Minggu, 14 Januari 2018

BEAUTIFUL MADNESS (21+) - BAB 6



BAB 6

            Clara duduk di seberang Mr. Golden. Pria itu menatapnya dengan tajam seakan meneliti setiap jengkal wajahnya. Ia tidak tahu kenapa Mr. Golden membawanya ke restoran ini. Restoran yang tampak mahal dengan ornamen dan hiasan yang tampak mewah. Mereka sedang menunggu pesanan mereka yang sudha dipesan oleh Mr. Golden karena ia sama sekali tidak mengerti apa isi menu yang berbahasa Prancis. 

            Ia terus berpikir apa yang membuat Mr. Golden mengajak dirinya. Bukannya dia punya banyak wanita yang bisa diajak makan malam?  Kenapa harus aku? tanya Clara dalam hati sambil mengalihkan pandangannya dari Mr. Golden.

            Seorang pelayan pun datang sambil membawa hidangan pembuka dan meletakkannya di hadapan mereka. "Apa ini, Sir?" tanya Clara sedikit mengernyit saat melihat sekumpulan butiran-butiran kecil berwarna hitam mengilap.

            "Eat," perintah Mr. Golden singkat.

            Clara memerhatikan cara makan Mr. Golden dan meniru apa yang pria itu lakukan. Dengan penuh ragu, Clara memasukkan butiran-butiran itu ke dalam mulutnya dengan perlahan. Butiran-butiran itu terasa begitu lembut menyentuh lidahnya, bagaikan jeli yang begitu halus dan terasa nikmat. Rasa asin dan gurih yang lezat seakan membuat Clara ingin menyendok makanan itu lagi dan lagi.

            "Enak?" tanya Mr. Golden singkat.

            Ia memasukkan satu suapan lagi sambil mengangguk cepat dan matanya tertuju pada hidangan Mr. Golden yang masih tersentuh sedikit, sedangkan miliknya sudah habis setengah. Ia pun langsung menghentikan makannya dan mencoba menahan keinginannya untuk segera menghabiskan hidangan pembuka itu.

            "This is caviar," jelas Mr. Golden singkat.

            “Hm,” gumam Clara dengan anggukan kepala cepat tanpa memedulikan apa yang pria itu ucapkan dan terus menikmati hidangan yang terasa begitu lezat dalam hidupnya.

            "Fish eggs," lanjut Mr. Golden.

            Fish eggs?? Mata Clara langsung menatap Mr. Golden yang terlihat tenang dan mengunci tatapannya, terlihat seperti menunggu reaksinya. Seketika itu pula Clara berhenti mengunyah, tangannya yang masih mengangkat kaviar dalam sendoknya pun berhenti begitu saja. Fish eggs?? Telur ikan. Telur ikan?? batin Clara histeris lalu meletakkan sendoknya begitu saja. Raut wajah Clara pun berubah cepat, menunjukkan rasa jijik yang begitu besar.

            "Tenang saja. Ini sehat dan bergizi," lanjut Mr. Golden santai dan kembali menikmati makanannya.

            Clara masih menatap hidangan di hadapannya yang ternyata adalah gumpalan telur ikan. Ia tidak menyangka telur ikan yang selama ini tampak menjijikkan bisa terasa begitu nikmat dan sangat lezat. Oh iya, dan juga mahal, batin Clara, sesekali melirik Mr. Golden yang terus menikmati kaviar dan menatapnya dengan raut wajah paling datar. Clara menatap makanannya lagi, berpikir untuk berhenti mengonsumsi telur-telur ikan itu. Tapi di lain sisi, ia merasa tidak tega membuang sesuatu yang sangat berharga dan terasa begitu nikmat.

            "Makan," perintah Mr. Golden dan Clara mulai kembali memasukkan makanan itu ke mulutnya. Ia mencoba mengesampingkan bayangan telur ikan yang menjijikkan dan mulai terhipnotis oleh kenikmatan yang belum pernah ia rasakan.

            Tak terasa hidangan itu habis begitu saja, dahaga pun mulai terasa dan Clara langsung mengangkat gelas berisi cairan putih bening di sampingnya, lalu meneguknya dalam satu tegukan besar. Ia hampir tersedak karena rasa panas yang langsung menjalar di tenggorokannya bercampur rasa manis yang belum pernah ia rasakan. "Ini," ucap Clara mengernyit kesakitan, lalu meneguk air liurnya dengan susah payah.

            "ini apa?" tanya Clara gelagapan sambil menatap Mr. Golden yang terlihat biasa saja atas reaksi Clara, yang berusaha menahan rasa asing yang belum pernah ia rasakan sama sekali.

            "White wine," jawab Mr. Golden cepat sebelum memasukkan suapan terakhir ke dalam mulut.

            "Air putih,” pinta Clara dengan suara tercekat dan mengerutkan wajahnya. Ia sama sekali belum pernah minum minuman beralkohol dan Clara tidak menyangka bahwa rasanya begitu panas di tenggorokannya.

            “Apa nggak ada air putih di restoran ini?" pinta Clara lagi sembari sesekali berdeham. Rasa manis yang bercampur dengan rasa panas itu benar-benar membuat tenggorokannya terasa kering.

            Mr. Golden mengangkat tangan kanan dan seorang pelayan pun datang ke meja mereka. "Mineral water," pesan Mr. Golden dan pelayan itu pun pergi meninggalkan mereka.

            Clara masih berdeham sesekali. Tenggorokannya terasa seperti ada yang mengganjal. Matanya menatap gelas yang tadi ia minum dan menyesal karena begitu ceroboh meminum sesuatu tanpa bertanya terlebih dahulu. Ia melempar pandangannya ke arah Mr. Golden yang begitu santai meneguk white wine tanpa reaksi berlebihan. Sepertinya dia sudah sering minum minuman seperti ini, gerutu Clara. Tak lama kemudian, sebotol air mineral pun diletakkan di samping gelas kaca tadi. Dengan cepat Clara membuka botol tersebut dan segera meneguknya hingga tersisa setengah botol.

            Tenggorokannya yang kering pun terasa segar. Clara menghembuskan napas lega lalu meletakkan botol itu kembali. Seorang pelayan menghampiri meja mereka dan mengambil piring kotor, yang sebenarnya tidak kotor sama sekali, lalu mengganti piring kosong tersebut dengan sepiring daging yang terlihat begitu lezat. Mata Clara mengikuti gerakan si pelayan saat meletakkan piring di hadapannya.

            "Itu steak," jelas Mr. Golden saat Clara melemparkan pandangan penuh tanya ke arah atasannya itu.

            Tanpa ragu Clara langsung memotong satu per satu daging itu, lalu memasukkan ke dalam mulutnya. "Enak?" tanya Mr. Golden.

            Entah karena Mr. Golden selalu memerhatikan ekspresi wajahnya atau memang pria itu selalu ingin menanyakan pendapatnya, Clara tidak tahu. Tapi kali ini sepertinya ia tidak perlu menjawab pertanyaan itu. Clara hanya memberikan senyuman lebar sebelum mengunyah daging yang terasa lembut dan Mr. Golden pun mulai menikmati makanannya.

            Sambil mengunyah, Clara melemparkan pandangannya ke seluruh ruangan. Orang-orang yang datang ke restoran ini terlihat sangat elegan dan eksklusif. Clara belum pernah pergi ke tempat seperti ini. Restoran termahal yang pernah ia kunjungi hanyalah salah satu restoran yang berada tidak jauh dari kantornya yang dulu. Itu pun ia sama sekali tidak mengeluarkan biaya karena Tamara yang membayar makanannya.

            "Tell me about you," kata Mr. Golden sembari memotong steak-nya.

            "Hah?" tanya Clara kaget.

          "Ceritakan siapa dan dari mana asalmu," jawab Mr. Golden dengan santai sambil menunjukkan pisau kecil ke arah Clara.
      
      "Saya?” tanya Clara lagi, tidak mengerti apa yang pria itu inginkan. Mr. Golden menjawab pertanyaannya dengan mengangkat salah satu alisnya sambil terus menimati makanannya.

            Clara berdeham sebelum mulai berbicara. “Nama saya Clara, lahir di Jakarta, anak tunggal, dan yatim piatu," jawab Clara singkat masih dengan keadaan bingung.

            Mr. Golden terhenti sesaat saat Clara mengatakan kalau ia adalah seorang yatim piatu. Tapi, beberapa detik kemudian pria itu kembali sibuk dengan makanannya. "Lalu?" tanya Mr. Golden singkat.

            Clara mengerutkan keningnya, bingung harus bercerita apa lagi. Ia pun terdiam selama beberapa lama sebelum akhirnya Mr. Golden menghentikan aktivitas makannya dan menatap Clara dengan tajam. "Lalu??" tanya Mr. Golden lagi sedikit menuntut.

            "Lalu ... saya ... saya tidak tahu harus cerita apa lagi, Sir," jawab Clara gugup.

            "OK. I’ll ask and you must answer it," ucap Mr. Golden dengan sedikit - ya, sedikit - senyum yang tersungging di wajah tampan itu. Clara hanya bisa mengangguk pasrah dan berharap agar atasannya tidak bertanya hal yang tidak-tidak.

            “Kau senang kerja di perusahaan ini?” tanya Mr. Golden cepat sebelum memasukkan sepotong steak ke mulutnya.

            Clara mengangguk dengan ragu, ia tidak berani mengatakan yang sebenarnya. Meskipun ia merasa terganggu dengan aktifitas seksual yang pernah ia pergoki dua kali, tapi hanya di perusahaan inilah ia bisa mendapatkan gaji besar.

            “Really?’ tanya Mr. Golden seakan bisa membaca keraguan di wajah Clara dan ia pun memberikan anggukan dengan penuh percaya diri.

            "Apa alasanmu mau bekerja di perusahaan ini?" tanya Mr. Golden yang langsung membuat Clara membeku.

            "Untuk menambah pengalaman, Sir," jawab Clara polos. Jawaban yang selalu ia lontarkan setiap kali ada wawancara pekerjaan.

            "Jawaban lain. Saya mau mendengar jawaban jujur," tolak Mr. Golden yang sepertinya tahu kalau jawabannya hanya sekedar jawaban standar yang sudah sering orang ucapkan.

            "Emm ... itu ... karena ... karena –“

            "Karena??" ulang Mr. Golden.

            Ia tidak menyangka pria ini akan menuntutnya seperti ini. Ia tidak ingin seorang pun tahu apa alasan utamanya menerima pekerjaan ini. "Karena ... karena," ucap Clara berulang kali, tidak berani menatap Mr. Golden.

            "What?" tanya Mr. Golden masih terus menatap Clara dengan wajah penasaran.

            Clara terdiam sejenak, melirik ke aeah Mr. Golden lalu menghembuskan napas sebelum memikirkan jawaban terbaik apa yang harus ia ucapkan. "Clara," panggil Mr. Golden dengan lembut. Tak percaya dengan sisi lembut yang coba pria itu tunjukkan padanya malah membuat Clara terperangah.

            "Answer my questions or i’ll show you that none of my questions don’t get an answer," ucap Mr. Golden, kali ini suaranya kembali terdengar dalam dan tegas.

           "Uang," jawab Clara cepat lalu menundukkan kepalanya, mencoba sibuk dengan makanannya.
   
         "What for?" tanya Mr. Golden ingin tahu, lalu menghentikan kegiatan makannya dan menatap Clara dengan serius.

            "This is my family’s problem and i don’t think you have the right to know that," tolak Clara tegas.

           "Oh, of course i have,” sanggah Mr. Golden dengan tatapan tajam dan aura mengintimidasinya pun terasa begitu kuat.
   
         “No, you don’t,” tolak Clara. Ia benar-benar tidak ingin membicarakan hal ini dengan siapa pun, bahkan dengan atasannya sendiri. Terlebih lagi karena pria ini adalah atasan barunya dan ia sama sekali tidak tahu seperti apa sifat Mr. Golden yang sebenarnya.

       “I can fire you right now, if i want to," ancam Mr. Golden yang langsung membuat Clara mendongak kaget dan menatap mata pria itu dalam-dalam.

        Selain penggila seks, ternyata dia suka mengendalikan orang lain dengan kekuasaannya, gerutu Clara kesal. Mr. Golden kembali memainkan salah satu alis matanya, seakan mengatakan kalau pria itu memang memiliki kuasa atas diri Clara.
         
       “Saya butuh uang yang banyak agar saya bisa bertemu dengan satu-satunya keluarga yang saya miliki,” jelas Clara dengan terpaksa. Rasa lapar pun menghilang karena pria ini begitu menuntut dan ia terpaksa mengingat masa lalunya.
     
       “Siapa?” tanya Mr. Golden.

        “Kakek saya,” jawab Clara singkat.

         “Di mana dia sekarang?” tanya Mr. Golden.

          “Australia,” jawab Clara cepat.

            “Kau tidak perlu uang banyak jika ingin pergi ke Australia,” jelas Mr. Golden dengan tatapan curiga.

            “Memang. Tapi saya butuh uang banyak untuk membuktikan pada pria tua itu kalau saya adalah putri satu-satunya dari anak laki-laki satu-satunya yang dia buang begitu saja. Saya butuh uang untuk tes DNA dan menuntut agar pria itu mengembalikan nama baik ayah saya yang tidak pernah dia akui selama ayah saya hidup hingga ayah saya meninggal. Saya butuh banyak uang dan karena itu saya menerima pekerjaan di perusahaan Anda,” jawab Clara tegas bercampur rasa amarah yang mulai menyelimutinya.

            Ia tidak akan pernah bisa menahan amarahnya setiap kali mengingat betapa tersiksanya hidup mereka karena pria tua itu sama sekali tidak mengakui dan tidak membantu kehidupan mereka sepeserpun. Sedangkan yang Clara tahu, pria tua itu memiliki kekayaan yang tidak akan habis sampai tujuh turunan.

            Clara menghembuskan napas panjang beberapa kali, mencoba untuk menenangkan emosinya yang mulai terpancing. Ia tidak peduli apa yang saat ini pria itu pikirkan, yang Clara pedulikan saat ini hanyalah uang. Ia menjawab pertanyaan Mr. Golden supaya ia tidak dipecat. Hanya itu saja.

            “Eat,” perintah Mr. Golden yang terlihat kembali tenang, seakan menganggap jawaban Clara hanyalah sebuah dongeng.

            “Eat!” perintah Mr. Golden sedikit tegas saat melihat Clara yang masih belum melanjutkan makannya.

            Dengan terpaksa, Clara mulai menghabiskan makan malamnya dengan cepat, lalu meneguk air mineral hingga habis. Tanpa pikir panjang, Clara pun meneguk white wine sampai habis. Ia tidak memedulikan rasa panas yang menetap di tenggorokanya dan berharap alkohol yang terkandung dalam wine itu bisa menghilangkan rasa frustasi dan kesal yang saat ini mulai mendominasi dirinya.

            Clara bisa merasakan tatapan Mr. Golden yang terkejut melihatnya menghabiskan wine itu dengan cepat. Tapi ia tidak peduli. Clara hanya ingin segera mengakhiri makan malam ini dan berbaring di tempat tidurnya. Beberapa saat kemudian, Mr. Golden pun menyudahi makanannya. Seorang pelayan kembali menghampiri meja mereka, mengambil piring kotor dari hadapan mereka, dan meletakkan sebuah puding yang terlihat lezat.

            Tanpa menunggu lama-lama, Clara langsung melahap pudingnya hingga habis, tanpa memedulikan betapa lembut dan lezatnya puding itu. Bahkan mungkin puding itu adalah puding terlezat dan termahal yang pernah ia cicipi. Clara bisa merasakan tatapan Mr. Golden yang tidak berhenti memerhatikannya. Tapi, ia tidak peduli.

            Setelah mereka menyelesaikan makan malam mewah itu dan Mr. Golden membayar tagihan, akhirnya mereka keluar dari restoran itu dan berjalan menuju mobil. “Saya sudah boleh pulang?” tanya Clara cepat, berharap ia ada di atas tempat tidurnya saat ini.

            “Belum,” jawab Mr. Golden singkat.

            “Mau ke mana lagi, Sir?” tanya Clara dengan wajah memelas. Ia benar-benar sudah lelah sekarang. Bukan hanya tubuhnya yang lelah, perasaannya pun lelah karena harus mengingkat kembali betapa merana kehidupannya dengan orangtuanya saat Clara masih kecil.

            “Masuk,” perintah Mr. Golden dan Clara pun terpaksa masuk ke mobil.

∞∞∞∞∞

            Suara musik yang memekakkan telinga dengan empat orang wanita, yang hanya mengenakan selembar bra dan G-String, menarik meliuk-liuk di tiang dansa. Jack duduk di sebuah ruangan yang biasa ia datangi. Matanya menatap pemandangan itu dengan malas sedangkan wanita yang saat ini duduk di sampingnya terlihat terperangah menatap para wanita-wanita yang menari dengan liar. Sesekali Clara mengernyit setiap kali suara dentuman keras berhasil menembus ruangan itu.

            Jack selalu duduk di ruangan ini karena ruangan ini merupakan ruangan private dan tak ada seorang pun yang bisa melihat ke dalam sini. Dinding kaca itu memang terbuat dari kaca tembus pandang, namun hanya orang yang duduk di dalam ruangan yang bisa melihat ke luar, tapi tidak sebaliknya. Matanya terus mengikuti setiap gerakan menggoda para wanita-wanita itu, tapi ia sama sekali tidak merasakan gairah sama sekali.

            Pintu ruangan pun terbuka dan seorang pelayan wanita dengan pakaian sangat seksi masuk ke ruangan sambil membawakan minuman yang selalu ia pesan. Sebotol Vodka tersaji dengan dua gelas kosong dan diletakkan di meja kecil yang ada di depan sofa yang saat panjang yang sedang ia duduki. Entah sudah berapa kali ia datang ke tempat ini hanya untuk membangkitkan gairah dan semangatnya setiap kali ia merasa penat karena memikirkan Sasha. Tapi kali ini, entah kenapa rasa penat itu tidak hilang seperti biasa.

            “Sir, apa yang kita lakukan di sini?” tanya Clara pada Jack.

            Jack hanya mengangkat bahunya, tidak tahu harus menjawab apa. Ia menuangkan vodka ke dalam gelas kaca lalu meneguknya dengan cepat dan menuangkannya sekali lagi, kali ini ia juga menuangkan di gelas yang satunya. “Sir?” panggil Clara lagi.

            “Minum,” perintah Jack sambil menyodorkan gelas kaca ke hadapan Clara.

            Wanita itu menerima gelasnya, tapi tidak langsung meminumnya. “Minum!” perintah Jack sekali lagi, kali ini dengan nada menuntut.

            “Tapi, Sir ... saya ... nggak pernah –“

            “Minum!” perintah Jack dengan tatapan tajam.

            Clara menggelengkan kepala dan Jack menggemeretakkan giginya, menahan rasa kesal pada wanita itu. Dirinya benar-benar sedang kesal dan penat karena Sasha, dan ia tidak butuh satu wanita lagi untuk menambah kepenatannya. Tidak ada yang penah menolaknya, apalagi seorang sekretaris baru yang polos dan memiliki masalah keluarga yang seharusnya tidak menjadi bahan pikirannya juga.

            Tangan wanita itu menggenggam erat gelasnya. Jack menggeser bokongnya, mendekati Clara, lalu menengadahkan wajah Clara. Ia mengunci tatapan Clara yang tampak membesar dan ketakutan. Jack tidak peduli sebesar apa rasa takut Clara, yang ia pedulikan hanya kepentingannya sendiri. Memuaskan dirinya dengan tubuh wanita ini dan berharap setelah ia melakukan hal itu semangatnya bisa kembali membara.

            “Minum!” perintah Jack sambil menuntun tangan Clara dan membuat wanita itu meneguk minumannya hingga habis.

            Jack mengambil gelas kosong itu dari tangan Clara lalu mengisinya lagi. “Cukup, Sir,” tolak Clara saat Jack memberikan gelas itu lagi pada Clara.

            “Minum!” paksa Jack dan wanita itu pun meneguk minuman itu sambil mengernyitkan keningnya, tampak kesakitan.

            Jack tidak peduli, mungkin dengan menyiksa wanita ini bisa membuat diriya membara. Gelas itu pun kembali kosong dan Jack kembali mengisi gelas itu. Begitu seterusnya, hingga ke lima kalinya ia mengisi gelas itu dan menemukan tubuh Clara yang tampak melemah karena minuman keras itu. Mata Jack menelusuri tubuh Clara yang bersandar di sandaran sofa, kedua tangan terkulai lemah, dan kepala yang tergeletak di sandaran sofa. Terlihat begitu pasrah dan  menggairahkan.

            Ia pun mulai merasakan debaran jantungnya yang perlahan berubah semakin cepat. Bagus, wanita ini ternyata bisa membangkitkan gairahku, batin Jack dengan seringai jahat di wajahnya.  Tangannya mulai membelai wajah Clara perlahan-lahan, menekankan ibu jarinya di bibir Clara yang terasa lembut. Kemudian, belaian itu mulai turun ke leher Clara dan membelai lekukan payudara Clara yang menyembul di lipatan gaun malam itu. 

            Jantung Jack terasa semakin berpacu dan ia sangat suka ketika jantungnya bisa berdebar secepat itu. Jack beranjak dari sofa dan berdiri tepat di hadapan Clara yang terlihat lemah. Baru saja ia ingin menarik kepala ikat pinggangnya, sebuah ketukan di pintu menghentikannya dan Jack menoleh dengan cepat ke arah pintu.

            “Hai, Jack! Aku dapatkan wanita baru untukmu,” teriak Damien, sahabatnya saat mereka masih sekolah dulu.

            Mereka sering menghabiskan waktu bersama di ruangan ini dengan para wanita. Tapi ia tidak menyangka kalau pria itu akan datang hari ini. Damien masuk ke ruangan sambil menggandeng seorang wanita yang terlihat cantik dengan pakaian yang begitu seksi, lalu menutup pintu di belakangnya. “Ups, sorry. Kau sedang bersenang-senang rupanya,” ucap Damien saat melihat Clara yang terkulai lemah.

            Jack langsung membalikkan tubuhnya dan menghadap Damien. Ia bisa melihat mata Damien yang mulai meneliti dan menjalar mengamati tubuh Clara, dan ia tidak menyukai hal itu. “Kita bisa bertukar kalau kau mau atau aku bisa mencobanya setelah dirimu,” bujuk Damien dengan wajah penuh nafsu.

            “I don’t need her and get out,” jawab Jack cepat sambil menatap wanita yang berdiri di samping Damien dengan tatapan jijik.

            “But, she is your type, Bro,” bujuk Damien lagi.

            “Just get out,” usir Jack dengan halus, mencoba menahan rasa kesalnya pada Damien karena sudah mengganggu saat-saat yang begitu ia inginkan.

            “Please, Bro,” bujuk Damien lagi.

            Sebuah tepukan di pundak Jack membuat dirinya menoleh ke belakang dan terkejut melihat Clara yang berdiri di belakangnya. Wanita itu berdiri sempoyongan dan mengerjap-ngerjapkan mata berusaha menatap Jack dengan pandangan sayu itu. “Sir,” ucap Clara lemah sambil menggenggam tangan Jack, menjadikan dirinya sebuah tumpuan kuat untuk berdiri.

            “Duduk!” perintah Jack, tapi sepertinya Clara tidak menggubris ucapannya. Tubuh Clara pun mulai terlihat lunglai dan dengan cekatan Jack melingkarkan tangannya di pinggang Clara, lalu mendekap tubuh wanita itu. Menahannya agar tidak terjatuh.

            “Get. Out!” usir Jack dengan tegas, tapi Damien sama sekali tidak beranjak dari tempatnya.

            “She is mine,” ucap Jack sebelum ia menempelkan bibirnya di bibir Clara dan melumatnya dengan rakus.

            Jantungnya berdebar dengan sangat cepat dan kepalanya terasa ringan. Jack bisa mendengar pintu ruangan itu kembali terbuka dan tertutup lagi. Ia tahu Damien sudah pergi dari ruangannya, tapi Jack sama sekali tidak melepaskan ciumannya, malah semakin memperdalam ciuman itu. Bibir Clara terasa begitu manis dan lembut. Ia tidak menyangka kalau wanita ini bisa membangkitkan gairahnya lagi.

            Jack mulai merasakan tubuh Clara yang semakin lama semakin terkulai lemah. Jack melepaskan ciumannya dengan enggan dan menatap wanita yang saat ini pingsan di dalam dekapannya. Jack memerhatikan setiap jengkal wajah Clara dan terpaku pada bibir indah itu.

            Ia mengusap bibir Clara dengan bibirnya dan menyeringai nakal. You’re mine now.


∞∞∞∞∞

Tidak ada komentar: