Minggu, 14 Januari 2018

BEAUTIFUL MADNESS (21+) - BAB 1



BAB 1

            Semangat, cerdas, cekatan, loyalitas.
            Semangat, cerdas, cekatan, loyalitas.
            Semangat, cerdas, cekatan, loyalitas.
            Clara mengulang kata-kata itu sambil menatap pantulan dirinya di cermin, layaknya sebuah mantra yang dapat membangkitkan semangatnya pagi ini. Ia selalu berusaha menanamkan barisan kata-kata itu dan menjadikannya pedoman hidup. Sebagai seorang sekretaris, ia berusaha keras untuk mewujudkan moto hidupnya itu dalam kesehariannya. Terutama untuk hari ini.
            Tepat pukul sepuluh nanti, sebuah perusahaan besar yang menjadi incarannya selama ini, akhirnya memanggil Clara untuk sesi wawancara terakhir. Ia selalu bermimpi untuk bekerja di perusahaan itu. Gaji yang besar, bahkan mungkin bisa tiga kali lipat dari gaji yang ia terima di kantornya yang lama, merupakan salah satu faktor utamanya.
            Selama ini, Clara selalu berusaha untuk menabung, meskipun jarang bisa terlaksana. Ia harus memenuhi kebutuhan hidupnya dari gajinya yang terbilang cukup kecil. Clara memutuskan untuk bekerja part time di malam harinya sebagai seorang Sales Promotion Girl salah satu brand minuman keras ternama dan setidaknya ia bisa menambah uang tabungannya meskipun hanya sedikit.
            Bukan tanpa alasan kenapa ia begitu giat bekerja keras dan menabung. Semua itu Clara lakukan demi mencapai sebuah tujuan besar yang kemungkinan besar mampu mengubah kehidupannya. Sebuah tujuan yang memerlukan biaya yang sangat besar. Sebuah tujuan yang harus ia lakukan demi janjinya kepada almarhum ayahnya.
            Pandangan Clara tertuju pada pantulan jam dinding di cermin dan ia pun segera beranjak dari tempatnya, menyambar tas kerja yang sudah ia persiapkan sejak semalam, lalu mengenakan sepatu heels berwarna hitam yang terlihat sempurna ketika dipadupadankan dengan rok mini skirt berwarna hitam dan blazer biru muda yang menutupi tank top putih sebagai lapisan dalamnya.
            Hari ini, Clara merasakan tingkat kepercayaan dirinya berada di level tertinggi. Ia yakin sekali kalau hari ini bisa ia lalui dengan lancar dan sesuai rencananya. Dengan langkah pasti, Clara keluar dari apartemen kecilnya menuju pintu lift yang berjarak lima pintu dari tempatnya. Ia tidak lupa untuk berdoa dan selalu mengucapkan moto hidupnya di setiap langkahnya.
            "Pagi, Mba Clara," sapa penjaga pintu dengan senyum hangat yang selalu menyapanya di pagi hari.
            "Pagi," sahut Clara tanpa memperpanjang ramah tamah itu. Ia harus melaksanakan semuanya sesuai dengan rencana.
            Barisan taksi yang selalu tersedia di luar pagar bangunan apartemen menjadi penyelamatnya setiap kali ia merasa terburu-buru, bahkan ketika ia terlambat bangun dan harus tiba di kantor tepat waktu. Kelemahan Clara yang pertama, ia tidak bisa tiba tepat waktu. Mungkin saat ini ia memang belum bisa secekatan yang ia harapkan, tapi ia selalu berusaha untuk terus memperbaiki dirinya. Meskipun sesekali ia mengalami keterlambatan karena sikap cerobohnya – kelemahan Clara yang lain – yang terkadang muncul setiap kali ia merasa terburu-buru, tapi hari ini Clara sudah memperhitungkan semuanya. Bangun jam lima subuh, membereskan apartemennya yang tidak terlalu besar, kemudian berangkat ke tempat wawancara pukul setengah sembilan pagi.
            Clara membuka pintu penumpang, memberikan alamat kepada supir taksi, dan mereka pun pergi meninggalkan tempat itu menuju kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Perjalanannya sangat lancar, tak ada kemacetan yang cukup berarti hingga membuatnya merasa Dewi Fortuna sedang berpihak padanya.
            Tapi benar kata orang, tidak semua yang kita rencanakan bisa selalu berjalan lancar sesuai dengan apa yang kita inginkan. Perasaan senang dan percaya diri yang begitu besar, langsung berganti menjadi kepanikan saat ia melihat barisan mobil yang berhenti tepat di depannya. Clara mencoba untuk bersabar dan menunggu, berharap agar kemacetan itu segera berlalu.
            Setengah jam berlalu, tapi taksi yang ia tumpangi ternyata hanya bergerak beberapa meter dari tempat terakhir kali mereka berhenti. Clara melirik sekilas ke jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Waktu menunjukkan pukul sepuluh kurang tiga puluh menit dan rasa panik langsung menyerangnya. Clara memutuskan untuk berhenti di tengah jalan, membayar tagihan taksi, lalu berdiri di tepi trotoar, berharap ada ojek yang sedang menganggur. Tapi, kali ini harapannya kembali pupus karena semua ojek yang lewat di hadapannya sudah mengangkut penumpangnya masing-masing.
            Terbersit di pikirannya untuk berjalan kaki ke tempat yang ia tuju. Clara mulai memperhitungkan jarak yang mungkin bisa ia tempuh dalam waktu lima belas menit jika ia berjalan dengan cepat. Akhirnya, ia memutuskan untuk berjalan kaki di bawah sinar matahari yang mulai menunjukkan kekuatannya. Clara mempercepat langkahnya meskipun kakinya terasa ingin lepas dan keringat mulai mengucur di pelipisnya. Ia terus berjalan, tidak menghiraukan suara klakson mobil-mobil yang sangat memekakkan telinga.
            Clara menoleh ke sebuah kecelakaan yang ternyata menjadi sumber kemacetan tersebut. Karena terlalu serius memerhatikan keramaian tersebut, Clara tidak melihat sebuah lubang kecil di hadapannya, yang langsung mematahkan tumit sepatunya. Clara menggerutu kesal meratapi sepatu heels kesayangannya – satu-satunya sepatu mahal yang ia miliki – rusak akibat kesalahan dan kecerobohannya sendiri. Ingin rasanya ia menangis dan mengurungkan niatnya untuk datang wawancara hari ini.
            Tapi, saat matanya menatap papan nama perusahaan yang ia tuju, semangat dalam dirinya kembali bangkit meskipun hanya sedikit. Clara mulai mempercepat langkahnya dengan cara teraneh yang pernah ia lakukan, setengah menyeret setengah berjinjit. Dengan sisa-sisa semangat dalam dirinya dan perjalanan yang begitu melelahkan, akhirnya Clara tiba di depan pos keamanan gedung perkantoran itu. Clara mencoba mengatur napas, lalu tersenyum masam ke arah salah satu petugas keamanan yang menghampirinya.
            "Bisa saya bantu? Saya punya lem perekat untuk sepatu itu," sapa petugas itu dengan ramah.
            "Terima kasih, Pak," sahut Clara dengan penuh rasa syukur. Dewi Fortuna ternyata belum meninggalkannya. Clara menyeret langkahnya berusaha mengikuti petugas itu dari belakang menuju ruang jaga. Clara sangat bersyukur karena, meskipun ia sedang terburu-buru dan mengalami kesialan yang begitu tidak tepat waktu, ada seorang petugas yang membuatnya sadar bahwa ia tidak boleh putus asa.
            Setelah petugas itu merekatkan tumit sepatunya, pria itu menyuruhnya untuk menunggu beberapa saat sampai lem tersebut benar-benar kering dan terekat sempurna. Tapi, waktu yang Clara miliki tinggal sedikit dan ia bergegas mengenakan sepatunya. "Terima kasih, Pak," ucap Clara sebelum ia meninggalkan ruangan itu dan berusaha tidak memedulikan ucapan petugas yang berusaha mengingatkannya untuk berhati-hati karena tumit sepatunya belum terekat sempurna.
            Clara mencoba untuk tidak mengubris peringatan itu. Lima menit lagi acara wawancara akan segera dimulai dan ia akan mempertaruhkan apa pun supaya bisa tiba di perusahaan itu tepat waktu. Ini adalah penentuan masa depannya dan Clara berjanji tidak akan mengacaukannya kali ini. Setelah menukarkan kartu identitas dengan kartu pengunjung, Clara berdiri di salah satu pintu yang berada di antara jejeran lima pintu lainnya. Pintu-pintu lift itu berbaris di tembok kokoh berlapis marmer berwarna putih gading.
            Setelah pintu lift terbuka, ia pun masuk, menekan tombol delapan, dan berdiri di pojokan. Beberapa orang masuk dan memenuhi ruang kecil itu hingga Clara, yang tubuhnya tidak terlalu besar, tampak seperti terhimpit dan tersudutkan. Lift mulai bergerak, mata Clara tertuju pada layar angka dan ia bisa merasakan betapa cepat lift membawanya ke atas. Dua kali pintu lift terbuka dan beberapa orang pun keluar, membuat ruangan terasa lebih lega. Tak lama kemudian, angka delapan pun muncul di layar. 
            Clara bergegas keluar saat pintu itu terbuka. Meja resepsionis berbentuk setengah lingkaran yang terbuat dari bahan kayu jati dan terplitur indah, memberikan kesan mengkilap dan mewah. Logo perusahan dengan huruf 'G' yang besar, berwarna keemasan, dan terletak di tengah dinding meja, membuat meja resepsionis terlihat lebih mewah.
            'GOLDEN ENTERPRISE'
            Tulisan itu terpampang jelas di dinding yang dilapisi warna putih bersih, serta logo 'G' keemasan yang sepertinya menjadi hiasan utama di tempat itu dan di seragam mereka. Dua wanita, yang duduk di belakang meja, terlihat sibuk dengan telepon yang menempel di telinga dan tangan yang sibuk menari di atas keyboard.
            "Permisi," sapa Clara, berusaha menyita perhatian para wanita itu, tapi sepertinya mereka tidak akan memerhatikan dirinya sebelum wanita-wanita itu menyelesaikan kegiatannya. Clara sudah tidak bisa menahan kesabarannya lagi karena sekarang sudah pukul sepuluh. Dengan inisiatif yang sangat tinggi, Clara menutup layar komputer yang sedang ditatap oleh salah satu resepsionis itu dengan tangannya. "Maaf, saya mau wawancara dengan Ibu Yona," kata Clara yang berhasil mendapatkan perhatian si resepsionis itu.
            Wanita dengan mata cokelat tua, hampir terlihat hitam jika tidak terkena sinar lampu, menatapnya dengan ekspresi wajah yang berubah dari datar menjadi senyuman hangat. "Lorong sebelah kanan, pintu ke tiga, lalu masuk ya, Mba," jawab wanita itu dengan suara yang begitu formal, dalam, dan tertata rapi seperti sebuah rekaman yang sudah sering kali diputar.
            Clara tersenyum pada wanita yang langsung memalingkan wajahnya kembali ke layar komputer. Tanpa memedulikan sikap dingin itu, Clara berjalan sesuai petunjuk tadi. Ia berjalan menuju lorong yang ada di sebelah kanannya, lalu berhenti di antara dua pintu. "Yang ini atau yang itu, ya?" tanya Clara pada dirinya sendiri.
            Kelemahannya satu lagi, ia sangat pelupa, yang membuatnya selalu menjadi bahan guyonan bagi teman-teman di kantornya yang terdahulu. Dengan percaya diri, Clara memutuskan untuk membuka pintu yang ada di sebelah kirinya dengan perlahan. Ia mengintip sedikit dari balik pintu dan menemukan sebuah ruangan berwarna putih bersih, sebuah meja kosong, dan sebuah layar komputer berada di atas meja tersebut.
            Berharap ia memilih pintu yang benar, Clara mulai membuka lebar pintu itu secara perlahan-lahan, lalu melangkahkan kakinya masuk ke ruangan kosong itu. "Sepertinya orang tadi cuma bilang 'masuk saja', tapi kenapa di sini nggak ada orang?" tanya Clara lagi pada dirinya sendiri.
            Ia menutup pintu di belakangnya, matanya tertuju pada pintu lain yang berada di ruangan itu. Rasa ragu dalam dirinya semakin besar, tapi ia mencoba meredamnya dan melangkah ke arah pintu itu. Clara mengetuk pintu itu dan berharap ia tidak berada di ruangan yang salah. Setelah tiga kali ia mengetuk pintu dan tak terdengar sedikit pun suara yang menyuruhnya masuk, rasa ragu itu kembali muncul.
            Clara melangkah mundur satu langkah, menatap gagang pintu itu dengan penuh pertimbangan. Dilihatnya jam tangan yang sudah menunjukkan pukul sepuluh lewat lima menit dan hal itu membuat Clara segera menekan tuas pintu itu, lalu melangkah masuk, dan langsung tercengang dengan apa yang ada di hadapannya saat ini.
            Seorang wanita berambut merah panjang dan bergelombang sedang duduk membelakanginya, terlihat seperti sedang berada di atas pangkuan seseorang. Clara memerhatikan salah satu tangan kekar memeluk tubuh wanita itu, sedangkan tangan yang lain mencengkram pinggul wanita itu seakan membantu tubuh itu bergerak naik turun. Suara desahan dan erangan nikmat yang mendesis, membuat Clara terdiam kaku. Wanita itu bergerak dengan cepat, menggerakkan tubuhnya dengan lihai, dan sesekali mengibaskan rambutnya yang panjang.
            Ia tidak tahu apakah ia kaget dan malu melihat adegan di hadapannya, atau ia malah menikmati adegan tersebut. Yang pasti saat ini matanya terasa panas, jantungnya berdebar cepat, secepat aliran darah yang saat ini mengalir di tubuhnya, dan - percaya atau tidak - apa yang ia lihat saat ini malah membangkitkan gairah dalam dirinya. Clara benar-benar tercengang dan tidak percaya dengan apa yang ia lihat saat ini.
            Wanita itu bergerak semakin cepat, erangannya pun terdengar semakin kuat. Clara juga bisa mendengar suara erangan kuat dari seorang pria yang saat ini mungkin sedang menikmati gelora gairah yang begitu panas. Clara berdiri kaku, membisu, dan tak bisa bergerak seperti sedang disihir oleh mantra yang membuatnya membatu dalam sekejap.
            Hanya beberapa saat kemudian, suara desahan itu perlahan-lahan berubah menjadi jeritan kenikmatan. Tapi, pria itu tetap menggerakkan tubuh wanita yang terlihat mulai tak bertenaga. Tak lama dari jeritan kecil itu, Clara mendengar suara erangan keras saat si pria mencapai puncak orgasmenya. Clara mulai merasakan tubuh bagian bawahnya terasa basah dan lembab. Adegan liar itu benar-benar membuatnya terangsang dan ia sama sekali belum pernah merasa jantungnya berpacu seperti ini.
            Mata Clara masih terpaku pada tubuh wanita, yang saat ini tampak sedang membetulkan pakaiannya, menggulung rambut panjang berwarna kemerahannya ke belakang, lalu bergerak ke samping, turun dari pangkuan si pria. "Aaa!!" jerit wanita itu ketika menyadari kehadiran Clara.
            "M-maaf ... a-aku bukan ... ini ... aku tidak -"
            "Keluar!" bentak pria itu dengan suara serak dan tegas.
            Clara langsung membalikkan badan, membuka pintu yang ada di belakangnya, lalu keluar dari ruangan itu dengan cepat. Ia menutup pintu di belakangnya, kemudian berjalan cepat menuju pintu yang satu lagi, sampai akhirnya ia kembali berada di lorong panjang. "Ya, ampun! Aku salah ruangan!" ucap Clara histeris.
            Napasnya yang terengah-engah serta jantungnya yang masih berpacu cepat, membuktikan betapa besar pengaruh kejadian tadi terhadap dirinya. Clara menarik dan membuang napasnya beberapa kali, mencoba menenangkan dirinya kembali dan berusaha keras melupakan kejadian itu dari pikirannya, tapi tidak bisa. Kejadian itu benar-benar baru baginya. Ia pernah menonton film-film dewasa, tapi Clara tidak pernah menyangka bisa melihat orang lain melakukan adegan itu tepat di hadapannya. Ini benar-benar gila, bahkan suara desahan dan erangan itu masih terngiang-ngiang di telinganya.
            Setelah beberapa saat terdiam di depan pintu, mencoba mengatur kewarasan dan mengembalikan ketenangan dirinya, akhirnya debaran jantungnya kembali normal. Ia menghembuskan napas sekali lagi, memastikan bahwa dirinya sudah siap untuk melakukan wawancara, yang merupakan tujuan utamanya ke tempat ini. Terdengar suara deritan kecil dari pintu yang ada di belakangnya. Clara menoleh ke belakang, melangkah menjauh sekitar dua langkah sebelum pintu itu terbuka lebar di hadapannya. Seorang pria dengan setelan jas yang rapi dan terjahit sempurna mengikuti setiap lekukan tubuh, muncul dari balik pintu.
            "You again," ucap pria itu datar saat melihat Clara yang berdiri diam terpaku.
            Seorang wanita, yang tadi melakukan seks kilat dengan pria itu, muncul dari belakang dan berjalan melewati mereka begitu saja tanpa menoleh sedikit pun ke arahnya. Clara memerhatikan paras cantik wanita itu dan menyadari betapa polos riasan wajahnya yang hanya dihiasi oleh lotion pelembab, bedak, dan lipstik berwarna merah muda yang dipoles tipis.
            Pria itu pun langsung menghilang di balik pintu tanpa kata sedikit pun. Clara mencoba untuk tidak memedulikan sikap arogan itu. Ia berjalan menuju pintu yang seharusnya, mengetuk beberapa kali hingga akhirnya sosok seorang wanita muda, yang berparas ayu dengan tubuh lebih pendek darinya menyambut kedatangannya. "Saya mau wawancara dengan Ibu Yona," ucap Clara langsung.
            "Mari masuk. Ibu Yona sudah menunggu kedatangan Anda," sambut wanita itu sambil membuka pintu semakin lebar dan mempersilakannya masuk.
            Wanita bertubuh mungil itu berjalan di depannha dan Clara mengikuti langkah wanita itu sambil memerhatikan isi ruangan yang terdiri dari lima meja kerja yang penuh dengan berkas dan orang-orang yang tampak sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. "Silakan masuk," kata wanita itu saat membukakan pintu untuk Clara dan menghilang saat Clara sudah berada di dalam ruangan. Seorang wanita cantik berusia empat puluhan sedang sibuk membaca map berwarna kuning dengan wajah serius.
            "Kamu Clara, 'kan?" tanya wanita itu dengan tatapan sekilas lalu kembali membaca berkas di hadapannya.
            "I-iya. Saya Clara," jawabnya gugup.
            "Duduk," perintah wanita itu dengan sebuah anggukan kepala singkat ke arah kursi yang berada di depan mejanya.
            Clara duduk di kursi yang ditunjuk, sedangkan wanita itu masih terlihat serius membaca berkas di mapnya. Di atas meja itu terdapat papan nama berwarna hitam dengan tulisan nama berwarna keemasan. Yona Sabrina, Head of Human Resources. "Saya sudah membaca CV dan nilai tes kamu yang cukup tinggi," kata Ibu Yona setelah meletakkan mapnya di meja, lalu memutar kursinya agar bisa berhadapan langsung dengan Clara.
            Sikap Ibu Yona terlihat begitu serius dan Clara pun berusaha mendengarkan setiap kata yang wanita itu ucapkan. "Kami memang membutuhkan wanita dengan kriteria seperti Anda. Berambut hitam panjang, tinggi sekitar seratus enam puluh lima sentimeter, berusia di atas dua puluh lima tahun, berparas cantik, berkulit putih, dan tubuh proposional," lanjut wanita itu, yang malah membuat Clara berpikir aneh. Apa hubungannya kriteria penampilan dan proporsional tubuh dengan pekerjaanku? Pikir Clara dalam diam.
            "Apa kamu tahu posisi apa yang akan kamu isi di tempat ini?" tanya Ibu Yona setelah memerhatikan paras dan cara berpakaian Clara dengan seksama.
            "Sekretaris, Bu," jawab Clara, menyembunyikan kegugupan dalam dirinya dan menekan suaranya agar tidak terlalu bergetar.
            "Apa kamu sudah tahu berapa kisaran gaji yang akan kamu terima?" tanya wanita itu lagi. Clara bisa melihat tatapan yang seakan mengatakan 'aku akan membayarmu mahal untuk tubuhmu' dan sebuah senyum kecil yang tersungging di wajah Ibu Yona. Clara mulai merasa takut dengan niat di balik senyum kecil itu.
            Clara menggelengkan kepala, yang ia tahu dari rumor di kantor lamanya kalau perusahaan ini memiliki gaji tertinggi dibandingkan dengan kantor lain. Clara masih terus menatap Ibu Yona yang sedari tadi terus memerhatikan penampilannya. "Di sini kamu akan mendapatkan gaji tiga kali lipat bahkan empat kali lipat dari gaji di tempat lamamu. Kamu juga akan mendapatkan fasilitas lebih dari perusahaan," jelas Ibu Yona penuh kebanggaan.
            Clara tidak tahu apa yang wanita itu banggakan, entah karena besarnya gaji yang akan Clara terima atau karena hal lain. Tapi, Clara tidak memungkiri bahwa Ibu Yona sudah melemparkan umpan yang empuk kepadanya hingga dengan secepat kilat kecurigaan Clara menghilang begitu saja. Mengganti kecurigaan dengan senyum yang langsung menghiasi wajah Clara. Gaji yang besar, hanya itu yang ada dipikiran Clara sekarang.
            "Tapi, ada beberapa syarat yang harus kamu tanda tangani sebelum kami bisa menerimamu di kantor ini," lanjut Ibu Yona dan seketika itu pula senyum di wajah Clara membeku seperti senyum di patung-patung. Kaku dan tak berjiwa.
            Wanita yang duduk manis di hadapannya mengeluarkan sebuah map berwarna merah dari laci mejanya, lalu menyodorkannya ke hadapan Clara. Namanya tertera jelas di map itu 'Clara Athalita'. Clara menatap Ibu Yona yang mengangkat salah satu alisnya yang terukir indah, seakan memberikan isyarat padanya untuk membuka map itu.
            Clara membuka map di hadapannya dan melihat surat kontrak kerja yang harus ia tanda tangani. Begitu banyak isi dan pasal-pasal yang harus ia baca, ia pun bingung harus mulai membaca dari mana. "Gajimu sekitar lima belas juta per bulan," ucap Ibu Yona cepat, mengalihkan perhatian Clara.
            Lima belas juta? Ya, Tuhan ... itu uang yang sangat banyak, batin Clara dan ia pun semakin terlena dengan banyaknya uang yang akan ia terima setiap bulan. Clara mulai menghitung-hitung berapa lama ia harus menabung agar apa yang sudah ia rencanakan bisa berhasil dalam waktu singkat.
            "Silakan tanda tangan di sini," pinta Ibu Yona sambil menunjuk ke sebuah garis panjang yang tertera nama jelasnya dan sebuah materai untuk menguatkan surat kontrak kerja tersebut.
            Meskipun ragu pada awalnya, Clara akhirnya menandatangani surat kontrak kerja itu tanpa membaca isinya lagi. Clara menutup dan mengembalikan map itu kepada Yona, yang langsung memasukkannya kembali ke dalam laci meja kerjanya.
            "Kapan kamu bisa mulai bekerja?" tanya Ibu Yona padanya.
            "Kapan saja, Bu. Saya sudah resign dari perusahaan sebelumnya sejak beberapa hari yang lalu," jawab Clara jujur. Terlalu jujur lebih tepatnya yang membuat Ibu Yona tersenyum lebar.
            "Apa kamu membawa semua berkas aslimu?" tanya Ibu Yona kemudian.
            Clara mengangguk cepat lalu mengeluarkan berkas-berkas aslinya seperti ijasah, surat pengalaman kerja, KTP, dan beberapa berkas pendukung lainnya, lalu memberikannya pada Ibu Yona, kemudian wanita itu memeriksa berkas-berkasnya. "Saya akan menyimpan ijasahmu di sini sampai lewat masa kontrak kerjamu. Setelah kamu jadi karyawan tetap di sini, saya akan memgembalikannya padamu," jelas Ibu Yona sambil menyerahkan berkas-berkas tersebut pada Clara.
            "Baiklah, saya akan mengantarmu ke ruangan dan bertemu dengan atasanmu," ucap Ibu Yona seraya beranjak dari kursinya tanpa menunggu Clara yang masih sibuk memasukkan berkas-berkasnya ke dalam tasnya.
            Clara mengikuti wanita itu, berjalan di belakangnya. Mereka berjalan melintasi ruangan yang berisi barisan lima meja kerja menuju pintu masuknya tadi. Mereka pun berbelok ke arah pintu di mana ia salah masuk tadi. Clara menghentikan langkahnya dan rasa takut mulai menyerangnya. Ibu Yona menoleh ke arah Clara, seakan menyadari kalau ia tidak bergerak sama sekali.
            "Mari, ikuti saya," ajak Ibu Yona cepat, terlihat bingung dengan sikap Clara.
            Ibu Yona menekan tuas pintu itu, lalu mendorongnya ke belakang. "Ini nanti adalah ruanganmu," jelas Yona sambil melangkah masuk diikuti Clara dari belakang.
            Hatinya terasa seperti diperas kuat hingga Clara bisa merasakan betapa besar rasa takut dan malu yang ia rasakan saat ini, terlebih lagi pada saat Ibu Yona mengetuk pintu yang berada di seberang pintu masuk tadi. Clara tahu siapa yang ada di balik pintu itu dan ia pun tahu pria itu pasti akan membencinya karena sudah diam-diam ikut menikmati seks kilat pria itu.
            "Masuk!" perintah pria itu dari balik pintu.
            Ibu Yona membuka pintu, sedangkan Clara hanya bisa menunduk malu. Clara terus berjalan di belakang IbuYona, berusaha sembunyi di belakang tubuh wanita itu sambil terus berharap agar pria itu tidak mengusirnya. Ia benar-benar sangat membutuhkan pekerjaan ini.
            "Ini sekretaris yang baru, Mr. Golden," kata Ibu Yona memperkenalkan Clara, "Clara Athalitha."
            Clara masih tetap berdiri, bersembunyi di belakang tubuh Ibu Yona. "Clara, kamu akan menjadi sekretaris Mr. Golden. Beliau adalah owner dari perusahaan Golden Enterprise," jelas Ibu Yona dengan nada formal.
            Menyadari Clara yang bersembunyi di belakang tubuhnya, Ibu Yona pun menggeser tubuhnya ke samping. Clara mengangkat wajahnya perlahan, merasakan rona merah muda yang mulai mewarnai wajahnya. Ia memberanikan diri untuk menatap pria itu yang ternyata sedang menatapnya dengan tatapan tajam, dingin, dan datar. Waktu seakan berhenti bergerak dan ia pun tersentak kaget saat melihat sebuah senyuman kecil tersungging di ujung bibir pria itu. Bukan senyum hangat, tapi senyuman dingin dan dipaksakan.
            Senyuman yang membuat bulu kuduknya berdiri.

∞∞∞∞∞

Tidak ada komentar: