Senin, 25 Juli 2016

A HARD CHOICE - PART 1


PART 1

" Aku mencintaimu, Des. Percayalah padaku."

" Aku juga mencintaimu, Steve. "

Steve menatapnya dengan penuh cinta, kemudian memeluknya. Desi menghirup dalam-dalam aroma tubuh Steve saat pria itu memeluknya dengan begitu erat. Desi terbuai dalam pelukan Steve.

Namun, lama kelamaan pelukan Steve semakin merenggang. Desi pun terkejut dan menatap mata pria itu dalam-dalam. "Steve... kenapa?", tanyanya dengan lirih. Steve semakin lama semakin menjauh darinya. Desi mengejar Steve yang berjalan terus menuju sebuah titik.   
Desi terus berlari sambil memanggil nama pria itu. Air matanya mengalir begitu deras. Air mata itu terasa begitu panas di wajahnya. Steve sama sekali tidak mencoba untuk berhenti.

Desi menghentikan langkahnya. Hatinya hancur. Dunianya runtuh. Desi menatap Steve memeluk seorang wanita yang tersenyum begitu bahagia.

Desi tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Steve, pria yang dia cintai, memeluk seorang wanita dengan begitu mesranya dan tidak memperdulikan keberadaan dirinya. "Steve...", panggilnya dengan nada yang begitu pelan. Pria itu pun memalingkan wajahnya dan memandang Desi yang berdiri di seberangnya. Tatapannya kosong, berbeda sekali dengan tatapannya saat pria itu memeluknya.

"Kenapa?", tanyanya lagi. Kali ini dengan nada penuh amarah. Namun Steve hanya tersenyum kepadanya. Wanita yang berada dipelukan pria itu pun terus melingkarkan tangannya di pinggang Steve, seakan tidak ingin kehilangannya.

"Aku mencintai wanita lain. Maafkan aku.", kata Steve dengan singkat lalu mereka berdua pun membalikkan badan dan melangkah pergi meninggalkan Desi yang menangis tersedu. Hatinya hancur berkeping-keping. "STEVE !!!!", teriaknya dalam tangis.

∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞

Desi terbangun dari tidurnya. Perasaannya begitu lelah. Nafasnya terengah-engah. Mimpi buruk itu terus menghantuinya. Sudah tiga tahun kejadian buruk itu menimpanya, namun rasa hancur dan sakit yang dia rasakan tidak pernah hilang. Steve, pria yang begitu dia puja dan dia harapakan, meninggalkannya tepat sebulan sebelum acara pernikahan mereka dilangsungkan.

Keringat menetes di dahinya. Jantungnya berdebar begitu kencang. Sampai saat ini pun, Desi masih memimpikan kejadian itu. Desi memejamkan matanya dan memeluk tubuhnya sendiri dengan begitu eratnya. Air matanya mengalir.

Butuh beberapa menit untuk mengembalikan dirinya ke dunia nyata. Desi menghela nafas panjang dan mengusap air matanya. Aku harus kuat. Katanya dalam hati, mencoba menguatkan dirinya untuk yang kesekian kalinya.

Ia bangkit dari tempat tidurnya dan mencoba untuk berdiri. Desi berjalan menuju pintu kamar kemudian membukanya dengan perlahan. Ditatapnya seluruh ruangan yang ada di hadapannya.

Rumah ini seharusnya menjadi rumah impiannya bersama Steve. Ia membeli rumah ini bersama dengan pria itu. Mereka berdua menabung cukup lama dan akhirnya mereka sanggup membeli rumah impian ini.

Namun semua itu hancur. Steve meninggalkannya dan dengan berat hati Desi harus menerima rumah ini. Keluarga Steve sangat kecewa dengan kelakuan anak mereka dan dengan mudahnya mereka memberikan rumah ini kepada Desi sebagai tanda permohonan maaf.

Desi tidak mau menerima rumah ini begitu saja, tapi ibu Steve memaksa dan memohon kepadanya untuk menerima rumah ini. Namun Desi, dengan penuh amarah dalam hatinya, mengembalikan uang Steve sesuai dengan jumlahnya saat pria itu membeli rumah tersebut.

Sejak kejadian itu, Desi memutuskan untuk membiarkan rumah itu kosong dan tetap tinggal di rumah kedua orang tuanya. Namun, satu tahun sejak kejadian itu berlalu, kedua orang tuanya pun mulai mencoba untuk mengenalkan dirinya kepada beberapa pria.

Pada awalnya, Desi mencoba untuk menolaknya dengan baik-baik. Tapi semakin lama, kedua orang tuanya semakin genjar dan pantang menyerah. Hampir setiap minggu ada satu pria yang datang ke rumah beserta kedua orang tuanya, berusaha untuk diperkenalkan kepadanya. Orang tuanya berharap Desi mau membuka hatinya dan melanjutkan hidup.

Ia mengerti bahwa kedua orang tuanya khawatir padanya. Tapi tindakan ini sama sekali tidak dia butuhkan. Luka ini terlalu dalam. Tidak akan semudah itu untuk mengembalikan dan membuka hatinya kembali untuk pria lain.

Sampai akhirnya Desi memutuskan untuk pindah dari rumah orang tuanya. Dan di sini lah dia. Sendirian. Tanpa pasangan. ALONE.

Desi melangkahkan kakinya menuju dapur dan mengambil gelas kemudian mengisinya dengan air lalu meneguk air tersebut hingga gelas itupun kosong. Desi menatap bayangan dirinya yang terpantul di kaca jendela dapur. Ia begitu hancur. Begitu sakit. Entah sampai kapan dia akan seperti ini.

Langit masih gelap, namun matanya sudah tidak merasakan kantuk. Ia pun melangkah menuju sofa dan membaringkan tubuhnya di sana. Ia menyalakan TV dan menekan tombol remote tanpa tahu apa yang ingin dia tonton. Akhirnya dia pun mematikan TV tersebut dan mencoba untuk memejamkan matanya kembali.

Matanya tertutup namun pikirannya sama sekali tidak bisa berhenti berputar. Desi bangkit dari sofa dan berjalan menuju ruang kerjanya yang berada tepat di samping kamar tidurnya. Ia pun duduk di kursinya dan menyalakan laptopnya. Desi membuka email nya dan membaca satu persatu email yang masuk.

Sebagai seorang wanita mandiri, Desi memutuskan untuk membuka usaha kecil-kecilan. Dia mendirikan usaha sebagai seorang penyelenggara acara atau event organizer bersama dengan kedua sahabatnya. Pekerjaan ini sudah mereka jalani selama enam tahun dan mereka memiliki beberapa klien yang sangat terkenal.

Mereka bertiga memutuskan untuk memindahkan kantor ke rumah Desi daripada harus menyewa ruang kantor. Kedua temannya beranggapan hal ini bagus untuk mereka. Selain menghemat biaya sewa, mereka pun menjadi lebih mudah untuk menjaga Desi.

Desi merupakan seorang yang ulet, lihai dan teliti, maka dari itu dia menjadi seseorang yang selalu mengurusi jadwal dan semua yang berkaitan dengan keuangan. Sedangkan Maira dan Sasha, yang supel dan periang, memiliki keahlian untuk bernegosiasi dengan klien dan mengatur setiap kegiatan di lapangan.

Untuk minggu ini mereka memiliki sekitar dua acara gathering perusahaan. Desi mencatatnya dalam buku catatannya. Kemudian dia membaca lagi beberapa email yang tersisa. Setelah itu, dia mematikan laptop nya.

Tak terasa matahari pun mulai muncul. Saatnya untuk mandi dan mempersiapkan dirinya untuk menjalani hari-harinya yang penuh dengan pekerjaan. Desi berjalan menuju kamar tidurnya, lalu membuka pintu kamar mandinya. Dia menuangkan sabun ke dalam bathtub dan menyalakan kran airnya. Saat air sudah hampir penuh, Desi membenamkan dirinya ke dalam bathtub indah kesayangannya sambil bersantai sejenak.


∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞

Tidak ada komentar: