Rabu, 27 Juli 2016

A HARD CHOICE - PART 6


PART 6

Hari begitu larut malam, Desi terjebak dalam kemacetan Jakarta yang begitu menyita waktunya. Desi ingin sekali menumpahkan kekesalannya. Ia membanting tasnya ke atas tempat tidurnya dan merebahkan tubuhnya. Tubuhnya terasa begitu lelah, perasaannya campur aduk.
Tangannya meraba tasnya, mencoba mengambil ponsel yang ada di dalamnya. Dia harus menelepon Maira dan Sasha untuk meminta bantuan. Desi langsung mencari nama Maira di ponselnya. Ia berulang kali mencoba untuk menghubungi temannya, namun tidak ada jawaban. Kemudian dia mencoba menghubungi Sasha. Nada sambung terus mengalun di telinganya. Cukup lama ia menunggu dan akhirnya nada sambung itu pun berhenti.
Ia mencoba menghubungi Sasha lagi, namun temannya yang satu itu sama sekali tidak menjawab teleponnya. Hingga akhirnya dia mencoba untuk yang ketiga kalinya dan akhirnya Sasha menjawab teleponnya.
"Halo, Des.", jawab Sasha
"Hai, Sha. Sorry gue telepon. Lo lagi sibuk nggak?", tanya Desi
"Nggak. Kenapa, Des?", tanya Sasha.
"Gue mau cerita sesuatu, Sha.", kata Desi.
"Cerita aja, Des. Ada apa? Ada masalah apa?", tanya Sasha agak panik. Desi bingung harus cerita dari mana, dia tidak ingin merepotkan temannya dengan masalah yang dia hadapi. Tapi dia harus mengatakan semuanya, dia butuh masukan, butuh bantuan dari temannya.
"Apa lo bisa gantiin gue untuk hari sabtu ini?", tanya Desi ragu.
"Hari sabtu? Bukannya lo harus ngurusin gathering Zyro?", tanya Sasha balik.
"Iya sih. Cuma...ya gitu deh. Lo bisa nggak ngurusin Zyro?", tanya Desi lagi, kali ini berharap Sasha mengiyakan permintaannya.
"Emang ada apa, Desi? Ada masalah dengan Zyro?", tanya Sasha lagi.
"Gue bingung harus mulai cerita dari mana. Tapi intinya gue nggak yakin acara ini akan berjalan lancar kalau gue yang handle.", kata Desi. Ia menunggu temannya itu memberikan respon atas pernyataanya itu. Beberapa saat dia dan Sasha terdiam. Entah apa yang ada di pikiran Sasha, tapi Desi terus berharap semoga temannya itu mau menggantikan dirinya.
"Bisa lo cerita ke gue, apa yang bikin lo ragu sama diri lo sendiri?", tanya Sasha.
Desi terdiam sejenak, berpikir apa yang akan dia ceritakan kepada sahabatnya itu. Sasha menunggu dengan sabar. Terdengar suara seseorang yang sedang berbisik di samping Sasha. Dan dengan seketika terdengar suara langkah kaki. Sepertinya Sasha pergi menjauh ke suatu tempat untuk dapat berbicara tenang dengannya.
"Tadi sore, setelah gue selesai meeting, gue mengalami kejadian yang agak mengganggu sekaligus membuat gue bingung, Sha.", jelas Desi pada Sasha.
"Ada kejadian apa di Zyro? Apa ada yang nyakitin lo?", tanya Sasha, nada suaranya semakin tinggi saat mendengar kata-kata Desi.
"Nggak juga sih. Cuma tadi selesai meeting, ada pria yang namanya Mike. Dia owner Zyro. Nah, sepertinya dia punya kelakuan yang agak mines gitu.", jelas Desi perlahan, berharap temannya mengerti.
"Mines?? Maksudnya?", tanya Sasha dengan nada bingung.
"Dia itu entah kenapa menyodorkan dirinya untuk bantu gue ngurusin acara mereka. Trus, dia juga bilang kalau gue itu menarik. Ya. Menarik. Apakah menurut lo itu agak aneh?", jelas Desi.
"Aneh dimananya, Des?", tanya Sasha geli.
"Ya itu. Dia sepertinya punya maksud lain, Sha. Apalagi saat gue liat tatapan matanya ke gue, serem banget, Sha. Kayak mau makan gue hidup-hidup.", jelas Desi. Bulu kuduknya berdiri dengan seketika saat mengingat tatapan mata Mike kepadanya.
"Lo itu lucu banget, Des.", ucap Sasha sambil tertawa kecil.
"Serem, Sha. Trus tadi dia hampir saja mau cium gue.", jelas Desi. Tawa Sasha pun berhenti seketika.
"Maksud lo?", tanya Sasha, kali ini nada suaranya agak kesal.
"Iya. Tadi gue di tahan gitu sama dia. Gue nggak bisa gerak. Trus wajah dia makin lama makin dekat ke gue, kayak mau cium gue gitu. Tapi untung ada orang yang manggil dia via intercom. Kalau nggak, habis gue, Sha.", jelas Desi dengan cepat.
Kali ini Sasha sama sekali tidak langsung membalas cerita Desi. Sasha terdiam, seakan-akan sedang berpikir. Desi menunggu reaksi dari temannya itu. Jantung Desi berdegup kencang mengingat kejadian tadi sore.
"Sasha. Lo masih di situ, kan?", tanya Desi
"Iya, Des.", jawab Sasha.
"Trus gimana, Sha. Lo maukan gantiin gue hari sabtu nanti?", tanya Desi lagi
"Bukannya nggak mau, Des. Hari sabtu sampai hari minggu gue ada acara keluarga. Jadi nggak mungkin gue nggak hadir.", jelas Sasha kepada sahabatnya itu. Desi merasa hilang semangat. Satu-satunya harapannya tinggal Maira.
"Baiklah, Sha. Besok gue coba tanya Maira deh. Semoga saja dia bisa bantu.", kata Desi sambil berharap.
"Maaf ya, Des. Bukannya gue nggak mau bantu. Cuma ini dadakan banget.", kata Sasha.
"Iya, Sha. Nggak apa-apa.", kata Desi. Suaranya lemas.
"Ya sudah. Istirahat, Des.", kata Sasha dengan lembut.
"Baiklah. Malam, Sha.", kata Desi.
"Malam, Des.", kata Sasha.
Percakapan mereka pun selesai sampai di situ. Perasaan Desi campur aduk. Besok harapan terakhirnya untuk meminta bantuan ke Maira. Desi berdoa dalam hatinya.
∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞
"Apa???", tanya Maira saat mendengar permintaan Desi. Mereka bertiga duduk di meja mereka masing-masing sambil menyelesaikan tugas mereka. Maira sedang sibuk mengkoordinasikan team di lapangan untuk persiapan gathering Perusahaan Dhirgan.
"Please, Ra. Cuma lo satu-satunya harapan gue.", pinta Desi sambil memohon.
"Des, gue bener-bener nggak bisa. Kan lo tahu sendiri hari minggu ini ada acara pertemuan keluarga gue sama calon besan.", jelas Maira sambil terus berkoordinasi dengan team di lapangan melalui telepon.
"Trus gue harus gimana dong? Gue takut banget sama Mike.", kata Desi. Suaranya lemas karena kehilangan harapan.
"Ya mau gimana lagi, Des.", kata Sahsa
"Lagi pula lo kan harus memberanikan diri lo untuk bisa dekat lagi sama laki-laki. ", lanjut Sasha. Wanita yang satu ini wajahnya terlihat senang melihat apa yang terjadi saat ini. Sudah lama Sasha dan Maira tidak melihat ekspresi Desi yang seperti ini.
Maira dan Sasha bukannya tidak ingin membantu Desi. Selain karena mereka memang ada keperluan keluarga, tapi mereka ingin agar temannya yang satu ini mau membuka diri. Mau untuk berkenalan dengan pria lagi. Bahkan jika perlu mereka akan mengorbankan apapun demi kebahagiaan temannya.
"Apa segitu menyeramkannya pria yang bernama Mike ini?", tanya Maira.
"Dia itu terlalu misterius. Terlalu menyeramkan. Bahkan memikirkan dirinya saja bisa bikin bulu kuduk gue berdiri.", jawab Desi sambil mengelus-elus bulu tangannya yang merinding.
"Orangnya good looking nggak?", tanya Maira
"Iya sih. Cuma ya gitu deh. Susah untuk di gambarkan.", jawab Desi
"Kan ganteng ini orangnya, kenapa juga lo mesti takut?", tanya Maira lagi
"Tenang saja, Des. Nggak usah terlalu dipikirin. ", kata Sasha sambil tersenyum.
"Gimana nggak dipikirin? Dia tuh hampir nyium gue. Trus tatapan matanya itu loh, rasanya kayak mau makan gue hidup-hidup. Bener-bener bikin gue nggak tenang.", jelas Desi kepada kedua temannya.
"Hati-hati loh, Des.", kata Maira
"Kenapa??? ", tanya Desi
"Hati-hati...Bisa-bisa lo malah jatuh cinta sama Mike.", kata Maira sambil meledek temannya.
"Sialan lo... Jangan sampai deh. Orangnya arogan banget.", kata Desi. Wajahnya mengerut saat mengingat kejadian di kantor.
"Tapi kalau orangnya nggak arogan ,lo mau kan? Iya kan.", tanya Sasha sambil tersenyum meledek
"Apaan sih?? Pokoknya nggak ah... Sifat arogan dan diktatornya itu sudah mendarah daging. Aura dia aja sudah mengintimidasi orang yang ada di sekitarnya, mana mungkin dia bisa menutupi sifat itu.", jelas Desi. Dia tidak berani melihat mata kedua temannya.
Sejenak terbersit dipikirannya membayangkan Mike yang menyeramkan berubah menjadi orang yang lembut. Wajahnya tampan, tubuhnya bagaikan manekin di toko busana, suaranya yang dalam dan agak serak, membuat dirinya terlahir sempurna.
"Sudahlah, Des. Santai saja. ",kata Maira sambil beranjak dari kursinya. Maira membereskan mejanya dan memasukkan laptopnya ke dalam tas. Wanita itu menatap jam di tangannya. Sudah pukul sepuluh, dia harus memastikan semuanya beres sebelum jam tiga sore.
"Gue berangkat dulu, ya. Mau urusin Dhirgan dulu. Doakan saya,ya!", kata Maira sambil teriak semangat. Sasha tersenyum melihat tingkah laku Maira yang begitu gembira dan semangat. Sedangkan Desi masih terus berkutat dengan pikirannya.
"Hati-hati ya, say. Kabarin.", kata Desi sambil lalu.
"Okay.", jawab Maira.
Wanita itu pun keluar dari ruangannya dan meninggalkan Desi berduaan dengan Sasha. Berselang beberapa menit dari kepergian Maira, tiba-tiba ponsel Desi pun berdering. Suara dering ponsel itu membuat Desi dan Sasha terkejut.
Dengan segera Desi mengambil lalu melihat ke layar ponselnya. Desi terdiam dan terkejut melihat nama Mike muncul di layar ponselnya. Ia sudah menyimpan nomor ponsel Mike tadi malam, namun Desi tidak menyangka bahwa Mike akan meneleponnya hari ini.
"Siapa, Des? Kenapa nggak dijawab?", tanya Sasha pada temannya yang terus saja menatap layar ponselnya sampai suara deringnya berhenti. Lalu ponsel Desi berdering lagi. Kemudian suara dering itu berhenti lagi. Tak lama kemudian ponselnya berdering lagi.
"DESI! Jawab teleponnya!", bentak Sasha dengan kesal karena melihat Desi yang sama sekali tidak mencoba untuk menjawab teleponnya. Desi pun terkejut. Dengan reflek ia menjawab panggilan itu.
"Halo.", kata Desi dengan nada ragu.
"Saya ada di depan rumahmu. Cepat keluar dari sana sekarang! Kita akan pergi untuk mempersiapkan keperluan untuk acara akhir minggu ini. Jangan lama-lama! Saya paling tidak suka sama orang yang lambat. ", perintah Mike dari seberang sana.
Desi terdiam cukup lama. Sasha memperhatikan ekspresi Desi yang terkejut. "Desi. Ada apa?", tanya Sasha pelan-pelan. Sasha pun beranjak dari kursinya dan berjalan menuju meja Desi. Tangan Desi terkulai lemah, lalu ia meletakkan ponselnya di atas meja.
"Mati gue,Sha.", ucap Desi sambil meletakkan ponselnya. Wajahnya ketakutan.
"Kenapa, Des? ", tanya Sasha semakin bingung
"Mike. Dia sudah ada di depan rumah.", jawab Desi pada Sasha.
"Mau apa dia?", tanya Sasha kebingungan
"Gue juga nggak ngerti, Sha. Katanya dia mau siapin keperluan untuk hari sabtu ini.", kata Desi. Raut wajahnya terlihat begitu takut dan khawatir.
"Oh... Gue kirain kenapa.", kata Sasha santai sambil jalan berbalik ke arah mejanya.
"kok lo bisa santai gitu, Sha. Bantuin gue kek.", kata Desi kesal bercampur takut
"Bantuin apa, Des? Lo kan udah gede. Masa gue harus nemenin lo kemana-mana. Lagian inikan urusan kerjaan. Nggak mungkin lah dia mau ngapa-ngapain lo.", kata Sasha. Wanita itu duduk di kursinya, mengambil ponselnya dan berkutat dengannya.
"kalau dia ngapa-ngapain gue gimana?", tanya Desi ketakutan
"Ya elah, Des. Lo tuh sudah besar. Dewasa. Masa lo nggak bisa ngelawan atau gimana gitu. Lagi pula ini kan bukan pertama kalinya lo jalan sama laki-laki. ", jawab Sasha santai. Tatapannya masih ke layar ponselnya.
"Iya juga sih. Tapi, kalau beneran dia ngapa-ngapain gue. Gimana, Sha?", tanya Desi lagi semakin panik
"Tenang saja. Percaya deh sama gue. Dia pasti nggak akan berbuat hal yang tidak-tidak.", jawab Sasha.
"Udah... Sekarang lo pergi aja, temui dia. Jangan sampai dia malah marah dan kesal karena kelamaan nungguin lo.", kata Sasha. Dia meletakkan ponselnya di atas meja, lalu menatap wajah Desi yang ketakutan.
"DESI! Pergi sana!", perintah Sasha. Suaranya agak meninggi.
Desi pun dengan segera beranjak dari kursinya dan keluar dari ruangan itu. Dia tak bisa berpikir panjang lagi. Ponsel dan dompet dengan segera dia masukkan ke dalam tas selempangnya. Tak lupa Desi memasukkan semprotan merica ke dalam tasnya untuk berjaga-jaga. Desi merapihkan rambutnya lalu keluar dari rumah itu.
Jantungnya terasa seperti diremas saat melihat mobil sedan berwarna hitam mengkilat bertengger di depan halaman rumahnya. Bagaikan seekor jaguar yang siap menerkamnya kapan saja. Desi melangkahkan kakinya dengan lemas. Tangannya menggenggam erat tali tanya. Tak tahu apa yang akan terjadi, kali ini Desi akan menjaga jarak dari pria itu.
Ini hanya urusan pekerjaan, pikir Desi. Kata-kata itu terus terngiang di telinganya. Mencoba membuat dirinya tenang dan menjauhkan pikiran buruk tentang Mike. Tiba-tiba seorang pria, berjas rapih dan berwajah agak tua, keluar dari pintu kemudi dan membukakan pintu untuknya.
Sejenak Desi terdiam di depan pintu itu. Berfikir apakah yang dia lakukan ini benar atau tidak. Atau mungkin dia harus lari? Atau mungkin dia lebih baik bernegosiasi dengan Mike? Mungkin pria itu akan memperbolehkan dirinya membawa mobilnya sendiri dan mengurus semua ini sendirian. Pikiran Desi terus berputar.
"Apa perlu aku menarik dirimu atau kau bisa memasukkan kakimu yang mulus itu sendiri ke sini.", tanya Mike sambil menatap wajah pucat Desi.
Desi masuk ke dalam mobil itu dengan ragu. Pintu di sampingnya tertutup dengan cepat. Lalu supir masuk ke kursi kemudi dan menyalakan mesin mobil itu. Suara mobil ini sangat halus, hingga membuat Desi terkejut menyadari dirinya sudah menjauh dari rumahnya.
"Hari ini kau sangat pendiam. Berbeda sekali dengan terakhir kali kita bertemu. ", kata Mike sambil memperhatikan tiap jengkal tubuh Desi yang begitu menggoda. Desi sama sekali tidak menyadari kalau sebenarnya Mike begitu menahan dirinya untuk melahap wanita yang ada di sampingnya.
Entah apa yang membuat Desi berbeda dari beberapa wanita yang dikenalnya. Wanita yang saat ini duduk di sampingnya, yang terdiam dan tidak bergerak, membuat aliran darahnya berdesir dengan cepat. Mike mengambil ponselnya dan mencoba mengalihkan pandangannya dari wanita yang sedang duduk di sampingnya.
"Kenapa kau harus menjemputku? Aku bisa mengurus semua ini sendirian.", kata Desi dengan nada ketus.
"Tenang saja. Aku hanya ingin memperhatikan caramu bekerja. Itu saja.", jawab Mike santai
"Kenapa kau tidak menunggu saat harinya tiba? Jadi kau bisa melihat langsung hasil kerjaku. Tidak perlu merepotkan diri seperti ini.", jelas Desi.
"Aku tidak merasa repot."
"Apa kau tidak ada kerjaan lain selain ini?"
"Enggak."
"Tidak mungkin."
"Kenapa nggak mungkin?"
"Orang sibuk seperti dirimu, yang mempunyai banyak perusahaan besar dan beberapa anak perusahaan yang tersebar hampir di tiga benua, tidak mungkin kau tidak memiliki hal yang harus kau kerjakan."
"Waw, ternyata kau sudah menyelidiki diriku atau apa, ya? sepertinya kau tertarik dengan kehidupanku."
"Bukan itu maksudku.", jawab Desi, wajahnya memerah.
"Kami mencari data setiap perusahaan yang akan kami tangani, setidaknya kami harus tahu dengan siapa kami bekerja sama.", jelas Desi dengan cepat.
"Apalagi yang kau tahu tentang diriku?"
"Cukup banyak. "
"Seberapa banyak?"
"Aku hanya mencari sesuai dengan kapasitasku saja.", jelas Desi. Dia langsung memalingkan wajahnya menatap keluar jendela dan mencoba memperhatikan jalanan yang hiruk pikuk. Desi tidak ingin Mike mengetahui bahwa dirinya telah mencari terlalu banyak tentang kehidupan Mike.
Desi mengetahui tentang hampir semua tentang kehidupan Mike, karena kehidupan pria itu selalu disorot oleh media. Mike adalah salah seorang pria idaman. Tak ada satu pun wanita di dunia ini yang akan menolak pria itu. Kekayaannya, ketampanannya dan sikapnya yang misterius membuat setiap wanita tergila-gila.
Setiap media menyorot gaya hidup Mike yang selalu mengunjungi pameran, pesta dan aksi sosial. Dan yang paling disorot adalah kehidupan percintaannya. Setiap kali media memuat dirinya dalam surat kabar ataupun media elektronik, Mike selalu menggandeng setiap wanita cantik yang berbeda-beda.
Pria itu tidak pernah menetap dengan satu wanita. Tak ada satu wanita pun yang membuat pria itu bertekuk lutut. Pernah satu kali Desi membaca tentang Mike dalam media elektronik. Pria itu pernah mengencani seorang wanita cantik dalam beberapa bulan, namun entah mengapa kisah mereka putus di tengah jalan. Dan si wanita tidak pernah terlihat di sampingnya lagi.
"Kau berbohong.", ucap Mike kesal.
"Berbohong?", tanya Desi kebingungan sambil menatap pria yang berada di sampingnya itu.
"Ya. Kau tidak menjawab sebanyak apa kau tahu tentang diriku."
"Kan tadi aku sudah bilang kalau aku hanya mencari sesuai dengan kapasitas pekerjaan saja. "
"Lalu kenapa wajahmu merona saat mengatakannya?"
"Wajahku tidak merona."
"Ya, kau merona."
"Nggak!"
"Iya."
"Nggak!"
"Iya."
"Ah, terserah. Yang pasti aku sudah jawab. Terserah kau mau percaya atau tidak.", jawab Desi kesal. Dia melipat tangannya tepat di depan dadanya, wajahnya kesal. Dia memalingkan wajahnya keluar jendela lagi, berusaha menenangkan dirinya.
Mobil itu membawa mereka entah kemana. Desi tidak begitu memperhatikan arah perjalanan mereka hingga mereka tiba disebuah restoran yang sangat mewah dan besar. Mobil itu parkir tepat di depan restoran itu. Supir itu membukakan pintu untuk Mike, lalu Mike membukakan pintu untuknya.
"Mau apa kita di sini?", tanya Desi kebingungan.
"Kita mau mempersiapkan untuk acara gathering. Apa kau lupa?", tanya Mike balik.
"Bukannya kita akan mengadakan acara gathering di hotel? Buat apa kita harus ke restoran ini? Apakah hotelmu makanannya tidak enak?", tanya Desi lagi.
"Apakah kau mau di dalam mobil terus atau kau mau ikut aku ke dalam?", tanya Mike kehabisan kesabaran.
Desi langsung melangkahkan kakinya keluar dari mobil itu dan Mike menutup pintunya. Pria itu kemudian berjalan di depannya meninggalkan dirinya yang masih bertanya-tanya maksud dari semua ini. Dia benar-benar tidak mengerti apa mau pria itu.
Mike berhenti tepat di depan pintu restoran itu dan menyadari bahwa Desi masih saja berdiri di samping mobil. Dengan wajah kesal, Mike menghampiri Desi dan menarik tangannya. "Kau tahukan kalau aku paling nggak suka sama orang yang geraknya lama.", kata Mike kesal.
Mereka pun masuk ke dalam restoran itu dengan mudahnya, sedangkan Desi bisa meliihat beberapa orang yang harus menunggu antrian untuk masuk ke dalam restoran itu. Mike terus menggenggam tangan Desi dan membawanya ke sebuah ruang masak.
Ruangan itu begitu besar dan megah. Bersih dan harum masakan menyerbu dirinya. Membuat dirinya lapar. Seorang yang berbadan besar, gemuk dan berpakaian putih menghampiri mereka. Di dadanya tersematkan tulisan Lead Chef.
"Selamat siang, Tuan Larosky. Hidangannya sudah tersedia.", kata pria gembul itu sambil mengiring mereka berdua ke sebuah ruangan yang tertutup, jauh dari kebisingan dapur tadi. Mereka masuk ke ruangan itu dan melihat ada sebuah meja bundar yang di atasnya tertata berbagai macam hidangan yang begitu menggugah selera.
"Ini semua pesanan Anda, Tuan Larosky. Jika ada yang perlu ditambahkan, saya akan mempersiapkannya dengan cepat.", ucap Koki itu dengan santun. Mike tidak menjawab sedikitpun perkataan koki itu.
"Baiklah, Tuan Larosky. Saya permisi dulu.", ucap koki itu lagi. Mike hanya menganggukkan kepala dan koki itu pun pergi meninggalkan mereka berdua di dalam ruangan itu. Desi sama sekali tidak mengerti untuk apa semua makanan ini.
Mike mengiring Desi mendekati meja bundar itu dan mempersilahkannya duduk. Desi hanya bisa terdiam dan pikirannya terus berputar. Mike duduk tepat di sampingnya.
"Buat apa semua makanan ini?", tanya Desi kebingungan
"Cobalah. Cicipi semua makanan ini. Katakan padaku mana yang kau suka, maka itu yang akan dihidangkan untuk makanan di acara gathering nanti.", pinta Mike pada Desi.
"Apa? Kenapa aku yang harus mencoba ini semua?", tanya Desi lagi.
"Aku percaya dengan seleramu. Lagipula kau tidak mungkin membiarkan mereka menyajikan makanan yang tidak enak, bukan?", kata Mike.
"Lalu kenapa harus dari restoran ini? Bukankah di Hotelmu terkenal dengan hidangannya yang menakjubkan?", tanya Desi lagi.
"Koki yang baru saja kau lihat, itu adalah koki dari Hotelku. Aku sengaja menyuruhnya menghidangkannya di sini, karena aku sedang malas berjalan jauh hari ini.", jelas Mike.
"Lalu siapa yang masak di Hotelmu?", tanya Desi lagi dan lagi.
"Dia memiliki beberapa asisten profesional.", jelas Mike, wajahnya semakin kesal.
"Sekarang apakah kau mau mencoba makanan ini, atau aku harus memecat koki tadi karena kau tidak sudi mencoba makanannya.", tanya Mike sambil menatap tajam Desi.
"Baiklah.", jawab Desi kesal.
Ia pun mencoba setiap hidangan yang tersaji di atas meja itu. Mulai dari hidangan pembuka, hidangan utama, hingga hidangan penutup. Semua makanan itu begitu istimewa, hingga ia pun bingung harus memilih yang mana.
Setelah mencoba semua hidangan itu dan mencatatnya dalam sebuah kertas, akhirnya ia memutuskan untuk memilih beberapa hidangan yang cocok untuk acara gathering selama tiga hari berturut-turut. Desi memberikan catatannya kepada Mike. Pria itu beranjak dari kursinya dan keluar dari ruangan itu, meninggalkan Desi sendirian.
Desi memperhatikan setiap hidangan yang tersaji dan berpikir kemana makanan ini akan dibuang, sedangkan dia hanya mencicipi sedikit dari setiap makanan itu. Begitu mubajir dan sayang sekali, pikir Desi. Tak lama kemudian Mike masuk kembali ke ruangan itu dan mendapati Desi yang berdiri terdiam sambil memandangi hidangan yang ada di atas meja.
"Kalau kau masih lapar, kau boleh menghabiskan semuanya.", kata Mike santai, mengagetkan Desi.
"Bukan itu. Aku hanya berpikir, apakah semua makanan ini akan dibuang?", tanya Desi
"Ya. Memangnya kenapa?", tanya Mike
"Sayang sekali semua makanan ini, padahal aku hanya menyicipinya sedikit. Bukankah lebih baik semua makanan ini diberikan kepada orang yang membutuhkan daripada harus dibuang ke tempat sampah?", saran Desi pada Mike.
"Tahukah kau? Untuk ukuran badanmu yang kecil, ternyata kau cukup cerewet ya.", kata Mike sambil menghampiri Desi.
"Tapi kan,.....". Desi memalingkan wajahnya menatap Mike, namun dengan tiba-tiba Mike mencium bibir Desi, menarik tubuh wanita itu ke dalam pelukannya. Ciuman pria itu terasa begitu lembut, sama sekali tidak menuntut ataupun memaksanya. Desi begitu terbuai dan terlena dengan kelembutan bibir Mike yang menyentuh bibirnya.
Desi mencoba kembali ke dunianya. INI NGGAK BENAR! Teriak suara dalam pikirannya. Dengan seketika Desi menjauhkan dirinya dari Mike, mencoba untuk mengembalikan dirinya ke dunia nyata. Mike terlihat kaget dan bingung dengan sikap Desi.
"Kenapa?", tanya Mike.
"Ini salah.", ucap Desi sambil memalingkan wajahnya. Dia tidak ingin menatap Mike dan memohon untuk merasakan ciuman itu lagi.
"Apa yang salah?", tanya Mike bingung.
"Ini....Ini salah... aku...kau...kita...", kata Desi terbata-bata. Mike berjalan menghampiri Desi yang menjauh darinya dan mencoba untuk menenangkan wanita itu.
"Apa maksudmu?", tanya Mike. Suaranya begitu dalam, membuat bulu kuduk Desi merinding. Kali ini bukan karena takut, melainkan karena dirinya membutuhkan sentuhan dari pria itu. Jemari Mike menelusuri tangan Desi dan mengelusnya.
"Hentikan. Ini salah.", ucap Desi lagi sambil mencoba menjauh lagi dari Mike. Namun kali ini Mike menahannya. Kedua tangan Mike seakan-akan memenjaranya dan membuatnya tidak bisa bergerak.
"Kalau kau tidak suka, kau bisa mengatakannya dan aku akan membiarkanmu pergi.", kata Mike. Suaranya begitu lembut, berbeda sekali dengan Mike yang kasar dan sombong. Sasha benar. Mungkin ia akan jatuh cinta kepada Mike jika pria itu.
Mike mencoba mendekatkan dirinya lagi. Matanya menatap mata Desi dengan lembut. Jantung Desi bertedak dengan cepat, pikirannya bercampur aduk. Nafasnya terasa berat, seakan-akan ada yang menekan dadanya. Tatapan mata itu memuat hati dan pertahanan Desi luntur. Ingin rasanya ia menerima kelembutan Mike, namun entah mengapa Desi merasakan ketakutan yang melanda dirinya tepat saat ia mulai mencoba untuk membuka hatinya.
Pria itu mencoba untuk menciumnya lagi, namun Desi dengan segera memalingkan wajahnya. Mike terkejut dan menatap wajah Desi. Tangannya masih menahan tubuh Desi. Entah apa yang ada dipikiran Mike, namun Desi mencoba untuk tidak melanjutkan hal ini.
"Maaf.", kata Desi pelan. Mike pun melonggarkan cengkramannya dari tangan Desi. Kehangatan dari tangan Mike menghilang secara perlahan digantikan dengan perasaan dingin yang menyelimuti dirinya. Jantung Desi terus berdegup kencang.
"Maaf. Bukannya aku tidak suka. Tapi ini salah.", ucap Desi. Ia tidak berani menatap Mike. Ia tahu Mike pasti membencinya dan tidak ingin bertemu dengannya lagi. Tapi ini yang terbaik.
"Ini salah.", lanjut Desi lagi. Berharap Mike mau mengeluarkan sepatah kata untuk menenangkannya. Namun Mike masih berdiri diam menatap dirinya. Desi mencoba menarik nafas, lalu menghelanya lagi. Berulang kali ia lakukan, berusaha untuk menenangan dirinya.
"Maafkan aku.", ucap Desi sambil membalikkan badannya. Ia mencoba memberanikan dirinya untuk pergi dari tempat itu. Desi mengambil tasnya dan berhenti sejenak di belakang kursinya. Ia memikirkan kejadian itu dan mencoba untuk tetap pada kesadarannya.
Desi menyelempangkan tasnya dan beranjak menghampiri Mike yang masih terdiam memperhatikan keadaan. "Kau mau kemana?", tanya Mike pelan. Suaranya lembut dan berat. Pria itu mencoba menahan gejolak yang ada di dalam dirinya.
"Aku harus pergi. Masih banyak yang harus aku persiapkan.", jawab Desi seringan mungkin, mencoba untuk terlihat tenang. Walaupun dalam hatinya ia ingin berlari cepat meninggalkan tempat itu.
"Biar aku yang mengantarmu.", pinta Mike. Desi menatap ke arah mata Mike. Terdapat ketulusan di sana.
"Tidak....Aku tidak bisa.", jawab Desi
"Tapi aku..."
"Tidak, Mike. Untuk saat ini aku ingin sendiri. Ini terlalu cepat. Aku tidak bisa."
"Kenapa?"
"Maaf. Aku tidak bisa."
"Setidaknya ijinkan aku mengantarmu pulang. Aku berjanji tidak akan berbuat macam-macam. Aku janji.", pinta Mike dengan lembut. Tangannya menggenggam tangan Desi dengan lembut. Ia bisa merasakan kehangatan pria itu menyentuh dirinya.
"Baiklah.", jawab Desi lembut.
Mereka pun keluar dari ruangan itu. Mereka keluar dari restoran itu dan masuk ke dalam mobil. Selama perjalanan menuju rumahnya, Desi sama sekali tidak berbicara. Mike pun berusaha untuk tidak mengusiknya. Mencoba memberinya ruang untuk menenangkan diri.
Hari masih terang saat mereka tiba di depan rumah Desi. Ia melirik ke arah jam tangannya, masih jam tiga sore. Masih ada banyak waktu untuk menyelesaikan pekerjaannya dan memastikan team di lapangan bisa terkoordinasi dengan baik selama tiga hari nanti.
"Terima kasih untuk semuanya.", ucap Desi sebelum keluar dari mobil itu.
"Besok aku jemput jam tujuh pagi, kita akan ke hotel di Bogor untuk mempersiapkan acara gathering nanti.", kata Mike. Namun pria itu sama sekali tidak menatap Desi saat berbicara.
"Aku bisa mengurus semua ini sendiri.", kata Desi agak kesal.
"Tidak ada kompromi. Tidak ada alasan.", kata Mike dengan nada perintahnya. Pria ini sudah kembali ke sifat aslinya, pikir Desi kesal.
"Jam tujuh pagi. On time.", kata Mike singkat.
"Terserah.", jawab Desi dengan kesal. Lalu ia pun keluar dari mobil dan berjalan langsung menuju pintu rumahnya. Ia langsung masuk ke dalam rumahnya dan menutup pintunya dengan kencang.
Mike pun pergi dari rumah itu setelah ia memastikan wanita itu masuk ke rumahnya.

∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞

Tidak ada komentar: