Selasa, 26 Juli 2016

A HARD CHOICE - PART 2


PART 2

"Pagi cantik.", sapa Maira saat memasuki ruang kerja mereka. Jam menunjukkan pukul sembilan pagi. Sasha, yang masih sibuk dengan touch up-nya, tampak begitu cantik dan menawan. Maira, yang tersenyum gembira, menarik kursinya dan duduk dengan anggunnya sambil menyalakan laptop nya.
"Ada rencana apa kita minggu ini, Des?", tanya Sahsa santai sambil meletakkan make upnya lalu menyalakan laptop nya.
"Ada dua perusahaan yang meminta kita untuk menyelenggarakan gathering minggu ini. Yang pertama untuk hari kamis ini dan yang kedua untuk hari sabtu", jawab Desi sambil membaca buku catatannya.
"Apaa ?? kenapa mepet banget?? ", tanya Sasha. Wajahnya mengerut, membuatnya terlihat seperti bayi kecil yang sedang marah.
"Siapa klien kita kali ini? Apakah yang lama atau yang baru?", tanya Maira. Dia menanggapi hal ini dengan tenang. Ya, untunglah ada Maira yang selalu bisa bersikap tenang dan bijaksana di antara mereka.
"Yang pertama, perusahaan lama. Sedangkan yang satu lagi, perusahaan baru. Sepertinya yang baru ini mendapatkan rekomendasi dari koleganya atau semacamnya. Gue kirim ke email kalian detailnya, ya.", jawab Desi.
Dia mengirimkan email itu kepada kedua temannya. Dan begitu email itu masuk, Maira dan Sasha langsung membacanya.
"Kebiasaan. Perusahaan Dhirgan selalu meminta kita pada detik-detik terakhir.", gerutu Sasha
"Yaahhh. Mau bagaimana lagi? ini memang kerjaan kita, Sha.", balas Maira.
"Tapi Perusahaan Zyro ini dapat rekomendasi dari koleganya, Pak Ryan pemilik Perusahaan Alaska. Jadi kita harus memberikan pelayanan terbaik kita. Jangan sampai mengecewakan.", Kata Desi sambil mengutak-atik anggaran biaya yang akan dia kirimkan kepada masing-masing perusahaan itu.
"Perusahaan Dhirgan ingin mengadakan gathering di Hotel Luxury. Mereka akan mengundang seluruh karyawannya mulai dari jajaran terbawah hingga direksi. Sedangkan Perusahaan Zyro meminta kita untuk meeting hari selasa. Besok. ", jelas Maira sambil membaca kembali emailnya dengan seksama.
Desi melihat perhitungan anggaran yang sedang dia buat untuk perusahaan Dhirgan. Setelah dia hitung ulang dengan seksama, dia langsung meng-email anggaran tersebut kepada kedua temannya. "Budget-nya sudah gue kirim via email. Kalau ada yang kurang, kasih tau ya.", jelas Desi kepada kedua temannya.
Sasha melihat jadwal meeting nya yang tercantum di papan yang berada tepat di belakangnya. "Aduh... besok gue ada meeting sama Pak Dani dari Perusahaan Farmasi.", kata Sasha. Desi sama sekali tidak memperhatikan apa yang di katakan oleh Sasha, dia sibuk mencari informasi tentang Perusahaan Zyro.
"Coba gue telepon dulu ke Zyro, siapa tahu bisa reschedule untuk meetingnya.", kata Maira sambil mengangkat gagang telepon. Desi terlalu asik membaca informasi tentang Perusahaan Zyro. Perusahaan ini memiliki beberapa anak perusahaan dan bergerak dibidang property, keuangan dan saham.
"Terima kasih, pak.", ucap Maira sambil menutup gagang teleponnya. "Gawat, mereka hanya punya waktu besok jam dua siang. Bagaimana ini?", tanya Maira kepada kedua temannya.
"Gue udah pasti nggak bisa, kan lo tau sendiri kalau meeting sama perusahaan farmasi yang satu ini bakalan makan waktu gue hampir seharian.", jawab Sasha.
"Kenapa nggak lo aja, Mar?", tanya Desi santai.
"Lo lupa?", tanya Maira kesal.
"Emang ada apa?", tanya Desi dengan polosnya.
"Besok gue ada meeting terakhir untuk persiapan acara gathering perusahaan Micro. Acaranya minggu depan. Lo lupa? Belum lagi gue harus mempersiapkan keperluan untuk Perusahaan Dhirgan yang akan dilaksanakan hari kamis ini", jawab Maira.
"Issshhhh... gue lupa. Maaf ya. Akhir-akhir ini gue kurang konsentrasi.", kata Desi sambil minta maaf.
"Trus siapa yang ke sana? ", tanya Desi lagi.
"Ya elo lah !", jawab kedua temannya serentak.
Wajah Desi memucat seketika. Ini bukan bidangnya. Bernegosiasi ataupun membicarakan konsep bahkan memberikan ide kepada klien, itu bukanlah bidangnya. "NGGAK MAU!", jawab Desi singkat. Ini sama saja memasukkannya ke dalam kandang singa. Dia bisa mati mendadak saat bertemu dengan klien. Dia sama sekali tidak tahu apa yang harus dia katakan.
"Kenapa?", tanya Sasha sambil mengutak-atik laptopnya.
"Gue nggak ngerti harus ngapain. Kan lo pada tahu kalau gue paling nggak bisa presentasi atau semacamnya.", jawab Desi ketakutan. Maira tersenyum melihat wajah Desi yang memucat.
"Tenang saja. Dengarkan apa yang mereka katakan. Catat semua dan kalau lo punya masukan ide, ya tinggal ngomong aja.", jelas Maira mencoba menenangkan Desi.
"Nggak. Gue pasti nggak bakalan bisa. Ini bukan bidang gue.", jelas Desi lagi.
"Gue yakin lo bisa. Kan lo sendiri yang bilang kalau kita harus kasih yang TERBAIK. Masa lo mau kecewain mereka.", kata Sasha sambil tersenyum kecil.Desi terdiam. Dia menyesal pernah mengatakan hal itu. Maira lalu berjalan ke arahnya dan meletakkan sebuah kertas di atas mejanya.
"Nih. Lo ikutin aja arahan yang gue tulis ini. Gue yakin lo pasti bisa.", kata Maira dengan nadanya yang menenangkan. Desi menarik kertas tersebut. Di kertas itu tertulis 'YANG HARUS DITANYAKAN', lalu ada lagi tertulis 'PERMINTAAN KLIEN' dan yang terakhir tertulis 'CATATAN PENTING'.
Masing-masing dari bagian itu terdapat beberapa point yang harus dia tanyakan kepada klien. Apakah hanya ini yang harus dia lakukan? Pikir Desi dalam hati.
"Apakah kalian yakin gue bisa lakukan ini semua?", tanya Desi. Dia masih meragukan hal ini.
"Pasti bisa.", jawab kedua temannya ini dengan penuh keyakinan. Desi melihat kertas yang dia pegang dan membacanya berkali-kali. Berusaha menanamkan tiap catatan itu ke dalam pikirannya. Desi masih saja tidak tenang.
Walaupun dia bisa memasukkan setiap catatan itu ke dalam pikirannya, tapi Desi merasa tidak percaya diri untuk tampil di depan klien. Ini adalah debut pertamanya. Dia tidak ingin mengecewakan kedua temannya.
∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞
Desi mempersiapkan semuanya. Tidak lupa dia membawa catatan yang Maira berikan kepadanya. Hari ini dia mengenakan sebuah kemeja berwarna biru langit yang berbahan sangat lembut sehingga menempel halus di tubuhnya. Dibalut dengan blazer hitam berlengan panjang dan rok mini yang sewarna dengan blazernya.
Desi terlihat sangat menarik dan mempesona. Rambut hitamnya yang bergelombang dibiarkannya terurai indah. Awalnya Desi ragu untuk mengenakan pakaian ini, namun Desi harus menutupi kekurangannya dalam bernegosiasi dengan kelebihannya dalam penampilan. Dia harus tampak mempesona, walaupun sebenarnya di dalam hatinya dia begitu takut.
Desi melangkahkan kakinya memasuki sebuah gedung yang tinggi dan megah. Dia melangkah dengan penuh keyakinan, tidak ingin menampakkan ketakutannya sama sekali. Ini adalah keahliannya. Menutupi kelemahan dengan sebuah kelebihan.
"Selamat siang.", sapa sang resepsionis cantik yang tersenyum dan berdiri tepat di belakang mejanya.
"Ada yang bisa saya bantu?", ucap resepsionis itu lagi. Desi membalas senyuman resepsionis itu.
"Siang. Saya mau bertemu dengan Pak Doni dari Perusahaan Zyro.", jawab Desi dengan lancar.
Si resepsionis tersebut memberikan sebuah kartu tanda pengenal kepadanya. Di name tag itu tertulis kata 'TAMU' yang besar. "Bisa minta KTP nya, Bu?", pinta si resepsionis dengan sopan. Desi mengeluarkan dompet dan mengambil KTP nya lalu menyerahkannya kepada resepsionis itu. "Perusahaan Zyro berada di lantai sembilan. Silahkan naik dari lift sebelah kanan, Bu.", jelas resepsionis itu kepadanya.
Desi tersenyum kembali kepada resepsionis itu lalu beranjak meninggalkannya dan berjalan menuju lift. Ia menunggu bersama dengan beberapa orang di sana. Tak lama kemudian pintu lift pun terbuka, ia langsung melangkahkan kakinya masuk ke dalam lift.
Di dalam lift, jantung Desi berdegup dengan kencangnya. Dia merasa jantungnya akan keluar menembus dadanya. Ada sekitar delapan orang di dalam lift ini, namun semuanya diam tanpa kata. Wajah Desi sedikit merona, dia malu dan takut menyadari ada yang mendengar degupan jantungnya yang begitu keras.
Perjalanannya menuju lantai sembilan terasa begitu lama dan menyiksa. Lift itu berhenti di lantai tiga, lalu berhenti lagi di lantai lima dan delapan. Saat pintu lift itu terbuka tepat di lantai sembilan, Desi melangkahkan kakinya beranjak keluar dari dalam lift.
Ia bisa merasakan tangannya yang dingin namun berkeringat. Dia melangkahkan kakinya menuju sebuah pintu yang terbuka otomatis. Desi masuk ke ruangan itu dan menghampiri seorang resepsionis yang sedang duduk sambil menerima sebuah telepon.
"Ada yang bisa saya bantu?", tanya resepsionis itu sambil menutup gagang teleponnya.
"Saya mau bertemu dengan Pak Doni. Saya dari Belle Organizer.", ucap Desi dengan lancar. Namun jantungnya terus berdegup dengan kencang.
"Tunggu sebentar ya, Bu.", kata resepsionis itu. Desi memperhatikan setiap sudut ruangan itu. Dia memperhatikan sebuah lukisan pemandangan laut yang begitu mempesona. Lukisan itu sangat menenangkan.
"Silahkan duduk dulu sebentar, Bu. Pak Doni sedang menerima telepon, sebentar lagi beliau akan menemui Ibu.", jelas sang resepsionis.
Desi segera duduk di atas sebuah sofa berwana merah terang yang sangat empuk. Dia mengeluarkan ponselnya dan melihat ke layarnya, tak ada satupun pesan ataupun telepon masuk untuknya. Kemudian dia memasukkan ponselnya kembali ke dalam tasnya dan mengeluarkan kertas yang Maira berikan kepadanya.
Sambil menunggu kedatangan orang yang dia tunggu, Desi membaca-baca kertas itu dengan jantung yang terus berdetak dengan begitu cepat. Apakah aku bisa melakukan ini? Pikirnya dalam hati. Desi terus berdoa dalam hatinya berharap hari ini bisa dia lalui dengan lancar.
Tak lama kemudian seorang pria bertubuh tinggi dan kurus menghampirinya. Wajahnya tampak sangat lelah dan penuh beban. "Maaf telah menunggu lama.", ucap pria itu sambil tersenyum kepada Desi. "Mari ikut dengan saya, Bu. Pak Doni sedang menunggu anda di ruang meeting.", katanya dengan sopan.
Desi langsung beranjak dari sofa empuk itu dan melangkahkan kakinya mengikuti pria tersebut. Desi terus berdoa dalam hatinya sepanjang perjalanannya menuju ruang meeting tersebut. Mereka berjalan melalui sebuah lorong yang berwarna biru langit yang sangat menyejukkan. Wangi lorong itu pun sangat segar, membuat dirinya nyaman dan tidak terlalu gugup.
Mereka pun tiba di depan pintu kaca yang ditutupi oleh wallpaper berbentuk gelombang air. Pria kurus itu membukakan pintu untuknya dan mempersilahkan Desi masuk ke dalam ruangan yang sangat besar.
Di dalam ruangan itu, terdapat seorang pria sedang duduk sambil mengutak-atik laptop nya. Mungkin ini yang namanya Pak Doni, pikir Desi. Pria yang duduk di ujung meja itu pun dengan segera berdiri dari tempatnya dan menghampiri Desi dengan senyum yang sangat ramah. Pria kurus yang mengantarnya langsung menutup pintu itu lalu beranjak pergi dan meninggalkan mereka berdua di dalam ruangan itu.
"Maaf telah membuat anda menunggu.", ucap pria itu sambil menuntun Desi duduk di sebuah kursi yang berada tepat di seberang kursi tempat pria itu duduk. "Tidak apa-apa, Pak. Nama saya Desi. Saya perwakilan dari Belle Organizer.", kata Desi sambil memperkenalkan dirinya. Dia berusaha sebaik mungkin dan sesantai mungkin, mencoba agar tidak menampakkan kegugupannya.
"Saya Doni. Saya salah satu supervisor promosi di perusahan ini.", kata pria itu sambil mempersilahkan Desi duduk dan pria itu pun segera duduk. Pria itu kemudian menyalakan sebuah proyektor dan menampilkan gambar ke layar putih yang berada tepat di hadapan mereka.
"Kita mulai saja ya, Bu.", ucap pria itu.
"Maaf. Panggil saya Desi saja, biar lebih santai bicaranya, Pak.", kata Desi sambil melemparkan senyum indahnya.
"Maaf. Baiklah Mbak Desi. Panggil saya Doni saja, ya.", pinta pria itu sambil membalas senyumnya.
"Maaf sudah menghubungi pihak Mbak Desi secara dadakan. Soalnya gathering ini pun baru dibicarakan oleh pihak internal kami minggu kemarin, Mbak.", kata Doni sambil sibuk dengan laptop nya.
"Tidak apa-apa, Mas. Kami justru senang mendapat permintaan seperti ini. Ini merupakan kehormatan bagi kami.", kata Desi sambil mengeluarkan kertas panduannya dan laptopnya.
"Baiklah. Mari kita mulai saja ya, Mbak.", ucap Doni singkat dan Desi menjawabnya dengan anggukan kepala.
Selama rapat berlangsung, Desi memperhatikan setiap detail yang Doni jelaskan. Dia mencatat sesuai dengan arahan yang diberikan oleh Maira di dalam laptopnya. Semuanya berjalan lancar. Rapat berlangsung sekitar satu setengah jam. Doni menjelaskan semua kebutuhan dan draft susunan acara.
Ini tidak seperti yang dia takuti. Pikirnya dalam hati. "Baiklah, Mba Desi. Sepertinya untuk acara hari sabtu ini saya serahkan semuanya, ya Mba.", kata Doni mengakhiri rapat itu.
"Kami akan berikan yang terbaik, Mas.", balas Desi dengan penuh kepercayaan diri.
Desi merapihkan kertas dan memasukkan laptopnya ke dalam tas. Doni mematikan proyektornya dan menutup laptopnya, kemudian pria itu pun beranjak berdiri. "Jika ada yang kurang jelas, Mbak bisa telepon ke ponsel saya.", kata Doni sambil memberikan kartu namanya yang tercetak begitu mewah.
Terpampang jelas logo perusahaan yang begitu elegan. Namanya tercetak dengan huruf timbul, membuat kartu nama itu terlihat semakin indah. Desi menerimanya lalu memasukkannya ke dalam saku kecil tas nya.
Doni beranjak dari tempatnya dan membukakan pintu kaca itu untuk Desi. Ia pun melenggang dengan penuh percaya diri dan kelegaan yang merasuki dirinya. "Jika ada waktu, kapan saja, mungkin kita bisa makan malam atau minum kopi.", ucap Doni saat mereka berjalan melewati lorong menuju pintu keluar.
Perasaan Desi tiba-tiba tersontak dengan ajakan itu. "Bagaimana, Mbak?", tanya Doni mencoba untuk mendapatkan jawaban. "Hmmm... Nanti saya hubungi, ya Mas.", jawab Desi singkat.
Baginya ini bukanlah saat yang tepat untuk melakukan hal lain selain urusan profesional. Desi pun mencoba sedikit demi sedikit menjaga jarak dengan Doni selama perjalanan. Mereka berdua pun berjalan dalam kesunyian.
Akhirnya mereka pun sampai di depan meja resepsionis. Desi ingin segera keluar dari ruangan itu, masuk ke dalam lift dan pergi menjauh dari gedung itu. Segera mungkin.
"Baiklah. Jika ada sesuatu yang kurang, bisa telepon saya, ya Mbak.", ucap Doni sambil menyodorkan tangannya untuk bersalaman. "Baik, Mas.", jawab Desi singkat sambil menjabat tangan Doni dan dengan segera melepaskan tanganya lagi.
Pintu kaca itu pun terbuka secara otomatis dan dengan segera Desi berjalan menuju pintu lift. Dia menekan tombol yang berada di samping pintu lift, berharap pintu itu segera terbuka. Namun, entah mengapa pintu lift itu tidak terbuka juga.
Jantung Desi kali ini berdegup kencang, bukan karena kegugupannya melainkan karena ketakutannya mendengar ajakan Doni tadi. Dia merasa hati dan perasaannya belum bisa menerima hal-hal romantisme lagi. Trauma ini begitu membekas di dirinya.
'ting'. Pintu lift itu akhirnya terbuka. Desi dengan segera masuk ke dalam lift tersebut tanpa melihat sekitarnya lagi. Ia langsung menekan tombol menuju ke lantai dasar dan pintu lift itu pun segera tertutup.
Degupan jantung Desi berubah menjadi tenang secara perlahan. Musik yang mengalun dalam lift itu membantunya menenangkan diri. Cukup sekali ini aku mau ketemu sama dia. Pikir Desi.
Ia pun mengeluarkan ponselnya dan mengetik pesan kepada kedua temannya. 'semua berjalan lancar. Sampai ketemu besok di kantor, ya girls'. Dia mengirimkan pesan itu lalu memasukkan kembali ponselnya ke dalam tasnya.
Karena terlalu sibuk dengan pikirannya, Desi tidak memperhatikan ternyata dia hanya berdua saja dengan seorang pria di dalam lift itu. Setelah dia memasukkan ponselnya, dia menatap pintu lift yang dilapisi kaca, sehingga dia bisa melihat sosok pria yang berada di sampingnya melalui pantulan cermin tersebut.
Pria ini berdiri dengan begitu gagahnya, tubuhnya tinggi, tegap dan maskulin. Wajahnya menarik dan rambutnya tersisir rapih. Kemeja dan jas yang pria itu kenakan, melekat sempurna di tubuhnya. Salah satu tangan pria itu sedang sibuk dengan ponselnya, sedangkan tangannya yang satu lagi sedang memegang tas kerjanya.
Desi memperhatikan wajah pria itu yang tiba-tiba mengkerut saat menatap ponselnya. Mungkin dia sedang ada masalah, pikir Desi. Ia pun mencoba mencari aktivitas agar tidak terlalu memperhatikan pria yang berdiri di sampingnya itu.
Lalu Desi mengambil kembali ponselnya dan mencoba mencari kesibukan dengan ponselnya. Saat dia sedang asik dengan ponselnya, tiba-tiba pintu lift pun terbuka. Desi melangkahkan kakinya dengan segera tanpa menyadari bahwa pria di sampingnya pun melakukan hal yang sama.
Alhasil, Desi tersungkur ke samping hingga bahunya terantuk ke dinding lift. "Aduh!", rintih Desi kesakitan. Pria itu pun dengan refleks menarik tangan Desi, mencoba menjauhkan Desi dari kerumunan orang yang hendak masuk ke dalam lift.
"Maaf. Saya tidak sengaja. Apakah anda terluka?", ucap pria itu. Suaranya begitu berat dan cara bicaranya begitu formal.
"Nggak ada yang luka, paling cuma memar nanti.", jawab Desi dengan nada kesal menahan sakit.
"Apa ada yang bisa saya lakukan? Mau saya antar ke dokter atau bagaimana?", tanya pria itu lagi.
"Nggak perlu. Dikompres di rumah juga beres.', jawab Desi ketus.
"Anda yakin tidak mau diperiksa dulu sama bagian kesehatan?", tanyanya lagi.
"Aduh, Mas. Tenang aja, nggak apa-apa kok. Saya tuh cuma kedorong, bukan kena tabrak mobil. Udah, ya. Saya buru-buru.", jawab Desi dengan nada kesal sambil meninggalkan pria itu berdiri di depan lift yang memandanginya pergi keluar dari gedung megah tersebut.
∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞


Tidak ada komentar: