Rabu, 27 Juli 2016

A HARD CHOICE - PART 9



PART 9

Akhirnya Desi bisa membuat Mike setuju dengan apa yang ia mau. Dia merasa senang sekali. Rasanya ia ingin sekali memeluk pria yang saat ini sedang duduk merenung di sampingnya. Ia ingin berterimakasih pada Mike, setidaknya walaupun pria itu sudah membuatnya kesal, akhirnya Mike mau mempercayainya untuk melakukan pekerjaannya sendiri.
Mereka berdua masih duduk di atas tempat tidur yang empuk itu. Desi masih bisa merasakan bibirnya yang basah akibat ciuman indah yang Mike berikan padanya. Dia ingin sekali merasakannya lagi, namun dengan pernyataan Mike barusan membuat Desi mengesampingkan sesaat kenikmatan dari ciuman itu.
Pria itu pencium andal. Ciumannya begitu memabukkan, membuat Desi tak bisa menolak. Bahkan membuatnya ketagihan. Tapi mulai sekarang Desi benar-benar harus menjaga jarak dari Mike. Kalau tidak, Desi tidak tahu apakah ia bisa menahan gairahnya lagi atau tidak.
"Mike.", panggil Desi dengan nada halus. Mike langsung menatapnya dan mencoba untuk mendengar apa yang ia katakan.
"Bisakah kau meminta doktermu untuk melepaskan infus ini? Ku rasa aku sudah tidak memerlukannya lagi.", pinta Desi.
"Kau yakin?", tanya Mike.
"Ya. aku yakin. Aku rasa aku baik-baik saja.", jawab Desi sambil tersenyum
"Baiklah.", kata Mike.
Pria itu pun mengeluarkan ponselnya, lalu menelepon Alex. Beberapa menit kemudian Alex beserta dokter datang menghampiri mereka. Saat dokter itu memeriksa Desi untuk memastikan kondisinya, Desi memperhatikan Mike yang berubah menjadi pendiam dan murung.
Mike menjauh dan tidak memandangnya sedikitpun. Sesekali ia mencuri pandang ke arah Mike, namun pria itu sama sekali tidak melihat ke arahnya. Desi berfikir, mungkin Mike mencoba untuk menjaga jarak dengannya, yang mana hal itu baik untuk mereka berdua. Dan Desi sangat berterima kasih pada Mike karena mau melakukannya.
Akhirnya dokter itu melepaskan jarum infus dari lengannya lalu menempelkan kapas dan perekatnya untuk menahan darah yang akan keluar. "Terima kasih sudah merawatku.", kata Desi kepada Alex dan dokter itu diiringi dengan senyuman.
"Baiklah. Sekarang saatnya bekerja. Sudah hampir setengah tiga.", kata Desi sambil melihat jam tangannya. Ia pun beranjak dari tempat tidur menuju tas nya yang diletakkan di atas meja di samping tempat tidurnya. Ia mengeluarkan lembaran kertas yang berisikan susunan acara.
Lalu ia memberikannya kepada Mike yang sedang berdiri di salah satu sisi tembok sambil memainkan ponselnya. "Ini.", kata Desi sambil menyodorkan kertas-kertas itu ke hadapan Mike. "Apa ini?", tanya Mike. Namun pria itu tidak ingin memandang wajahnya. Aneh. Pikir Desi.
"Ini susunan acara yang aku buat. Kalau kau setuju, aku akan memberikannya ke MC.", jelas Desi.
Pria itu mengambil kertas yang Desi berikan. Membacanya sekilas, lalu mengembalikan kertas itu kepada Desi. "Semua sudah OK.", kata Mike sambil lalu.
Desi menerima kertas itu, lalu Mike pergi begitu saja dari ruangan itu tanpa sepatah kata pun. Ah sudahlah. Kata Desi dalam hati. Biarkan saja dia mau berbuat apa, yang penting aku akan menyelesaikan pekerjaan ini dengan sebaik mungkin lalu pergi dari hidupnya. Pikir Desi.
Lembaran kertas itu ia masukkan kembali ke dalam tas laptopnya, lalu ia pun keluar dari ruangan itu. Kamar yang begitu besar, indah, tertata rapih dan pemandangannya yang menakjubkan bagaikan surga. Desi membayangkan andaikan ia memiliki kamar seperti itu, ia pasti akan betah berlama-lama di dalamnya. Ia pun melangkahkan kakinya keluar dari kamar itu dan berjalan menuju lift.
∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞
"Baiklah. Semua sudah beres. Sekarang tinggal memberikan susunan acara ini ke MC.", gumam Desi sambil berjalan meninggalkan ruang auditorium. Desi memeriksa sekali lagi checklist-nya. Setelah ia yakin semuanya sudah siap, ia pun keluar dari ruangan itu dengan hati yang sangat senang.
Semua barang-barang yang akan dijadikan bahan hadiah dan doorprice akan tiba malam ini. Besok pagi-pagi sekali ia sudah harus tiba di hotel ini untuk memeriksa jumlah dan kerapihan vendornya dalam menyiapkan hadiah-hadiah tersebut.
Ia memasukkan kembali checklist-nya ke dalam tas laptop sambil berjalan keluar. Desi masuk ke dalam lift dan menunggu dengan hati riang hingga pintu lift itu terbuka dan ia tiba di lantai dasar hotel itu.
"Sore, Pak Alex.", sapa Desi saat melihat Alex yang sedang berdiri di depan meja resepsionis.
"Sore, Mba Desi.", sapa Pak Alex sambil tersenyum.
"Aku akan pulang. Apakah di sini ada taksi atau semacamnya?", tanya Desi kepada Pak Alex.
"Mba Desi mau pulang?", tanya Pak Alex memastikan
"Iya, Pak. Soalnya saya masih harus mengurus beberapa hal kecil lagi. Besok subuh-subuh sekali saya sudah harus sampai di sini untuk pengecekan terakhir. Karena para tamu akan datang sekitar jam sepuluh siang.", jela Desi pada Pak Alex.
"Baiklah. Saya akan ke ruangan Tuan Larosky untuk memastikan siapa yang akan mengantar Mba Desi. Soalnya tadi Tuan Larosky bilang kalau Mba Desi akan menginap di sini.", kata Pak Alex.
Desi menunggu di depan meja resepsionis. Dia memperhatikan sebuah piano besar berwarna hitam pekat. Tampak begitu elegan. Saat masih kecil, Desi ingin sekali bisa bemain piano. Tapi karena dulu kondisi keuangan kedua orang tuanya masih belum baik, akhirnya Desi mengubur dalam-dalam keinginannya itu.
Desi mengambil ponselnya dan memberi kabar kepada kedua temannya. Lalu ia pun memberi kabar kepada kedua orang tuanya, kalau akhir minggu ini ia tidak bisa berkunjung ke sana karena ada pekerjaan yang harus dia lakukan.
Ia melihat jam yang terpampang di layar ponselnya. Sudah setengah tujuh malam. Dia benar-benar harus berangkat sekarang, kalau tidak ia akan terlambat sampai ke rumah. MC kenalannya akan tiba di rumah sekitar jam sembilan malam. Kalau sekarang ia tidak berangkat, ia pasti akan membuat MC itu menunggu di halaman rumahnya.
"Huh... Lama sekali.", gerutu Desi.
"Siapa yang lama?", tanya Mike. Suara Mike, yang terdengar tepat di belakang tubuhnya, membuat Desi terkejut. Pria itu terlihat berantakan. Rambutnya sedikit acak-acakan. Wajahnya begitu kusut. Seperti ada masalah besar yang sedang dihadapi oleh pria itu.
"Aku harus pulang sekarang. Ada seseorang yang akan datang ke rumahku. Kalau aku tidak berangkat sekarang, aku akan membuatnya menunggu.", jelas Desi tanpa disuruh.
"Siapa?", tanya Mike
"Kenalanku. Dia yang akan membantuku besok.", jawab Desi.
"Siapa dia?", tanya Mike lagi
"Aduuuhhh... Kalau kau bertanya terus, waktuku akan benar-benar terbuang. Ini penting soalnya.", kata Desi tanpa menjawab pertanyaan Mike.
"Sepenting itukah dia?", kata Mike dengan nada ketus.
"Aahh... Terserah. Kalau kau mau berlama-lama di sini. Aku akan mencari taksi dan pulang sekarang.", kata Desi kesal.
"Aku yang akan mengantarmu pulang.", kata Mike singkat. Raut wajahnya berubah.
"Apa?", tanya Desi memastikan apa yang ia dengar.
"Telingamu masih berfungsi dengan baik, kan? Aku bilang aku yang akan mengatarmu.", kata Mike lagi sambil membalikkan badannya dan berjalan pergi.
Desi tidak mengerti ucapan pria itu. Apakah maksudnya pria itu yang akan mengantarkannya pulang? Mike yang menyetir? Lalu buat apa ada supir? Aneh. Pikir Desi.
Ia pun berjalan mengikuti arah kaki Mike. Mereka berjalan menuju pintu keluar dimana mobil jaguarnya sudah menunggu di depan pintu. Desi memperhatikan Mike yang meminta kunci dari supirnya, dan wajah supir yang kebingungan dengan tingkah laku tuannya. Si supir memberikan kunci mobil itu kepada Mike.
"Ayo masuk. Aku akan mengantarmu pulang.", perintah Mike sambil membukakan pintu untuk Desi.
"Nggak salah?", tanya Desi lagi memastikan.
"Kau mau pulang atau tidak?", tanya Mike dengan nada kesal.
"Baiklah.", jawab Desi singkat. Ia pun masuk ke dalam mobil dan Mike menutup pintunya dengan lembut.
Pria itu duduk di belakang kemudi, lalu menyalakan mesin mobilnya. Mereka pun berangkat meninggalkan hotel mewah itu. Mike sama sekali tidak berbicara, dan Desi mulai merasakan bosan yang tak terhingga. Ia mengambil ponselnya dan membalas beberapa pesan masuk.
Salah satu pesan masuk berasal dari ibunya, yang mengatakan kalau dia tidak boleh terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Dia harus memikirkan dirinya, harus mencari pengganti Steve dan membangun sebuah rumah tangga.
Saat membaca nama Steve di dalam pesan itu, pikirannya langsung kembali ke masa lalunya. Pengkhianatannya. Keterpurukannya. Hatinya benar-benar sakit.
Ia langsung memasukkan ponselnya ke dalam tas jinjing kecilnya dan meletakkan tas itu di pangkuannya. Mike mengendarai mobil itu dengan penuh konsentrasi. Sebagian dirinya ingin sekali mengajaknya berbicara. Tapi bagian lain dirinya, berusaha untuk menjaga jarak.
Perjalanan mereka cukup lancar, membuat mereka tiba di halaman rumah Desi lebih cepat dari yang ia perkirakan. Desi mengeluarkan ponselnya dan menekan nomor MC tersebut.
"Halo...Ryan... Iya, ini aku sudah sampai rumah. Kamu bisa ke sini sekarang, kan? Biar nggak kemalaman.", kata Desi.
"Baiklah. Aku tunggu, ya.", kata Desi lagi. Ia pun memasukkan ponselnya lagi ke dalam tas. Lalu mengambil tas laptopnya.
"Terima kasih sudah mau anterin aku. Maaf ya, aku sudah ngerepotin.", kata Desi. Ia menatap Mike yang ternyata memperhatikannya sedari tadi. Wajahnya penuh pertanyaan dan sedikit aura marah terpancar di matanya.
"Aku akan mengantarmu sampai depan pintu.", kata Mike singkat. Pria itu mematikan mesin mobilnya, lalu keluar dari mobil itu. Mike melangkah ke sisi pintu Desi dan membukakan pintu untuknya. Desi keluar dari mobil itu dan Mike dengan segera menutup pintunya, lalu menguncinya.
Mereka berjalan menuju pintu rumah Desi yang masih gelap gulita. Desi mengeluarkan kunci rumahnya dari dalam tas dan membukakan pintunya. Rumahnya begitu gelap gulita. Pandangannya terhalang oleh kegelapan yang begitu pekat.
"Tunggu di sini. Aku akan menyalakan lampunya sebentar.", pinta Desi. Mike pun menunggu dan duduk di salah satu kursi yang ada di teras rumah. Tak lama kemudian, cahaya lampu mulai menyinari satu per satu ruangan di dalam rumah itu.
"OK. Terima kasih untuk semuanya, ya Mike.", kata Desi sambil menghampiri Mike yang masih duduk di kursi teras.
"Kau tidak pulang?", tanya Desi yang bingung melihat Mike yang sama sekali tidak beranjak dari kursi itu.
"Aku akan menunggu di sini sebentar.", jawab Mike.
"Maksudnya?", tanya Desi balik, kebingungan.
"Iya. Aku akan menunggu orang yang akan kau temui malam-malam. Tidak baik seorang wanita menerima tamu malam-malam begini. Apalagi yang mau datang sekarang pasti laki-laki, kan?", kata Mike dengan nada protektif.
"Lah...trus kamu? Bukannya kamu juga laki-laki?", tanya Desi kesal.
"Aku beda. Aku bisa mempertanggung jawabkan segala perbuatanku.", jelas Mike.
"Hahahaha... kau ini lucu.", kata Desi sambil tertawa. Ia berjalan menuju kursi teras yang berada di samping Mike dan duduk di sana.
"Aku ini sudah besar. Bukan anak kecil yang butuh perlindungan atau semacamnya.", kata Desi ringan.
"Ya...Ya... Terserah apa yang akan kau katakan, yang pasti aku akan menunggu di sini sampai pria itu datang.", kata Mike mencoba tidak memperdulikan Desi yang tersenyum geli melihat tingkah laku Mike.
"Terserahlah. Kalau kau mau menunggu, ya tunggu saja. Aku akan membuatkan minuman. Kau mau minum apa?", tanya Desi.
"Tidak perlu. Aku akan menunggu di sini.", jawab Mike.
"Ya sudah. Aku mau mandi dulu. Kalau Ryan datang, bisa minta tolong suruh dia menunggu?", pinta Desi.
Pria itu mengangguk dan mengeluarkan ponselnya lalu membaca-baca berita melalui ponselnya. Desi masuk ke dalam rumah dan ia pun membuatkan segelas teh manis untuk Mike. Setelah ia membuat teh manis, ia mengantarkannya ke luar dan meletakkannya di atas meja kecil.
"Diminum saja dulu. Lumayan untuk menghangatkan diri.", kata Desi kemudian ia pun meninggalkan pria itu sendiriian di teras rumahnya. Ia berjalan menuju kamarnya dan masuk ke kamar mandinya. Dengan cepat ia melepaskan seluruh pakaiannya dan menghidupkan kran air bathtub-nya.
Tamunya mungkin akan tiba, namun ia menyempatkan diri untuk berendam sebentar. Musik mengalun dari ipod-nya dan ia pun mulai merasakan ketenangan di setiap jengkal tubuhnya. Air hangat menenangkan hatinya dan menghilangkan lelah yang ada di tubuhnya. Ahhh...ini adalah surga dunia. Kata Desi dalam hati.
"Berapa lama lagi kau akan tertidur di dalam sana?". Suara Mike membangunkan Desi dari tidurnya. Ia begitu lelah hingga tak sadar bahwa ia tertidur di dalam bathtub-nya. Mike berdiri di pintu kamar mandinya dan tidak menatapnya sama sekali.
Pria itu memalingkan wajahnya, berusaha untuk tidak melihat ke arahnya. Mike langsung pergi dari kamarnya, setelah membangunkan Desi dari tidurnya. Pria yang sopan. Pikir Desi. Ia pun keluar dari bathtub­-nya dan mengeringkan tubuhnya dengan handuk.
Dengan cepat ia mengenakan pakaiannya dan menyisir rambutnya. Setelah ia berpakaian, Desi langsung berjalan keluar kamarnya menuju teras rumah. Di luar terlihat Ryan yang sedang berbicara dengan Mike. Mereka terlihat santai, saling bercengkrama.
Desi melihat Ryan yang sedang berdiri dan Mike sedang duduk di kursinya. Mereka sedang menertawakan sesuatu, entah apa itu. Mereka pun memandang Desi yang datang menghampiri.
"Waw... Cantik sekali kau hari ini.", puji Ryan saat melihat Desi yang datang menggunakan kaos santai dan celana yang ukurannya cukup minim. Mike melihat ke arahnya dan pria itu langsung memalingkan wajahnya kembali ke arah Ryan.
"Apa yang kalian bicarakan? Sepertinya kalian cepat akrab.", tanya Desi ingin tahu.
"Pacarmu ini orangnya asik juga, ya. Senang sekali berkenalan dengannya.", kata Ryan
"Ehhh...Apa kau bilang? Pa...", kata Desi
"HEI... Katanya kamu mau kasih dia susunan acara. Cepat ambil. Kasihan Ryan. Dia nunggu lumayan lama, loh.", kata Mike seraya memutus perkataan Desi. Ia memandang Mike dengan pandangan penuh curiga. Desi membalikkan badannya dan masuk ke dalam rumah. Ia mengambil susunan acara itu dari dalam tasnya, lalu memberikannya kepada Ryan.
"Baiklah. Sepertinya aku harus pulang. Sudah malam. Besok kita harus tempur, nih.", kata Ryan sambil memasukkan lembar susunan acara itu ke dalam tasnya.
"Malam, Mike. Senang berkenalan denganmu. Sampai ketemu besok.", kata Ryan.
"Hati-hati, bro. Sampai ketemu besok.", balas Mike.
Desi memperhatikan gaya Mike berbicara dengan Ryan. Sungguh berbeda sekali ketika Mike berbicara dengannya. Desi melambaikan tangannya saat Ryan pergi meninggalkan rumahnya. Mike pun kembali asik dengan ponselnya.
"Apa maksudnya tadi?", tanya Desi kesal.
"Yang mana?", tanya Mike seakan tidak mengerti.
"Itu tadi. Kau bilang padanya kalau kau itu 'pacarku'", jelas Desi.
"Oh. Itu.", jawab Mike singkat. Ia meneguk teh manisnya.
"Apa maksudnya?"
"Menurutmu, kalau aku mengatakan aku bukan pacarmu, apakah aku boleh masuk ke dalam kamarmu dan membangunkanmu saat di bathtub?", tanya Mike santai.
"Ya... tapikan nggak harus ngaku jadi pacar. Kan bisa bilang saudara atau apa gitu.", proters Desi.
"Ahh... sudahlah... tidak usah diperpanjang.", sambut Mike dengan nada malas.
Desi memperhatikan pria itu yang masih saja asik dengan ponselnya. "Trus. Kamu nggak pulang?", tanya Desi.
"Besok mau berangkat jam berapa?", tanya Mike
"Aku berangkat dari sini jam tiga subuh. Karena ada beberapa hal yang masih harus aku cek ulang.", jelas Desi.
"Baiklah. Besok kita akan berangkat jam empat subuh."
"Maksudmu?"
"Ya...besok aku yang akan mengantarmu lagi. Jam empat subuh, kan."
"Trus? Kamu nggak pulang atau gimana? Aku jadi nggak ngerti."
"Kalau kamu nggak ijinin aku nginep di rumahmu, ya aku tinggal tidur di mobil. Tidak masalah bagiku."
"Hah!!! Apa kau sudah gila?"
"Nggak. Kenapa? Lagian seorang wanita tidak baik tinggal di rumah ini sendirian. Kalau ada apa-apa bagaimana? Lagi pula sepertinya kau terlalu lelah. Buktinya tadi kau sampai tertidur saat kau sedang mandi. Bisa-bisanya.", jelas Mike sambil tertawa kecil.
"Hadeh... Kamu itu terlalu horor pemikirannya. Memangnya menurutmu selama aku tinggal di sini sendirian, aku nggak aman gitu?"
"Yap.", jawab Mike singkat sambil asik bermain game di ponselnya.
"Ya sudah! Terserah! Aku lelah berdebat denganmu."
"Good night.", kata Mike tanpa menghiraukan Desi yang kesal.
Desi masuk ke kamarnya. Ia mempersiapkan pakaiannya, yang akan digunakan selama tiga hari di sana, dan memasukkannya ke dalam koper kecil. Dia juga memasukkan peralatan make up-nya serta alat mandinya ke dalam tas kecil.
Setelah semuanya selesai, ia memastikan sekali lagi barang-barangnya agar tak ada yang tertinggal satu pun. Ia meletakkan koper kecilnya tepat di samping pintu kamarnya. Lalu, ia juga membereskan berkas-berkas yang diperlukan untuk acara besok serta laptop dan buku catatannya.
Desi kembali ke dalam kamarnya dan berbaring di atas tempat tidurnya. Beberapa menit ia berbaring di atas tempat tidurnya, namun tak sedikit pun ia merasakan kantuk. Desi memikirkan Mike yang sedang duduk di teras depan. Entah apa yang pria itu inginkan.
Semenjak bertemu dengannya, rasanya pria itu seperti mendominasi kehidupannya. Selalu mengatur dan berusaha berbuat semaunya. Sejenak ia memikirkan Mike. Perasaannya sangat terganggu membayangkan pria itu tidur di dalam mobilnya. Bukankah tidak aman jika tidur di dalam mobil? Pikir Desi berulang-kali.
Setelah setengah jam berkutat dengan pikirannya, akhirnya Desi bangun dari tidurnya dan berjalan keluar dari kamar tidurnya. Ia memperhatikan dari jauh, Mike masih duduk di depan teras. Ah...pria ini memang keras kepala. Pikirnya.
"Masuklah.", kata Desi. Akhirnya ia menyuruh Mike untuk menginap di rumahnya. Dia tidak tega melihat pria itu menyiksa dirinya sendiri hanya karena keangkuhan dan egoisme-nya.
"Kau bisa tidur di sofa tamu. Tapi ingat. Jangan macam-macam, ya!", pesan Desi.
"Baik, Tuan Putri.", jawab Mike.
Lalu mereka pun masuk ke dalam rumah, Desi menutup dan mengunci pintunya.

∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞

Tidak ada komentar: