PART 7
Desi
duduk di kursi kerjanya, menatap ke layar laptopnya sambil berkoordinasi dengan
beberapa orang lapangan yang sudah sering mereka pekerjaan saat mereka
melakukan persiapan kegiatan. Ia memasukkan nama dan nomor telepon orang-orang
yang dia sudah tempatkan ke dalam bagian kerjanya masing-masing.
Beberapa
orang kepercayaan itu selalu membantu mereka dalam pelaksanaan kegiatan. Ia
juga membuat checklist agar dia tidak melewatkan sedikit
pun bahkan sekecil apapun detail yang mungkin akan terlupakan. Desi teringat
akan beberapa pesanan para manager agar ia mempersiapkan setidaknya sepuluh
hingga dua puluh merchandise yang akan diberikan kepada karyawan terbaik
mereka.
Ia
juga harus mencari sebuah televisi, beberapa handphone dan kulkas dua pintu
sebagai doorprice untuk hadiah tahunan perusahaan itu
kepada karyawannya. Mike meminta agar semua hadiah itu tertata dengan rapih.
Untuk seseorang yang angkuh dan sombong, ternyata pria itu sangat menghargai
karyawan yang bekerja dengan loyal di perusahaannya.
"Baiklah....Sebentar
lagi saya akan berangkat ke toko untuk melihat
barangnya....Baik...OK...Trims...", ucap Desi menjawab orang yang sedang
berbicara melalui ponselnya. Di ruangan itu hanya dia dan Sasha yang masih
sibuk dengan pekerjaannya. Sedangkan Maira masih seibuk mengurusi perusahaan
Dhirgan yang akan berlangsung hingga pukul sebelas malam.
"Mau
pergi lagi?", tanya Sasha.
"Iya.
Gue bener-bener harus kejar-kejaran waktu nih. Gara-gara Mike, semua rencana
gue berantakan."
"Kenapa?",
tanya Sasha lagi. Desi tidak menjawab pertanyaan itu, namun wajahnya mendadak
merona mengingat kejadian di restoran.
"Nggak
kenapa-kenapa.", jawab Desi singkat.
"Yakin?",
tanya Sasha sedikit menggodanya.
"Iya....
Udah ah.. gue mau pergi dulu. Kalau lo mau pulang, jangan lupa kunci pintunya
ya.", pesan Desi pada temannya itu. Sasha tersenyum senang dan melanjutkan
pekerjaannya lagi.
∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞
Hari
sudah mendekati tengah malam ketika ia selesai mempersiapkan semua keperluan
untuk hari sabtu hingga hari senin. Besok ia hanya perlu mengecek hotel dan
memasukkan nama ke masing-masing ruang kamarnya. Setelah itu ia hanya perlu
mengecek ulang susunan acaranya, meminta persetujuan Mike dan memastikan para
pekerja mendekorasi ruangan gathering tertata sesuai arahannya.
Desi
berendam dalam bathtub-nya,
menenangkan saraf-saraf kakinya yang berteriak kelelahan. Tubuhnya terasa
seperti habis berlari seharian. Ia mendengarkan lagu 'lost star' yang mengalun lembut dan menenangkan
melalui ipod-nya. Suara
merdu Adam levine begitu mendayu dan membuat pikirannya ringan dan bebas.
Terlintas
bayangan wajah Mike dan kecupannya tadi siang. Membuatnya berpikir apa yang
sebenarnya pria itu inginkan. Desi tahu bahwa Mike adalah seorang pria yang
tampan, namun setiap berada di dekatnya terkadang membuatnya takut sekaligus
senang.
Waktu
berlalu dan tak terasa air dalam bathtub-nya
sudah mulai dingin. Ia pun bangkit dan membasuh dirinya dari balutan sabun. Lalu
ia mengeringkan dirinya dan masuk ke dalam kamarnya. Desi melihat ke arah jam
dindingnya, hampir setengah satu subuh dan dia sama sekali belum beristirahat.
Entah
apakah besok ia akan bangun. Mike akan menjemputnya tepat pukul tujuh pagi,
jadi setidaknya dia harus bangun jam lima untuk merapihkan rumah dan
bersiap-siap. Empat jam lagi dia harus bangun, namun sampai saat ini ia sama
sekali tidak merasakan kantuk.
Desi
berbaring di atas tempat tidurnya yang empuk dan nyaman. Tubuhnya terasa rileks
dan tenang, namun pikirannya tidak bisa berhenti berpikir. Semua bercampur
aduk. Kejadian hari ini meyakinkan dirinya bahwa ia belum sepenuhnya siap untuk
melangkah maju. Namun jika ia tidak memberanikan diri, sampai kapan ia akan
siap? Pikir Desi.
Ia
mengambil ponselnya dan mengatur alarm tepat pukul lima subuh. Desi mencoba
untuk memejamkan matanya dan tak terasa ia pun terlelap dalam tidurnya.
∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞
Desi
terbangun dari tidurnya. Nafasnya terengah-engah. Jantungnya berdegup dengan
kencang, bagaikan ribuan kuda berlari di dalamnya. Keningnya berkeringat dan
air matanya menetes dengan sendirinya.
Mimpi
buruk itu kembali menghantuinya. Desi ingin sekali berteriak, ingin sekali
lari. Ingin sekali menemui Steve dan bertanya kepadanya apa yang membuat pria
itu meninggalkannya dan berpaling ke wanita lain. Apa yang kurang dari dirinya?
Apa salahnya? Pikir Desi berulang-ulang kali.
Jam
menunjukkan pukul setengah lima subuh, ia pun terbangun dan tak bisa tidur
lagi. Semua pertahanannya runtuh dan hilang dalam sekejap. Kekuatannya dan
keyakinan dirinya pun lenyap bagaikan ditiup angin.
Setelah
beberapa hari mencoba untuk banngkit, kenapa mimpi itu muncul kembali? Kenapa? Tanya Desi dalam hatinya. Dia
mengambil ponselnya dan mematikan alarm yang berbunyi. Ia pun banngkit dari
tempat tidur dan keluar dari ruang tidurnya.
Desi
menghabiskan waktu dengan membersihkan rumah dan merapihkan data-data untuk
keperluan gathering Zyro. Tak terasa matahari mulai
menampakkan dirinya. Ia pun masuk ke dalam kamar mandi dan mandi secepat yang
ia bisa.
Ia
mengenakan celana skinny jeans hitamnya dipadukan dengan kemeja
santai berbahan semi jeans berwarna biru terang, serta sepatu heels berwarna hitam. Rambutnya dibiarkan
tergerai indah dan ia pun memoleskan make
up ringan di wajahnya yang
mulus.
Semua
berkas dan keperluannya sudah dia masukkan ke dalam tas laptopnya. Tak lupa
juga semprotan merica yang ia masukkan ke dalam tas jinjing kecilnya. Semua
sudah siap dan ia pun tinggal menunggu kedatangan Mike.
Tak
lama kemudian, suara mobil terparkir tepat di depan halamannya. Desi pun keluar
dari rumahnya dan tak lupa menguncinya. Ia berjalan ke arah mobil jaguar hitam
itu dan supir itu membukakan pintu untuknya. Tanpa pikir panjang ia pun masuk
ke dalam mobil itu dan terkejut. Tidak ada siapa pun di dalam mobil itu selain
dirinya dan si supir.
"Mana
Mike?", tanya Desi singkat kepada supir yang sudah duduk di belakang
kemudi.
"Maaf
Bu Desi. Pak Larosky masih ada beberapa kepentingan di kediamannya. Sekarang
kita akan menuju ke sana untuk menjemput Pak Larosky.", jawab supir itu
dengan sopan. Desi tidak menanyakan lebih lanjut, ia hanya ingin melakukan
pekerjaannya dengan baik tanpa gangguan.
Desi
mengambil ponselnya dan mengabari kedua sahabatnya. Ia pun tidak lupa untuk
terus berusaha menenangkan dirinya dan terus berdoa agar dia bisa menjalankan
hari ini dengan lancar.
Mobil
itu pun akhirnya berhenti di depan gerbang yang sangat besar dan kokoh. Gerbang
itu pun terbuka otomatis dan mobil itu pun melaju masuk ke dalamnya. Mereka
berjalan melewati barisan pohon yang berada di kanan dan kiri jalan, membuat
pemandangan sejuk dan tenang.
Mike
berdiri tepat di depan sebuah pintu besar. Postur tubuhnya yang tinggi dan
tegap membuatnya terlihat begitu gagah dan menarik. Ia mengenakan celana
panjang berwarna putih dengan baju polo
shirt yang melekat sempurna
di tubuhnya yang atletis. Pria itu mengenakan sepatu kets, yang entah merk apa,
tapi terlihat mahal dan sempurna jika pria itu yang mengenakannya. Rambutnya
tidak tertata serapih yang seharusnya. Membuatnya terlihat lebih manusiawi.
Pria
itu segera masuk saat mobil itu berhenti tepat di hadapannya. Desi
memperhatikan penampilan Mike yang begitu santai namun sempurna. Benar-benar
seorang casanova sejati. Desi memalingkan pandangannya
dari Mike, mencoba untuk tidak tertarik. Tapi matanya tidak bisa berbohong.
Pria yang ada di sampingnya itu benar-benar sangat menarik perhatian.
"Kalian
terlambat.", kata Mike kesal. Wajah kesalnya terlihat begitu menggemaskan,
membuat Desi tidak bisa konsentrasi. Hei...ada
apa denganku? Kenapa aku terus memperhatikan dia? Kenapa dengan diriku? Kata Desi dalam hati.
"Jalanan
macet. Kalau mau cepat ya pakai pesawat jet.", celetuk Desi berusaha untuk
mencairkan suasana.
"Ide
bagus.", ucap Mike sambil lalu.
Mereka
pun berjalan meninggalkan rumah megah itu menuju ke Hotel Mike yang berada di
Bogor. Dalam perjalanan Mike sama sekali tidak berbicara, bahkan bergerak pun
tidak. Hal ini membuat Desi sedikit tenang meskipun sebenarnya di dalam hati ia
ingin pria itu berbicara. Setidaknya perjalanan ini tidak terasa begitu
canggung.
Sekalinya
pria itu bergerak, hanya karena ia mengambil ponselnya lalu terlihat seperti ia
sedang membalas beberapa pesan masuk. Selain itu ia hanya terdiam, termenung
menatap ke luar jendela.
"Kau
sakit?", tanya Desi ringan.
"Tidak.",
jawab Mike singkat.
"Sepi
sekali, ya.", ucap Desi dengan suara yang agak dikecilkan. Mike sama
sekali tidak menggubris perkataan Desi. Pikiran pria itu pergi entah kemana.
Membuat Desi bosan dan kesal.
Ia
pun mengambil permen mint yang ada di dalam tas nya lalu membuka plastik
pembungkus permen itu. Kemudian ia memasukkan permen itu ke dalam mulutnya.
"Mau?",
tawar Desi pada Mike.
"Tidak.",
jawab Mike singkat.
"Kayak
ngomong sama burung beo.", celetuk Desi kesal.
"Apa?",
tanya Mike
"Nggak...nggak
ada apa-apa.", jawab Desi.
Dan
mereka pun kembali terdiam. Mobil melaju begitu cepat, jalanan tidak terlalu
padat. Tiba-tiba Desi mendengar Mike menghela nafas panjang. Desi memperhatikan
tingkah laku Mike, sepertinya saat ini ia memiliki segudang beban dipikirannya.
"Maaf.",
ucap Mike tiba-tiba.
"Hah?",
tanya Desi heran.
"Maaf.
Dari tadi aku tidak menghiraukanmu.", kata Mike sambil menatap wajah Desi
"Oh...
nggak masalah.", jawab Desi santai
"Ada
satu hal yang sedang mengganjalku hari ini. Semoga kau tidak bosan di mobil
ini.", kata Mike
"Nggak
kok. Santai saja.", jawab Desi dengan tenang
"Baiklah.",
ucap Mike singkat
"OK",
timpal Desi lagi
"Sebentar
lagi kita sampai. Aku akan meninggalkanmu sendiri untuk mengurusi semuanya, ada
hal yang harus aku kerjakan.", jelas Mike. Wajahnya berubah menjadi muram.
"Tidak
apa-apa. Aku bisa mengerjakan ini sendiri.", jawab Desi.
"Nanti
ada orang kepercayaanku, namanya Alex. Kalau kamu butuh bantuan atau apapun
itu, kamu bisa meminta bantuan padanya.", kata Mike. Desi hanya
menganggukkan kepalanya dan berharap orang yang bernama Alex ini bisa
membantunya.
∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞
Mereka
pun tiba di depan pintu hotel yang sangat megah itu. Tak salah rasanya jika
mereka mendapatkan bintang lima untuk kemegahan dan keindahan pemandangannya.
Desi melangkahkan kakinya dan memperhatikan setiap jengkal interior hotel itu.
Lantainya
yang terbuat dari marmer dan lampu hias besar yang tergantung tinggi di
langit-langit menambah keanggunan tempat itu. Semua karyawan dan petugas troli
berpakaian rapih dan tersenyum ramah. Terlihat seorang pria paruh baya berdiri
di depan meja resepsionis. Tubuhnya yang ramping dan wajahnya yang ramah
menyambut kedatangan mereka berdua.
"Selamat
siang, Tuan Larosky", sapa pria itu.
"Siang,
Alex. Ini Desi. Tolong kau bantu setiap keperluannya. Saya ada di ruangan saya
jika kalian benar-benar membutuhkan saya.", kata Mike sambil memperkenalkan
Desi kepada Alex. Desi menjabat tangan Pak Alex yang hangat dan kasar. Terlihat
guratan usia di wajah pria paruh baya itu.
"Mari
ikut dengan saya, Bu Desi.", ajak Pak Alex sambil menunjukkan arah.
"Panggil
Desi saja, Pak. Lagi pula usia saya jauh di bawah Bapak, kan.", sambut
Desi sambil tersenyum. Desi memperhatikan Mike yang pergi menjauh dari mereka.
Meninggalkan mereka berdua. Pria itu terlihat aneh hari ini. Tapi hal itu sama
sekali bukan urusan Desi. Yang saat ini menjadi tugas utamanya adalah mempersiapkan
segala keperluan dan menyusun semua sesuai dengan rencananya.
Desi
melangkahkan kakinya dengan ringan sambil tersenyum senang. Akhirnya dia bisa
mengerjakan semua ini tanpa gangguan dari Mike. Pikir Desi.
Mereka
pun berjalan menuju pintu lift yang sangat indah. Pak Alex menekan tombol ke
atas dan mereka pun menunggu pintu lift itu terbuka. Ting. Pintu lift itu pun
terbuka dan mereka pun masuk ke dalam lift.
"Bapak
sudah lama kerja di sini", tanya Desi iseng ingin tahu.
"Tepatnya
mungkin bukan bekerja di sini. Tapi mungkin berapa lama saya bekerja dengan
keluarga Larosky.", jawab Pak Alex dengan senyuman bangga.
"Eh...
Maksudnya, Bapak sudah lama bekerja dengan keluarga Larosky?", tanya Desi
takjub
"Iya,
Mba Desi. Saya sudah bekerja dengan keluarga ini kurang lebih sudah enam puluh
tahun.", jawabnya
"Waw...Berarti
dari sejak Mike masih kecil, Bapak sudah bekerja dengan keluarga ini?",
tanya Desi lagi
"Iya,
Mba Desi. Bahkan sebelum Tuan Larosky kecil lahir.", jelas Pak Alex.
Desi
pun terdiam dan menghitung berapa kemungkinan usia Pak Alex. Pintu lift pun
terbuka dan mereka pun keluar dari lift itu. Mereka berjalan di atas karpet
berwarna biru langit yang sangat bersih dan lembut. Lorong yang mereka lewati
pun terlihat begitu indah.
Cahaya
yang terang membuat lorong itu bersinar. Mereka berjalan menuju sebuah ruangan
yang berada di ujung lorong. Pintunya terbuat dari kaca besar, yang bisa
dilalui oleh lebih dari dua orang sekaligus. Pak Alex membukakan pintu untuk
Desi dan mempersilahkannya masuk.
Ruangan
itu sangat luas. Terdapat barisan kursi dan meja yang sudah tertata rapih. Desi
memperkirakan seluruh karyawan Zyro yang berjumlah hampir dua ratus orang bisa
muat di dalam ruangan itu. Dindingnya yang berwarna salem membuat pandangan
kita menjadi sejuk.
Desi
memperhatikan panggung di depan yang sudah tertata rapih. Semua sudah tersedia
dan tersusun sesuai dengan yang dia inginkan. Bagaimana bisa? Pikir Desi.
"Kenapa,
Mba Desi?", tanya Pak Alex yang melihat raut bingung Desi.
"Itu...",
tunjuk Desi ke arah panggung.
"Oh...
Tuan Larosky yang menyuruh saya mempersiapkan semuanya.", jelas Pak Alex
"Lalu
buat apa saya ke sini?", tanya Desi kesal sambil berjalan menuju panggung
"Tuan
Larosky meminta saya untuk menunjukkan ruangan ini kepada Mba Desi. Jika tidak
sesuai dengan keinginan Mba Desi, saya tinggal mengubahnya dan menyuruh seluruh
team untuk merombaknya saat ini juga.", jelas Pak Alex.
"Tapi
dari mana dia tahu kalau saya ingin yang seperti ini?", tanya Desi lagi
"Maaf,
Mba Desi. Semalam Tuan Larosky hanya memberikan instruksi kepada saya dan saya
langsung melaksanakannya."
"Tapi....Tapi...Tapi...",
kata Desi terpatah-patah. Ia menahan amarahnya. Ia kesal. Buat apa ia ke sini
jika semua sudah dipersiapkan oleh Mike? Apakah Mike ingin mempermainkan dia
atau mungkin ia meremehkan kemampuannya untuk mengurus semuanya? Pikir Desi.
Desi
beranjak keluar dari ruangan itu dengan penuh emosi. Pak Alex mengikutinya dari
belakang. Desi menekan tombol lift dengan keras. Dia menekan tombol itu terus
menerus, seakan-akan tombol itu tidak berfungsi. Akhirnya pintu lift itu pun
terbuka dan mereka pun langsung masuk ke dalam lift.
Pak
Alex memperhatikan Desi dengan keheranan. Raut wajah Desi memerah karena
menahan amarah. Bahunya naik turun, nafasnya sangat cepat. Emosinya benar-benar
meluap kali ini. Mereka pun sampai di lantai dasar. Desi langsung berjalan
cepat ke arah resepsionis.
"Permisi.
Bisa saya minta daftar tamu untuk hari minggu sampai hari senin?", pinta
Desi kepada wanita yang ada di belakang meja resepsionis.
"Maaf,
Bu. Tapi itu tidak bisa, karena ini adalah rahasia internal hotel.", jawab
wanita itu dengan sopan.
"Berikan
sekarang atau saya akan menyuruh Mike ke sini untuk menyuruh anda memberikan
daftar itu kepada saya!", perintah Desi. Suaranya meninggi. Wanita itu
menatap ke arah Pak Alex dan tak lama kemudian Desi menerima daftar tamunya.
Semua
sudah pada tempatnya. Semua sudah terbagi dengan rapih. Semua sama seperti apa
yang dia susun. Apa maksud semua ini? Apakah ada yang berbuat curang? Siapa?
Apa ini? Tanya Desi dalam hati. Kepalanya berfikir dengan keras. Semua ini
baginya tidak masuk akal. Sama sekali tidak masuk akal. Mike hanya manusia
biasa, tidak mungkin dia bisa mengetahui semua ini, padahal semuanya dia
sendiri yang menyusunnya.
Kepala
Desi sangat pusing. Rasanya ia ingin sekali berteriak dan menonjok seseorang.
Desi meletakkan daftar tamu itu di atas meja resepsionis. Amarahnya memuncak.
Kepalanya terasa berputar. Kakinya sangat lemas dan dingin. Mungkinkah ini
mimpi?
Dan
Desi pun pingsan.
∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞
Tidak ada komentar:
Posting Komentar