted dengan senang.
    Mereka pun berjalan menuju hotel dan berbincang kecil selama perjalanan. Mungkinkah Sasha mulai membuka hatinya pada pria? Atau mungkin semua ini hanya menjadi kesan sesaat saja?
∞∞∞∞∞∞∞∞