BAB 6
Clara duduk di seberang
Mr. Golden. Pria itu menatapnya dengan tajam seakan meneliti setiap jengkal
wajahnya. Ia tidak tahu kenapa Mr. Golden membawanya ke restoran ini. Restoran
yang tampak mahal dengan ornamen dan hiasan yang tampak mewah. Mereka sedang
menunggu pesanan mereka yang sudha dipesan oleh Mr. Golden karena ia sama
sekali tidak mengerti apa isi menu yang berbahasa Prancis.
Ia terus berpikir apa yang
membuat Mr. Golden mengajak dirinya. Bukannya dia punya banyak wanita
yang bisa diajak makan malam? Kenapa harus aku? tanya
Clara dalam hati sambil mengalihkan pandangannya dari Mr. Golden.
Seorang pelayan pun datang
sambil membawa hidangan pembuka dan meletakkannya di hadapan mereka. "Apa
ini, Sir?" tanya Clara sedikit mengernyit saat melihat sekumpulan
butiran-butiran kecil berwarna hitam mengilap.
"Eat,"
perintah Mr. Golden singkat.
Clara memerhatikan cara
makan Mr. Golden dan meniru apa yang pria itu lakukan. Dengan penuh ragu, Clara
memasukkan butiran-butiran itu ke dalam mulutnya dengan perlahan.
Butiran-butiran itu terasa begitu lembut menyentuh lidahnya, bagaikan jeli yang
begitu halus dan terasa nikmat. Rasa asin dan gurih yang lezat seakan membuat
Clara ingin menyendok makanan itu lagi dan lagi.
"Enak?" tanya
Mr. Golden singkat.
Ia memasukkan satu suapan
lagi sambil mengangguk cepat dan matanya tertuju pada hidangan Mr. Golden yang
masih tersentuh sedikit, sedangkan miliknya sudah habis setengah. Ia pun
langsung menghentikan makannya dan mencoba menahan keinginannya untuk segera
menghabiskan hidangan pembuka itu.
"This is caviar,"
jelas Mr. Golden singkat.
“Hm,” gumam Clara dengan
anggukan kepala cepat tanpa memedulikan apa yang pria itu ucapkan dan terus
menikmati hidangan yang terasa begitu lezat dalam hidupnya.
"Fish eggs,"
lanjut Mr. Golden.
Fish eggs?? Mata Clara
langsung menatap Mr. Golden yang terlihat tenang dan mengunci tatapannya,
terlihat seperti menunggu reaksinya. Seketika itu pula Clara berhenti
mengunyah, tangannya yang masih mengangkat kaviar dalam sendoknya pun berhenti
begitu saja. Fish eggs?? Telur ikan. Telur ikan?? batin Clara
histeris lalu meletakkan sendoknya begitu saja. Raut wajah Clara pun berubah
cepat, menunjukkan rasa jijik yang begitu besar.
"Tenang saja. Ini
sehat dan bergizi," lanjut Mr. Golden santai dan kembali menikmati
makanannya.
Clara masih menatap
hidangan di hadapannya yang ternyata adalah gumpalan telur ikan. Ia tidak
menyangka telur ikan yang selama ini tampak menjijikkan bisa terasa begitu
nikmat dan sangat lezat. Oh iya, dan juga mahal, batin Clara,
sesekali melirik Mr. Golden yang terus menikmati kaviar dan menatapnya dengan
raut wajah paling datar. Clara menatap makanannya lagi, berpikir untuk berhenti
mengonsumsi telur-telur ikan itu. Tapi di lain sisi, ia merasa tidak tega
membuang sesuatu yang sangat berharga dan terasa begitu nikmat.
"Makan,"
perintah Mr. Golden dan Clara mulai kembali memasukkan makanan itu ke mulutnya.
Ia mencoba mengesampingkan bayangan telur ikan yang menjijikkan dan mulai
terhipnotis oleh kenikmatan yang belum pernah ia rasakan.
Tak terasa hidangan itu
habis begitu saja, dahaga pun mulai terasa dan Clara langsung mengangkat gelas
berisi cairan putih bening di sampingnya, lalu meneguknya dalam satu tegukan
besar. Ia hampir tersedak karena rasa panas yang langsung menjalar di
tenggorokannya bercampur rasa manis yang belum pernah ia rasakan.
"Ini," ucap Clara mengernyit kesakitan, lalu meneguk air liurnya
dengan susah payah.
"ini apa?" tanya
Clara gelagapan sambil menatap Mr. Golden yang terlihat biasa saja atas reaksi
Clara, yang berusaha menahan rasa asing yang belum pernah ia rasakan sama
sekali.
"White wine,"
jawab Mr. Golden cepat sebelum memasukkan suapan terakhir ke dalam mulut.
"Air putih,” pinta
Clara dengan suara tercekat dan mengerutkan wajahnya. Ia sama sekali belum
pernah minum minuman beralkohol dan Clara tidak menyangka bahwa rasanya begitu
panas di tenggorokannya.
“Apa nggak ada air putih
di restoran ini?" pinta Clara lagi sembari sesekali berdeham. Rasa manis
yang bercampur dengan rasa panas itu benar-benar membuat tenggorokannya terasa
kering.
Mr. Golden mengangkat
tangan kanan dan seorang pelayan pun datang ke meja mereka. "Mineral
water," pesan Mr. Golden dan pelayan itu pun pergi meninggalkan
mereka.
Clara masih berdeham
sesekali. Tenggorokannya terasa seperti ada yang mengganjal. Matanya menatap
gelas yang tadi ia minum dan menyesal karena begitu ceroboh meminum sesuatu
tanpa bertanya terlebih dahulu. Ia melempar pandangannya ke arah Mr. Golden
yang begitu santai meneguk white wine tanpa reaksi
berlebihan. Sepertinya dia sudah sering minum minuman seperti ini,
gerutu Clara. Tak lama kemudian, sebotol air mineral pun diletakkan di samping
gelas kaca tadi. Dengan cepat Clara membuka botol tersebut dan segera meneguknya
hingga tersisa setengah botol.
Tenggorokannya yang kering
pun terasa segar. Clara menghembuskan napas lega lalu meletakkan botol itu
kembali. Seorang pelayan menghampiri meja mereka dan mengambil piring kotor,
yang sebenarnya tidak kotor sama sekali, lalu mengganti piring kosong tersebut
dengan sepiring daging yang terlihat begitu lezat. Mata Clara mengikuti gerakan
si pelayan saat meletakkan piring di hadapannya.
"Itu steak,"
jelas Mr. Golden saat Clara melemparkan pandangan penuh tanya ke arah atasannya
itu.
Tanpa ragu Clara langsung
memotong satu per satu daging itu, lalu memasukkan ke dalam mulutnya.
"Enak?" tanya Mr. Golden.
Entah karena Mr. Golden
selalu memerhatikan ekspresi wajahnya atau memang pria itu selalu ingin
menanyakan pendapatnya, Clara tidak tahu. Tapi kali ini sepertinya ia tidak
perlu menjawab pertanyaan itu. Clara hanya memberikan senyuman lebar sebelum
mengunyah daging yang terasa lembut dan Mr. Golden pun mulai menikmati
makanannya.
Sambil mengunyah, Clara
melemparkan pandangannya ke seluruh ruangan. Orang-orang yang datang ke
restoran ini terlihat sangat elegan dan eksklusif. Clara belum pernah pergi ke
tempat seperti ini. Restoran termahal yang pernah ia kunjungi hanyalah salah
satu restoran yang berada tidak jauh dari kantornya yang dulu. Itu pun ia sama
sekali tidak mengeluarkan biaya karena Tamara yang membayar makanannya.
"Tell me about you,"
kata Mr. Golden sembari memotong steak-nya.
"Hah?" tanya
Clara kaget.
"Ceritakan siapa dan
dari mana asalmu," jawab Mr. Golden dengan santai sambil menunjukkan pisau
kecil ke arah Clara.
"Saya?” tanya Clara
lagi, tidak mengerti apa yang pria itu inginkan. Mr. Golden menjawab
pertanyaannya dengan mengangkat salah satu alisnya sambil terus menimati
makanannya.
Clara berdeham sebelum
mulai berbicara. “Nama saya Clara, lahir di Jakarta, anak tunggal, dan yatim
piatu," jawab Clara singkat masih dengan keadaan bingung.
Mr. Golden terhenti sesaat
saat Clara mengatakan kalau ia adalah seorang yatim piatu. Tapi, beberapa detik
kemudian pria itu kembali sibuk dengan makanannya. "Lalu?" tanya Mr.
Golden singkat.
Clara mengerutkan
keningnya, bingung harus bercerita apa lagi. Ia pun terdiam selama beberapa
lama sebelum akhirnya Mr. Golden menghentikan aktivitas makannya dan menatap
Clara dengan tajam. "Lalu??" tanya Mr. Golden lagi sedikit menuntut.
"Lalu ... saya ...
saya tidak tahu harus cerita apa lagi, Sir," jawab Clara gugup.
"OK. I’ll ask and
you must answer it," ucap Mr. Golden dengan sedikit - ya, sedikit -
senyum yang tersungging di wajah tampan itu. Clara hanya bisa mengangguk pasrah
dan berharap agar atasannya tidak bertanya hal yang tidak-tidak.
“Kau senang kerja di
perusahaan ini?” tanya Mr. Golden cepat sebelum memasukkan sepotong steak ke
mulutnya.
Clara mengangguk dengan ragu,
ia tidak berani mengatakan yang sebenarnya. Meskipun ia merasa terganggu dengan
aktifitas seksual yang pernah ia pergoki dua kali, tapi hanya di perusahaan
inilah ia bisa mendapatkan gaji besar.
“Really?’ tanya Mr.
Golden seakan bisa membaca keraguan di wajah Clara dan ia pun memberikan
anggukan dengan penuh percaya diri.
"Apa alasanmu mau
bekerja di perusahaan ini?" tanya Mr. Golden yang langsung membuat Clara
membeku.
"Untuk menambah
pengalaman, Sir," jawab Clara polos. Jawaban yang selalu ia lontarkan
setiap kali ada wawancara pekerjaan.
"Jawaban lain. Saya
mau mendengar jawaban jujur," tolak Mr. Golden yang sepertinya tahu kalau
jawabannya hanya sekedar jawaban standar yang sudah sering orang ucapkan.
"Emm ... itu ...
karena ... karena –“
"Karena??" ulang
Mr. Golden.
Ia tidak menyangka pria
ini akan menuntutnya seperti ini. Ia tidak ingin seorang pun tahu apa alasan
utamanya menerima pekerjaan ini. "Karena ... karena," ucap Clara
berulang kali, tidak berani menatap Mr. Golden.
"What?"
tanya Mr. Golden masih terus menatap Clara dengan wajah penasaran.
Clara terdiam sejenak,
melirik ke aeah Mr. Golden lalu menghembuskan napas sebelum memikirkan jawaban
terbaik apa yang harus ia ucapkan. "Clara," panggil Mr. Golden dengan
lembut. Tak percaya dengan sisi lembut yang coba pria itu tunjukkan padanya
malah membuat Clara terperangah.
"Answer my
questions or i’ll show you that none of my questions don’t get an answer,"
ucap Mr. Golden, kali ini suaranya kembali terdengar dalam dan tegas.
"Uang," jawab
Clara cepat lalu menundukkan kepalanya, mencoba sibuk dengan makanannya.
"What for?"
tanya Mr. Golden ingin tahu, lalu menghentikan kegiatan makannya dan menatap
Clara dengan serius.
"This is my
family’s problem and i don’t think you have the right to know that,"
tolak Clara tegas.
"Oh, of course i
have,” sanggah Mr. Golden dengan tatapan tajam dan aura mengintimidasinya
pun terasa begitu kuat.
“No, you don’t,”
tolak Clara. Ia benar-benar tidak ingin membicarakan hal ini dengan siapa pun,
bahkan dengan atasannya sendiri. Terlebih lagi karena pria ini adalah atasan
barunya dan ia sama sekali tidak tahu seperti apa sifat Mr. Golden yang
sebenarnya.
“I can fire you right
now, if i want to," ancam Mr. Golden yang langsung membuat Clara
mendongak kaget dan menatap mata pria itu dalam-dalam.
Selain penggila seks,
ternyata dia suka mengendalikan orang lain dengan kekuasaannya, gerutu Clara
kesal. Mr. Golden kembali memainkan salah satu alis matanya, seakan mengatakan
kalau pria itu memang memiliki kuasa atas diri Clara.
“Saya butuh uang yang
banyak agar saya bisa bertemu dengan satu-satunya keluarga yang saya miliki,”
jelas Clara dengan terpaksa. Rasa lapar pun menghilang karena pria ini begitu
menuntut dan ia terpaksa mengingat masa lalunya.
“Siapa?” tanya Mr. Golden.
“Kakek saya,” jawab Clara
singkat.
“Di mana dia sekarang?”
tanya Mr. Golden.
“Australia,” jawab Clara
cepat.
“Kau tidak perlu uang
banyak jika ingin pergi ke Australia,” jelas Mr. Golden dengan tatapan curiga.
“Memang. Tapi saya butuh
uang banyak untuk membuktikan pada pria tua itu kalau saya adalah putri
satu-satunya dari anak laki-laki satu-satunya yang dia buang begitu saja. Saya
butuh uang untuk tes DNA dan menuntut agar pria itu mengembalikan nama baik
ayah saya yang tidak pernah dia akui selama ayah saya hidup hingga ayah saya
meninggal. Saya butuh banyak uang dan karena itu saya menerima pekerjaan di
perusahaan Anda,” jawab Clara tegas bercampur rasa amarah yang mulai
menyelimutinya.
Ia tidak akan pernah bisa
menahan amarahnya setiap kali mengingat betapa tersiksanya hidup mereka karena
pria tua itu sama sekali tidak mengakui dan tidak membantu kehidupan mereka
sepeserpun. Sedangkan yang Clara tahu, pria tua itu memiliki kekayaan yang
tidak akan habis sampai tujuh turunan.
Clara menghembuskan napas
panjang beberapa kali, mencoba untuk menenangkan emosinya yang mulai
terpancing. Ia tidak peduli apa yang saat ini pria itu pikirkan, yang Clara
pedulikan saat ini hanyalah uang. Ia menjawab pertanyaan Mr. Golden supaya ia
tidak dipecat. Hanya itu saja.
“Eat,” perintah Mr.
Golden yang terlihat kembali tenang, seakan menganggap jawaban Clara hanyalah
sebuah dongeng.
“Eat!” perintah Mr.
Golden sedikit tegas saat melihat Clara yang masih belum melanjutkan makannya.
Dengan terpaksa, Clara mulai
menghabiskan makan malamnya dengan cepat, lalu meneguk air mineral hingga
habis. Tanpa pikir panjang, Clara pun meneguk white wine sampai
habis. Ia tidak memedulikan rasa panas yang menetap di tenggorokanya dan
berharap alkohol yang terkandung dalam wine itu bisa
menghilangkan rasa frustasi dan kesal yang saat ini mulai mendominasi dirinya.
Clara bisa merasakan
tatapan Mr. Golden yang terkejut melihatnya menghabiskan wine itu
dengan cepat. Tapi ia tidak peduli. Clara hanya ingin segera mengakhiri makan malam
ini dan berbaring di tempat tidurnya. Beberapa saat kemudian, Mr. Golden pun
menyudahi makanannya. Seorang pelayan kembali menghampiri meja mereka,
mengambil piring kotor dari hadapan mereka, dan meletakkan sebuah puding yang
terlihat lezat.
Tanpa menunggu lama-lama,
Clara langsung melahap pudingnya hingga habis, tanpa memedulikan betapa lembut
dan lezatnya puding itu. Bahkan mungkin puding itu adalah puding terlezat dan
termahal yang pernah ia cicipi. Clara bisa merasakan tatapan Mr. Golden yang tidak
berhenti memerhatikannya. Tapi, ia tidak peduli.
Setelah mereka
menyelesaikan makan malam mewah itu dan Mr. Golden membayar tagihan, akhirnya
mereka keluar dari restoran itu dan berjalan menuju mobil. “Saya sudah boleh
pulang?” tanya Clara cepat, berharap ia ada di atas tempat tidurnya saat ini.
“Belum,” jawab Mr. Golden
singkat.
“Mau ke mana lagi, Sir?”
tanya Clara dengan wajah memelas. Ia benar-benar sudah lelah sekarang. Bukan
hanya tubuhnya yang lelah, perasaannya pun lelah karena harus mengingkat
kembali betapa merana kehidupannya dengan orangtuanya saat Clara masih kecil.
“Masuk,” perintah Mr.
Golden dan Clara pun terpaksa masuk ke mobil.
∞∞∞∞∞
Suara musik yang
memekakkan telinga dengan empat orang wanita, yang hanya mengenakan selembar
bra dan G-String, menarik meliuk-liuk di tiang dansa. Jack duduk di sebuah
ruangan yang biasa ia datangi. Matanya menatap pemandangan itu dengan malas
sedangkan wanita yang saat ini duduk di sampingnya terlihat terperangah menatap
para wanita-wanita yang menari dengan liar. Sesekali Clara mengernyit setiap
kali suara dentuman keras berhasil menembus ruangan itu.
Jack selalu duduk di
ruangan ini karena ruangan ini merupakan ruangan private dan
tak ada seorang pun yang bisa melihat ke dalam sini. Dinding kaca itu memang
terbuat dari kaca tembus pandang, namun hanya orang yang duduk di dalam ruangan
yang bisa melihat ke luar, tapi tidak sebaliknya. Matanya terus mengikuti
setiap gerakan menggoda para wanita-wanita itu, tapi ia sama sekali tidak
merasakan gairah sama sekali.
Pintu ruangan pun terbuka
dan seorang pelayan wanita dengan pakaian sangat seksi masuk ke ruangan sambil
membawakan minuman yang selalu ia pesan. Sebotol Vodka tersaji dengan dua gelas
kosong dan diletakkan di meja kecil yang ada di depan sofa yang saat panjang
yang sedang ia duduki. Entah sudah berapa kali ia datang ke tempat ini hanya
untuk membangkitkan gairah dan semangatnya setiap kali ia merasa penat karena
memikirkan Sasha. Tapi kali ini, entah kenapa rasa penat itu tidak hilang
seperti biasa.
“Sir, apa yang kita
lakukan di sini?” tanya Clara pada Jack.
Jack hanya mengangkat
bahunya, tidak tahu harus menjawab apa. Ia menuangkan vodka ke dalam gelas kaca
lalu meneguknya dengan cepat dan menuangkannya sekali lagi, kali ini ia juga
menuangkan di gelas yang satunya. “Sir?” panggil Clara lagi.
“Minum,” perintah Jack
sambil menyodorkan gelas kaca ke hadapan Clara.
Wanita itu menerima
gelasnya, tapi tidak langsung meminumnya. “Minum!” perintah Jack sekali lagi,
kali ini dengan nada menuntut.
“Tapi, Sir ... saya ...
nggak pernah –“
“Minum!” perintah Jack
dengan tatapan tajam.
Clara menggelengkan kepala
dan Jack menggemeretakkan giginya, menahan rasa kesal pada wanita itu. Dirinya
benar-benar sedang kesal dan penat karena Sasha, dan ia tidak butuh satu wanita
lagi untuk menambah kepenatannya. Tidak ada yang penah menolaknya, apalagi
seorang sekretaris baru yang polos dan memiliki masalah keluarga yang
seharusnya tidak menjadi bahan pikirannya juga.
Tangan wanita itu
menggenggam erat gelasnya. Jack menggeser bokongnya, mendekati Clara, lalu
menengadahkan wajah Clara. Ia mengunci tatapan Clara yang tampak membesar dan
ketakutan. Jack tidak peduli sebesar apa rasa takut Clara, yang ia pedulikan
hanya kepentingannya sendiri. Memuaskan dirinya dengan tubuh wanita ini dan
berharap setelah ia melakukan hal itu semangatnya bisa kembali membara.
“Minum!” perintah Jack
sambil menuntun tangan Clara dan membuat wanita itu meneguk minumannya hingga
habis.
Jack mengambil gelas
kosong itu dari tangan Clara lalu mengisinya lagi. “Cukup, Sir,” tolak Clara
saat Jack memberikan gelas itu lagi pada Clara.
“Minum!” paksa Jack dan
wanita itu pun meneguk minuman itu sambil mengernyitkan keningnya, tampak
kesakitan.
Jack tidak peduli, mungkin
dengan menyiksa wanita ini bisa membuat diriya membara. Gelas itu pun kembali
kosong dan Jack kembali mengisi gelas itu. Begitu seterusnya, hingga ke lima
kalinya ia mengisi gelas itu dan menemukan tubuh Clara yang tampak melemah
karena minuman keras itu. Mata Jack menelusuri tubuh Clara yang bersandar di
sandaran sofa, kedua tangan terkulai lemah, dan kepala yang tergeletak di
sandaran sofa. Terlihat begitu pasrah dan menggairahkan.
Ia pun mulai merasakan
debaran jantungnya yang perlahan berubah semakin cepat. Bagus, wanita
ini ternyata bisa membangkitkan gairahku, batin Jack dengan seringai
jahat di wajahnya. Tangannya mulai membelai wajah Clara perlahan-lahan,
menekankan ibu jarinya di bibir Clara yang terasa lembut. Kemudian, belaian itu
mulai turun ke leher Clara dan membelai lekukan payudara Clara yang menyembul
di lipatan gaun malam itu.
Jantung Jack terasa
semakin berpacu dan ia sangat suka ketika jantungnya bisa berdebar secepat itu.
Jack beranjak dari sofa dan berdiri tepat di hadapan Clara yang terlihat lemah.
Baru saja ia ingin menarik kepala ikat pinggangnya, sebuah ketukan di pintu
menghentikannya dan Jack menoleh dengan cepat ke arah pintu.
“Hai, Jack! Aku dapatkan
wanita baru untukmu,” teriak Damien, sahabatnya saat mereka masih sekolah dulu.
Mereka sering menghabiskan
waktu bersama di ruangan ini dengan para wanita. Tapi ia tidak menyangka kalau
pria itu akan datang hari ini. Damien masuk ke ruangan sambil menggandeng
seorang wanita yang terlihat cantik dengan pakaian yang begitu seksi, lalu
menutup pintu di belakangnya. “Ups, sorry. Kau sedang
bersenang-senang rupanya,” ucap Damien saat melihat Clara yang terkulai lemah.
Jack langsung membalikkan
tubuhnya dan menghadap Damien. Ia bisa melihat mata Damien yang mulai meneliti
dan menjalar mengamati tubuh Clara, dan ia tidak menyukai hal itu. “Kita bisa
bertukar kalau kau mau atau aku bisa mencobanya setelah dirimu,” bujuk Damien
dengan wajah penuh nafsu.
“I don’t need her and
get out,” jawab Jack cepat sambil menatap wanita yang berdiri di samping
Damien dengan tatapan jijik.
“But, she is your type,
Bro,” bujuk Damien lagi.
“Just get out,”
usir Jack dengan halus, mencoba menahan rasa kesalnya pada Damien karena sudah
mengganggu saat-saat yang begitu ia inginkan.
“Please, Bro,”
bujuk Damien lagi.
Sebuah tepukan di pundak
Jack membuat dirinya menoleh ke belakang dan terkejut melihat Clara yang
berdiri di belakangnya. Wanita itu berdiri sempoyongan dan mengerjap-ngerjapkan
mata berusaha menatap Jack dengan pandangan sayu itu. “Sir,” ucap Clara lemah
sambil menggenggam tangan Jack, menjadikan dirinya sebuah tumpuan kuat untuk
berdiri.
“Duduk!” perintah Jack,
tapi sepertinya Clara tidak menggubris ucapannya. Tubuh Clara pun mulai
terlihat lunglai dan dengan cekatan Jack melingkarkan tangannya di pinggang
Clara, lalu mendekap tubuh wanita itu. Menahannya agar tidak terjatuh.
“Get. Out!” usir
Jack dengan tegas, tapi Damien sama sekali tidak beranjak dari tempatnya.
“She is mine,” ucap
Jack sebelum ia menempelkan bibirnya di bibir Clara dan melumatnya dengan
rakus.
Jantungnya berdebar dengan
sangat cepat dan kepalanya terasa ringan. Jack bisa mendengar pintu ruangan itu
kembali terbuka dan tertutup lagi. Ia tahu Damien sudah pergi dari ruangannya,
tapi Jack sama sekali tidak melepaskan ciumannya, malah semakin memperdalam
ciuman itu. Bibir Clara terasa begitu manis dan lembut. Ia tidak menyangka
kalau wanita ini bisa membangkitkan gairahnya lagi.
Jack mulai merasakan tubuh
Clara yang semakin lama semakin terkulai lemah. Jack melepaskan ciumannya
dengan enggan dan menatap wanita yang saat ini pingsan di dalam dekapannya.
Jack memerhatikan setiap jengkal wajah Clara dan terpaku pada bibir indah itu.
Ia mengusap bibir Clara
dengan bibirnya dan menyeringai nakal. You’re mine now.
∞∞∞∞∞
Tidak ada komentar:
Posting Komentar