PART 3
Desi
membuka pintu mobilnya dan dengan segera keluar lalu menutup pintu mobil itu
kembali. Hari sudah sore dan langit di atasnya terlihat begitu gelap. Awan
mendung sudah mulai berkumpul dan cahaya kilat ikut menari-nari di langit yang
gelap itu.
Ia
mengunci pintu mobilnya dan dengan segera berjalan cepat menuju pintu rumahnya.
Dia membuka pintu rumah itu dan masuk dengan segera. Desi menyalakan lampu,
membuat cahayanya menyinari ruangan itu.
Hari
ini dilaluinya dengan lancar, kecuali saat Doni memintanya untuk berkencan dengannya.
Jantungnya tiba-tiba tersontak saat ia mengingat kejadian itu. Doni mengajaknya
untuk berkencan. Yah, mungkin terlalu cepat baginya untuk menganggap hal itu
adalah permintaan kencan. Pikirnya lagi.
Sesampainya
di kamar, Desi langsung meletakkan tas nya dan mengeluarkan ponselnya dari
dalam tasnya. Dilihatnya layar ponselnya dan kemudian dia mencari nama Maira
dalam daftar teleponnya. Saat Desi menemukan nama temannya itu, dia langsung
menekan tombol call dan menempelkan ponselnya ke
telinganya. Nada sambungnya terdengar beberapa saat hingga akhirnya Maira
menjawab teleponnya.
"Hai,
say.", jawab Maira. Desi bisa mendengarkan suara Maira yang penuh dengan
keceriaan. Terdengar suara riuh di seberang sana. "Bagaimana rapatmu hari
ini dengan Perusahaan Zyro?", tanyanya langsung tanpa banyak basa-basi.
"lancar.",
jawab Desi singkat. Entah apa yang sedang Maira lakukan, tapi rasanya wanita
itu sedang berada di sebuah cafe. Sedang bersenang-senang karena Desi bisa
mendengarkan suara beberapa orang yang tertawa kencang di dekat Maira. Desi
terdiam cukup lama sambil mendengarkan Maira yang ikut tertawa.
Maira
sesaat seperti melupakan bahwa saat ini dia sedang berbicara dengan Desi. Ingin
rasanya Desi mengakhiri pembicaraan itu, tapi ia harus menceritakan kejadian
hari ini. Ia ingin mendapatkan saran atau mungkin sedikit masukan untuk
meyakinkan dirinya bahwa yang dia lakukan adalah suatu kebenaran.
"Oh...
Maaf, Des. Gue lagi kumpul sama keluarganya Nico. Biasa, mau ngomongin masalah
pernikahan. Gimana tadi di sana?", tanya Maira.
"Lancar.
Cuma gue mau ngomong sesuatu.", jawab Desi. Dia pun terdiam sesaat
memastikan kalau Maira masih mendengarkan dirinya.
"Ngomongin
apa? Apa ada masalah? ", tanya Maira. Sepertinya Maira langsung berjalan
menjauh dari keramaian di sana, Desi dapat mendengar suara riuh itu makin lama
semakin menjauh. Sekarang Desi hanya bisa mendengarkan keheningan.
"Ada
apa, Des?", tanya Maira lagi.
"Begini.
Gue nggak tahu apakah yang gue lakukan ini benar atau salah. Cuma gue pikir gue
harus cerita sama lo. ", kata Desi dengan cepat, namun terdapat keraguan
dalam suaranya.
"Cerita
ke gue, Des. Ada apa? ", pinta Maira dengan suaranya yang lembut dan penuh
wibawa. Hal inilah yang membuat Desi tidak pernah malu ataupun takut untuk
bertanya dan menceritakan kisah hidupnya kepada Maira.
Bagi
Desi, Maira sudah seperti kakak baginya. Maira sangat dewasa dan selalu
memberikan nasehat kepadanya. Terutama saat kejadian kelam itu menimpanya.
Maira yang selalu memberinya kepercayaan diri dan membantunya bangkit dari
keterpurukan.
Sedangkan
Sasha sangat berbeda. Jiwanya yang bebas dan periang membuatnya terlihat selalu
senang seperti hidup tanpa beban. Sasha selalu memberikan keceriaan di saat
Steve meninggalkan dirinya. Dia selalu memberikan efek positif dan ceria saat
kita berada di dekatnya.
Kedua
temannya itu selalu berada di sampingnya. Sekarang Maira sedang mempersiapkan
diri untuk pernikahannya dengan Nico. Sedangkan Sasha yang memiliki sifat
santai, sampai saat ini dia sama sekali belum berpikiran untuk menikah. Bahkan
memiliki kekasih pun dia selalu menolak.
Sasha
selalu beralasan bahwa seorang pria bukanlah sesuatu hal yang perlu dipikirkan.
Dan baginya pria hanyalah beban dan hambatan bagi dirinya yang berjiwa bebas. NO TIME FOR A MAN. Itulah kata-kata yang selalu dia
ucapkan saat orang mengingatkannya untuk memiliki seorang kekasih.
Saat
Steve meninggalkan dirinya, Sasha lah yang paling kesal dan benci dengan pria
itu. Bahkan Sahsa lah yang terus mencoba menanamkan moto hidupnya kepada Desi.
Ingin rasanya Desi melupakan dan lepas dari bayangan masa lalunya. Namun,
hingga saat ini bayangan Steve masih saja muncul dalam setiap mimpinya.
Bahkan
terkadang Desi masih mengharapkan Steve meneleponnya ataupun mengirimnya pesan.
Namun rasanya hal itu mustahil. Desi mendengar kabar dari sasha yang tidak
sengaja mengatakan bahwa Steve akan membawa wanita selingkuhannya itu ke
jenjang pernikahan.
Hal
itu membuat Desi semakin sakit hati dan marah. Semakin membuat Desi terpuruk
dan jatuh semakin dalam lagi ke dalam kekecewaan.
"Des.
Lo masih di situ?", tanya Maira di seberang sana.
"Maaf.
Gue mau cerita. Tapi kayaknya gue ganggu ya?.", ucap Desi tidak enak.
"Nggak.
Cerita aja.", pinta Maira singkat.
"Tadi
ada pria yang ajak gue kencan. Lebih tepatnya sih dia cuma ngajak gue makan
malam atau ngopi atau semacam itulah.", kata Desi.
"Trus?
Jangan bilang lo nolak dengan mentah-mentah.", tebak Maira langsung
"Nggak
kok. Gue nggak nolak. Tapi gue juga nggak meng-iya-kan.", jawab Desi
"Kenapa
nggak lo iya-in aja?", tanya Maira
"Gue
nggak bisa, Ra.", jawab Desi langsung
"Nggak
bisa atau nggak mau?", tanya Maira menimpali jawaban Desi.
"Gue
nggak bisa, Ra. Gue masih nggak berani untuk mencoba hal ini lagi.", jelas
Desi. Berharap temannya ini mendukung dirinya.
"Trus
mau sampai kapan, Des? Lo harus move on...",
tuntut Maira.
"Nggak
semudah itu, Ra. Gue nggak tahu harus bagaimana. Gue takut hal itu terjadi
lagi, Ra.", jelas Desi kepada sahabatnya itu. Wajah dan pengkhianatan
Steve kepadanya pun terlintas lagi dipikirannya. Membuat hatinya sakit bagaikan
ditusuk. Matanya mulai berlinangan air mata dan suaranya mulai tersendat karena
menahan tangis.
"Gue
tahu semua itu nggak mudah, Des. Tapi lo mau sampai kapan seperti ini?
Sedangkan si bajingan itu sudah merencanakan hidup bahagia sama wanita lain,
kan. Trus kenapa lo masih menutup hati lo untuk pria lain? Kenapa?", tanya
Maira semakin menuntut jawaban.
"Gue
takut, Ra. Gue takut.", jawab Desi. Suaranya yang tersendat dan
tersedu-sedu, tidak dapat menutupi kesedihan yang dia rasakan. Hatinya begitu
sakit, air matanya pun menetes dengan sendirinya.
"Gue
tahu lo takut untuk memulai lagi. Tapi bukankah itu sudah lama berlalu? Steve
sama sekali tidak memikirkan perasaan lo, trus kenapa lo masih memikirkan dia?
Gue sama sekali nggak mengerti jalan pikiran lo, Des. Coba kasih ke gue alasan
terbaik lo selain lo yang terlalu takut untuk disakiti lagi.", kata Maira.
Desi
terdiam sesaat dan mulai memikirkan apa alasan sebenarnya yang membuat dirinya
sulit sekali untuk melangkah maju. Perlahan-lahan dia mulai menyadarkan
dirinya, membangun kembali kepercayaan dirinya. Desi mulai menarik mundur masa
lalunya.
Hubungannya
dengan Steve berjalan begitu lancar, tak pernah sedikit pun pria itu
menunjukkan sikap yang tidak baik. Pria itu begitu sempurna. Tapi kesempurnaan
itu hilang ketika mereka mulai merancanakan pernikahan.
Steve
mulai menunjukkan tingkah laku yang sangat berbeda dari biasanya. Pria itu
mulai jarang mengabarinya. Setiap dia memintanya untuk bertemu, pria itu selalu
saja berkata kalau dia sedang banyak kerjaan. Selalu saja dia mengatasnamakan
pekerjaan untuk menghindari Desi.
Sampai
akhirnya Desi tak sengaja melihat Steve sedang berjalan di salah satu mall.
Desi melihatnya sedang memeluk mesra seorang wanita sambil berdiri tepat di
salah satu outlet baju. Steve sama sekali tidak menyadari kehadiran Desi.
Wanita
itu begitu cantik. Begitu elegan. Begitu menawan. Hati Desi hancur melihat
Steve yang memperlakukan wanita itu dengan begitu lembut dan terlihat sekali
bahwa pria itu sangat memujanya. Steve tidak pernah sekalipun melepaskan
pandangannya dari wanita itu. Tangan pria itu pun terus membelai rambut wanita
itu dan memeluk erat tubuh mungil wanita itu, seakan dia tidak ingin kehilangan
wanita itu.
Selama
Desi berhubungan dengan Steve, dia sama sekali tidak pernah merasakan hal itu.
Steve selalu menganggapnya seorang teman dan sahabat. Selalu memperlakukannya
seperti seorang saudara. Dan selalu memandangnya dengan hormat. Bukan dengan
tatapan penuh cinta seperti yang pria itu lakukan kepada wanita yang saat ini
ada di dalam pelukannya.
Desi
memberanikan dirinya untuk menghampiri Steve. Desi memanggil nama pria itu.
Steve langsung menengok ke arahnya. Wajahnya pun pucat pasi saat melihat
kehadiran Desi. Wanita yang ada di dalam pelukannya pun menatap Desi dengan
wajah penuh pertanyaan.
Steve
sama sekali tidak mencoba untuk menjelaskan apapun kepada Desi. Bahkan mencoba
tersenyum pada Desi bagaikan senyum seorang teman yang baru saja bertemu. Desi
dengan segera meninggalkan mereka dan pulang ke rumah orang tuanya.
Sesampainya
di rumah orang tuanya, Desi menceritakan kejadian itu kepada orangtuanya.
Dengan penuh amarah, ayah Desi menelepon orangtua Steve. Orangtua Steve pun
terkejut mendengar berita itu, bahkan sempat tidak percaya dengan cerita Desi.
Ibu Steve masuk ruang ICU setelah mendengar kejadian itu. Untungnya berselang
beberapa hari ibu Steve bisa pulang ke rumah.
Sampai
detik ini pun, Desi tidak tahu apa penyebab Steve melakukan hal itu kepadanya.
"Des...
Desi...", panggil Maira.
"Apa
lo mau gue datang ke rumah lo sekarang? ", tanya Maira lagi.
"Tidak
apa-apa, Ra. Gue baik-baik saja kok.", jawab Desi. Nada suaranya begitu
lemah.
"Sudahlah,
Des. Lo istirahat aja dulu. Besok kita lanjut cerita lagi.", kata Maira
mencoba menenangkan perasaan Desi.
"Baiklah,
Ra. Salam buat Nico, ya.", kata Desi
"OK.
Bye, Des. ", ucap Maira
"Bye,
Ra." Ucap Desi sambil mematikan ponselnya.
Desi
meletakkan ponselnya di atas meja riasnya, kemudian dia melangkahkan kakinya
menuju kamar mandinya. Desi langsung menyalakan air ke dalam bathtub-nya, lalu menuangkan sedikit sabun ke
dalamnya. Kemudian ia melepaskan bajun yang sudah menempel seharian di
tubuhnya.
Bathtub pun sudah mulai penuh dengan air
dan busa, Desi pun segera masuk ke dalamnya. Ia merasakan kehangatan air menyentuh
tubuhnya yang lelah, memberikan ketenangan bagi urat-urat sarafnya yang agak
menegang karena kelelahan. Desi berendam sejenak, melepaskan kepenatan yang
masih melingkupi dirinya.
Ia
memikirkan apa yang sebelumnya Maira katakan. Mungkin memang benar, ini sudah
saatnya ia melangkahkan maju dan mencoba membuka hatinya. Mungkin tidak secepat
itu juga dia untuk jatuh cinta, namun setidaknya dia mau mecoba berkenalan dan
membuka hatinya untuk pria lain.
Aku
harus bisa. Aku harus kuat. Kata
Desi dalam hatinya. Dia memejamkan matanya sejenak sambil menikmati kehangatan
yang menjalar di tubuhnya. Pikiran dan hatinya perlahan – lahan semakin tenang
seiring dengan berlalunya waktu.
Tak
terasa Desi hampir tertidur dalam bathtubnya.
Air dalam bathtub pun sudah mulai terasa dingin. Desi
segera berdiri dan melepaskan penyumbat airnya, lalu ia memandangi air itu
mengalir hingga akhirnya bathtub nya kosong. Ia pun membilas
tubuhnya dengan air bersih, kemudian keluar dari bathtub itu.
Handuk
putih, tebal dan halus melilit tubuhnya yang basah. Lalu dia pun beranjak ke
depan cermin, kemudian mengambil sikat gigi. Ia mengeluarkan pasta gigi dan
menaruhnya di atas sikat giginya yang lembut.
Sambil
menyikat giginya, Desi termenung lagi. Dia mencoba untuk semakin membulatkan hatinya
untuk mencoba melangkah. Pergi dari masa lalunya. Pergi dari sakit hatinya.
Pergi dari bayang-bayang Steve.
Aku
yakin aku bisa. Aku harus bisa. Aku pasti bisa. Selamat tinggal masa lalu.
Selamat tinggal Steve. Bagaimana pun walau kau telah menyakitiku, di dalam
lubuk hatiku aku memang masih mengharapkan dirimu. Tapi hari ini, saat ini.
Detik ini. Aku akan mulai melupakanmu. Mulai mencoba untuk menghilangkan
bayang-bayangmu dari hidupku. Terima kasih untuk kisah indah yang pernah kau
berikan padaku, walaupun kau hancurkan dengan perselingkuhanmu. Terima kasih
untuk pengalaman yang tak terlupakan. Terima kasih Steve. Selamat tinggal untuk
yang terakhir kalinya.
Desi
pun menyudahi kegiatannya dan keluar dari kamar mandi.
∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞
Tidak ada komentar:
Posting Komentar