Rabu, 27 Juli 2016

A HARD CHOICE - PART 7


PART 7

Desi duduk di kursi kerjanya, menatap ke layar laptopnya sambil berkoordinasi dengan beberapa orang lapangan yang sudah sering mereka pekerjaan saat mereka melakukan persiapan kegiatan. Ia memasukkan nama dan nomor telepon orang-orang yang dia sudah tempatkan ke dalam bagian kerjanya masing-masing.
Beberapa orang kepercayaan itu selalu membantu mereka dalam pelaksanaan kegiatan. Ia juga membuat checklist agar dia tidak melewatkan sedikit pun bahkan sekecil apapun detail yang mungkin akan terlupakan. Desi teringat akan beberapa pesanan para manager agar ia mempersiapkan setidaknya sepuluh hingga dua puluh merchandise yang akan diberikan kepada karyawan terbaik mereka.
Ia juga harus mencari sebuah televisi, beberapa handphone dan kulkas dua pintu sebagai doorprice untuk hadiah tahunan perusahaan itu kepada karyawannya. Mike meminta agar semua hadiah itu tertata dengan rapih. Untuk seseorang yang angkuh dan sombong, ternyata pria itu sangat menghargai karyawan yang bekerja dengan loyal di perusahaannya.
"Baiklah....Sebentar lagi saya akan berangkat ke toko untuk melihat barangnya....Baik...OK...Trims...", ucap Desi menjawab orang yang sedang berbicara melalui ponselnya. Di ruangan itu hanya dia dan Sasha yang masih sibuk dengan pekerjaannya. Sedangkan Maira masih seibuk mengurusi perusahaan Dhirgan yang akan berlangsung hingga pukul sebelas malam.
"Mau pergi lagi?", tanya Sasha.
"Iya. Gue bener-bener harus kejar-kejaran waktu nih. Gara-gara Mike, semua rencana gue berantakan."
"Kenapa?", tanya Sasha lagi. Desi tidak menjawab pertanyaan itu, namun wajahnya mendadak merona mengingat kejadian di restoran.
"Nggak kenapa-kenapa.", jawab Desi singkat.
"Yakin?", tanya Sasha sedikit menggodanya.
"Iya.... Udah ah.. gue mau pergi dulu. Kalau lo mau pulang, jangan lupa kunci pintunya ya.", pesan Desi pada temannya itu. Sasha tersenyum senang dan melanjutkan pekerjaannya lagi.
∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞
Hari sudah mendekati tengah malam ketika ia selesai mempersiapkan semua keperluan untuk hari sabtu hingga hari senin. Besok ia hanya perlu mengecek hotel dan memasukkan nama ke masing-masing ruang kamarnya. Setelah itu ia hanya perlu mengecek ulang susunan acaranya, meminta persetujuan Mike dan memastikan para pekerja mendekorasi ruangan gathering tertata sesuai arahannya.
Desi berendam dalam bathtub-nya, menenangkan saraf-saraf kakinya yang berteriak kelelahan. Tubuhnya terasa seperti habis berlari seharian. Ia mendengarkan lagu 'lost star' yang mengalun lembut dan menenangkan melalui ipod-nya. Suara merdu Adam levine begitu mendayu dan membuat pikirannya ringan dan bebas.
Terlintas bayangan wajah Mike dan kecupannya tadi siang. Membuatnya berpikir apa yang sebenarnya pria itu inginkan. Desi tahu bahwa Mike adalah seorang pria yang tampan, namun setiap berada di dekatnya terkadang membuatnya takut sekaligus senang.
Waktu berlalu dan tak terasa air dalam bathtub-nya sudah mulai dingin. Ia pun bangkit dan membasuh dirinya dari balutan sabun. Lalu ia mengeringkan dirinya dan masuk ke dalam kamarnya. Desi melihat ke arah jam dindingnya, hampir setengah satu subuh dan dia sama sekali belum beristirahat.
