Minggu, 14 Januari 2018

BEAUTIFUL MADNESS (21+) - BAB 7



BAB 7

            Mata Clara mengerjap-ngerjap menyesuaikan cahaya lampu yang terasa menusuk matanya. Tubuhnya terasa nyaman, tapi kepalanya terasa sedikit pusing. Clara mencoba mengamati sekitarnya dan langsung terduduk di atas tempat tidur. Clara memerhatikan sekelilingnya dan menyadari kalau saat ini ia berada di kamar tidurnya.
            Clara menundukkan kepala dan melihat tubuhnya yang sudah berganti menjadi pakaian rumah. Matanya pun terbelalak dan takut. Ya, Tuhan. Apa Mr. Golden yang gantiin bajuku? tanya Clara panik. Clara memeluk tubuhnya yang mulai terasa dingin dan mencoba mengingat kembali apa yang terjadi pada dirinya. Ia berusaha keras untuk mengingat, tapi yang ia ingat hanya saat-saat di mana Mr. Golden memaksanya untuk minum minuman yang terasa sangat memabukkan.
            Clara turun dari tempat tidur, lalu berjalan keluar dari ruang tidurnya. Apartemennya yang tidak terlalu besar namun tertata rapi adalah satu-satunya tempat tinggal yang ia miliki. Satu-satunya harta yang ayah tinggalkan untuknya. Clara berjalan menuju pintu apartemen dan memeriksanya. Pintu itu masih terkunci.
            Clara tidak tahu bagaimana caranya ia kembali ke apartemen ini atau apa yang sudah Mr. Golden lakukan padanya. Ia benar-benar tidak ingat.
            Ia pun memeriksa kamar tidur yang satunya. Perlahan-lahan ia membuka pintu kamar tidur yang berada di sebelah kamar tidurnya. Tapi tetap saja ia tidak menemukan siapapun atau lebih tepatnya ia sangat berharap menemukan Mr. Golden di ruangan itu. Clara menutup pintu kamar itu, lalu berjalan menuju kamar tidurnya. Matanya langsung tertuju pada jam dinding di kamarnya.
            "Astaga! sudah jam setengah sembilan," ucap Clara histeris.
            Dengan cepat ia melangkah menuju kamar mandi, menanggalkan pakaiannya, dan mandi secepat kilat. Setelah mandi, Clara mengambil pakaian kerjanya yang hanya berupa kemeja lengan pendek berwarna hijau toska, celana bahan berwarna hitam, dan sepatu heels berwarna senada.
            Clara memoles wajahnya dengan riasan sederhana dan berharap ia memiliki waktu untuk kembali merias wajahnya lagi saat tiba di kantor. Rambutnya sengaja ia ikat kuncir kuda karena ia sudah tidak memiliki waktu lagi untuk merapikan atau mempercantik rambutnya. Clara sedikit kelabakan saat mencari tas kerjanya karena ia sama sekali tidak membawa tas itu saat ia makan malam dengan Mr. Golden.
            Meskipun rasa lega meliputi hatinya saat melihat tas kerjanya yang tergeletak begitu saja di atas meja makannya, tetap saja rasa penasaran dan bingung mulai melanda dirinya. Ia semakin yakin kalau Mr. Golden yang mengantarnya ke apartemen dan mengganti pakaiannya, serta meletakkan barang-barangnya. Wajah Clara mulai merona membayangkan Mr. Golden yang dengan leluasa mengganti pakaiannya.
            Dengan cepat Clara menggelengkan kepala dan menghapus pikiran kotor itu. "Kerja, Ra. Kerja," ucap Clara pada dirinya sendiri, berusaha keras menjaga kewarasannya.
            Clara melangkah menuju pintu, membukanya, lalu mengunci pintu apartemennya sebelum melangkah cepat menuju pintu lift. Untung sekali pintu lift langsung terbuka, ia pun segera masuk, dan menekan tombol lantai dasar.
            Ponselnya berbunyi dengan sangat keras, mengejutkan dirinya yang terlalu serius memandangi layar angka lift. Ia mengabaikan panggilan itu dan langsung melangkah keluar saat pintu lift terbuka. "Selamat pagi, Mba Clara," sapa si satpam apartemen yang menatapnya dengan pandangan aneh dan bingung. Clara mencoba untuk tidak menggubris pandangan itu, hanya melemparkan senyum ramah yang biasa ia lakukan setiap hari.
            Suara ponselnya berdering lagi, Clara langsung mengeluarkannya dari tas kerja, lalu melihat siapa si penelepon yang begitu ingin sekali berbicara dengannya.
            "Apa, Tam?" sahut Clara cepat.
            "Siang ini lo ada kegiatan nggak?" tanya Tamara dengan suaranya yang riang.
            "Gue 'kan kerja, Tam. Jangan aneh-aneh, deh," tolak Clara sambil berjalan melalui pintu apartemen.
            "Lo kerja?" tanya Tamara bingung dengan jawaban Clara.
            "Emang lo nggak kerja? Lo ijin lagi?" tanya Clara sedikit berlari menunju gerbang apartemen. Ia pun berhenti di depan gerbang dengan napasnya terengah-engah dan mulai panik karena karena tak ada satu pun taksi di sana.
            "Hah?? Ini 'kan hari Minggu, Ra. Emang lo kerja juga hari ini?" tanya Tamara.
            Seakan diguyur oleh seember air es, Clara berdiri kaku dan terlihat seperti orang paling bodoh sedunia. "Hari Minggu?" ulang Clara bingung, masih mencoba mengatur napasnya yang terengah-engah.
            "Astaga ... jangan bilang lo sekarang lagi berdiri di depan gerbang sambil nyari taksi," tebak Tamara yang tepat sasaran.
            Clara tidak menjawab pernyataan itu dan mulai tertunduk malu. Pantas saja tadi satpam itu kebingungan melihatku terburu-buru, gerutu Clara dan wajahnya seketika merona merah.
            "Hahahaha." Terdengar suara tawa kencang dari seberang sana. Clara bisa membayangkan betapa bahagianya Tamara saat ini dan ia tahu sekali bagaimana ekspresi temannya yang satu itu.
            Setelah puas menertawai Clara, akhirnya Tamara berhenti meski sesekali terdengar suara tawa yang berusaha ditahan oleh wanita itu. "Gue jemput sekarang, deh. Daripada lo balik lagi ke apartemen," ucap Tamara menawarkan bantuan.
            "Mau ke mana?" tanya Clara cepat.
            "Temenin gue jalan-jalan," jawab Tamara santai.
            "Baiklah. Gue tunggu di taman apartemen, ya. Jangan lama-lama," pesan Clara.
            "OK. Gue meluncur sekarang," jawab Tamara sebelum memutuskan pembicaraan mereka.
            Clara memasukkan ponsel ke dalam tas kerjanya, lalu memutar badannya, dan berjalan menuju taman apartemen yang berada tidak jauh dari tempatnya berdiri.
            Hah ... ada-ada saja, batin Clara.
∞∞∞∞∞
            Matahari mulai terasa terik, Jack keluar dari kolam renang pribadinya, kemudian berjalan menuju meja kecil berwarna putih yang ada di samping kursi panjang berwarna senada. Jack mengambil ponsel yang ia letakkan di atas meja itu, lalu mengusap layarnya, dan melihat tak ada satupun pesan atau panggilan masuk untuknya. Jack berdiri gelisah sambil memandangi layar ponselnya.
            Pagi tadi, ia bangun dengan keadaan gelisah. Bayangan akan kelembutan bibir Clara saat menyentuh bibirnya seakan membuat Jack tidak bisa mengontrol pikirannya. Ia tidak tahu kenapa bayangan itu terus mengisi pikirannya. Jack tidak menyangka begitu besar pengaruh bibir itu terhadapnya. Entah sudah berapa bibir wanita ia rasakan, tapi saat ia mengulum  bibir itu sebuah sengatan nikmat membuat dirinya melayang.
            Setelah sarapan, Jack memutuskan untuk berenang, bukan sekedar berolah raga tapi juga untuk menjernihkan pikirannya yang terus memutar kejadian semalam. Pikirannya pun dipenuhi oleh rencananya agar bisa bertemu dengan Sasha. Dan saat ini, Jack sedang menunggu laporan dari Alfons.
            Jack duduk di kursi panjang, meneguk segelas perasan jus jeruk murni yang terasa segar di bawah teriknya matahari. Kemudian Jack merebahkan tubuhnya, memejamkan mata dan parahnya ingatan akan bibir Clara kembali teringat.
            Setelah menunggu dengan penuh kesabaran, akhirnya ponsel itu pun berdering. "Bagaimana?" tanya Jack cepat tanpa basa-basi.
            "Saya sudah berbicara dengan wanita bernama Desi. Ia mengatakan kalau Sasha masih berada di Bali mengurus sebuah pernikahan. Rencananya Sasha akan kembali malam ini, Sir," jawab Alfons dari seberang sana.
            "Kau punya nomor ponselnya?" tanya Jack.
            "Ada, Sir," jawab pria itu cepat.
            "Hubungi Sasha dan minta secara langsung agar wanita itu menangani acara kita. Jangan sampai salah bicara dan pastikan wanita itu yang datang, bukan yang lain," perintah Jack.
            "OK, Sir," sahut Alfons cepat.
            "Saya tunggu laporanmu secepatnya," ucap Jack sebelum ia memutuskan panggilan itu.
            Jack meletakkan ponselnya kembali di meja lalu mengambil handuk besar berwarna merah yang terasa begitu lembut menyentuh kulitnya. Jack beranjak dari kursi, lalu melingkarkan handuk tersebut di pinggangnya setelah ia mengeringkan tubuhnya. Kemudian ia berjalan masuk ke dalam rumahnya, berencana untuk menemui Damian siang ini.
            "Triam, siapkan mobil. Saya mau keluar," perintah Jack pada Triam yang baru saja keluar dari ruang dapur.
            "Baik, Mr. Golden," jawab Triam patuh.
            Jack berjalan menuju lantai dua, segera masuk ke kamarnya, lalu menuju kamar mandi, dan memutuskan untuk berendam sejenak di bathtube.
∞∞∞∞∞
            "Gimana lembur kemarin? Emang kerjaan lo banyak banget, ya?" tanya Tamara yang duduk tepat di seberang Clara.
            Mereka sedang asik menikmati sarapan yang terlambat di salah satu restoran cepat saji. Mendengar pertanyaan Tamara membuat Clara kehilangan nafsu makannya. "Lumayan," jawab Clara singkat mencoba untuk terlihat santai, meskipun sebenarnya ia masih bertanya-tanya bagaimana kejadian yang sebenarnya. Ingin rasanya ia menghubungi Mr. Golden dan bertanya pada pria itu. Tapi, ia tidak berani karena Clara tidak ingin dianggap sebgai wanita yang berprasangka buruk pada atasannya.
            "Bos lo galak, ya? Kok sampai segitunya nyuruh lo lembur," tanya Tamara sedikit protes.
            Clara mengangkat bahunya, tidak menjawab pertanyaan itu dengan jelas. Saat ini ia tidak ingin membicarakan tentang Mr. Golden. Clara mencoba untuk melupakan apa yang terjadi semalam, meskipun sebenarnya ia tidak terlalu ingat apa yang sudah terjadi. Clara memasukkan makanannya dengan malas, lalu mengunyahnya begitu saja.
            "Kok lo ogah-ogahan gitu, sih? Ada masalah?" tanya Tamara penasaran.
            "Nggak ada, Tam. Gue lagi nggak enak badan aja," jawab Clara lemas.
            "Lo sakit?" tanya Tamara yang langsung menekankan punggung tangannya ke dahi Clara.
            "Nggak panas, kok," lanjut Tamara.
            "Gue nggak kenapa-kenapa. Gue cuma malas aja hari ini," jawab Clara jujur.
            "Oh, iya. Jam satu nanti mantan bos lo ngundang beberapa karyawan makan siang di restoran. Katanya sih mau ngomongin acara family gathering yang akan diadakan bulan depan," jelas Tamara.
            "Terus apa hubungannya sama gue? 'Kan gue nggak kerja di situ lagi," protes Clara.
            "Nggak ada hubungannya sama lo. Gue cuma minta lo buat temenin gue, karena gue kudu hadir di sana. Wajib soalnya," jelas Tamara dengan wajah sedikit memelas.
            "Ini bukan cara lo buat ketemuin gue sama dia, kan?" tanya Clara cepat karena ia tahu temannya yang satu ini begitu bersemangat untuk menjodohkannya dengan mantan atasannya yang sebenarnya sudah memiliki seorang istri.
            "Nggak kok," sanggah Tamara cepat.
            Clara memicingkan matanya, berusaha mencari kebohongan di wajah temannya itu. Hembusan napas panjang menandakan betapa pasrahnya Clara terhadap rencana gila yang mungkin ada dalam pikiran Tamara. "OK, gue ikut. Tapi, gue mau ganti baju dulu, udah sedikit keringetan soalnya. Ini acaranya formal atau santai?" tanya Clara pasrah.
            "Nggak terlalu formal, sih. Rencananya gue cuma pakai baju semi formal supaya selesai acara kita bisa langsung nonton film," jawab Tamara santai.
            "Oh, iya. Film yang waktu itu lo bilang udah keluar kemarin, ya?" tanya Clara.
            "Iya. Dan lo harus ikut gue nonton. Gue jamin film nya pasti seru," ajak Tamara sedikit memaksa.
            "OK. OK," jawab Clara.
            Mereka pun kembali menikmati sarapan mereka dan segera menghabiskannya.
∞∞∞∞∞
            Clara mengenakan kemeja putih berlengan tiga per empat dan rok pensil berwarna cokelat muda yang melekat indah dengan potongan setengah paha. Ia menggerai rambutnya dan memoleskan riasan sederhana. Sepatu heels berwarna cokelat muda menyempurnakan penampilannya.
            Tamara, yang sudah siap dengan penampilannya yang sempurna, membuat Clara sedikit minder. Tapi dengan cepat ia menepis rasa itu dan menghampiri temannya yang sedang duduk santai sambil menonton TV di ruang tamunya. Tamara menoleh ke arah Clara saat ia keluar dari kamar.
            "Kenapa lo harus terlihat cantik tanpa harus berdandan lebih?" puji Tamara yang langsung beranjak dari sofa minimalis berwarna hitam, mematikan TV, dan meletakkan remote control di sofa begitu saja.
            "Lebay lo, Tam," sanggah Clara dengan rona merah yang mulai mewarnai pipinya.
            "Gue yakin si tampan bakalan terpesona," puji Tamara lagi.
            Clara mendengus dan melemparkan tatapan sinis ke arah temannya itu. "Gue ke sana buat nemenin lo, ya. Bukan buat ketemuan sama dia," jelas Clara cepat. Ia tidak ingin terjadi sebuah kesalahpahaman, terutama dengan status mantan atasannya yang sudah memiliki seorang istri.
            "Ya, ya, ya. Pokoknya lo perfect," puji Tamara sambil menggandeng tangan Clara dengan manja.
            Clara melirik tajam ke arah Tamara dan berpikir bahwa ini hanyalah salah satu rencana busuk Tamara untuk membujuknya kembali ke kantornya yang dulu. Atau jangan-jangan mereka berdua sudah merencanakan hal ini? pikir Clara sambil berjalan keluar dari apartemen kecilnya. Mereka masuk ke dalam lift yang langsung membawa mereka ke lantai dasar.
            "Siang, Mba Clara," sapa satpam apartemen dengan senyum merekah.
            Clara membalas senyum itu dan melenggang begitu saja. "Tuh, kan. Apa gue bilang? Lo cantik -"
            "Dia tiap hari dia emang nyapa setiap pemilik apartemen seperti itu. Nggak usah lebay, deh!" gerutu Clara sambil menarik tangan Tamara agar bergerak lebih cepat menuju mobil yang terparkir di lahan parkir apartemen.
∞∞∞∞∞
            Acara makan siang itu berjalan lancar. Clara, yang tadinya berencana untuk duduk di meja yang terpisah, terpaksa duduk di meja panjang bersama dengan beberapa orang yang sudah ia kenal. Mereka benar-benar membahas acara family gathering, tidak seperti apa yang sebelumnya Clara pikirkan. Pak Timothy, mantan atasannya, terlihat senang saat melihat kehadiran Clara di restoran itu. Senyumnya yang khas dan sifat ramah yang selalu pria itu berikan pada setiap karyawannya tidak pernah lepas dari diri Pak Timothy.
            Clara duduk di samping Tamara, sedangkan Pak Timothy duduk tepat di seberangnya. Clara mencoba dengan sangat kuat untuk tidak menggubris lirikan ataupun tatapan hangat yang pria itu berikan padanya. Clara mencoba mengalihkan perhatiannya dari pembicaraan rencana acara itu sambil bermain dengan ponselnya. Sesekali Clara mendengar Pak Timothy yang berbicara menginterupsi pembicaraan dan memberikan beberapa masukan untuk acara tersebut.
            "Gue ke toilet bentar, ya," bisik Tamara setelah rapat itu diakhiri.
            Clara mengangguk dan tetap duduk di kursinya sambil menunggu Tamara. Seakan berusaha memanfaatkan kesempatan, Pak Timothy langsung menghampiri Clara dan duduk di kursi Tamara. "Apa kabarmu, Clara?" tanya Pak Timothy berbasa-basi.
            "Baik, Pak," jawab Clara ramah.
            "Timothy saja. Kamu 'kan sudah nggak kerja sama aku lagi," ucap pria itu dengan senyum merekah. Clara sudah tahu ke mana arah pembicaraan ini atau apa yang mungkin ada di dalam pikiran pria ini. Clara mulai gelisah di kursinya dan berharap Tamara segera kembali, tapi sepertinya wanita itu sengaja berlama-lama di toilet dan memberikan waktu buat Pak Timothy agar bisa berbicara berduaan saja dengannya.
            "Kamu ada acara habis dari sini?" tanya Pak Timothy.
            "Ada, Pak," jawab Clara singkat.
            "Ke mana?" tanya Pak Timothy ingin tahu.
            "Em ... itu ... kami mau nonton," jawab Clara terlalu polos.
            "Aku boleh ikut?" tanya Pak Timothy menawarkan diri.
            "Gimana, ya?" jawab Clara ragu.
            Ia ingin sekali menolak pria itu, tapi Clara tidak ingin melukai perasaan Pak Timothy. Setidaknya pria ini pernah menjadi atasannya selama dua tahun. Clara menoleh ke arah di mana Tamara menghilang dengan alasan pergi ke toilet dan berharap wanita itu mulai menunjukkan batang hidungnya. 
            "Bagaimana di kantormu yang baru? Apa kamu nyaman?" tanya Pak Timothy.
            "Nyaman, Pak," jawab Clara berbohong.
            "Timothy saja. Jangan pakai 'Pak'. Aku nggak terlalu suka," sanggah Pak Timothy.
            Clara tidak menolak ataupun menerima ucapan itu. Ia berusaha menganggap kalau apa yang pria itu ucapkan hanya sekedar sikap santai dan ingin berteman. Dia ini sudah punya istri, mana mungkin dia berharap lebih dariku? pikir Clara, masih dengan sikap tenangnya.
            Tamara benar-benar lama, entah apa yang wanita itu lakukan sampai harus berlama-lama di toilet. Tiba-tiba ponsel Clara bergetar dan dengan cepat ia mengusap layar ponselnya, membaca sebuah pesan yang masuk dari Tamara.
            'Sorry, Ra. Tadi gue ketemuan sama teman SMA terus keasikan ngobrol. Kita ketemuan di mall sebelah, ya. Tiketnya udah gue beli, nonton jam setengah empat. Jangan lama-lama, ya,'
            Clara mendengus kesal setelah membaca pesan itu. Jadi ini memang rencana mereka berdua, ya, gerutu Clara kesal.
            "Kenapa, Clara?" tanya Pak Timothy dengan lembut.
            "Oh, nggak kenapa-kenapa," jawab Clara sambil memasukkan ponsel ke tas tangannya.
            "Saya pamit dulu ya, Pak," ucap Clara seraya beranjak dari kursinya.
            "Mau ke mana?" tanya Pak Timothy ikut beranjak dari kursi.
            "Ke mall sebelah, Pak. Ada janji sama seseorang," jawab Clara lagi dengan kepolosannya yang luar biasa.
            "Aku ikut, ya. Sekalian mau beli sesuatu," kata Pak Timothy.
            Clara tidak bisa menolak lagi. Mereka pun keluar dari restoran dan berjalan menuju mobil Pak Timothy yang terparkir tidak jauh dari restoran. Ini semua gara-gara Tamara. Lihat saja nanti, gerutu Clara yang terpaksa masuk mobil Pak Timothy.
∞∞∞∞∞



Tidak ada komentar: