PART 6
Hari
begitu larut malam, Desi terjebak dalam kemacetan Jakarta yang begitu menyita
waktunya. Desi ingin sekali menumpahkan kekesalannya. Ia membanting tasnya ke
atas tempat tidurnya dan merebahkan tubuhnya. Tubuhnya terasa begitu lelah,
perasaannya campur aduk.
Tangannya
meraba tasnya, mencoba mengambil ponsel yang ada di dalamnya. Dia harus
menelepon Maira dan Sasha untuk meminta bantuan. Desi langsung mencari nama
Maira di ponselnya. Ia berulang kali mencoba untuk menghubungi temannya, namun
tidak ada jawaban. Kemudian dia mencoba menghubungi Sasha. Nada sambung terus
mengalun di telinganya. Cukup lama ia menunggu dan akhirnya nada sambung itu
pun berhenti.
Ia
mencoba menghubungi Sasha lagi, namun temannya yang satu itu sama sekali tidak
menjawab teleponnya. Hingga akhirnya dia mencoba untuk yang ketiga kalinya dan
akhirnya Sasha menjawab teleponnya.
"Halo,
Des.", jawab Sasha
"Hai,
Sha. Sorry gue telepon. Lo lagi sibuk nggak?", tanya Desi
"Nggak.
Kenapa, Des?", tanya Sasha.
"Gue
mau cerita sesuatu, Sha.", kata Desi.
"Cerita
aja, Des. Ada apa? Ada masalah apa?", tanya Sasha agak panik. Desi bingung
harus cerita dari mana, dia tidak ingin merepotkan temannya dengan masalah yang
dia hadapi. Tapi dia harus mengatakan semuanya, dia butuh masukan, butuh
bantuan dari temannya.
"Apa
lo bisa gantiin gue untuk hari sabtu ini?", tanya Desi ragu.
"Hari
sabtu? Bukannya lo harus ngurusin gathering Zyro?", tanya Sasha balik.
"Iya
sih. Cuma...ya gitu deh. Lo bisa nggak ngurusin Zyro?", tanya Desi lagi,
kali ini berharap Sasha mengiyakan permintaannya.
"Emang
ada apa, Desi? Ada masalah dengan Zyro?", tanya Sasha lagi.
"Gue
bingung harus mulai cerita dari mana. Tapi intinya gue nggak yakin acara ini
akan berjalan lancar kalau gue yang handle.",
kata Desi. Ia menunggu temannya itu memberikan respon atas pernyataanya itu.
Beberapa saat dia dan Sasha terdiam. Entah apa yang ada di pikiran Sasha, tapi
Desi terus berharap semoga temannya itu mau menggantikan dirinya.
"Bisa
lo cerita ke gue, apa yang bikin lo ragu sama diri lo sendiri?", tanya
Sasha.
Desi
terdiam sejenak, berpikir apa yang akan dia ceritakan kepada sahabatnya itu.
Sasha menunggu dengan sabar. Terdengar suara seseorang yang sedang berbisik di
samping Sasha. Dan dengan seketika terdengar suara langkah kaki. Sepertinya
Sasha pergi menjauh ke suatu tempat untuk dapat berbicara tenang dengannya.
"Tadi
sore, setelah gue selesai meeting,
gue mengalami kejadian yang agak mengganggu sekaligus membuat gue bingung,
Sha.", jelas Desi pada Sasha.
"Ada
kejadian apa di Zyro? Apa ada yang nyakitin lo?", tanya Sasha, nada
suaranya semakin tinggi saat mendengar kata-kata Desi.
"Nggak
juga sih. Cuma tadi selesai meeting,
ada pria yang namanya Mike. Dia owner Zyro. Nah, sepertinya dia punya
kelakuan yang agak mines gitu.", jelas Desi perlahan,
berharap temannya mengerti.
"Mines?? Maksudnya?", tanya Sasha dengan
nada bingung.
"Dia
itu entah kenapa menyodorkan dirinya untuk bantu gue ngurusin acara mereka.
Trus, dia juga bilang kalau gue itu menarik. Ya. Menarik. Apakah menurut lo itu
agak aneh?", jelas Desi.
"Aneh
dimananya, Des?", tanya Sasha geli.
"Ya
itu. Dia sepertinya punya maksud lain, Sha. Apalagi saat gue liat tatapan
matanya ke gue, serem banget, Sha. Kayak mau makan gue hidup-hidup.",
jelas Desi. Bulu kuduknya berdiri dengan seketika saat mengingat tatapan mata
Mike kepadanya.
"Lo
itu lucu banget, Des.", ucap Sasha sambil tertawa kecil.
"Serem,
Sha. Trus tadi dia hampir saja mau cium gue.", jelas Desi. Tawa Sasha pun
berhenti seketika.
"Maksud
lo?", tanya Sasha, kali ini nada suaranya agak kesal.
"Iya.
Tadi gue di tahan gitu sama dia. Gue nggak bisa gerak. Trus wajah dia makin
lama makin dekat ke gue, kayak mau cium gue gitu. Tapi untung ada orang yang
manggil dia via intercom.
Kalau nggak, habis gue, Sha.", jelas Desi dengan cepat.
Kali
ini Sasha sama sekali tidak langsung membalas cerita Desi. Sasha terdiam,
seakan-akan sedang berpikir. Desi menunggu reaksi dari temannya itu. Jantung
Desi berdegup kencang mengingat kejadian tadi sore.
"Sasha.
Lo masih di situ, kan?", tanya Desi
"Iya,
Des.", jawab Sasha.
"Trus
gimana, Sha. Lo maukan gantiin gue hari sabtu nanti?", tanya Desi lagi
"Bukannya
nggak mau, Des. Hari sabtu sampai hari minggu gue ada acara keluarga. Jadi
nggak mungkin gue nggak hadir.", jelas Sasha kepada sahabatnya itu. Desi
merasa hilang semangat. Satu-satunya harapannya tinggal Maira.
"Baiklah,
Sha. Besok gue coba tanya Maira deh. Semoga saja dia bisa bantu.", kata
Desi sambil berharap.
"Maaf
ya, Des. Bukannya gue nggak mau bantu. Cuma ini dadakan banget.", kata
Sasha.
"Iya,
Sha. Nggak apa-apa.", kata Desi. Suaranya lemas.
"Ya
sudah. Istirahat, Des.", kata Sasha dengan lembut.
"Baiklah.
Malam, Sha.", kata Desi.
"Malam,
Des.", kata Sasha.
Percakapan
mereka pun selesai sampai di situ. Perasaan Desi campur aduk. Besok harapan
terakhirnya untuk meminta bantuan ke Maira. Desi berdoa dalam hatinya.
∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞
"Apa???",
tanya Maira saat mendengar permintaan Desi. Mereka bertiga duduk di meja mereka
masing-masing sambil menyelesaikan tugas mereka. Maira sedang sibuk
mengkoordinasikan team di lapangan untuk persiapan gathering Perusahaan
Dhirgan.
"Please,
Ra. Cuma lo satu-satunya harapan gue.", pinta Desi sambil memohon.
"Des,
gue bener-bener nggak bisa. Kan lo tahu sendiri hari minggu ini ada acara
pertemuan keluarga gue sama calon besan.", jelas Maira sambil terus
berkoordinasi dengan team di lapangan melalui telepon.
"Trus
gue harus gimana dong? Gue takut banget sama Mike.", kata Desi. Suaranya
lemas karena kehilangan harapan.
"Ya
mau gimana lagi, Des.", kata Sahsa
"Lagi
pula lo kan harus memberanikan diri lo untuk bisa dekat lagi sama laki-laki.
", lanjut Sasha. Wanita yang satu ini wajahnya terlihat senang melihat apa
yang terjadi saat ini. Sudah lama Sasha dan Maira tidak melihat ekspresi Desi
yang seperti ini.
Maira
dan Sasha bukannya tidak ingin membantu Desi. Selain karena mereka memang ada
keperluan keluarga, tapi mereka ingin agar temannya yang satu ini mau membuka
diri. Mau untuk berkenalan dengan pria lagi. Bahkan jika perlu mereka akan
mengorbankan apapun demi kebahagiaan temannya.
"Apa
segitu menyeramkannya pria yang bernama Mike ini?", tanya Maira.
"Dia
itu terlalu misterius. Terlalu menyeramkan. Bahkan memikirkan dirinya saja bisa
bikin bulu kuduk gue berdiri.", jawab Desi sambil mengelus-elus bulu
tangannya yang merinding.
"Orangnya good looking nggak?",
tanya Maira
"Iya
sih. Cuma ya gitu deh. Susah untuk di gambarkan.", jawab Desi
"Kan
ganteng ini orangnya, kenapa juga lo mesti takut?", tanya Maira lagi
"Tenang
saja, Des. Nggak usah terlalu dipikirin. ", kata Sasha sambil tersenyum.
"Gimana
nggak dipikirin? Dia tuh hampir nyium gue. Trus tatapan matanya itu loh,
rasanya kayak mau makan gue hidup-hidup. Bener-bener bikin gue nggak
tenang.", jelas Desi kepada kedua temannya.
"Hati-hati
loh, Des.", kata Maira
"Kenapa???
", tanya Desi
"Hati-hati...Bisa-bisa
lo malah jatuh cinta sama Mike.", kata Maira sambil meledek temannya.
"Sialan
lo... Jangan sampai deh. Orangnya arogan banget.", kata Desi. Wajahnya
mengerut saat mengingat kejadian di kantor.
"Tapi
kalau orangnya nggak arogan ,lo mau kan? Iya kan.", tanya Sasha sambil
tersenyum meledek
"Apaan
sih?? Pokoknya nggak ah... Sifat arogan dan diktatornya itu sudah mendarah
daging. Aura dia aja sudah mengintimidasi orang yang ada di sekitarnya, mana
mungkin dia bisa menutupi sifat itu.", jelas Desi. Dia tidak berani
melihat mata kedua temannya.
Sejenak
terbersit dipikirannya membayangkan Mike yang menyeramkan berubah menjadi orang
yang lembut. Wajahnya tampan, tubuhnya bagaikan manekin di toko busana,
suaranya yang dalam dan agak serak, membuat dirinya terlahir sempurna.
"Sudahlah,
Des. Santai saja. ",kata Maira sambil beranjak dari kursinya. Maira
membereskan mejanya dan memasukkan laptopnya ke dalam tas. Wanita itu menatap
jam di tangannya. Sudah pukul sepuluh, dia harus memastikan semuanya beres
sebelum jam tiga sore.
"Gue
berangkat dulu, ya. Mau urusin Dhirgan dulu. Doakan saya,ya!", kata Maira
sambil teriak semangat. Sasha tersenyum melihat tingkah laku Maira yang begitu
gembira dan semangat. Sedangkan Desi masih terus berkutat dengan pikirannya.
"Hati-hati
ya, say. Kabarin.", kata Desi sambil lalu.
"Okay.",
jawab Maira.
Wanita
itu pun keluar dari ruangannya dan meninggalkan Desi berduaan dengan Sasha.
Berselang beberapa menit dari kepergian Maira, tiba-tiba ponsel Desi pun
berdering. Suara dering ponsel itu membuat Desi dan Sasha terkejut.
Dengan
segera Desi mengambil lalu melihat ke layar ponselnya. Desi terdiam dan
terkejut melihat nama Mike muncul di layar ponselnya. Ia sudah menyimpan nomor
ponsel Mike tadi malam, namun Desi tidak menyangka bahwa Mike akan meneleponnya
hari ini.
"Siapa,
Des? Kenapa nggak dijawab?", tanya Sasha pada temannya yang terus saja
menatap layar ponselnya sampai suara deringnya berhenti. Lalu ponsel Desi
berdering lagi. Kemudian suara dering itu berhenti lagi. Tak lama kemudian
ponselnya berdering lagi.
"DESI!
Jawab teleponnya!", bentak Sasha dengan kesal karena melihat Desi yang
sama sekali tidak mencoba untuk menjawab teleponnya. Desi pun terkejut. Dengan
reflek ia menjawab panggilan itu.
"Halo.",
kata Desi dengan nada ragu.
"Saya ada di
depan rumahmu. Cepat keluar dari sana sekarang! Kita akan pergi untuk
mempersiapkan keperluan untuk acara akhir minggu ini. Jangan lama-lama! Saya
paling tidak suka sama orang yang lambat. ", perintah Mike dari seberang
sana.
Desi
terdiam cukup lama. Sasha memperhatikan ekspresi Desi yang terkejut.
"Desi. Ada apa?", tanya Sasha pelan-pelan. Sasha pun beranjak dari
kursinya dan berjalan menuju meja Desi. Tangan Desi terkulai lemah, lalu ia
meletakkan ponselnya di atas meja.
"Mati
gue,Sha.", ucap Desi sambil meletakkan ponselnya. Wajahnya ketakutan.
"Kenapa,
Des? ", tanya Sasha semakin bingung
"Mike.
Dia sudah ada di depan rumah.", jawab Desi pada Sasha.
"Mau
apa dia?", tanya Sasha kebingungan
"Gue
juga nggak ngerti, Sha. Katanya dia mau siapin keperluan untuk hari sabtu
ini.", kata Desi. Raut wajahnya terlihat begitu takut dan khawatir.
"Oh...
Gue kirain kenapa.", kata Sasha santai sambil jalan berbalik ke arah
mejanya.
"kok
lo bisa santai gitu, Sha. Bantuin gue kek.", kata Desi kesal bercampur
takut
"Bantuin
apa, Des? Lo kan udah gede. Masa gue harus nemenin lo kemana-mana. Lagian
inikan urusan kerjaan. Nggak mungkin lah dia mau ngapa-ngapain lo.", kata
Sasha. Wanita itu duduk di kursinya, mengambil ponselnya dan berkutat
dengannya.
"kalau
dia ngapa-ngapain gue gimana?", tanya Desi ketakutan
"Ya
elah, Des. Lo tuh sudah besar. Dewasa. Masa lo nggak bisa ngelawan atau gimana
gitu. Lagi pula ini kan bukan pertama kalinya lo jalan sama laki-laki. ",
jawab Sasha santai. Tatapannya masih ke layar ponselnya.
"Iya
juga sih. Tapi, kalau beneran dia ngapa-ngapain gue. Gimana, Sha?", tanya
Desi lagi semakin panik
"Tenang
saja. Percaya deh sama gue. Dia pasti nggak akan berbuat hal yang
tidak-tidak.", jawab Sasha.
"Udah...
Sekarang lo pergi aja, temui dia. Jangan sampai dia malah marah dan kesal
karena kelamaan nungguin lo.", kata Sasha. Dia meletakkan ponselnya di
atas meja, lalu menatap wajah Desi yang ketakutan.
"DESI!
Pergi sana!", perintah Sasha. Suaranya agak meninggi.
Desi
pun dengan segera beranjak dari kursinya dan keluar dari ruangan itu. Dia tak bisa
berpikir panjang lagi. Ponsel dan dompet dengan segera dia masukkan ke dalam
tas selempangnya. Tak lupa Desi memasukkan semprotan merica ke dalam tasnya
untuk berjaga-jaga. Desi merapihkan rambutnya lalu keluar dari rumah itu.
Jantungnya
terasa seperti diremas saat melihat mobil sedan berwarna hitam mengkilat
bertengger di depan halaman rumahnya. Bagaikan seekor jaguar yang siap
menerkamnya kapan saja. Desi melangkahkan kakinya dengan lemas. Tangannya
menggenggam erat tali tanya. Tak tahu apa yang akan terjadi, kali ini Desi akan
menjaga jarak dari pria itu.
Ini
hanya urusan pekerjaan, pikir
Desi. Kata-kata itu terus terngiang di telinganya. Mencoba membuat dirinya
tenang dan menjauhkan pikiran buruk tentang Mike. Tiba-tiba seorang pria,
berjas rapih dan berwajah agak tua, keluar dari pintu kemudi dan membukakan
pintu untuknya.
Sejenak
Desi terdiam di depan pintu itu. Berfikir apakah yang dia lakukan ini benar
atau tidak. Atau mungkin dia harus lari? Atau mungkin dia lebih baik
bernegosiasi dengan Mike? Mungkin pria itu akan memperbolehkan dirinya membawa
mobilnya sendiri dan mengurus semua ini sendirian. Pikiran Desi terus berputar.
"Apa
perlu aku menarik dirimu atau kau bisa memasukkan kakimu yang mulus itu sendiri
ke sini.", tanya Mike sambil menatap wajah pucat Desi.
Desi
masuk ke dalam mobil itu dengan ragu. Pintu di sampingnya tertutup dengan
cepat. Lalu supir masuk ke kursi kemudi dan menyalakan mesin mobil itu. Suara
mobil ini sangat halus, hingga membuat Desi terkejut menyadari dirinya sudah
menjauh dari rumahnya.
"Hari
ini kau sangat pendiam. Berbeda sekali dengan terakhir kali kita bertemu.
", kata Mike sambil memperhatikan tiap jengkal tubuh Desi yang begitu
menggoda. Desi sama sekali tidak menyadari kalau sebenarnya Mike begitu menahan
dirinya untuk melahap wanita yang ada di sampingnya.
Entah
apa yang membuat Desi berbeda dari beberapa wanita yang dikenalnya. Wanita yang
saat ini duduk di sampingnya, yang terdiam dan tidak bergerak, membuat aliran
darahnya berdesir dengan cepat. Mike mengambil ponselnya dan mencoba
mengalihkan pandangannya dari wanita yang sedang duduk di sampingnya.
"Kenapa
kau harus menjemputku? Aku bisa mengurus semua ini sendirian.", kata Desi
dengan nada ketus.
"Tenang
saja. Aku hanya ingin memperhatikan caramu bekerja. Itu saja.", jawab Mike
santai
"Kenapa
kau tidak menunggu saat harinya tiba? Jadi kau bisa melihat langsung hasil
kerjaku. Tidak perlu merepotkan diri seperti ini.", jelas Desi.
"Aku
tidak merasa repot."
"Apa
kau tidak ada kerjaan lain selain ini?"
"Enggak."
"Tidak
mungkin."
"Kenapa
nggak mungkin?"
"Orang
sibuk seperti dirimu, yang mempunyai banyak perusahaan besar dan beberapa anak
perusahaan yang tersebar hampir di tiga benua, tidak mungkin kau tidak memiliki
hal yang harus kau kerjakan."
"Waw,
ternyata kau sudah menyelidiki diriku atau apa, ya? sepertinya kau tertarik
dengan kehidupanku."
"Bukan
itu maksudku.", jawab Desi, wajahnya memerah.
"Kami
mencari data setiap perusahaan yang akan kami tangani, setidaknya kami harus
tahu dengan siapa kami bekerja sama.", jelas Desi dengan cepat.
"Apalagi
yang kau tahu tentang diriku?"
"Cukup
banyak. "
"Seberapa
banyak?"
"Aku
hanya mencari sesuai dengan kapasitasku saja.", jelas Desi. Dia langsung
memalingkan wajahnya menatap keluar jendela dan mencoba memperhatikan jalanan
yang hiruk pikuk. Desi tidak ingin Mike mengetahui bahwa dirinya telah mencari
terlalu banyak tentang kehidupan Mike.
Desi
mengetahui tentang hampir semua tentang kehidupan Mike, karena kehidupan pria
itu selalu disorot oleh media. Mike adalah salah seorang pria idaman. Tak ada
satu pun wanita di dunia ini yang akan menolak pria itu. Kekayaannya,
ketampanannya dan sikapnya yang misterius membuat setiap wanita tergila-gila.
Setiap
media menyorot gaya hidup Mike yang selalu mengunjungi pameran, pesta dan aksi
sosial. Dan yang paling disorot adalah kehidupan percintaannya. Setiap kali
media memuat dirinya dalam surat kabar ataupun media elektronik, Mike selalu
menggandeng setiap wanita cantik yang berbeda-beda.
Pria
itu tidak pernah menetap dengan satu wanita. Tak ada satu wanita pun yang
membuat pria itu bertekuk lutut. Pernah satu kali Desi membaca tentang Mike
dalam media elektronik. Pria itu pernah mengencani seorang wanita cantik dalam
beberapa bulan, namun entah mengapa kisah mereka putus di tengah jalan. Dan si
wanita tidak pernah terlihat di sampingnya lagi.
"Kau
berbohong.", ucap Mike kesal.
"Berbohong?",
tanya Desi kebingungan sambil menatap pria yang berada di sampingnya itu.
"Ya.
Kau tidak menjawab sebanyak apa kau tahu tentang diriku."
"Kan
tadi aku sudah bilang kalau aku hanya mencari sesuai dengan kapasitas pekerjaan
saja. "
"Lalu
kenapa wajahmu merona saat mengatakannya?"
"Wajahku
tidak merona."
"Ya,
kau merona."
"Nggak!"
"Iya."
"Nggak!"
"Iya."
"Ah,
terserah. Yang pasti aku sudah jawab. Terserah kau mau percaya atau
tidak.", jawab Desi kesal. Dia melipat tangannya tepat di depan dadanya,
wajahnya kesal. Dia memalingkan wajahnya keluar jendela lagi, berusaha
menenangkan dirinya.
Mobil
itu membawa mereka entah kemana. Desi tidak begitu memperhatikan arah
perjalanan mereka hingga mereka tiba disebuah restoran yang sangat mewah dan
besar. Mobil itu parkir tepat di depan restoran itu. Supir itu membukakan pintu
untuk Mike, lalu Mike membukakan pintu untuknya.
"Mau
apa kita di sini?", tanya Desi kebingungan.
"Kita
mau mempersiapkan untuk acara gathering.
Apa kau lupa?", tanya Mike balik.
"Bukannya
kita akan mengadakan acara gathering di hotel? Buat apa kita harus
ke restoran ini? Apakah hotelmu makanannya tidak enak?", tanya Desi lagi.
"Apakah
kau mau di dalam mobil terus atau kau mau ikut aku ke dalam?", tanya Mike
kehabisan kesabaran.
Desi
langsung melangkahkan kakinya keluar dari mobil itu dan Mike menutup pintunya.
Pria itu kemudian berjalan di depannya meninggalkan dirinya yang masih
bertanya-tanya maksud dari semua ini. Dia benar-benar tidak mengerti apa mau
pria itu.
Mike
berhenti tepat di depan pintu restoran itu dan menyadari bahwa Desi masih saja
berdiri di samping mobil. Dengan wajah kesal, Mike menghampiri Desi dan menarik
tangannya. "Kau tahukan kalau aku paling nggak suka sama orang yang
geraknya lama.", kata Mike kesal.
Mereka
pun masuk ke dalam restoran itu dengan mudahnya, sedangkan Desi bisa meliihat
beberapa orang yang harus menunggu antrian untuk masuk ke dalam restoran itu.
Mike terus menggenggam tangan Desi dan membawanya ke sebuah ruang masak.
Ruangan
itu begitu besar dan megah. Bersih dan harum masakan menyerbu dirinya. Membuat
dirinya lapar. Seorang yang berbadan besar, gemuk dan berpakaian putih
menghampiri mereka. Di dadanya tersematkan tulisan Lead Chef.
"Selamat
siang, Tuan Larosky. Hidangannya sudah tersedia.", kata pria gembul itu
sambil mengiring mereka berdua ke sebuah ruangan yang tertutup, jauh dari
kebisingan dapur tadi. Mereka masuk ke ruangan itu dan melihat ada sebuah meja
bundar yang di atasnya tertata berbagai macam hidangan yang begitu menggugah
selera.
"Ini
semua pesanan Anda, Tuan Larosky. Jika ada yang perlu ditambahkan, saya akan
mempersiapkannya dengan cepat.", ucap Koki itu dengan santun. Mike tidak
menjawab sedikitpun perkataan koki itu.
"Baiklah,
Tuan Larosky. Saya permisi dulu.", ucap koki itu lagi. Mike hanya
menganggukkan kepala dan koki itu pun pergi meninggalkan mereka berdua di dalam
ruangan itu. Desi sama sekali tidak mengerti untuk apa semua makanan ini.
Mike
mengiring Desi mendekati meja bundar itu dan mempersilahkannya duduk. Desi
hanya bisa terdiam dan pikirannya terus berputar. Mike duduk tepat di
sampingnya.
"Buat
apa semua makanan ini?", tanya Desi kebingungan
"Cobalah.
Cicipi semua makanan ini. Katakan padaku mana yang kau suka, maka itu yang akan
dihidangkan untuk makanan di acara gathering nanti.", pinta Mike pada Desi.
"Apa?
Kenapa aku yang harus mencoba ini semua?", tanya Desi lagi.
"Aku
percaya dengan seleramu. Lagipula kau tidak mungkin membiarkan mereka
menyajikan makanan yang tidak enak, bukan?", kata Mike.
"Lalu
kenapa harus dari restoran ini? Bukankah di Hotelmu terkenal dengan hidangannya
yang menakjubkan?", tanya Desi lagi.
"Koki
yang baru saja kau lihat, itu adalah koki dari Hotelku. Aku sengaja menyuruhnya
menghidangkannya di sini, karena aku sedang malas berjalan jauh hari
ini.", jelas Mike.
"Lalu
siapa yang masak di Hotelmu?", tanya Desi lagi dan lagi.
"Dia
memiliki beberapa asisten profesional.", jelas Mike, wajahnya semakin
kesal.
"Sekarang
apakah kau mau mencoba makanan ini, atau aku harus memecat koki tadi karena kau
tidak sudi mencoba makanannya.", tanya Mike sambil menatap tajam Desi.
"Baiklah.",
jawab Desi kesal.
Ia
pun mencoba setiap hidangan yang tersaji di atas meja itu. Mulai dari hidangan
pembuka, hidangan utama, hingga hidangan penutup. Semua makanan itu begitu
istimewa, hingga ia pun bingung harus memilih yang mana.
Setelah
mencoba semua hidangan itu dan mencatatnya dalam sebuah kertas, akhirnya ia
memutuskan untuk memilih beberapa hidangan yang cocok untuk acara gathering selama
tiga hari berturut-turut. Desi memberikan catatannya kepada Mike. Pria itu
beranjak dari kursinya dan keluar dari ruangan itu, meninggalkan Desi
sendirian.
Desi
memperhatikan setiap hidangan yang tersaji dan berpikir kemana makanan ini akan
dibuang, sedangkan dia hanya mencicipi sedikit dari setiap makanan itu. Begitu
mubajir dan sayang sekali, pikir Desi. Tak lama kemudian Mike masuk kembali ke
ruangan itu dan mendapati Desi yang berdiri terdiam sambil memandangi hidangan
yang ada di atas meja.
"Kalau
kau masih lapar, kau boleh menghabiskan semuanya.", kata Mike santai,
mengagetkan Desi.
"Bukan
itu. Aku hanya berpikir, apakah semua makanan ini akan dibuang?", tanya
Desi
"Ya.
Memangnya kenapa?", tanya Mike
"Sayang
sekali semua makanan ini, padahal aku hanya menyicipinya sedikit. Bukankah
lebih baik semua makanan ini diberikan kepada orang yang membutuhkan daripada
harus dibuang ke tempat sampah?", saran Desi pada Mike.
"Tahukah
kau? Untuk ukuran badanmu yang kecil, ternyata kau cukup cerewet ya.",
kata Mike sambil menghampiri Desi.
"Tapi
kan,.....". Desi memalingkan wajahnya menatap Mike, namun dengan tiba-tiba
Mike mencium bibir Desi, menarik tubuh wanita itu ke dalam pelukannya. Ciuman
pria itu terasa begitu lembut, sama sekali tidak menuntut ataupun memaksanya.
Desi begitu terbuai dan terlena dengan kelembutan bibir Mike yang menyentuh
bibirnya.
Desi
mencoba kembali ke dunianya. INI NGGAK
BENAR! Teriak
suara dalam pikirannya. Dengan seketika Desi menjauhkan dirinya dari Mike,
mencoba untuk mengembalikan dirinya ke dunia nyata. Mike terlihat kaget dan
bingung dengan sikap Desi.
"Kenapa?",
tanya Mike.
"Ini
salah.", ucap Desi sambil memalingkan wajahnya. Dia tidak ingin menatap
Mike dan memohon untuk merasakan ciuman itu lagi.
"Apa
yang salah?", tanya Mike bingung.
"Ini....Ini
salah... aku...kau...kita...", kata Desi terbata-bata. Mike berjalan
menghampiri Desi yang menjauh darinya dan mencoba untuk menenangkan wanita itu.
"Apa
maksudmu?", tanya Mike. Suaranya begitu dalam, membuat bulu kuduk Desi
merinding. Kali ini bukan karena takut, melainkan karena dirinya membutuhkan
sentuhan dari pria itu. Jemari Mike menelusuri tangan Desi dan mengelusnya.
"Hentikan.
Ini salah.", ucap Desi lagi sambil mencoba menjauh lagi dari Mike. Namun
kali ini Mike menahannya. Kedua tangan Mike seakan-akan memenjaranya dan
membuatnya tidak bisa bergerak.
"Kalau
kau tidak suka, kau bisa mengatakannya dan aku akan membiarkanmu pergi.",
kata Mike. Suaranya begitu lembut, berbeda sekali dengan Mike yang kasar dan
sombong. Sasha benar. Mungkin ia akan jatuh cinta kepada Mike jika pria itu.
Mike
mencoba mendekatkan dirinya lagi. Matanya menatap mata Desi dengan lembut.
Jantung Desi bertedak dengan cepat, pikirannya bercampur aduk. Nafasnya terasa
berat, seakan-akan ada yang menekan dadanya. Tatapan mata itu memuat hati dan
pertahanan Desi luntur. Ingin rasanya ia menerima kelembutan Mike, namun entah
mengapa Desi merasakan ketakutan yang melanda dirinya tepat saat ia mulai
mencoba untuk membuka hatinya.
Pria
itu mencoba untuk menciumnya lagi, namun Desi dengan segera memalingkan
wajahnya. Mike terkejut dan menatap wajah Desi. Tangannya masih menahan tubuh
Desi. Entah apa yang ada dipikiran Mike, namun Desi mencoba untuk tidak
melanjutkan hal ini.
"Maaf.",
kata Desi pelan. Mike pun melonggarkan cengkramannya dari tangan Desi.
Kehangatan dari tangan Mike menghilang secara perlahan digantikan dengan
perasaan dingin yang menyelimuti dirinya. Jantung Desi terus berdegup kencang.
"Maaf.
Bukannya aku tidak suka. Tapi ini salah.", ucap Desi. Ia tidak berani
menatap Mike. Ia tahu Mike pasti membencinya dan tidak ingin bertemu dengannya
lagi. Tapi ini yang terbaik.
"Ini
salah.", lanjut Desi lagi. Berharap Mike mau mengeluarkan sepatah kata
untuk menenangkannya. Namun Mike masih berdiri diam menatap dirinya. Desi
mencoba menarik nafas, lalu menghelanya lagi. Berulang kali ia lakukan,
berusaha untuk menenangan dirinya.
"Maafkan
aku.", ucap Desi sambil membalikkan badannya. Ia mencoba memberanikan
dirinya untuk pergi dari tempat itu. Desi mengambil tasnya dan berhenti sejenak
di belakang kursinya. Ia memikirkan kejadian itu dan mencoba untuk tetap pada
kesadarannya.
Desi
menyelempangkan tasnya dan beranjak menghampiri Mike yang masih terdiam
memperhatikan keadaan. "Kau mau kemana?", tanya Mike pelan. Suaranya
lembut dan berat. Pria itu mencoba menahan gejolak yang ada di dalam dirinya.
"Aku
harus pergi. Masih banyak yang harus aku persiapkan.", jawab Desi seringan
mungkin, mencoba untuk terlihat tenang. Walaupun dalam hatinya ia ingin berlari
cepat meninggalkan tempat itu.
"Biar
aku yang mengantarmu.", pinta Mike. Desi menatap ke arah mata Mike.
Terdapat ketulusan di sana.
"Tidak....Aku
tidak bisa.", jawab Desi
"Tapi
aku..."
"Tidak,
Mike. Untuk saat ini aku ingin sendiri. Ini terlalu cepat. Aku tidak
bisa."
"Kenapa?"
"Maaf.
Aku tidak bisa."
"Setidaknya
ijinkan aku mengantarmu pulang. Aku berjanji tidak akan berbuat macam-macam.
Aku janji.", pinta Mike dengan lembut. Tangannya menggenggam tangan Desi
dengan lembut. Ia bisa merasakan kehangatan pria itu menyentuh dirinya.
"Baiklah.",
jawab Desi lembut.
Mereka
pun keluar dari ruangan itu. Mereka keluar dari restoran itu dan masuk ke dalam
mobil. Selama perjalanan menuju rumahnya, Desi sama sekali tidak berbicara.
Mike pun berusaha untuk tidak mengusiknya. Mencoba memberinya ruang untuk
menenangkan diri.
Hari
masih terang saat mereka tiba di depan rumah Desi. Ia melirik ke arah jam
tangannya, masih jam tiga sore. Masih ada banyak waktu untuk menyelesaikan
pekerjaannya dan memastikan team di lapangan bisa terkoordinasi dengan baik
selama tiga hari nanti.
"Terima
kasih untuk semuanya.", ucap Desi sebelum keluar dari mobil itu.
"Besok
aku jemput jam tujuh pagi, kita akan ke hotel di Bogor untuk mempersiapkan
acara gathering nanti.", kata Mike. Namun pria
itu sama sekali tidak menatap Desi saat berbicara.
"Aku
bisa mengurus semua ini sendiri.", kata Desi agak kesal.
"Tidak
ada kompromi. Tidak ada alasan.", kata Mike dengan nada perintahnya. Pria ini sudah kembali ke sifat aslinya, pikir Desi
kesal.
"Jam
tujuh pagi. On time.",
kata Mike singkat.
"Terserah.",
jawab Desi dengan kesal. Lalu ia pun keluar dari mobil dan berjalan langsung
menuju pintu rumahnya. Ia langsung masuk ke dalam rumahnya dan menutup pintunya
dengan kencang.
Mike
pun pergi dari rumah itu setelah ia memastikan wanita itu masuk ke rumahnya.
∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞
Tidak ada komentar:
Posting Komentar