Entah apakah besok ia akan bangun. Mike akan menjemputnya tepat pukul tujuh pagi, jadi setidaknya dia harus bangun jam lima untuk merapihkan rumah dan bersiap-siap. Empat jam lagi dia harus bangun, namun sampai saat ini ia sama sekali tidak merasakan kantuk.
Desi berbaring di atas tempat tidurnya yang empuk dan nyaman. Tubuhnya terasa rileks dan tenang, namun pikirannya tidak bisa berhenti berpikir. Semua bercampur aduk. Kejadian hari ini meyakinkan dirinya bahwa ia belum sepenuhnya siap untuk melangkah maju. Namun jika ia tidak memberanikan diri, sampai kapan ia akan siap? Pikir Desi.
Ia mengambil ponselnya dan mengatur alarm tepat pukul lima subuh. Desi mencoba untuk memejamkan matanya dan tak terasa ia pun terlelap dalam tidurnya.
∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞
Desi terbangun dari tidurnya. Nafasnya terengah-engah. Jantungnya berdegup dengan kencang, bagaikan ribuan kuda berlari di dalamnya. Keningnya berkeringat dan air matanya menetes dengan sendirinya.
Mimpi buruk itu kembali menghantuinya. Desi ingin sekali berteriak, ingin sekali lari. Ingin sekali menemui Steve dan bertanya kepadanya apa yang membuat pria itu meninggalkannya dan berpaling ke wanita lain. Apa yang kurang dari dirinya? Apa salahnya? Pikir Desi berulang-ulang kali.
Jam menunjukkan pukul setengah lima subuh, ia pun terbangun dan tak bisa tidur lagi. Semua pertahanannya runtuh dan hilang dalam sekejap. Kekuatannya dan keyakinan dirinya pun lenyap bagaikan ditiup angin.
Setelah beberapa hari mencoba untuk banngkit, kenapa mimpi itu muncul kembali? Kenapa? Tanya Desi dalam hatinya. Dia mengambil ponselnya dan mematikan alarm yang berbunyi. Ia pun banngkit dari tempat tidur dan keluar dari ruang tidurnya.
Desi menghabiskan waktu dengan membersihkan rumah dan merapihkan data-data untuk keperluan gathering Zyro. Tak terasa matahari mulai menampakkan dirinya. Ia pun masuk ke dalam kamar mandi dan mandi secepat yang ia bisa.
Ia mengenakan celana skinny jeans hitamnya dipadukan dengan kemeja santai berbahan semi jeans berwarna biru terang, serta sepatu heels berwarna hitam. Rambutnya dibiarkan tergerai indah dan ia pun memoleskan make up ringan di wajahnya yang mulus.
Semua berkas dan keperluannya sudah dia masukkan ke dalam tas laptopnya. Tak lupa juga semprotan merica yang ia masukkan ke dalam tas jinjing kecilnya. Semua sudah siap dan ia pun tinggal menunggu kedatangan Mike.
Tak lama kemudian, suara mobil terparkir tepat di depan halamannya. Desi pun keluar dari rumahnya dan tak lupa menguncinya. Ia berjalan ke arah mobil jaguar hitam itu dan supir itu membukakan pintu untuknya. Tanpa pikir panjang ia pun masuk ke dalam mobil itu dan terkejut. Tidak ada siapa pun di dalam mobil itu selain dirinya dan si supir.
"Mana Mike?", tanya Desi singkat kepada supir yang sudah duduk di belakang kemudi.
"Maaf Bu Desi. Pak Larosky masih ada beberapa kepentingan di kediamannya. Sekarang kita akan menuju ke sana untuk menjemput Pak Larosky.", jawab supir itu dengan sopan. Desi tidak menanyakan lebih lanjut, ia hanya ingin melakukan pekerjaannya dengan baik tanpa gangguan.
Desi mengambil ponselnya dan mengabari kedua sahabatnya. Ia pun tidak lupa untuk terus berusaha menenangkan dirinya dan terus berdoa agar dia bisa menjalankan hari ini dengan lancar.
Mobil itu pun akhirnya berhenti di depan gerbang yang sangat besar dan kokoh. Gerbang itu pun terbuka otomatis dan mobil itu pun melaju masuk ke dalamnya. Mereka berjalan melewati barisan pohon yang berada di kanan dan kiri jalan, membuat pemandangan sejuk dan tenang.
Mike berdiri tepat di depan sebuah pintu besar. Postur tubuhnya yang tinggi dan tegap membuatnya terlihat begitu gagah dan menarik. Ia mengenakan celana panjang berwarna putih dengan baju polo shirt yang melekat sempurna di tubuhnya yang atletis. Pria itu mengenakan sepatu kets, yang entah merk apa, tapi terlihat mahal dan sempurna jika pria itu yang mengenakannya. Rambutnya tidak tertata serapih yang seharusnya. Membuatnya terlihat lebih manusiawi.
Pria itu segera masuk saat mobil itu berhenti tepat di hadapannya. Desi memperhatikan penampilan Mike yang begitu santai namun sempurna. Benar-benar seorang casanova sejati. Desi memalingkan pandangannya dari Mike, mencoba untuk tidak tertarik. Tapi matanya tidak bisa berbohong. Pria yang ada di sampingnya itu benar-benar sangat menarik perhatian.
"Kalian terlambat.", kata Mike kesal. Wajah kesalnya terlihat begitu menggemaskan, membuat Desi tidak bisa konsentrasi. Hei...ada apa denganku? Kenapa aku terus memperhatikan dia? Kenapa dengan diriku? Kata Desi dalam hati.
"Jalanan macet. Kalau mau cepat ya pakai pesawat jet.", celetuk Desi berusaha untuk mencairkan suasana.
"Ide bagus.", ucap Mike sambil lalu.
Mereka pun berjalan meninggalkan rumah megah itu menuju ke Hotel Mike yang berada di Bogor. Dalam perjalanan Mike sama sekali tidak berbicara, bahkan bergerak pun tidak. Hal ini membuat Desi sedikit tenang meskipun sebenarnya di dalam hati ia ingin pria itu berbicara. Setidaknya perjalanan ini tidak terasa begitu canggung.
Sekalinya pria itu bergerak, hanya karena ia mengambil ponselnya lalu terlihat seperti ia sedang membalas beberapa pesan masuk. Selain itu ia hanya terdiam, termenung menatap ke luar jendela.
"Kau sakit?", tanya Desi ringan.
"Tidak.", jawab Mike singkat.
"Sepi sekali, ya.", ucap Desi dengan suara yang agak dikecilkan. Mike sama sekali tidak menggubris perkataan Desi. Pikiran pria itu pergi entah kemana. Membuat Desi bosan dan kesal.
Ia pun mengambil permen mint yang ada di dalam tas nya lalu membuka plastik pembungkus permen itu. Kemudian ia memasukkan permen itu ke dalam mulutnya.
"Mau?", tawar Desi pada Mike.
"Tidak.", jawab Mike singkat.
"Kayak ngomong sama burung beo.", celetuk Desi kesal.
"Apa?", tanya Mike
"Nggak...nggak ada apa-apa.", jawab Desi.
Dan mereka pun kembali terdiam. Mobil melaju begitu cepat, jalanan tidak terlalu padat. Tiba-tiba Desi mendengar Mike menghela nafas panjang. Desi memperhatikan tingkah laku Mike, sepertinya saat ini ia memiliki segudang beban dipikirannya.
"Maaf.", ucap Mike tiba-tiba.
"Hah?", tanya Desi heran.
"Maaf. Dari tadi aku tidak menghiraukanmu.", kata Mike sambil menatap wajah Desi
"Oh... nggak masalah.", jawab Desi santai
"Ada satu hal yang sedang mengganjalku hari ini. Semoga kau tidak bosan di mobil ini.", kata Mike
"Nggak kok. Santai saja.", jawab Desi dengan tenang
"Baiklah.", ucap Mike singkat
"OK", timpal Desi lagi
"Sebentar lagi kita sampai. Aku akan meninggalkanmu sendiri untuk mengurusi semuanya, ada hal yang harus aku kerjakan.", jelas Mike. Wajahnya berubah menjadi muram.
"Tidak apa-apa. Aku bisa mengerjakan ini sendiri.", jawab Desi.
"Nanti ada orang kepercayaanku, namanya Alex. Kalau kamu butuh bantuan atau apapun itu, kamu bisa meminta bantuan padanya.", kata Mike. Desi hanya menganggukkan kepalanya dan berharap orang yang bernama Alex ini bisa membantunya.
∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞
Mereka pun tiba di depan pintu hotel yang sangat megah itu. Tak salah rasanya jika mereka mendapatkan bintang lima untuk kemegahan dan keindahan pemandangannya. Desi melangkahkan kakinya dan memperhatikan setiap jengkal interior hotel itu.
Lantainya yang terbuat dari marmer dan lampu hias besar yang tergantung tinggi di langit-langit menambah keanggunan tempat itu. Semua karyawan dan petugas troli berpakaian rapih dan tersenyum ramah. Terlihat seorang pria paruh baya berdiri di depan meja resepsionis. Tubuhnya yang ramping dan wajahnya yang ramah menyambut kedatangan mereka berdua.
"Selamat siang, Tuan Larosky", sapa pria itu.
"Siang, Alex. Ini Desi. Tolong kau bantu setiap keperluannya. Saya ada di ruangan saya jika kalian benar-benar membutuhkan saya.", kata Mike sambil memperkenalkan Desi kepada Alex. Desi menjabat tangan Pak Alex yang hangat dan kasar. Terlihat guratan usia di wajah pria paruh baya itu.
"Mari ikut dengan saya, Bu Desi.", ajak Pak Alex sambil menunjukkan arah.
"Panggil Desi saja, Pak. Lagi pula usia saya jauh di bawah Bapak, kan.", sambut Desi sambil tersenyum. Desi memperhatikan Mike yang pergi menjauh dari mereka. Meninggalkan mereka berdua. Pria itu terlihat aneh hari ini. Tapi hal itu sama sekali bukan urusan Desi. Yang saat ini menjadi tugas utamanya adalah mempersiapkan segala keperluan dan menyusun semua sesuai dengan rencananya.
Desi melangkahkan kakinya dengan ringan sambil tersenyum senang. Akhirnya dia bisa mengerjakan semua ini tanpa gangguan dari Mike. Pikir Desi.
Mereka pun berjalan menuju pintu lift yang sangat indah. Pak Alex menekan tombol ke atas dan mereka pun menunggu pintu lift itu terbuka. Ting. Pintu lift itu pun terbuka dan mereka pun masuk ke dalam lift.
"Bapak sudah lama kerja di sini", tanya Desi iseng ingin tahu.
"Tepatnya mungkin bukan bekerja di sini. Tapi mungkin berapa lama saya bekerja dengan keluarga Larosky.", jawab Pak Alex dengan senyuman bangga.
"Eh... Maksudnya, Bapak sudah lama bekerja dengan keluarga Larosky?", tanya Desi takjub
"Iya, Mba Desi. Saya sudah bekerja dengan keluarga ini kurang lebih sudah enam puluh tahun.", jawabnya
"Waw...Berarti dari sejak Mike masih kecil, Bapak sudah bekerja dengan keluarga ini?", tanya Desi lagi
"Iya, Mba Desi. Bahkan sebelum Tuan Larosky kecil lahir.", jelas Pak Alex.
Desi pun terdiam dan menghitung berapa kemungkinan usia Pak Alex. Pintu lift pun terbuka dan mereka pun keluar dari lift itu. Mereka berjalan di atas karpet berwarna biru langit yang sangat bersih dan lembut. Lorong yang mereka lewati pun terlihat begitu indah.
Cahaya yang terang membuat lorong itu bersinar. Mereka berjalan menuju sebuah ruangan yang berada di ujung lorong. Pintunya terbuat dari kaca besar, yang bisa dilalui oleh lebih dari dua orang sekaligus. Pak Alex membukakan pintu untuk Desi dan mempersilahkannya masuk.
Ruangan itu sangat luas. Terdapat barisan kursi dan meja yang sudah tertata rapih. Desi memperkirakan seluruh karyawan Zyro yang berjumlah hampir dua ratus orang bisa muat di dalam ruangan itu. Dindingnya yang berwarna salem membuat pandangan kita menjadi sejuk.
Desi memperhatikan panggung di depan yang sudah tertata rapih. Semua sudah tersedia dan tersusun sesuai dengan yang dia inginkan. Bagaimana bisa? Pikir Desi.
"Kenapa, Mba Desi?", tanya Pak Alex yang melihat raut bingung Desi.
"Itu...", tunjuk Desi ke arah panggung.
"Oh... Tuan Larosky yang menyuruh saya mempersiapkan semuanya.", jelas Pak Alex
"Lalu buat apa saya ke sini?", tanya Desi kesal sambil berjalan menuju panggung
"Tuan Larosky meminta saya untuk menunjukkan ruangan ini kepada Mba Desi. Jika tidak sesuai dengan keinginan Mba Desi, saya tinggal mengubahnya dan menyuruh seluruh team untuk merombaknya saat ini juga.", jelas Pak Alex.
"Tapi dari mana dia tahu kalau saya ingin yang seperti ini?", tanya Desi lagi
"Maaf, Mba Desi. Semalam Tuan Larosky hanya memberikan instruksi kepada saya dan saya langsung melaksanakannya."
"Tapi....Tapi...Tapi...", kata Desi terpatah-patah. Ia menahan amarahnya. Ia kesal. Buat apa ia ke sini jika semua sudah dipersiapkan oleh Mike? Apakah Mike ingin mempermainkan dia atau mungkin ia meremehkan kemampuannya untuk mengurus semuanya? Pikir Desi.
Desi beranjak keluar dari ruangan itu dengan penuh emosi. Pak Alex mengikutinya dari belakang. Desi menekan tombol lift dengan keras. Dia menekan tombol itu terus menerus, seakan-akan tombol itu tidak berfungsi. Akhirnya pintu lift itu pun terbuka dan mereka pun langsung masuk ke dalam lift.
Pak Alex memperhatikan Desi dengan keheranan. Raut wajah Desi memerah karena menahan amarah. Bahunya naik turun, nafasnya sangat cepat. Emosinya benar-benar meluap kali ini. Mereka pun sampai di lantai dasar. Desi langsung berjalan cepat ke arah resepsionis.
"Permisi. Bisa saya minta daftar tamu untuk hari minggu sampai hari senin?", pinta Desi kepada wanita yang ada di belakang meja resepsionis.
"Maaf, Bu. Tapi itu tidak bisa, karena ini adalah rahasia internal hotel.", jawab wanita itu dengan sopan.
"Berikan sekarang atau saya akan menyuruh Mike ke sini untuk menyuruh anda memberikan daftar itu kepada saya!", perintah Desi. Suaranya meninggi. Wanita itu menatap ke arah Pak Alex dan tak lama kemudian Desi menerima daftar tamunya.
Semua sudah pada tempatnya. Semua sudah terbagi dengan rapih. Semua sama seperti apa yang dia susun. Apa maksud semua ini? Apakah ada yang berbuat curang? Siapa? Apa ini? Tanya Desi dalam hati. Kepalanya berfikir dengan keras. Semua ini baginya tidak masuk akal. Sama sekali tidak masuk akal. Mike hanya manusia biasa, tidak mungkin dia bisa mengetahui semua ini, padahal semuanya dia sendiri yang menyusunnya.
Kepala Desi sangat pusing. Rasanya ia ingin sekali berteriak dan menonjok seseorang. Desi meletakkan daftar tamu itu di atas meja resepsionis. Amarahnya memuncak. Kepalanya terasa berputar. Kakinya sangat lemas dan dingin. Mungkinkah ini mimpi?
Dan Desi pun pingsan.

∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞

Tidak ada komentar: