BAB
1
Semangat, cerdas, cekatan,
loyalitas.
Semangat, cerdas, cekatan,
loyalitas.
Semangat, cerdas, cekatan,
loyalitas.
Clara mengulang kata-kata
itu sambil menatap pantulan dirinya di cermin, layaknya sebuah mantra yang
dapat membangkitkan semangatnya pagi ini. Ia selalu berusaha menanamkan barisan
kata-kata itu dan menjadikannya pedoman hidup. Sebagai seorang sekretaris, ia
berusaha keras untuk mewujudkan moto hidupnya itu dalam kesehariannya. Terutama
untuk hari ini.
Tepat pukul sepuluh nanti,
sebuah perusahaan besar yang menjadi incarannya selama ini, akhirnya memanggil
Clara untuk sesi wawancara terakhir. Ia selalu bermimpi untuk bekerja di
perusahaan itu. Gaji yang besar, bahkan mungkin bisa tiga kali lipat dari gaji
yang ia terima di kantornya yang lama, merupakan salah satu faktor utamanya.
Selama ini, Clara selalu
berusaha untuk menabung, meskipun jarang bisa terlaksana. Ia harus memenuhi
kebutuhan hidupnya dari gajinya yang terbilang cukup kecil. Clara memutuskan
untuk bekerja part time di malam harinya sebagai seorang Sales
Promotion Girl salah satu brand minuman keras ternama dan setidaknya
ia bisa menambah uang tabungannya meskipun hanya sedikit.
Bukan tanpa alasan kenapa
ia begitu giat bekerja keras dan menabung. Semua itu Clara lakukan demi
mencapai sebuah tujuan besar yang kemungkinan besar mampu mengubah
kehidupannya. Sebuah tujuan yang memerlukan biaya yang sangat besar. Sebuah
tujuan yang harus ia lakukan demi janjinya kepada almarhum ayahnya.
Pandangan Clara tertuju
pada pantulan jam dinding di cermin dan ia pun segera beranjak dari tempatnya,
menyambar tas kerja yang sudah ia persiapkan sejak semalam, lalu mengenakan
sepatu heels berwarna hitam yang terlihat sempurna ketika
dipadupadankan dengan rok mini skirt berwarna hitam dan blazer
biru muda yang menutupi tank top putih sebagai lapisan
dalamnya.
Hari ini, Clara merasakan
tingkat kepercayaan dirinya berada di level tertinggi. Ia yakin sekali kalau
hari ini bisa ia lalui dengan lancar dan sesuai rencananya. Dengan langkah
pasti, Clara keluar dari apartemen kecilnya menuju pintu lift yang berjarak
lima pintu dari tempatnya. Ia tidak lupa untuk berdoa dan selalu mengucapkan
moto hidupnya di setiap langkahnya.
"Pagi, Mba
Clara," sapa penjaga pintu dengan senyum hangat yang selalu menyapanya di
pagi hari.
"Pagi," sahut
Clara tanpa memperpanjang ramah tamah itu. Ia harus melaksanakan semuanya
sesuai dengan rencana.
Barisan taksi yang selalu
tersedia di luar pagar bangunan apartemen menjadi penyelamatnya setiap kali ia
merasa terburu-buru, bahkan ketika ia terlambat bangun dan harus tiba di kantor
tepat waktu. Kelemahan Clara yang pertama, ia tidak bisa tiba tepat waktu.
Mungkin saat ini ia memang belum bisa secekatan yang ia harapkan, tapi ia
selalu berusaha untuk terus memperbaiki dirinya. Meskipun sesekali ia mengalami
keterlambatan karena sikap cerobohnya – kelemahan Clara yang lain – yang
terkadang muncul setiap kali ia merasa terburu-buru, tapi hari ini Clara sudah
memperhitungkan semuanya. Bangun jam lima subuh, membereskan apartemennya yang
tidak terlalu besar, kemudian berangkat ke tempat wawancara pukul setengah sembilan
pagi.
Clara membuka pintu
penumpang, memberikan alamat kepada supir taksi, dan mereka pun pergi
meninggalkan tempat itu menuju kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Perjalanannya
sangat lancar, tak ada kemacetan yang cukup berarti hingga membuatnya merasa
Dewi Fortuna sedang berpihak padanya.
Tapi benar kata orang,
tidak semua yang kita rencanakan bisa selalu berjalan lancar sesuai dengan apa
yang kita inginkan. Perasaan senang dan percaya diri yang begitu besar,
langsung berganti menjadi kepanikan saat ia melihat barisan mobil yang berhenti
tepat di depannya. Clara mencoba untuk bersabar dan menunggu, berharap agar
kemacetan itu segera berlalu.
Setengah jam berlalu, tapi
taksi yang ia tumpangi ternyata hanya bergerak beberapa meter dari tempat
terakhir kali mereka berhenti. Clara melirik sekilas ke jam yang melingkar di
pergelangan tangannya. Waktu menunjukkan pukul sepuluh kurang tiga puluh menit
dan rasa panik langsung menyerangnya. Clara memutuskan untuk berhenti di tengah
jalan, membayar tagihan taksi, lalu berdiri di tepi trotoar, berharap ada ojek
yang sedang menganggur. Tapi, kali ini harapannya kembali pupus karena semua
ojek yang lewat di hadapannya sudah mengangkut penumpangnya masing-masing.
Terbersit di pikirannya
untuk berjalan kaki ke tempat yang ia tuju. Clara mulai memperhitungkan jarak
yang mungkin bisa ia tempuh dalam waktu lima belas menit jika ia berjalan
dengan cepat. Akhirnya, ia memutuskan untuk berjalan kaki di bawah sinar
matahari yang mulai menunjukkan kekuatannya. Clara mempercepat langkahnya
meskipun kakinya terasa ingin lepas dan keringat mulai mengucur di pelipisnya.
Ia terus berjalan, tidak menghiraukan suara klakson mobil-mobil yang sangat
memekakkan telinga.
Clara menoleh ke sebuah
kecelakaan yang ternyata menjadi sumber kemacetan tersebut. Karena terlalu
serius memerhatikan keramaian tersebut, Clara tidak melihat sebuah lubang kecil
di hadapannya, yang langsung mematahkan tumit sepatunya. Clara menggerutu kesal
meratapi sepatu heels kesayangannya – satu-satunya sepatu mahal
yang ia miliki – rusak akibat kesalahan dan kecerobohannya sendiri. Ingin
rasanya ia menangis dan mengurungkan niatnya untuk datang wawancara hari ini.
Tapi, saat matanya menatap
papan nama perusahaan yang ia tuju, semangat dalam dirinya kembali bangkit
meskipun hanya sedikit. Clara mulai mempercepat langkahnya dengan cara teraneh
yang pernah ia lakukan, setengah menyeret setengah berjinjit. Dengan sisa-sisa
semangat dalam dirinya dan perjalanan yang begitu melelahkan, akhirnya Clara
tiba di depan pos keamanan gedung perkantoran itu. Clara mencoba mengatur
napas, lalu tersenyum masam ke arah salah satu petugas keamanan yang
menghampirinya.
"Bisa saya bantu?
Saya punya lem perekat untuk sepatu itu," sapa petugas itu dengan ramah.
"Terima kasih,
Pak," sahut Clara dengan penuh rasa syukur. Dewi Fortuna ternyata belum
meninggalkannya. Clara menyeret langkahnya berusaha mengikuti petugas itu dari
belakang menuju ruang jaga. Clara sangat bersyukur karena, meskipun ia sedang
terburu-buru dan mengalami kesialan yang begitu tidak tepat waktu, ada seorang
petugas yang membuatnya sadar bahwa ia tidak boleh putus asa.
Setelah petugas itu
merekatkan tumit sepatunya, pria itu menyuruhnya untuk menunggu beberapa saat
sampai lem tersebut benar-benar kering dan terekat sempurna. Tapi, waktu yang
Clara miliki tinggal sedikit dan ia bergegas mengenakan sepatunya. "Terima
kasih, Pak," ucap Clara sebelum ia meninggalkan ruangan itu dan berusaha
tidak memedulikan ucapan petugas yang berusaha mengingatkannya untuk
berhati-hati karena tumit sepatunya belum terekat sempurna.
Clara mencoba untuk tidak
mengubris peringatan itu. Lima menit lagi acara wawancara akan segera dimulai
dan ia akan mempertaruhkan apa pun supaya bisa tiba di perusahaan itu tepat
waktu. Ini adalah penentuan masa depannya dan Clara berjanji tidak akan
mengacaukannya kali ini. Setelah menukarkan kartu identitas dengan kartu
pengunjung, Clara berdiri di salah satu pintu yang berada di antara jejeran
lima pintu lainnya. Pintu-pintu lift itu berbaris di tembok kokoh berlapis
marmer berwarna putih gading.
Setelah pintu lift
terbuka, ia pun masuk, menekan tombol delapan, dan berdiri di pojokan. Beberapa
orang masuk dan memenuhi ruang kecil itu hingga Clara, yang tubuhnya tidak
terlalu besar, tampak seperti terhimpit dan tersudutkan. Lift mulai bergerak,
mata Clara tertuju pada layar angka dan ia bisa merasakan betapa cepat lift
membawanya ke atas. Dua kali pintu lift terbuka dan beberapa orang pun keluar,
membuat ruangan terasa lebih lega. Tak lama kemudian, angka delapan pun muncul
di layar.
Clara bergegas keluar saat
pintu itu terbuka. Meja resepsionis berbentuk setengah lingkaran yang terbuat
dari bahan kayu jati dan terplitur indah, memberikan kesan mengkilap dan mewah.
Logo perusahan dengan huruf 'G' yang besar, berwarna keemasan, dan terletak di
tengah dinding meja, membuat meja resepsionis terlihat lebih mewah.
'GOLDEN ENTERPRISE'
Tulisan itu terpampang
jelas di dinding yang dilapisi warna putih bersih, serta logo 'G' keemasan yang
sepertinya menjadi hiasan utama di tempat itu dan di seragam mereka. Dua
wanita, yang duduk di belakang meja, terlihat sibuk dengan telepon yang
menempel di telinga dan tangan yang sibuk menari di atas keyboard.
"Permisi," sapa
Clara, berusaha menyita perhatian para wanita itu, tapi sepertinya mereka tidak
akan memerhatikan dirinya sebelum wanita-wanita itu menyelesaikan kegiatannya.
Clara sudah tidak bisa menahan kesabarannya lagi karena sekarang sudah pukul
sepuluh. Dengan inisiatif yang sangat tinggi, Clara menutup layar komputer yang
sedang ditatap oleh salah satu resepsionis itu dengan tangannya. "Maaf,
saya mau wawancara dengan Ibu Yona," kata Clara yang berhasil mendapatkan
perhatian si resepsionis itu.
Wanita dengan mata cokelat
tua, hampir terlihat hitam jika tidak terkena sinar lampu, menatapnya dengan
ekspresi wajah yang berubah dari datar menjadi senyuman hangat. "Lorong
sebelah kanan, pintu ke tiga, lalu masuk ya, Mba," jawab wanita itu dengan
suara yang begitu formal, dalam, dan tertata rapi seperti sebuah rekaman yang
sudah sering kali diputar.
Clara tersenyum pada
wanita yang langsung memalingkan wajahnya kembali ke layar komputer. Tanpa
memedulikan sikap dingin itu, Clara berjalan sesuai petunjuk tadi. Ia berjalan
menuju lorong yang ada di sebelah kanannya, lalu berhenti di antara dua pintu.
"Yang ini atau yang itu, ya?" tanya Clara pada dirinya sendiri.
Kelemahannya satu lagi, ia
sangat pelupa, yang membuatnya selalu menjadi bahan guyonan bagi teman-teman di
kantornya yang terdahulu. Dengan percaya diri, Clara memutuskan untuk membuka
pintu yang ada di sebelah kirinya dengan perlahan. Ia mengintip sedikit dari
balik pintu dan menemukan sebuah ruangan berwarna putih bersih, sebuah meja
kosong, dan sebuah layar komputer berada di atas meja tersebut.
Berharap ia memilih pintu
yang benar, Clara mulai membuka lebar pintu itu secara perlahan-lahan, lalu
melangkahkan kakinya masuk ke ruangan kosong itu. "Sepertinya orang tadi
cuma bilang 'masuk saja', tapi kenapa di sini nggak ada orang?" tanya
Clara lagi pada dirinya sendiri.
Ia menutup pintu di
belakangnya, matanya tertuju pada pintu lain yang berada di ruangan itu. Rasa
ragu dalam dirinya semakin besar, tapi ia mencoba meredamnya dan melangkah ke
arah pintu itu. Clara mengetuk pintu itu dan berharap ia tidak berada di
ruangan yang salah. Setelah tiga kali ia mengetuk pintu dan tak terdengar
sedikit pun suara yang menyuruhnya masuk, rasa ragu itu kembali muncul.
Clara melangkah mundur
satu langkah, menatap gagang pintu itu dengan penuh pertimbangan. Dilihatnya
jam tangan yang sudah menunjukkan pukul sepuluh lewat lima menit dan hal itu
membuat Clara segera menekan tuas pintu itu, lalu melangkah masuk, dan langsung
tercengang dengan apa yang ada di hadapannya saat ini.
Seorang wanita berambut
merah panjang dan bergelombang sedang duduk membelakanginya, terlihat seperti
sedang berada di atas pangkuan seseorang. Clara memerhatikan salah satu tangan
kekar memeluk tubuh wanita itu, sedangkan tangan yang lain mencengkram pinggul
wanita itu seakan membantu tubuh itu bergerak naik turun. Suara desahan dan
erangan nikmat yang mendesis, membuat Clara terdiam kaku. Wanita itu bergerak
dengan cepat, menggerakkan tubuhnya dengan lihai, dan sesekali mengibaskan
rambutnya yang panjang.
Ia tidak tahu apakah ia
kaget dan malu melihat adegan di hadapannya, atau ia malah menikmati adegan
tersebut. Yang pasti saat ini matanya terasa panas, jantungnya berdebar cepat,
secepat aliran darah yang saat ini mengalir di tubuhnya, dan - percaya atau
tidak - apa yang ia lihat saat ini malah membangkitkan gairah dalam dirinya.
Clara benar-benar tercengang dan tidak percaya dengan apa yang ia lihat saat
ini.
Wanita itu bergerak
semakin cepat, erangannya pun terdengar semakin kuat. Clara juga bisa mendengar
suara erangan kuat dari seorang pria yang saat ini mungkin sedang menikmati
gelora gairah yang begitu panas. Clara berdiri kaku, membisu, dan tak bisa
bergerak seperti sedang disihir oleh mantra yang membuatnya membatu dalam
sekejap.
Hanya beberapa saat
kemudian, suara desahan itu perlahan-lahan berubah menjadi jeritan kenikmatan.
Tapi, pria itu tetap menggerakkan tubuh wanita yang terlihat mulai tak
bertenaga. Tak lama dari jeritan kecil itu, Clara mendengar suara erangan keras
saat si pria mencapai puncak orgasmenya. Clara mulai merasakan tubuh bagian
bawahnya terasa basah dan lembab. Adegan liar itu benar-benar membuatnya
terangsang dan ia sama sekali belum pernah merasa jantungnya berpacu seperti
ini.
Mata Clara masih terpaku
pada tubuh wanita, yang saat ini tampak sedang membetulkan pakaiannya, menggulung
rambut panjang berwarna kemerahannya ke belakang, lalu bergerak ke samping,
turun dari pangkuan si pria. "Aaa!!" jerit wanita itu ketika
menyadari kehadiran Clara.
"M-maaf ... a-aku
bukan ... ini ... aku tidak -"
"Keluar!" bentak
pria itu dengan suara serak dan tegas.
Clara langsung membalikkan
badan, membuka pintu yang ada di belakangnya, lalu keluar dari ruangan itu
dengan cepat. Ia menutup pintu di belakangnya, kemudian berjalan cepat menuju
pintu yang satu lagi, sampai akhirnya ia kembali berada di lorong panjang.
"Ya, ampun! Aku salah ruangan!" ucap Clara histeris.
Napasnya yang
terengah-engah serta jantungnya yang masih berpacu cepat, membuktikan betapa
besar pengaruh kejadian tadi terhadap dirinya. Clara menarik dan membuang
napasnya beberapa kali, mencoba menenangkan dirinya kembali dan berusaha keras
melupakan kejadian itu dari pikirannya, tapi tidak bisa. Kejadian itu
benar-benar baru baginya. Ia pernah menonton film-film dewasa, tapi Clara tidak
pernah menyangka bisa melihat orang lain melakukan adegan itu tepat di
hadapannya. Ini benar-benar gila, bahkan suara desahan dan erangan itu masih
terngiang-ngiang di telinganya.
Setelah beberapa saat
terdiam di depan pintu, mencoba mengatur kewarasan dan mengembalikan ketenangan
dirinya, akhirnya debaran jantungnya kembali normal. Ia menghembuskan napas
sekali lagi, memastikan bahwa dirinya sudah siap untuk melakukan wawancara,
yang merupakan tujuan utamanya ke tempat ini. Terdengar suara deritan kecil
dari pintu yang ada di belakangnya. Clara menoleh ke belakang, melangkah
menjauh sekitar dua langkah sebelum pintu itu terbuka lebar di hadapannya.
Seorang pria dengan setelan jas yang rapi dan terjahit sempurna mengikuti
setiap lekukan tubuh, muncul dari balik pintu.
"You again,"
ucap pria itu datar saat melihat Clara yang berdiri diam terpaku.
Seorang wanita, yang tadi
melakukan seks kilat dengan pria itu, muncul dari belakang dan berjalan
melewati mereka begitu saja tanpa menoleh sedikit pun ke arahnya. Clara
memerhatikan paras cantik wanita itu dan menyadari betapa polos riasan wajahnya
yang hanya dihiasi oleh lotion pelembab, bedak, dan lipstik
berwarna merah muda yang dipoles tipis.
Pria itu pun langsung
menghilang di balik pintu tanpa kata sedikit pun. Clara mencoba untuk tidak
memedulikan sikap arogan itu. Ia berjalan menuju pintu yang seharusnya,
mengetuk beberapa kali hingga akhirnya sosok seorang wanita muda, yang berparas
ayu dengan tubuh lebih pendek darinya menyambut kedatangannya. "Saya mau
wawancara dengan Ibu Yona," ucap Clara langsung.
"Mari masuk. Ibu Yona
sudah menunggu kedatangan Anda," sambut wanita itu sambil membuka pintu
semakin lebar dan mempersilakannya masuk.
Wanita bertubuh mungil itu
berjalan di depannha dan Clara mengikuti langkah wanita itu sambil memerhatikan
isi ruangan yang terdiri dari lima meja kerja yang penuh dengan berkas dan
orang-orang yang tampak sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing.
"Silakan masuk," kata wanita itu saat membukakan pintu untuk Clara
dan menghilang saat Clara sudah berada di dalam ruangan. Seorang wanita cantik
berusia empat puluhan sedang sibuk membaca map berwarna kuning dengan wajah
serius.
"Kamu Clara,
'kan?" tanya wanita itu dengan tatapan sekilas lalu kembali membaca berkas
di hadapannya.
"I-iya. Saya
Clara," jawabnya gugup.
"Duduk,"
perintah wanita itu dengan sebuah anggukan kepala singkat ke arah kursi yang
berada di depan mejanya.
Clara duduk di kursi yang
ditunjuk, sedangkan wanita itu masih terlihat serius membaca berkas di mapnya.
Di atas meja itu terdapat papan nama berwarna hitam dengan tulisan nama
berwarna keemasan. Yona Sabrina, Head of Human Resources. "Saya
sudah membaca CV dan nilai tes kamu yang cukup tinggi," kata Ibu Yona
setelah meletakkan mapnya di meja, lalu memutar kursinya agar bisa berhadapan
langsung dengan Clara.
Sikap Ibu Yona terlihat
begitu serius dan Clara pun berusaha mendengarkan setiap kata yang wanita itu
ucapkan. "Kami memang membutuhkan wanita dengan kriteria seperti Anda.
Berambut hitam panjang, tinggi sekitar seratus enam puluh lima sentimeter,
berusia di atas dua puluh lima tahun, berparas cantik, berkulit putih, dan
tubuh proposional," lanjut wanita itu, yang malah membuat Clara berpikir
aneh. Apa hubungannya kriteria penampilan dan proporsional tubuh dengan
pekerjaanku? Pikir Clara dalam diam.
"Apa kamu tahu posisi
apa yang akan kamu isi di tempat ini?" tanya Ibu Yona setelah memerhatikan
paras dan cara berpakaian Clara dengan seksama.
"Sekretaris,
Bu," jawab Clara, menyembunyikan kegugupan dalam dirinya dan menekan
suaranya agar tidak terlalu bergetar.
"Apa kamu sudah tahu
berapa kisaran gaji yang akan kamu terima?" tanya wanita itu lagi. Clara
bisa melihat tatapan yang seakan mengatakan 'aku akan membayarmu mahal untuk
tubuhmu' dan sebuah senyum kecil yang tersungging di wajah Ibu Yona. Clara
mulai merasa takut dengan niat di balik senyum kecil itu.
Clara menggelengkan
kepala, yang ia tahu dari rumor di kantor lamanya kalau perusahaan ini memiliki
gaji tertinggi dibandingkan dengan kantor lain. Clara masih terus menatap Ibu
Yona yang sedari tadi terus memerhatikan penampilannya. "Di sini kamu akan
mendapatkan gaji tiga kali lipat bahkan empat kali lipat dari gaji di tempat
lamamu. Kamu juga akan mendapatkan fasilitas lebih dari perusahaan," jelas
Ibu Yona penuh kebanggaan.
Clara tidak tahu apa yang
wanita itu banggakan, entah karena besarnya gaji yang akan Clara terima atau
karena hal lain. Tapi, Clara tidak memungkiri bahwa Ibu Yona sudah melemparkan
umpan yang empuk kepadanya hingga dengan secepat kilat kecurigaan Clara
menghilang begitu saja. Mengganti kecurigaan dengan senyum yang langsung
menghiasi wajah Clara. Gaji yang besar, hanya itu yang ada dipikiran Clara
sekarang.
"Tapi, ada beberapa
syarat yang harus kamu tanda tangani sebelum kami bisa menerimamu di kantor
ini," lanjut Ibu Yona dan seketika itu pula senyum di wajah Clara membeku
seperti senyum di patung-patung. Kaku dan tak berjiwa.
Wanita yang duduk manis di
hadapannya mengeluarkan sebuah map berwarna merah dari laci mejanya, lalu
menyodorkannya ke hadapan Clara. Namanya tertera jelas di map itu 'Clara
Athalita'. Clara menatap Ibu Yona yang mengangkat salah satu alisnya yang
terukir indah, seakan memberikan isyarat padanya untuk membuka map itu.
Clara membuka map di
hadapannya dan melihat surat kontrak kerja yang harus ia tanda tangani. Begitu
banyak isi dan pasal-pasal yang harus ia baca, ia pun bingung harus mulai
membaca dari mana. "Gajimu sekitar lima belas juta per bulan," ucap
Ibu Yona cepat, mengalihkan perhatian Clara.
Lima belas juta? Ya, Tuhan
... itu uang yang sangat banyak, batin Clara dan ia pun semakin
terlena dengan banyaknya uang yang akan ia terima setiap bulan. Clara mulai
menghitung-hitung berapa lama ia harus menabung agar apa yang sudah ia
rencanakan bisa berhasil dalam waktu singkat.
"Silakan tanda tangan
di sini," pinta Ibu Yona sambil menunjuk ke sebuah garis panjang yang
tertera nama jelasnya dan sebuah materai untuk menguatkan surat kontrak kerja
tersebut.
Meskipun ragu pada
awalnya, Clara akhirnya menandatangani surat kontrak kerja itu tanpa membaca
isinya lagi. Clara menutup dan mengembalikan map itu kepada Yona, yang langsung
memasukkannya kembali ke dalam laci meja kerjanya.
"Kapan kamu bisa
mulai bekerja?" tanya Ibu Yona padanya.
"Kapan saja, Bu. Saya
sudah resign dari perusahaan sebelumnya sejak beberapa hari
yang lalu," jawab Clara jujur. Terlalu jujur lebih tepatnya yang membuat
Ibu Yona tersenyum lebar.
"Apa kamu membawa
semua berkas aslimu?" tanya Ibu Yona kemudian.
Clara mengangguk cepat
lalu mengeluarkan berkas-berkas aslinya seperti ijasah, surat pengalaman kerja,
KTP, dan beberapa berkas pendukung lainnya, lalu memberikannya pada Ibu Yona,
kemudian wanita itu memeriksa berkas-berkasnya. "Saya akan menyimpan
ijasahmu di sini sampai lewat masa kontrak kerjamu. Setelah kamu jadi karyawan
tetap di sini, saya akan memgembalikannya padamu," jelas Ibu Yona sambil
menyerahkan berkas-berkas tersebut pada Clara.
"Baiklah, saya akan
mengantarmu ke ruangan dan bertemu dengan atasanmu," ucap Ibu Yona seraya
beranjak dari kursinya tanpa menunggu Clara yang masih sibuk memasukkan
berkas-berkasnya ke dalam tasnya.
Clara mengikuti wanita
itu, berjalan di belakangnya. Mereka berjalan melintasi ruangan yang berisi
barisan lima meja kerja menuju pintu masuknya tadi. Mereka pun berbelok ke arah
pintu di mana ia salah masuk tadi. Clara menghentikan langkahnya dan rasa takut
mulai menyerangnya. Ibu Yona menoleh ke arah Clara, seakan menyadari kalau ia
tidak bergerak sama sekali.
"Mari, ikuti
saya," ajak Ibu Yona cepat, terlihat bingung dengan sikap Clara.
Ibu Yona menekan tuas
pintu itu, lalu mendorongnya ke belakang. "Ini nanti adalah
ruanganmu," jelas Yona sambil melangkah masuk diikuti Clara dari belakang.
Hatinya terasa seperti
diperas kuat hingga Clara bisa merasakan betapa besar rasa takut dan malu yang
ia rasakan saat ini, terlebih lagi pada saat Ibu Yona mengetuk pintu yang
berada di seberang pintu masuk tadi. Clara tahu siapa yang ada di balik pintu
itu dan ia pun tahu pria itu pasti akan membencinya karena sudah diam-diam ikut
menikmati seks kilat pria itu.
"Masuk!"
perintah pria itu dari balik pintu.
Ibu Yona membuka pintu,
sedangkan Clara hanya bisa menunduk malu. Clara terus berjalan di belakang
IbuYona, berusaha sembunyi di belakang tubuh wanita itu sambil terus berharap
agar pria itu tidak mengusirnya. Ia benar-benar sangat membutuhkan pekerjaan
ini.
"Ini sekretaris yang
baru, Mr. Golden," kata Ibu Yona memperkenalkan Clara, "Clara
Athalitha."
Clara masih tetap berdiri,
bersembunyi di belakang tubuh Ibu Yona. "Clara, kamu akan menjadi
sekretaris Mr. Golden. Beliau adalah owner dari perusahaan
Golden Enterprise," jelas Ibu Yona dengan nada formal.
Menyadari Clara yang
bersembunyi di belakang tubuhnya, Ibu Yona pun menggeser tubuhnya ke samping.
Clara mengangkat wajahnya perlahan, merasakan rona merah muda yang mulai
mewarnai wajahnya. Ia memberanikan diri untuk menatap pria itu yang ternyata
sedang menatapnya dengan tatapan tajam, dingin, dan datar. Waktu seakan
berhenti bergerak dan ia pun tersentak kaget saat melihat sebuah senyuman kecil
tersungging di ujung bibir pria itu. Bukan senyum hangat, tapi senyuman dingin
dan dipaksakan.
Senyuman yang membuat bulu
kuduknya berdiri.
∞∞∞∞∞
Tidak ada komentar:
Posting Komentar