BAB 8
"Hai, Bro,"
sapa Damian di seberang sana.
"Where are you
now?" tanya Jack datar sambil mengusap-usap rambutnya yang basah
sehabis mandi.
"Em ... ini lagi
ada kerjaan sedikit," jawab Damian sedikit gugup.
"Really?"
tanya Jack tidak percaya.
"Yup. What's
wrong?" tanya Damian.
"Nggak ada
apa-apa," jawab Jack datar.
"Kenapa? Wanita
yang semalam nggak memuaskan? 'Kan udah gue bilang buat gue aja, Jack. She is
not –“
"Gue ke tempat lo
sekarang," potong Jack cepat. Ia tidak ingin membahas tentang Clara. Jack
tidak butuh seseorang untuk mengingatkan dirinya betapa wanita itu bukanlah
tipe wanitanya. Ia juga tidak butuh disadarkan tentang betapa bodoh hal yang ia
lakukan sampai membuat wanita itu tak sadarkan diri. Ia tidak ingin,
benar-benar tidak ingin membicarakan hal itu sekarang.
"Tapi, gue lagi
nggak di rumah," jawab Damian cepat.
"Di mana? Gue ke sana
sekarang," tanya Jack cepat. Ia sedang tidak ingin berbasa-basi, kalaupun
pria itu sedang melampiaskan nafsunya pada para wanita simpanannya, Jack yakin
Damian tidak akan membiarkan dirinya sendirian.
"OK. OK. Gue lagi
mau beli barang di mall dekat rumah gue. Kita ketemuan aja di restoran sushi
yang biasa," jawab Damian cepat.
"Great. Gue
jalan sekarang," balas Jack cepat.
Ia tahu temannya yang satu
ini tidak akan membiarkannya merana ataupun sendirian. Persahabatan mereka
sudah terjalin sejak mereka kecil, bahkan saat kejadian dengan Sasha menimpa
dirinya, Damian adalah satu-satunya teman yang tidak pernah meninggalkan
dirinya. Damianlah yang selalu mendukung dan mengatakan kalau kejadian itu
bukanlah kesalahannya seorang dan seharusnya rasa salah itu ditanggung oleh
teman-temannya yang lain juga.
Jack melemparkan handuk
kecil itu ke tempat tidur, lalu berjalan menuju lemari pakaian. Tanpa banyak
memilih, ia mengambil polo shirt warna putih, celana panjang
kasual berwarna cokelat berbahan katun yang terlihat sempurna saat ia kenakan,
dan sepatu santai berwarna putih. Setelah mengenakan pakaian dan jam tangan
yang selalu menghiasi pergelangan tangannya, ia langsung keluar kamar dan turun
ke lantai dasar di mana mobil sudah menunggu kedatangannya.
"Saya bawa
sendiri," kata Jack pada supirnya yang langsung memberikan kunci mobil
pada Jack.
Ia pun melajukan mobil
meninggalkan rumahnya yang megah dengan taman bunga yang tertata rapi.
∞∞∞∞∞
"Lo. Gila. Asli, lo
gila, Tam!" protes Clara geram saat mereka bertemu di salah satu toko
pakaian yang ada di mall.
"Why?"
tanya Tamara dengan wajah polos yang dibuat-buat.
"Dia udah punya bini.
Lo mau jodohin gue sama dia? Lo mau bikin gue jadi simpanan dia? Lo gila,
Tam!" protes Clara semakin histeris. Giginya gemeretak menahan amarah.
Ingin sekali rasanya ia pulang ke apartemen dan meninggalkan temannya itu. Tapi,
bukan Clara namanya kalau ia akhirnya mengalah dan mencoba untuk memendam rasa
kesalnya sendiri.
Di seberang sana, masih
dalam satu toko, Pak Timothy terlihat sedang asik memilih baju di lorong
pakaian pria. Clara melirik sesekali dan terpaksa melemparkan senyum ramah pada
Pak Timothy yang ternyata selalu memerhatikannya dari jauh. Clara merasa risih,
tapi – lagi dan lagi – ia mencoba menahan rasa risihnya tersebut hanya
karena pria itu sudah mengantarkannya ke tempat ini. Clara kembali melemparkan
tatapan marah ke Tamara yang terlihat begitu santai memilih-milih baju.
"Lo jangan negative
thinking dulu, Ra. Gue sama sekali nggak ada rencana jodohin lo sama
dia," sanggah Tamara santai sementara tangan dan matanya masih terus
mengamati barisan pakaian yang tergantung di etelase.
"Terus, apa maksud lo
ninggalin gue sama dia berduaan di resto?" tanya Clara menuntut
penjelasan.
"Karena gue ketemu
temen SMA gue. Tuh, orangnya," jawab Tamara masih dengan gaya santai
sambil menunjuk ke arah seorang pria yang juga sibuk memilih pakaian.
"Bullshit. Itu
mah bisa-bisaan lo aja," tolak Clara.
"Ya, sorry deh,
Ra. Beneran, gue nggak ada maksud begitu," bujuk Tamara, mengelus punggung
Clara seakan mencoba meredam kekesalan yang saat ini berdiam di dalam dadanya.
Clara masih terus
menggerutu dan merasa kesal. Ia melirik ke jam tangannya. Sekarang hampir jam
tiga sore dan Clara sudah mulai bosan. "Masih lama?" tanya Clara
tidak sabaran.
"Sebentar lagi,"
jawab Tamara. Wanita itu pun mulai mengeluarkan ponsel dari dalam tas dan
membalas sebuah pesan.
Beberapa menit kemudian,
Tamara menarik salah satu gaun berwarna ungu dan membawanya ke depan kasir.
Clara menunggu Tamara di dekat salah satu manekin yang sangat cantik dan
pandangannya pun tertuju pada Pak Timothy yang juga ikut mengantri di kasir.
Clara masih tidak percaya kalau Tamara tidak mengatur pertemuan ini dan ia
yakin sekali ada sesuatu di balik semuannya.
"Sudah jam tiga, nih.
Kita langsung ke atas, nunggu di sana aja, yuk," ajak Tamara dengan
senyumnya yang cantik.
Pria, yang kata Tamara
merupakan teman SMA-nya, mengikuti ke mana mereka pergi. "Dia ikut nonton
juga?" bisik Clara ingin tahu.
Tamara menganggukkan
kepala dengan cepat. "Dia yang bayarin. Tenang aja," jawab Tamara
sedikit berbisik.
"Terus ngapain Pak
Timothy juga ikut?" tanya Clara mulai merasa risih dengan kehadiran Pak
Timothy yang masih mengintilinya.
"Dia bilang mau ikut
nonton juga," jelas Tamara dengan santai.
Clara mendengus kencang. "Masih
mau bilang kalau ini bukan rencana lo?" tuduh Clara cepat.
"Sudah ... nikmati
aja," bujuk Tamara sambil menggandeng tangan Clara sementara kedua pria
itu berjalan di belakang mereka seperti ekor.
Mereka pun tiba di lantai
paling atas dan langsung berjalan menuju area bioskop. Warna hitam, merah, dan
cokelat yang berpadu dengan sempurna membuat tempat itu terasa begitu nyaman.
Clara dan Tamara sedang duduk di kursi yang mengitari sebuah meja bundar,
sedangkan Pak Timothy dan teman SMA Tamara sedang mengantri di tempat
pembelian snack.
Tak lama kemudian, kedua
pria itu datang menghampiri mereka. Pak Timothy langsung duduk di samping kiri
Clara. Ia bergerak sedikit ke arah Tamara yang ada di kanannya, berusaha
menjaga jarak. "Ini untukmu," kata Pak Timothy lembut sambil
menyodorkan segelas minuman dan satu bungkus popcorn ke
hadapan Clara.
"Terima kasih,"
sambut Clara dengan senyum terpaksa.
Clara hanya terdiam dan
mendengarkan Tamara yang sedang asik berbincang dengan temannya. Pak Timothy
terlihat sedikit sibuk membalas pesan dan beberapa panggilan yang masuk. Clara
pun mulai mencari kesibukan dengan ponselnya.
Tak terasa waktu sudah
menunjukkan pukul setengah empat sore dan mereka mulai beranjak menuju sebuah
pintu yag mengarah ke sebuah ruangan dengan ratusan kursi berwarna merah.
"Pokoknya, gue nggak mau duduk dekat dia!" ucap Clara sedikit
memberik penekannan pada Tamara.
"Up to you,"
jawab Tamara dengan senyum menggoda.
Baru saja mereka berjalan
beberapa langkah, seorang pria menyenggol bahu Clara dengan sangat kencang.
Pria itu sepertinya terlalu asik dengan wanitanya hingga tak melihat Clara yang
sedang berjalan di sampingnya. "Auch!" keluh Clara.
Bungkus popcorn-nya
terlepas dari genggamannya dan terjatuh hingga seluruh isinya berserakan di
lantai.
Sial!
∞∞∞∞∞
Jack memarkirkan mobilnya
dan segera masuk ke mall. Ia pun langsung berjalan menuju restoran Sushi. Jack
mengirimkan pesan ke Damien, memberitahu kalau ia sudah tiba dan sedang menuju
ke restoran Sushi.
Damian langsung membalas
pesannya. 'Gue di bioskop. Ke sini aja.'
Jack menggelengkan kepala,
temannya yang satu ini memang paling senang memanjakan para wanitanya. Makanya
tak ada satu pun wanita yang mampu menolak pesona dan kekayaan Damian.
Pintu lift terbuka lebar
dan ia pun segera masuk menuju lantai paling atas. "Di mana?" tanya
Jack saat ia tiba di lantai atas dan berjalan menuju area bioskop.
"Di meja tengah,
depan studio tiga," jawab Damian di balik ponsel.
Ia langsung memutuskan
pembicaraan, lalu berjalan menuju area meja. Jack melemparkan pandangan ke
barisan meja bundar yang terisi oleh beberapa orang. Matanya tertuju pada sosok
pria yang begitu ia kenal. Damian sedang tertawa dengan dua wanita yang duduk
mengapit pria itu.
Jack bisa melihat tangan
Damian yang menggenggam tangan seorang wanita berambut panjang.
"Hei!" teriak Damian saat melihat kedatangan Jack.
Ia pun langsung
menghampiri meja itu dan kedua wanita yang mengapit Damian langsung melemparkan
pandangan menyelidik. "Gue udah beliin tiket. Lo temenin gue nonton,
ya," ajak Damian.
"Mereka kurang?"
tanya Jack sinis, tatapannya meneliti kedua wanita yang duduk memerhatikan
dirinya.
"Oh, come on. I
know you'll like it," bujuk Damian sambil memainkan alis matanya.
"Like it or like
them?" tanya Jack lagi semakin sinis.
"Stop talking.
Filmnya udah mau mulai," sanggah Damian seraya beranjak dari kursinya.
Kedua wanita itu pun
mengikuti Damian. "She is yours," kata Damian sambil
menyodorkan wanita itu pada Jack.
Jack meneliti wanita itu
dari ujung rambut sampai ujung kaki. "Really?" tanya Jack,
bukan dengan nada antusias, tapi lebih ke nada mengejek.
"Come on,"
ajak Damian sambil melingkarkan tangan ke pinggang wanitanya.
Wanita yang Damian
sodorkan padanya pun mulai mendekati tubuh Jack dan tanpa rasa ragu sedikit
pun, wanita itu mulai menggandeng dan bergelayut manja di tangan Jack. Ia
merasa sesuatu yang aneh dalam dirinya seakan memberontak dan ingin pergi dari
tempat itu, tapi di sisi lain ia tidak ingin menyia-nyiakan wanita yang
menyodorkan tubuh begitu saja padanya.
Ini hari kedua di mana ia
sama sekali belum melepaskan gairah dalam dirinya dan ia berharap setidaknya ia
bisa merasakan tubuh wanita ini. Kesempatannya semalam terbuang begitu saja,
padahal Jack sadar jika saat itu ia mampu menikmati tubuh Clara.
Tapi, entah kenapa sesuatu
dalam dirinya seperti menolak. Ia tahu kalau tubuh Clara mungkin pasti
mengembalikan semangat dan gairahnya, karena hanya dengan merasakan bibir
lembut itu mampu membuat Jack tenggelam. Akhirnya, ia pun memutuskan untuk
membawa Clara kembali ke apartemen. Jack langsung menghubungi Triam dan
menyuruh wanita paruh baya itu untuk mengurus Clara.
Setelah ia meletakkan
Clara di tempat tidur, Jack langsung keluar dari apartemen kecil itu dan
membiarkan Triam untuk mengurus semuanya. Ya, ia tahu kalau ia sudah membuang
kesempatan emas itu. Biarlah, batin Jack berkali-kali setiap
mengingat kejadian itu.
Jack berjalan di belakang,
mengikuti langkah Damian. Temannya itu terlihat begitu senang, wanita di
sampingnya pun terlihat begitu bergairah hingga membuat tubuh Damian tak
seimbang.
"Auch!" teriak
wanita yang tak sengaja tersenggol oleh Damian.
Mata Jack tertuju pada
hamparan popcorn yang berserakan di
lantai, lalu menoleh ke arah si wanita yang tersenggol. Rambut itu, suara itu,
bahkan aroma lavender yang begitu khas membuat Jack terdiam.
"Clara?" panggil
Jack tak percaya.
Wanita itu langsung
menoleh ke arahnya dan mata hitam pekat itu pun menatapnya. Jack bisa melihat
rona merah yang langsung mewarnai pipi Clara. Bibir itu terbuka lebar, terkejut
melihat kehadiran Jack di tempat itu.
"Mr. Golden?"
ucap Clara tak percaya.
Jack berusaha keras untuk
menjaga wibawa dan mukanya di depan Clara. Ia berharap wanita itu tidak
mengingat kejadian semalam. "Sorry, sorry, sorry. Saya akan
ganti popcorn-nya," ucap Damian merasa bersalah.
"Tidak perlu. Saya
bisa membelinya lagi," jawab seorang pria yang berdiri di samping Clara,
dengan sinis.
Mata Jack meneliti pria
itu dalam diam. Clara, yang terlihat gugup, ditarik dengan lembut oleh pria
itu. Clara pergi dari hadapannya dengan wajah tertunduk malu. Ingin sekali ia
menahan langkah wanita itu, bertanya siapa pria itu dan apa hubungannya dengan
Clara. Tapi, bukan Jack namanya jika ia tidak bisa menjaga harga diri dan
kesombongannya.
Baginya, apapun yang wanita
itu lakukan, dengan siapa wanita itu pergi, dan apa hubungan mereka, itu bukan
urusannya. Jack membuang pandangannya dan kembali melangkah menuju sebuah
ruangan, membiarkan Clara bersama pria asing tersebut di tempat pembelian snack.
I don't care.
∞∞∞∞∞
Tidak ada komentar:
Posting Komentar