PART 2
"Pagi cantik.", sapa
Maira saat memasuki ruang kerja mereka. Jam menunjukkan pukul sembilan pagi.
Sasha, yang masih sibuk dengan touch up-nya,
tampak begitu cantik dan menawan. Maira, yang tersenyum gembira, menarik
kursinya dan duduk dengan anggunnya sambil menyalakan laptop nya.
"Ada rencana apa kita minggu
ini, Des?", tanya Sahsa santai sambil meletakkan make upnya lalu menyalakan laptop nya.
"Ada dua perusahaan yang
meminta kita untuk menyelenggarakan gathering minggu ini. Yang pertama untuk hari
kamis ini dan yang kedua untuk hari sabtu", jawab Desi sambil membaca buku
catatannya.
"Apaa ?? kenapa mepet
banget?? ", tanya Sasha. Wajahnya mengerut, membuatnya terlihat seperti
bayi kecil yang sedang marah.
"Siapa klien kita kali ini?
Apakah yang lama atau yang baru?", tanya Maira. Dia menanggapi hal ini
dengan tenang. Ya, untunglah ada Maira yang selalu bisa bersikap tenang dan
bijaksana di antara mereka.
"Yang pertama, perusahaan
lama. Sedangkan yang satu lagi, perusahaan baru. Sepertinya yang baru ini
mendapatkan rekomendasi dari koleganya atau semacamnya. Gue kirim ke email kalian
detailnya, ya.", jawab Desi.
Dia mengirimkan email itu
kepada kedua temannya. Dan begitu email itu masuk, Maira dan Sasha langsung
membacanya.
"Kebiasaan. Perusahaan
Dhirgan selalu meminta kita pada detik-detik terakhir.", gerutu Sasha
"Yaahhh. Mau bagaimana lagi?
ini memang kerjaan kita, Sha.", balas Maira.
"Tapi Perusahaan Zyro ini
dapat rekomendasi dari koleganya, Pak Ryan pemilik Perusahaan Alaska. Jadi kita
harus memberikan pelayanan terbaik kita. Jangan sampai mengecewakan.", Kata
Desi sambil mengutak-atik anggaran biaya yang akan dia kirimkan kepada
masing-masing perusahaan itu.
"Perusahaan Dhirgan ingin
mengadakan gathering di Hotel Luxury. Mereka akan
mengundang seluruh karyawannya mulai dari jajaran terbawah hingga direksi.
Sedangkan Perusahaan Zyro meminta kita untuk meeting hari selasa. Besok. ", jelas
Maira sambil membaca kembali emailnya
dengan seksama.
Desi melihat perhitungan anggaran
yang sedang dia buat untuk perusahaan Dhirgan. Setelah dia hitung ulang dengan
seksama, dia langsung meng-email anggaran
tersebut kepada kedua temannya. "Budget-nya sudah gue kirim via email. Kalau ada yang
kurang, kasih tau ya.", jelas Desi kepada kedua temannya.
Sasha melihat jadwal meeting nya
yang tercantum di papan yang berada tepat di belakangnya. "Aduh... besok
gue ada meeting sama Pak Dani dari Perusahaan
Farmasi.", kata Sasha. Desi sama sekali tidak memperhatikan apa yang di
katakan oleh Sasha, dia sibuk mencari informasi tentang Perusahaan Zyro.
"Coba gue telepon dulu ke
Zyro, siapa tahu bisa reschedule untuk meetingnya.", kata Maira sambil mengangkat gagang
telepon. Desi terlalu asik membaca informasi tentang Perusahaan Zyro.
Perusahaan ini memiliki beberapa anak perusahaan dan bergerak dibidang
property, keuangan dan saham.
"Terima kasih, pak.",
ucap Maira sambil menutup gagang teleponnya. "Gawat, mereka hanya punya
waktu besok jam dua siang. Bagaimana ini?", tanya Maira kepada kedua
temannya.
"Gue udah pasti nggak bisa,
kan lo tau sendiri kalau meeting sama perusahaan farmasi yang
satu ini bakalan makan waktu gue hampir seharian.", jawab Sasha.
"Kenapa nggak lo aja,
Mar?", tanya Desi santai.
"Lo lupa?", tanya Maira
kesal.
"Emang ada apa?", tanya
Desi dengan polosnya.
"Besok gue ada meeting
terakhir untuk persiapan acara gathering perusahaan Micro. Acaranya minggu
depan. Lo lupa? Belum lagi gue harus mempersiapkan keperluan untuk Perusahaan
Dhirgan yang akan dilaksanakan hari kamis ini", jawab Maira.
"Issshhhh... gue lupa. Maaf
ya. Akhir-akhir ini gue kurang konsentrasi.", kata Desi sambil minta maaf.
"Trus siapa yang ke sana?
", tanya Desi lagi.
"Ya elo lah !", jawab
kedua temannya serentak.
Wajah Desi memucat seketika. Ini
bukan bidangnya. Bernegosiasi ataupun membicarakan konsep bahkan memberikan ide
kepada klien, itu bukanlah bidangnya. "NGGAK MAU!", jawab Desi
singkat. Ini sama saja memasukkannya ke dalam kandang singa. Dia bisa mati
mendadak saat bertemu dengan klien. Dia sama sekali tidak tahu apa yang harus
dia katakan.
"Kenapa?", tanya Sasha
sambil mengutak-atik laptopnya.
"Gue nggak ngerti harus
ngapain. Kan lo pada tahu kalau gue paling nggak bisa presentasi atau
semacamnya.", jawab Desi ketakutan. Maira tersenyum melihat wajah Desi
yang memucat.
"Tenang saja. Dengarkan apa
yang mereka katakan. Catat semua dan kalau lo punya masukan ide, ya tinggal
ngomong aja.", jelas Maira mencoba menenangkan Desi.
"Nggak. Gue pasti nggak
bakalan bisa. Ini bukan bidang gue.", jelas Desi lagi.
"Gue yakin lo bisa. Kan lo
sendiri yang bilang kalau kita harus kasih yang TERBAIK. Masa lo mau kecewain
mereka.", kata Sasha sambil tersenyum kecil.Desi terdiam. Dia menyesal
pernah mengatakan hal itu. Maira lalu berjalan ke arahnya dan meletakkan sebuah
kertas di atas mejanya.
"Nih. Lo ikutin aja arahan
yang gue tulis ini. Gue yakin lo pasti bisa.", kata Maira dengan nadanya
yang menenangkan. Desi menarik kertas tersebut. Di kertas itu tertulis 'YANG HARUS
DITANYAKAN', lalu ada lagi tertulis 'PERMINTAAN KLIEN' dan
yang terakhir tertulis 'CATATAN PENTING'.
Masing-masing dari bagian itu
terdapat beberapa point yang harus dia tanyakan kepada klien. Apakah hanya ini yang harus dia lakukan? Pikir Desi dalam hati.
"Apakah kalian yakin gue bisa
lakukan ini semua?", tanya Desi. Dia masih meragukan hal ini.
"Pasti bisa.", jawab
kedua temannya ini dengan penuh keyakinan. Desi melihat kertas yang dia pegang
dan membacanya berkali-kali. Berusaha menanamkan tiap catatan itu ke dalam
pikirannya. Desi masih saja tidak tenang.
Walaupun dia bisa memasukkan
setiap catatan itu ke dalam pikirannya, tapi Desi merasa tidak percaya diri
untuk tampil di depan klien. Ini adalah debut pertamanya. Dia tidak ingin
mengecewakan kedua temannya.
∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞
Desi mempersiapkan semuanya. Tidak
lupa dia membawa catatan yang Maira berikan kepadanya. Hari ini dia mengenakan
sebuah kemeja berwarna biru langit yang berbahan sangat lembut sehingga
menempel halus di tubuhnya. Dibalut dengan blazer hitam berlengan panjang dan
rok mini yang sewarna dengan blazernya.
Desi terlihat sangat menarik dan
mempesona. Rambut hitamnya yang bergelombang dibiarkannya terurai indah.
Awalnya Desi ragu untuk mengenakan pakaian ini, namun Desi harus menutupi
kekurangannya dalam bernegosiasi dengan kelebihannya dalam penampilan. Dia
harus tampak mempesona, walaupun sebenarnya di dalam hatinya dia begitu takut.
Desi melangkahkan kakinya memasuki
sebuah gedung yang tinggi dan megah. Dia melangkah dengan penuh keyakinan,
tidak ingin menampakkan ketakutannya sama sekali. Ini adalah keahliannya.
Menutupi kelemahan dengan sebuah kelebihan.
"Selamat siang.", sapa
sang resepsionis cantik yang tersenyum dan berdiri tepat di belakang mejanya.
"Ada yang bisa saya
bantu?", ucap resepsionis itu lagi. Desi membalas senyuman resepsionis
itu.
"Siang. Saya mau bertemu
dengan Pak Doni dari Perusahaan Zyro.", jawab Desi dengan lancar.
Si resepsionis tersebut memberikan
sebuah kartu tanda pengenal kepadanya. Di name tag itu tertulis kata 'TAMU' yang besar.
"Bisa minta KTP nya, Bu?", pinta si resepsionis dengan sopan. Desi
mengeluarkan dompet dan mengambil KTP nya lalu menyerahkannya kepada
resepsionis itu. "Perusahaan Zyro berada di lantai sembilan. Silahkan naik
dari lift sebelah kanan, Bu.", jelas resepsionis itu kepadanya.
Desi tersenyum kembali kepada
resepsionis itu lalu beranjak meninggalkannya dan berjalan menuju lift. Ia
menunggu bersama dengan beberapa orang di sana. Tak lama kemudian pintu lift
pun terbuka, ia langsung melangkahkan kakinya masuk ke dalam lift.
Di dalam lift, jantung Desi
berdegup dengan kencangnya. Dia merasa jantungnya akan keluar menembus dadanya.
Ada sekitar delapan orang di dalam lift ini, namun semuanya diam tanpa kata.
Wajah Desi sedikit merona, dia malu dan takut menyadari ada yang mendengar
degupan jantungnya yang begitu keras.
Perjalanannya menuju lantai
sembilan terasa begitu lama dan menyiksa. Lift itu berhenti di lantai tiga,
lalu berhenti lagi di lantai lima dan delapan. Saat pintu lift itu terbuka
tepat di lantai sembilan, Desi melangkahkan kakinya beranjak keluar dari dalam
lift.
Ia bisa merasakan tangannya yang
dingin namun berkeringat. Dia melangkahkan kakinya menuju sebuah pintu yang
terbuka otomatis. Desi masuk ke ruangan itu dan menghampiri seorang resepsionis
yang sedang duduk sambil menerima sebuah telepon.
"Ada yang bisa saya
bantu?", tanya resepsionis itu sambil menutup gagang teleponnya.
"Saya mau bertemu dengan Pak
Doni. Saya dari Belle
Organizer.", ucap Desi dengan lancar. Namun jantungnya terus
berdegup dengan kencang.
"Tunggu sebentar ya,
Bu.", kata resepsionis itu. Desi memperhatikan setiap sudut ruangan itu.
Dia memperhatikan sebuah lukisan pemandangan laut yang begitu mempesona.
Lukisan itu sangat menenangkan.
"Silahkan duduk dulu
sebentar, Bu. Pak Doni sedang menerima telepon, sebentar lagi beliau akan
menemui Ibu.", jelas sang resepsionis.
Desi segera duduk di atas sebuah
sofa berwana merah terang yang sangat empuk. Dia mengeluarkan ponselnya dan
melihat ke layarnya, tak ada satupun pesan ataupun telepon masuk untuknya.
Kemudian dia memasukkan ponselnya kembali ke dalam tasnya dan mengeluarkan
kertas yang Maira berikan kepadanya.
Sambil menunggu kedatangan orang
yang dia tunggu, Desi membaca-baca kertas itu dengan jantung yang terus
berdetak dengan begitu cepat. Apakah aku
bisa melakukan ini? Pikirnya
dalam hati. Desi terus berdoa dalam hatinya berharap hari ini bisa dia lalui
dengan lancar.
Tak lama kemudian seorang pria
bertubuh tinggi dan kurus menghampirinya. Wajahnya tampak sangat lelah dan
penuh beban. "Maaf telah menunggu lama.", ucap pria itu sambil
tersenyum kepada Desi. "Mari ikut dengan saya, Bu. Pak Doni sedang menunggu
anda di ruang meeting.",
katanya dengan sopan.
Desi langsung beranjak dari sofa
empuk itu dan melangkahkan kakinya mengikuti pria tersebut. Desi terus berdoa
dalam hatinya sepanjang perjalanannya menuju ruang meeting tersebut.
Mereka berjalan melalui sebuah lorong yang berwarna biru langit yang sangat
menyejukkan. Wangi lorong itu pun sangat segar, membuat dirinya nyaman dan
tidak terlalu gugup.
Mereka pun tiba di depan pintu
kaca yang ditutupi oleh wallpaper berbentuk gelombang air. Pria kurus
itu membukakan pintu untuknya dan mempersilahkan Desi masuk ke dalam ruangan
yang sangat besar.
Di dalam ruangan itu, terdapat
seorang pria sedang duduk sambil mengutak-atik laptop nya. Mungkin ini yang namanya Pak Doni, pikir Desi. Pria
yang duduk di ujung meja itu pun dengan segera berdiri dari tempatnya dan
menghampiri Desi dengan senyum yang sangat ramah. Pria kurus yang mengantarnya
langsung menutup pintu itu lalu beranjak pergi dan meninggalkan mereka berdua
di dalam ruangan itu.
"Maaf telah membuat anda
menunggu.", ucap pria itu sambil menuntun Desi duduk di sebuah kursi yang
berada tepat di seberang kursi tempat pria itu duduk. "Tidak apa-apa, Pak.
Nama saya Desi. Saya perwakilan dari Belle Organizer.", kata Desi sambil
memperkenalkan dirinya. Dia berusaha sebaik mungkin dan sesantai mungkin,
mencoba agar tidak menampakkan kegugupannya.
"Saya Doni. Saya salah satu
supervisor promosi di perusahan ini.", kata pria itu sambil mempersilahkan
Desi duduk dan pria itu pun segera duduk. Pria itu kemudian menyalakan sebuah proyektor
dan menampilkan gambar ke layar putih yang berada tepat di hadapan mereka.
"Kita mulai saja ya,
Bu.", ucap pria itu.
"Maaf. Panggil saya Desi
saja, biar lebih santai bicaranya, Pak.", kata Desi sambil melemparkan
senyum indahnya.
"Maaf. Baiklah Mbak Desi.
Panggil saya Doni saja, ya.", pinta pria itu sambil membalas senyumnya.
"Maaf sudah menghubungi pihak
Mbak Desi secara dadakan. Soalnya gathering ini pun baru dibicarakan oleh pihak
internal kami minggu kemarin, Mbak.", kata Doni sambil sibuk dengan laptop nya.
"Tidak apa-apa, Mas. Kami
justru senang mendapat permintaan seperti ini. Ini merupakan kehormatan bagi
kami.", kata Desi sambil mengeluarkan kertas panduannya dan laptopnya.
"Baiklah. Mari kita mulai
saja ya, Mbak.", ucap Doni singkat dan Desi menjawabnya dengan anggukan
kepala.
Selama rapat berlangsung, Desi
memperhatikan setiap detail yang Doni jelaskan. Dia mencatat sesuai dengan
arahan yang diberikan oleh Maira di dalam laptopnya.
Semuanya berjalan lancar. Rapat berlangsung sekitar satu setengah jam. Doni
menjelaskan semua kebutuhan dan draft susunan acara.
Ini tidak seperti yang dia takuti. Pikirnya dalam hati. "Baiklah, Mba Desi. Sepertinya untuk
acara hari sabtu ini saya serahkan semuanya, ya Mba.", kata Doni
mengakhiri rapat itu.
"Kami akan berikan yang
terbaik, Mas.", balas Desi dengan penuh kepercayaan diri.
Desi merapihkan kertas dan
memasukkan laptopnya
ke dalam tas. Doni mematikan proyektornya dan menutup laptopnya, kemudian pria itu pun beranjak berdiri.
"Jika ada yang kurang jelas, Mbak bisa telepon ke ponsel saya.", kata
Doni sambil memberikan kartu namanya yang tercetak begitu mewah.
Terpampang jelas logo perusahaan
yang begitu elegan. Namanya tercetak dengan huruf timbul, membuat kartu nama
itu terlihat semakin indah. Desi menerimanya lalu memasukkannya ke dalam saku
kecil tas nya.
Doni beranjak dari tempatnya dan
membukakan pintu kaca itu untuk Desi. Ia pun melenggang dengan penuh percaya
diri dan kelegaan yang merasuki dirinya. "Jika ada waktu, kapan saja,
mungkin kita bisa makan malam atau minum kopi.", ucap Doni saat mereka
berjalan melewati lorong menuju pintu keluar.
Perasaan Desi tiba-tiba tersontak
dengan ajakan itu. "Bagaimana, Mbak?", tanya Doni mencoba untuk
mendapatkan jawaban. "Hmmm... Nanti saya hubungi, ya Mas.", jawab
Desi singkat.
Baginya ini bukanlah saat yang
tepat untuk melakukan hal lain selain urusan profesional. Desi pun mencoba
sedikit demi sedikit menjaga jarak dengan Doni selama perjalanan. Mereka berdua
pun berjalan dalam kesunyian.
Akhirnya mereka pun sampai di
depan meja resepsionis. Desi ingin segera keluar dari ruangan itu, masuk ke
dalam lift dan pergi menjauh dari gedung itu. Segera mungkin.
"Baiklah. Jika ada sesuatu
yang kurang, bisa telepon saya, ya Mbak.", ucap Doni sambil menyodorkan
tangannya untuk bersalaman. "Baik, Mas.", jawab Desi singkat sambil
menjabat tangan Doni dan dengan segera melepaskan tanganya lagi.
Pintu kaca itu pun terbuka secara
otomatis dan dengan segera Desi berjalan menuju pintu lift. Dia menekan tombol
yang berada di samping pintu lift, berharap pintu itu segera terbuka. Namun,
entah mengapa pintu lift itu tidak terbuka juga.
Jantung Desi kali ini berdegup
kencang, bukan karena kegugupannya melainkan karena ketakutannya mendengar
ajakan Doni tadi. Dia merasa hati dan perasaannya belum bisa menerima hal-hal
romantisme lagi. Trauma ini begitu membekas di dirinya.
'ting'. Pintu lift itu
akhirnya terbuka. Desi dengan segera masuk ke dalam lift tersebut tanpa melihat
sekitarnya lagi. Ia langsung menekan tombol menuju ke lantai dasar dan pintu
lift itu pun segera tertutup.
Degupan jantung Desi berubah
menjadi tenang secara perlahan. Musik yang mengalun dalam lift itu membantunya
menenangkan diri. Cukup sekali
ini aku mau ketemu sama dia. Pikir Desi.
Ia pun mengeluarkan ponselnya dan
mengetik pesan kepada kedua temannya. 'semua berjalan lancar. Sampai ketemu besok di kantor, ya girls'.
Dia mengirimkan pesan itu lalu memasukkan kembali ponselnya ke dalam tasnya.
Karena terlalu sibuk dengan
pikirannya, Desi tidak memperhatikan ternyata dia hanya berdua saja dengan
seorang pria di dalam lift itu. Setelah dia memasukkan ponselnya, dia menatap
pintu lift yang dilapisi kaca, sehingga dia bisa melihat sosok pria yang berada
di sampingnya melalui pantulan cermin tersebut.
Pria ini berdiri dengan begitu
gagahnya, tubuhnya tinggi, tegap dan maskulin. Wajahnya menarik dan rambutnya
tersisir rapih. Kemeja dan jas yang pria itu kenakan, melekat sempurna di
tubuhnya. Salah satu tangan pria itu sedang sibuk dengan ponselnya, sedangkan
tangannya yang satu lagi sedang memegang tas kerjanya.
Desi memperhatikan wajah pria itu
yang tiba-tiba mengkerut saat menatap ponselnya. Mungkin dia sedang ada masalah, pikir Desi. Ia pun
mencoba mencari aktivitas agar tidak terlalu memperhatikan pria yang berdiri di
sampingnya itu.
Lalu Desi mengambil kembali
ponselnya dan mencoba mencari kesibukan dengan ponselnya. Saat dia sedang asik
dengan ponselnya, tiba-tiba pintu lift pun terbuka. Desi melangkahkan kakinya
dengan segera tanpa menyadari bahwa pria di sampingnya pun melakukan hal yang
sama.
Alhasil, Desi tersungkur ke
samping hingga bahunya terantuk ke dinding lift. "Aduh!", rintih Desi
kesakitan. Pria itu pun dengan refleks menarik tangan Desi, mencoba
menjauhkan Desi dari kerumunan orang yang hendak masuk ke dalam lift.
"Maaf. Saya tidak sengaja.
Apakah anda terluka?", ucap pria itu. Suaranya begitu berat dan cara
bicaranya begitu formal.
"Nggak ada yang luka, paling
cuma memar nanti.", jawab Desi dengan nada kesal menahan sakit.
"Apa ada yang bisa saya
lakukan? Mau saya antar ke dokter atau bagaimana?", tanya pria itu lagi.
"Nggak perlu. Dikompres di
rumah juga beres.', jawab Desi ketus.
"Anda yakin tidak mau
diperiksa dulu sama bagian kesehatan?", tanyanya lagi.
"Aduh, Mas. Tenang aja, nggak
apa-apa kok. Saya tuh cuma kedorong, bukan kena tabrak mobil. Udah, ya. Saya
buru-buru.", jawab Desi dengan nada kesal sambil meninggalkan pria itu
berdiri di depan lift yang memandanginya pergi keluar dari gedung megah
tersebut.
∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞
Tidak ada komentar:
Posting Komentar