Rabu, 27 Juli 2016

A HARD CHOICE - PART 5


PART 5

"Akhirnya bisa makan juga.", kata Doni sambil memasukkan sesendok nasi ke dalam mulutnya. Mereka berdua makan siang di sebuah restoran sederhana yang berada tepat di sebelah gedung bertingkat itu. Doni memesan sepiring nasi , seporsi iga bakar dan semangkuk sop iga, sedangkan Desi hanya memesan sepiring nasi beserta sate ayam.
"Maaf, ya. Aku jadi maksa kamu untuk nemenin aku makan siang.", kata Doni sambil mengunyah makanannya.
"Nggak apa-apa, Mas. Kebetulan juga saya belum makan siang. Jadi sekalian saja.", balas Desi sambil menikmati makanannya. Doni tersenyum mendengar jawaban Desi, kemudian ia memasukkan lagi sesendok nasi beserta lauknya ke dalam mulutnya. Hati Doni terasa begitu senang dan berbunga-bunga.
Doni menghabiskan makanannya dengan begitu cepat. Sedangkan Desi masih asik menikmati makanannya. "Wawww... makannya cepat juga, ya.", kata Desi sambil tersenyum melihat Doni yang kekenyangan. Desi meneguk minumannya kemudian memasukkan sesendok makanan lagi ke dalam mulutnya.
"Makanannya enak?", tanya Doni santai
"Enak.", jawab Desi singkat, lalu ia kembali menikmati makanannya.
"Kamu makan sedikit sekali. Diet, ya?", tanya Doni
"Hah? Oh...ini... Nggak kok, saya memang sedikit makannya.", jawab Desi
"Sorry banget nih, aku jadi nggak enak sama kamu. Jangan-jangan nanti pacar kamu marah kalau tahu kita makan berdua.", kata Doni sambil meneguk minumannya.
"Nggak kok. Lagi pula saya nggak punya pacar. Jadi tenang saja.", jawab Desi dengan sopan.
"Oh ya? Masa sih?", tanya Doni memastikan.
"Iya. Ngapain juga saya harus bohong?", jawab Desi. Doni pun tersenyum dan wajahnya begitu ceria.
"Hari ini kamu cantik sekali.", kata Doni menatap mata Desi dengan lembut. Dengan segera Desi memalingkan pandangannya. Wajah Desi merona dengan sendirinya. Ia segera menyudahi makannya dan menghabiskan es teh manisnya.
"Terima kasih.", jawab Desi singkat.
"Aku senang setidaknya kita bisa makan berdua walaupun bukan di restoran yang bagus. Tapi lain kali aku akan mengajak ke tempat yang lebih baik.", kata Doni. Kemudian Doni memanggil seorang pelayan lalu meminta tagihan untuk makanannya.
"Ohh... Nggak apa-apa. Tidak masalah kok untuk saya makan di mana saja.", kata Desi sambil mengeluarkan dompetnya.
"Tunggu.", kata Doni sambil mengeluarkan dompetnya.
"Biar aku saja yang bayar.", kata Doni sambil membayar tagihan lalu memberikannya kepada pelayan.
"Maaf, tapi saya jadi nggak enak kalau begini.", kata Desi sambil memasukkan dompetnya kembali ke dalam tasnya.
Tiba-tiba ponsel Doni berbunyi dan dengan segera dia menjawabnya. "Halo... Ya... Baiklah.", jawab Doni singkat kemudian dia menyudahi pembicaraannya dan memasukkan ponselnya ke dalam kantong celananya.
"Sepertinya kita harus kembali ke kantor. Para manajer sudah menunggu untuk membicarakan acara hari sabtu ini.", kata Doni.
"Baiklah.", jawab Desi. Kemudian mereka pun beranjak dari kursi mereka dan melangkah keluar dari restoran itu.
∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞
Mereka pun tiba di depan meja resepsionis Perusahaan Zyro. Doni meminta Desi untuk menunggunya sebentar, sementara Doni kembali ke meja kerjanya untuk mengambil laptopnya. Setelah beberapa menit menunggu, akhirnya Doni keluar dari balik pintu dan dengan segera mengiring Desi berjalan masuk ke sebuah lorong panjang.
Akhirnya mereka pun tiba di depan pintu, yang jika tidak ada plang nama maka kita tidak mengetahui kalau di balik dinding itu ada sebuah ruangan. Doni menekan tombol intercom dan suara seorang pria keluar dari intercom itu.
"Siapa?", jawab pria di seberang sana.
"Doni, Pak. Dari divisi marketing.", jawab Doni dengan nada formal. Terdengar bunyi klik dan sebuah pintu pun muncul dari balik tembok itu. Mereka berdua pun segera masuk ke dalam ruangan. Di dalam ruangan itu ada sebuah meja, dimana tiga orang yang duduk mengelilingi meja bundar besar itu.
Di sebelah kiri meja bundar itu terdapat barisan lemari buku yang besar. Di dalam lemari itu tersusun dengan rapih berbagai macam buku. Membuat orang yang melihatnya begitu tertarik untuk menghampiri lemari besar itu. Selain itu terdapat juga puluhan, mungkin ratusan map binder yang juga tersusun dengan rapih.
Di sebelah kanan meja bundar itu terdapat sebuah meja kecil, sofa panjang dan sebuah vas bunga yang berisikan bunga tulip segar. Sedangkan di ujung ruangan terdapat sebuah meja kokoh dan besar. Di balik meja itu, seorang pria sedang berdiri dengan tegap sambil berbicara melalui ponselnya. Pria itu berdiri tegap menghadap kaca trasparan yang menampilkan pemandangan kota di luar gedung bertingkat ini.
Doni dan Desi berjalan menuju meja kokoh yang berada di ujung ruangan itu. Mereka sama sekali tidak berkutik, menunggu sampai pria itu menyudahi teleponnya. "Baiklah... OK... Setelah ini anak buah saya akan menuju ke sana....OK.", kata pria itu dan ia pun menyudahi teleponnya. Pria itu membalikkan badannya menghadap Doni dan Desi yang sedang berdiri di hadapannya.
Desi terkejut melihat pria yang saat ini berdiri tepat di seberangnya. Mike Larosky saat ini berdiri tepat di hadapannya, menatapnya dan tersenyum kepadanya. Wajah Desi merona dan tubuhnya terasa kaku. "Selamat siang, Pak. Ini Mba Desi dari Belle Organizer yang akan mengurus gathering kita hari sabtu ini.", kata Doni sambil memperkenalkan Desi kepada Mike.
"OK. Mari kita mulai.", kata Mike. Pria itu berjalan menuju meja bundar besar itu dan langsung duduk di kursinya. Doni dan Desi pun segera duduk saat mereka tiba di kursi kosong yang tersedia. Desi dengan gugup mengeluarkan laptop dan catatannya. Dia sama sekali tidak menyangka bahwa hari ini dia akan meeting dengan jajaran manajer. Bahkan dengan pria yang bernama Mike ini, yang dia tidak tahu apa sebenarnya jabatannya di perusahaan Zyro ini.
Doni langsung menyalakan laptopnya dan menampilkan sebuah gambar ke layar proyektor yang sudah tersedia. Desi pun menyalakan laptopnya.
"Selamat siang untuk para manajer dan Bapak Larosky selaku owner Perusahaan Zyro. Sesuai dengan rencana gathering yang akan kita laksanakan pada hari sabtu ini, maka saya perkenalkan terlebih dahulu salah satu rekan kerja yang akan mengurusi acara gathering ini.", kata Doni memulai meeting nya.
"Perkenalkan ini Mba Desi dari Belle Organizer yang saat ini kita pilih karena dapat rekomendasi dari Bapak Larosky. Seperti yang kemarin saya laporkan kepada Bapak Rudi selaku Manajer Marketing, bahwa saya bersama Mba Desi sudah menyusun dan menentukan beberapa poin penting untuk acara hari sabtu ini.
Namun, karena ada beberapa hal yang ingin dirubah, maka hari ini Bapak Rudi meminta saya untuk mengadakan rapat ulang dengan Mba Desi. Maka dari itu saya akan serahkan sepenuhnya kepada Bapak Rudi, jika ada hal yang ingin ditambahkan.", kata Doni dengan nada formalnya. Kemudian Bapak Rudi mengambil alih meeting itu.
Selama meeting, Mike memperhatikan setiap kata-kata dan detail penjelasan yang diberikan. Wajahnya tampak begitu serius, seakan dia merekam semua dalam pikirannya. Desi mencatat beberapa tambahan detail untuk menu makanan. Selain itu ada perubahan besar dalam susunan acara gatheringnya. Mike meminta bahwa gathering yang seharusnya dilaksanakan di Hotel Oscar yang bertempat di Jakarta, harus di pindahkan ke hotel milik Mike yang berada di Bogor.
Desi begitu terkejut mendengar permintaan yang mendadak seperti ini. Mike menatap ekspresi terkejut Desi dan senyum kecil terlihat di wajahnya. Selain itu, Mike juga meminta agar gathering kali ini dilaksanakan selama tiga hari dua malam. Hal ini dilakukan karena Mike ingin melakukan meeting internal bagi Perusahaan Zyro yang berguna untuk kemajuan dan perkembangan perusahaan.
Entah apa yang ada di pikiran Mike, yang pasti hal ini merupakan kejutan dan tantangan baru bagi Desi. Mike meminta Desi sendiri yang mengurus semuanya, mulai dari awal hingga akhir acara. Wajah Desi mendadak pucat mendengar permintaan itu. Padahal sebelumnya Desi berencana memberikan project ini kepada Maira, sedangkan dia ingin pergi ke taman kota untuk bersantai menikmati akhir minggunya dengan tenang.
Namun semua rencana Desi berantakan dan dia harus mengurus semua acara gathering ini sendirian. Tatapan tajam Mike terasa membakar dirinya, menusuknya dari ujung kepala hingga ke ujung kaki. Rasanya Mike begitu senang melihat kegugupan dan ketakutan Desi yang terpancar begitu jelas di wajahnya.
"Baiklah. Saya rasa cukup sekian dari saya. Apakah ada yang ingin ditambahkan, Pak Larosky?", tanya Pak Rudi dengan nada formal.
"Tidak ada.", jawab Mike singkat.
"Baiklah. Kita sekarang bisa kembali ke meja kita masing-masing. Selamat sore.", ucap Pak Rudi sambil melihat jam tangannya. Tak terasa waktu berlalu begitu cepat dan sekarang sudah pukul empat sore. Desi merapihkan laptop dan buku catatannya dengan cepat, rasanya ia ingin sekali cepat-cepat kabur dari ruangan ini. Pergi menjauh dari Mike dan meminta bantuan secepatnya kepada kedua temannya.
"Oh iya. Saya ingin berbicara sebentar dengan anda.", kata Mike sambil menunjuk ke arah Desi. Gaya dan sikap arogannya terlihat begitu jelas. Desi tersentak saat mendengar kata-kata Mike. Doni melihat ke arah Desi yang terkejut, namun dia tidak bisa berbuat apa-apa.
"Saya? Apakah masih ada yang kurang?", tanya Desi.
"Ada yang ingin saya diskusikan dengan anda. Bisa anda tinggal sebentar?", pinta Mike pada Desi. Pria itu berjalan ke arah mejanya yang besar. Mike duduk di singgasananya dan menyalakan laptopnya. Matanya terpusat pada layar laptopnya sedangkan jemarinya menari-nari di atas keyboard nya.
"Baiklah.", jawab Desi singkat, mencoba untuk terlihat tenang walaupun sebenarnya hati Desi berdegup tidak karuan. Doni beserta para manajer keluar dari ruangan itu dan menghilang di balik pintu. Pintu ruangan itu pun tertutup dan terkunci otomatis. Sedangkan Desi masih duduk terdiam di kursinya dan membiarkan tas laptopnya berada di atas meja bundar.
Desi menunggu dan menunggu. Mereka terdiam beberapa saat, suasana ruangan itu terasa begitu sunyi. Mike masih serius dengan laptopnya sedangkan Desi bingung apa yang harus dia lakukan. Akhirnya Desi mengambil ponselnya dari dalam tasnya dan mencoba mengirimkan pesan kepada kedua temannya. Namun, tanpa di sadari Mike sudah berdiri tegak di depannya.
"WAW! Anda mengagetkan saya.", ucap Desi dengan nada terkejut. Ponselnya hampir saja terjatuh dari tangannya dan jantungnya berdetak semakin kencang. Kehadiran Mike di hadapannya membuat Desi menjadi sangat gugup. Mike menarik kursi yang berada di samping Desi, memutar kursi itu menghadap ke Desi dan duduk tepat di sampingnya. Mike membawa secarik kertas dan meletakkannya di atas meja bundar itu.
Desi tidak bergerak dan menunggu apa yang akan dikatakan oleh Mike. Tangan dan kakinya terasa begitu dingin. Bukan karena suhu ruangan ini yang terasa semakin dingin, tapi karena kegugupan yang dirasakan olehnya membuat dirinya seperti membeku.
"Ini. Saya sudah buat semua rundown acara dan list yang diperlukan untuk acara nanti. Saya tahu kamu masih baru dalam hal mengurus teknis lapangan seperti ini. Jadi, kalau ada kesulitan atau masalah, anda bisa langsung menghubungi saya.", kata Mike sambil mengeluarkan kartu namanya dan meletakkannya di atas secarik kertas itu.
"Anda tidak perlu melakukan ini, Pak Larosky. Saya bisa mengerjakan semuanya.", jawab Desi. Ia berusaha setenang mungkin, mencoba untuk membunyikan ketakutannya.
"Saya ingin membantu anda. Apakah tidak boleh? Apakah anda melarang saya?", tanya Mike dengan nada suara yang menuntut. Desi memalingkan wajahnya dan menatap mata Mike dalam-dalam. Dalam hati Desi terus bertanya-tanya apa yang saat ini ada dalam pikiran pria yang duduk di sampingnya itu.
Desi melihat raut wajah pria tampan itu. Wajah, mata dan bibir yang sempurna. Aromanya wangi dan mempesona. Namun pria ini memiliki aura yang sangat menakutkan. Berada di dekatnya membuat bulu kuduk Desi berdiri. Pesonanya bisa dengan mudah menaklukkan setiap wanita, namun di saat yang bersamaan bisa membunuh dan menghancurkan hati wanita itu.
"Kenapa anda melakukan hal ini?", tanya Desi kebingungan. Desi memutar otaknya dan mencari alasan mengapa pria ini mau merepotkan dirinya mengurusi hal-hal seperti ini. Bukankah karena itu mereka membutuhkan bantuan dari dirinya untuk mengatur gathering ini? Lalu apa gunanya dia jika Mike juga ikut membantunya mempersiapkan ini semua? Pikir Desi.
Kerutan di wajah Desi membuat pria itu tersenyum. Desi semakin tidak mengerti sikap pria ini. "Apakah ada yang lucu?", tanya Desi lagi kepada Mike. Pria itu menatap matanya. Kali ini pandangannya tidak setajam saat mereka meeting. Tatapan Mike kali ini lebih tenang dan sejuk. Tidak ada sedikitpun arogansi ataupun kesombongan yang terpancar di matanya.
"Apakah anda mau menjelaskan apa yang sedang terjadi sekarang? Karena saya sama sekali tidak mengerti apa yang terjadi saat ini. ", tanya Desi lagi.
"Tahu kah kau bahwa dirimu itu sangat menarik?", tanya Mike kepada Desi. Mulut Desi ternganga mendengar pertanyaan yang diucapkan oleh Mike.
"Wajahmu itu benar-benar ekspresif sekali, ya.", kata Mike sambil mendekatkan wajahnya ke depan wajah Desi. Amarah dan rasa kesal kali ini menyelimuti perasaan Desi. Entah apa yang saat ini dipikirkan oleh pria itu, yang pasti ini sudah jauh dari batas profesionalisme-nya.
Dengan cepat Desi menarik kertas dan kartu nama yang ada di atas meja itu dan memasukkannya ke dalam tas. "Meeting sudah selesai. Saatnya saya untuk pulang.", kata Desi dengan nada ketus, lalu beranjak dari kursinya dan menarik tas laptopnya. Tiba-tiba tangan Mike menahan kepergian Desi dan membuat Desi terduduk kembali ke kursinya.
"Hanya saya yang bisa menentukan kapan saat untuk memulai dan berakhir.", kata Mike sambil beranjak berdiri dari kursinya dan berdiri membungkuk tepat di hadapan Desi. Wajah Mike mendekat dan mata mereka saling bertatapan. Mata Mike yang tajam dan dingin menatap mata Desi yang ketakutan. Kedua tangan Mike berada di kanan dan kiri Desi, seakan-akan memenjara Desi di kursinya.
"Biarkan saya pergi atau saya akan teriak.", ancam Desi. Dia mencoba memberanikan dirinya, walaupun ketakutannya terlihat sangat jelas di matanya.
"Teriak saja. Tidak akan ada seorang pun yang mendengar teriakanmu.", kata Mike dengan nada mengejek.
Tangan Desi begitu dingin. Jantungnya berdetak begitu cepat. Dia harus memikirkan bagaimana caranya agar bisa lepas dari Mike. Semakin lama, wajah Mike semakin mendekat. Desi menutup matanya rapat-rapat dan terus berdoa dalam hati.
"Sore Pak Larosky. Ada Nona Claris sedang menunggu Bapak di ruang tunggu.". Tiba-tiba terdengar suara seseorang melalui intercom.
Mike menggeram kesal. Dia memejamkan matanya dan mengatup bibirnya rapat-rapat. Dengan seketika Mike melepaskan gengamannya dari kursi Desi, lalu ia pun berjalan mundur dan terduduk di kursi yang berada di samping Desi.
"Kau sangat beruntung.", kata Mike sambil tersenyum kecil.
"Terserah! Tolong biarkan saya pulang sekarang!", pinta Desi sambil mendekap tasnya erat-erat di dadanya. Wajahnya tertunduk, tidak ingin menatap mata pria itu lagi.
Mike pun beranjak dari kursinya dan berjalan menuju meja besarnya. Lalu ia menekan sebuah tombol yang tersembunyi di bawah mejanya. 'klik'. Pintu itu pun terbuka. "Can't wait to see you again", ucap Mike sambil menyunggingkan senyumnya.
Desi sama sekali tidak menggubris perkataan Mike. Dia langsung beranjak dari kursinya, berjalan keluar dan menghilang di balik pintu. Mike duduk di kursinya sambil menatap pemandangan kota yang berada tepat di belakang mejanya. Permainan ini sangat menyenangkan. Ucapnya dalam hati sambil tersenyum lebar.

∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞

Tidak ada komentar: