Selasa, 26 Juli 2016

A HARD CHOICE - PART 3


PART 3


Desi membuka pintu mobilnya dan dengan segera keluar lalu menutup pintu mobil itu kembali. Hari sudah sore dan langit di atasnya terlihat begitu gelap. Awan mendung sudah mulai berkumpul dan cahaya kilat ikut menari-nari di langit yang gelap itu.
Ia mengunci pintu mobilnya dan dengan segera berjalan cepat menuju pintu rumahnya. Dia membuka pintu rumah itu dan masuk dengan segera. Desi menyalakan lampu, membuat cahayanya menyinari ruangan itu.
Hari ini dilaluinya dengan lancar, kecuali saat Doni memintanya untuk berkencan dengannya. Jantungnya tiba-tiba tersontak saat ia mengingat kejadian itu. Doni mengajaknya untuk berkencan. Yah, mungkin terlalu cepat baginya untuk menganggap hal itu adalah permintaan kencan. Pikirnya lagi.
Sesampainya di kamar, Desi langsung meletakkan tas nya dan mengeluarkan ponselnya dari dalam tasnya. Dilihatnya layar ponselnya dan kemudian dia mencari nama Maira dalam daftar teleponnya. Saat Desi menemukan nama temannya itu, dia langsung menekan tombol call dan menempelkan ponselnya ke telinganya. Nada sambungnya terdengar beberapa saat hingga akhirnya Maira menjawab teleponnya.
"Hai, say.", jawab Maira. Desi bisa mendengarkan suara Maira yang penuh dengan keceriaan. Terdengar suara riuh di seberang sana. "Bagaimana rapatmu hari ini dengan Perusahaan Zyro?", tanyanya langsung tanpa banyak basa-basi.
"lancar.", jawab Desi singkat. Entah apa yang sedang Maira lakukan, tapi rasanya wanita itu sedang berada di sebuah cafe. Sedang bersenang-senang karena Desi bisa mendengarkan suara beberapa orang yang tertawa kencang di dekat Maira. Desi terdiam cukup lama sambil mendengarkan Maira yang ikut tertawa.
Maira sesaat seperti melupakan bahwa saat ini dia sedang berbicara dengan Desi. Ingin rasanya Desi mengakhiri pembicaraan itu, tapi ia harus menceritakan kejadian hari ini. Ia ingin mendapatkan saran atau mungkin sedikit masukan untuk meyakinkan dirinya bahwa yang dia lakukan adalah suatu kebenaran.
"Oh... Maaf, Des. Gue lagi kumpul sama keluarganya Nico. Biasa, mau ngomongin masalah pernikahan. Gimana tadi di sana?", tanya Maira.
"Lancar. Cuma gue mau ngomong sesuatu.", jawab Desi. Dia pun terdiam sesaat memastikan kalau Maira masih mendengarkan dirinya.
"Ngomongin apa? Apa ada masalah? ", tanya Maira. Sepertinya Maira langsung berjalan menjauh dari keramaian di sana, Desi dapat mendengar suara riuh itu makin lama semakin menjauh. Sekarang Desi hanya bisa mendengarkan keheningan.
"Ada apa, Des?", tanya Maira lagi.
"Begini. Gue nggak tahu apakah yang gue lakukan ini benar atau salah. Cuma gue pikir gue harus cerita sama lo. ", kata Desi dengan cepat, namun terdapat keraguan dalam suaranya.
"Cerita ke gue, Des. Ada apa? ", pinta Maira dengan suaranya yang lembut dan penuh wibawa. Hal inilah yang membuat Desi tidak pernah malu ataupun takut untuk bertanya dan menceritakan kisah hidupnya kepada Maira.
Bagi Desi, Maira sudah seperti kakak baginya. Maira sangat dewasa dan selalu memberikan nasehat kepadanya. Terutama saat kejadian kelam itu menimpanya. Maira yang selalu memberinya kepercayaan diri dan membantunya bangkit dari keterpurukan.
Sedangkan Sasha sangat berbeda. Jiwanya yang bebas dan periang membuatnya terlihat selalu senang seperti hidup tanpa beban. Sasha selalu memberikan keceriaan di saat Steve meninggalkan dirinya. Dia selalu memberikan efek positif dan ceria saat kita berada di dekatnya.
Kedua temannya itu selalu berada di sampingnya. Sekarang Maira sedang mempersiapkan diri untuk pernikahannya dengan Nico. Sedangkan Sasha yang memiliki sifat santai, sampai saat ini dia sama sekali belum berpikiran untuk menikah. Bahkan memiliki kekasih pun dia selalu menolak.
Sasha selalu beralasan bahwa seorang pria bukanlah sesuatu hal yang perlu dipikirkan. Dan baginya pria hanyalah beban dan hambatan bagi dirinya yang berjiwa bebas. NO TIME FOR A MAN. Itulah kata-kata yang selalu dia ucapkan saat orang mengingatkannya untuk memiliki seorang kekasih.
Saat Steve meninggalkan dirinya, Sasha lah yang paling kesal dan benci dengan pria itu. Bahkan Sahsa lah yang terus mencoba menanamkan moto hidupnya kepada Desi. Ingin rasanya Desi melupakan dan lepas dari bayangan masa lalunya. Namun, hingga saat ini bayangan Steve masih saja muncul dalam setiap mimpinya.
Bahkan terkadang Desi masih mengharapkan Steve meneleponnya ataupun mengirimnya pesan. Namun rasanya hal itu mustahil. Desi mendengar kabar dari sasha yang tidak sengaja mengatakan bahwa Steve akan membawa wanita selingkuhannya itu ke jenjang pernikahan.
Hal itu membuat Desi semakin sakit hati dan marah. Semakin membuat Desi terpuruk dan jatuh semakin dalam lagi ke dalam kekecewaan.
"Des. Lo masih di situ?", tanya Maira di seberang sana.
"Maaf. Gue mau cerita. Tapi kayaknya gue ganggu ya?.", ucap Desi tidak enak.
"Nggak. Cerita aja.", pinta Maira singkat.
"Tadi ada pria yang ajak gue kencan. Lebih tepatnya sih dia cuma ngajak gue makan malam atau ngopi atau semacam itulah.", kata Desi.
"Trus? Jangan bilang lo nolak dengan mentah-mentah.", tebak Maira langsung
"Nggak kok. Gue nggak nolak. Tapi gue juga nggak meng-iya-kan.", jawab Desi
"Kenapa nggak lo iya-in aja?", tanya Maira
"Gue nggak bisa, Ra.", jawab Desi langsung
"Nggak bisa atau nggak mau?", tanya Maira menimpali jawaban Desi.
"Gue nggak bisa, Ra. Gue masih nggak berani untuk mencoba hal ini lagi.", jelas Desi. Berharap temannya ini mendukung dirinya.
"Trus mau sampai kapan, Des? Lo harus move on...", tuntut Maira.
"Nggak semudah itu, Ra. Gue nggak tahu harus bagaimana. Gue takut hal itu terjadi lagi, Ra.", jelas Desi kepada sahabatnya itu. Wajah dan pengkhianatan Steve kepadanya pun terlintas lagi dipikirannya. Membuat hatinya sakit bagaikan ditusuk. Matanya mulai berlinangan air mata dan suaranya mulai tersendat karena menahan tangis.
"Gue tahu semua itu nggak mudah, Des. Tapi lo mau sampai kapan seperti ini? Sedangkan si bajingan itu sudah merencanakan hidup bahagia sama wanita lain, kan. Trus kenapa lo masih menutup hati lo untuk pria lain? Kenapa?", tanya Maira semakin menuntut jawaban.
"Gue takut, Ra. Gue takut.", jawab Desi. Suaranya yang tersendat dan tersedu-sedu, tidak dapat menutupi kesedihan yang dia rasakan. Hatinya begitu sakit, air matanya pun menetes dengan sendirinya.
"Gue tahu lo takut untuk memulai lagi. Tapi bukankah itu sudah lama berlalu? Steve sama sekali tidak memikirkan perasaan lo, trus kenapa lo masih memikirkan dia? Gue sama sekali nggak mengerti jalan pikiran lo, Des. Coba kasih ke gue alasan terbaik lo selain lo yang terlalu takut untuk disakiti lagi.", kata Maira.
Desi terdiam sesaat dan mulai memikirkan apa alasan sebenarnya yang membuat dirinya sulit sekali untuk melangkah maju. Perlahan-lahan dia mulai menyadarkan dirinya, membangun kembali kepercayaan dirinya. Desi mulai menarik mundur masa lalunya.
Hubungannya dengan Steve berjalan begitu lancar, tak pernah sedikit pun pria itu menunjukkan sikap yang tidak baik. Pria itu begitu sempurna. Tapi kesempurnaan itu hilang ketika mereka mulai merancanakan pernikahan.
Steve mulai menunjukkan tingkah laku yang sangat berbeda dari biasanya. Pria itu mulai jarang mengabarinya. Setiap dia memintanya untuk bertemu, pria itu selalu saja berkata kalau dia sedang banyak kerjaan. Selalu saja dia mengatasnamakan pekerjaan untuk menghindari Desi.
Sampai akhirnya Desi tak sengaja melihat Steve sedang berjalan di salah satu mall. Desi melihatnya sedang memeluk mesra seorang wanita sambil berdiri tepat di salah satu outlet baju. Steve sama sekali tidak menyadari kehadiran Desi.
Wanita itu begitu cantik. Begitu elegan. Begitu menawan. Hati Desi hancur melihat Steve yang memperlakukan wanita itu dengan begitu lembut dan terlihat sekali bahwa pria itu sangat memujanya. Steve tidak pernah sekalipun melepaskan pandangannya dari wanita itu. Tangan pria itu pun terus membelai rambut wanita itu dan memeluk erat tubuh mungil wanita itu, seakan dia tidak ingin kehilangan wanita itu.
Selama Desi berhubungan dengan Steve, dia sama sekali tidak pernah merasakan hal itu. Steve selalu menganggapnya seorang teman dan sahabat. Selalu memperlakukannya seperti seorang saudara. Dan selalu memandangnya dengan hormat. Bukan dengan tatapan penuh cinta seperti yang pria itu lakukan kepada wanita yang saat ini ada di dalam pelukannya.
Desi memberanikan dirinya untuk menghampiri Steve. Desi memanggil nama pria itu. Steve langsung menengok ke arahnya. Wajahnya pun pucat pasi saat melihat kehadiran Desi. Wanita yang ada di dalam pelukannya pun menatap Desi dengan wajah penuh pertanyaan.
Steve sama sekali tidak mencoba untuk menjelaskan apapun kepada Desi. Bahkan mencoba tersenyum pada Desi bagaikan senyum seorang teman yang baru saja bertemu. Desi dengan segera meninggalkan mereka dan pulang ke rumah orang tuanya.
Sesampainya di rumah orang tuanya, Desi menceritakan kejadian itu kepada orangtuanya. Dengan penuh amarah, ayah Desi menelepon orangtua Steve. Orangtua Steve pun terkejut mendengar berita itu, bahkan sempat tidak percaya dengan cerita Desi. Ibu Steve masuk ruang ICU setelah mendengar kejadian itu. Untungnya berselang beberapa hari ibu Steve bisa pulang ke rumah.
Sampai detik ini pun, Desi tidak tahu apa penyebab Steve melakukan hal itu kepadanya.
"Des... Desi...", panggil Maira.
"Apa lo mau gue datang ke rumah lo sekarang? ", tanya Maira lagi.
"Tidak apa-apa, Ra. Gue baik-baik saja kok.", jawab Desi. Nada suaranya begitu lemah.
"Sudahlah, Des. Lo istirahat aja dulu. Besok kita lanjut cerita lagi.", kata Maira mencoba menenangkan perasaan Desi.
"Baiklah, Ra. Salam buat Nico, ya.", kata Desi
"OK. Bye, Des. ", ucap Maira
"Bye, Ra." Ucap Desi sambil mematikan ponselnya.
Desi meletakkan ponselnya di atas meja riasnya, kemudian dia melangkahkan kakinya menuju kamar mandinya. Desi langsung menyalakan air ke dalam bathtub-nya, lalu menuangkan sedikit sabun ke dalamnya. Kemudian ia melepaskan bajun yang sudah menempel seharian di tubuhnya.
Bathtub pun sudah mulai penuh dengan air dan busa, Desi pun segera masuk ke dalamnya. Ia merasakan kehangatan air menyentuh tubuhnya yang lelah, memberikan ketenangan bagi urat-urat sarafnya yang agak menegang karena kelelahan. Desi berendam sejenak, melepaskan kepenatan yang masih melingkupi dirinya.
Ia memikirkan apa yang sebelumnya Maira katakan. Mungkin memang benar, ini sudah saatnya ia melangkahkan maju dan mencoba membuka hatinya. Mungkin tidak secepat itu juga dia untuk jatuh cinta, namun setidaknya dia mau mecoba berkenalan dan membuka hatinya untuk pria lain.
Aku harus bisa. Aku harus kuat. Kata Desi dalam hatinya. Dia memejamkan matanya sejenak sambil menikmati kehangatan yang menjalar di tubuhnya. Pikiran dan hatinya perlahan – lahan semakin tenang seiring dengan berlalunya waktu.
Tak terasa Desi hampir tertidur dalam bathtubnya. Air dalam bathtub pun sudah mulai terasa dingin. Desi segera berdiri dan melepaskan penyumbat airnya, lalu ia memandangi air itu mengalir hingga akhirnya bathtub nya kosong. Ia pun membilas tubuhnya dengan air bersih, kemudian keluar dari bathtub itu.
Handuk putih, tebal dan halus melilit tubuhnya yang basah. Lalu dia pun beranjak ke depan cermin, kemudian mengambil sikat gigi. Ia mengeluarkan pasta gigi dan menaruhnya di atas sikat giginya yang lembut.
Sambil menyikat giginya, Desi termenung lagi. Dia mencoba untuk semakin membulatkan hatinya untuk mencoba melangkah. Pergi dari masa lalunya. Pergi dari sakit hatinya. Pergi dari bayang-bayang Steve.
Aku yakin aku bisa. Aku harus bisa. Aku pasti bisa. Selamat tinggal masa lalu. Selamat tinggal Steve. Bagaimana pun walau kau telah menyakitiku, di dalam lubuk hatiku aku memang masih mengharapkan dirimu. Tapi hari ini, saat ini. Detik ini. Aku akan mulai melupakanmu. Mulai mencoba untuk menghilangkan bayang-bayangmu dari hidupku. Terima kasih untuk kisah indah yang pernah kau berikan padaku, walaupun kau hancurkan dengan perselingkuhanmu. Terima kasih untuk pengalaman yang tak terlupakan. Terima kasih Steve. Selamat tinggal untuk yang terakhir kalinya.
Desi pun menyudahi kegiatannya dan keluar dari kamar mandi.

∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞

Tidak ada komentar: