BAB 5
Jack
melempar jasnya begitu saja di lantai. Ia benar-benar kesal dan marah hari ini.
Jack menyisirkan jemari di rambutnya dengan kasar. Pertemuan di hotel dengan
pemilik perusahaan yang ingin ia akuisisi tidak berjalan sesuai dengan yang ia
harapkan. Mereka meminta harga di atas yang ia tawarkan, hal yang tidak masuk
akal karena perusahaan itu masih merupakan perusahaan kecil yang sedang
mengalami kesulitan keuangan.
Hal lain yang membuatnya
kesal karena tadi, saat ia dalam perjalan menuju kantor, adik perempuan
satu-satunya memberi kabar yang sangat tiba-tiba. Sebuah pernikahan.
Dua minggu ke depan, ia
harus mempersiapkan kedatangan adiknya yang bermaksud ingin bertunangan dengan
pria pujaan hatinya dan akan segera melaksanakan acara pernikahan besar dalam
waktu dekat. Yang artinya, orangtuanya juga datang ke Jakarta dan kembali
menerornya dengan tuntutan yang selalu menghantuinya selama ini. Bukannya ia
tidak senang bertemu dengan keluarganya, tapi kehadiran mereka di Jakarta sama
saja seperti sebuah alarm yang akan terus berbunyi dan mengingatkan tentang
usianya yang semakin matang. Terlalu matang, kalau kata adiknya.
Ia memutar badannya lalu
mengangkat gagang telepon yang berada di atas mejanya, kemudian menekan nomor
yang langsung menuju ke ruangan salah satu karyawannya. "Ke ruangan saya,
sekarang," perintah Jack pada karyawannya yang ada di seberang sana.
Gagang telepon itu ia
letakkan kembali ke tempatnya, lalu menatap ke arah dinding kaca. Ia menoleh ke
arah jam tangan, saat ini sudah hampir pukul lima sore dan ia harus segera
menjalankan semua rencananya, berharap Sasha kembali ke pelukannya sebelum
keluarganya tiba di Jakarta.
Tak lama kemudian, telepon
di atas mejanya berdering. Jack langsung mengangkatnya. "Ada Pak Alfons
ingin bertemu, Sir," jelas Clara tanpa menunggu sapaan darinya.
"Suruh masuk,"
balas Jack singkat.
Pintu pun terbuka. Alfons,
yang merupakan salah satu orang kepercayaannya, melangkah masuk dan berjalan
menuju meja kerjanya. Pria bertubuh gempal dan memiliki loyalitas kerja yang
begitu tinggi padanya, membuat Jack memposisikan Alfons sebagai Manajer
Marketing di perusahaannya. "Acara ulang tahun perusahaan akan
dilaksanakan kurang dari dua minggu. Urus acara itu dan gunakan EO ini,"
kata Jack sambil memberikan sebuah kartu nama pada pria itu.
"Baik, Sir,"
sahut Alfons.
"Satu lagi. Saya
hanya mau wanita bernama Sasha yang mengurus acara itu, bukan orang lain. Kau
mengerti apa yang terjadi kalau tidak sesuai dengan apa yang saya perintahkan, kan?"
ucap Jack memperingati.
Alfons mengangguk cepat.
"Kembali ke tempatmu. Saya tunggu laporanmu besok sore," kata Jack
lagi. Alfons mengangguk sekali lagi sebelum pria itu pamit dan menghilang di
balik pintu.
Jack sangat berharap apa
yang sudah ia rencanakan untuk bertemu dengan Sasha bisa berjalan lancar. Hanya
ini cara yang tepat dan ia berharap Sasha bisa kembali ke pelukannya. Jack
bertekad untuk melakukan segala macam cara untuk mendapatkan Sasha kembali. Ia
tidak akan kehilangan wanita itu lagi. Tidak akan.
Jack berjalan menuju sofa
panjang yang ada di ruangan itu, lalu merebahkan tubuhnya di sana. Ia
memejamkan matanya, mencoba untuk menenangkan dirinya. Tapi, pikirannya terus
tertuju pada Sasha dan kenangan delapan belas tahun yang lalu itu kembali
menghantuinya. Seakan menegur dan mencoba menyadarkannya akan segala
kesalahannya pada Sasha.
Delapan belas tahun lalu,
ketika ia berusia tujuh belas tahun, saat di mana dengan mudahnya ia
menaklukkan setiap wanita yang ia inginkan. Berbekal ketampanan yang ia warisi
dari Papanya, membuat wanita-wanita itu jatuh ke dalam pelukannya tanpa usaha
berlebih.
Begitu pula yang ia
lakukan pada Sasha. Jack tahu saat pertama kali ia mengenal Sasha, tatapan
penuh cinta itu selalu menyapanya setiap kali Jack menatap wanita itu. Tapi,
Jack tidak bisa memungkiri bahwa Sasha merupakan sosok wanita yang berbeda dari
semua wanita yang ia kenal. Sasha begitu polos, lugu, penuh kehangatan, dan
cahaya mata yang terus memancarkan cinta yang begitu besar padanya. Hal itu membuat
Jack merasa begitu nyaman dan setia pada Sasha.
Tapi, saat itu gejolak
remaja masih menyelimutinya. Sifat ingin tahu dan rasa setia kawan yang lebih
tinggi daripada rasa cintanya pada Sasha membuat Jack mudah untuk dipengaruhi
oleh hal-hal buruk.
Para sahabatnya saat masih
sekolah dulu, membuat sebuah pertaruhan yang melibatkan pasangan mereka
masing-masing. Mereka bertaruh siapa yang terlebih dulu mendapatkan video
telanjang dari wanita mereka, maka akan dianggap sebagai seorang laki-laki yang
berani, jantan, dan hebat. Tanpa pikir panjang, ia menuruti ajakan
teman-temannya dan menyetujui persyaratan gila yang mereka ajukan. Meskipun di
dalam lubuk hatinya ingin ia menolak hal itu, tapi akhirnya Jack mengorbankan
rasa cinta Sasha padanya demi segala pamor dan gengsinya.
Jack mulai melancarkan
segala cara untuk memikat dan menarik Sasha ke dalam perangkapnya. Ia
menyiapkan sebuah makan malam indah yang sudah ia susun di dalam bus sekolah
yang terparkir di belakang gedung sekolah. Ia sangat bersyukur Sasha begitu
mempercayainya dan mengikuti setiap rayuannya. Akhirnya, setelah Sasha pingsan
Jack mulai melakukan semua yang sudah ia rencanakan.
Ia mulai merekam Sasha
dalam kondisi telanjang, bahkan merekam setiap jengkal tubuh wanita itu tanpa
terlewatkan sedikit pun. Setelah itu, ia membiarkan Sasha sendirian di bus
sekolah. Jack sempat berhenti dan berpikir untuk mengurungkan niatnya
memberikan video itu pada teman-temannya. Tapi, ia teringat kembali akan
taruhan itu dan sedetik kemudian ia kembali yakin untuk terus melanjutkan
taruhan itu.
Ia tahu Sasha sangat
membencinya dan tidak mungkin melupakan kejadian itu. Bahkan sebuah luka di
pangkal pahanya merupakan bukti betapa besar kebencian yang wanita itu rasakan
padanya. Delapan belas tahun, sudah selama itu kejadian itu berlalu dan Jack
berharap Sasha sudah melupakan kejadian itu. Sehingga ia bisa mendapatkan rasa
cinta itu lagi.
Aku harus bisa mendapatkan
Sasha kembali. Harus! tekad Jack dalam hati.
Bunyi ketukan di pintu
langsung memecahkan lamunannya. Ia pun langsung terbangun dan duduk di sofa.
"Masuk," sahut jack dengan nada malas. Hari ini suasana hatinya
benar-benar sedang tidak baik dan ia butuh sesuatu untuk menyegarkan
perasaannya lagi.
Pintu itu terbuka dan
Clara masuk ke ruangannya dengan wajah kaku. Mata Jack meneliti setiap gerak
gerik wanita yang saat ini berjalan ke arahnya. Jack bisa melihat betapa besar
kegugupan yang ada di dalam diri wanita itu. Ia pun bisa melihat kalau
sebenarnya wanita itu sangat-sangat terpaksa bekerja di perusahaan ini. Ingin
rasanya Jack mencari tahu apa sebenarnya yang membuat Clara begitu memaksakan
diri.
"I-ini sudah saya
bereskan, Sir," ucap Clara gugup sambil meletakkan map di meja kopi yang
ada di depan sofa.
Jack melirik ke arah jam
tangannya, lalu mengerutkan dahinya. "Hanya membereskan berkas seperti itu
saja memakan waktu satu jam lebih?" kata Jack dengan nada sedikit
mengintimidasi.
"T-tapi, Sir. Maaf,
ini -"
Jack melemparkan tatapan
dingin dan tajam ke arah Clara, lalu mengunci tatapan itu hingga membuat Clara
menghentikan kalimat pembelaannya dan membeku. Jack beranjak dari sofa,
melepaskan kancing pergelangan kemejanya, lalu menggulungnya begitu saja hingga
sampai ke siku.
"Kau ikut aku
sekarang," perintah Jack pada Clara.
Wanita itu menatapnya
dengan mata terbelalak dan bibir merah merekah terbuka seakan mengundang untuk
dikecup. Jack tidak tahu kenapa kata-kata perintah itu keluar dari mulutnya.
Satu hal yang pasti, ia butuh sesuatu yang baru.
Sesuatu yang mungkin bisa
membuat dirinya merasa tenang dan melupakan sejenak masalah Sasha ataupun
tuntutan keluarganya. Jack tahu mungkin ini hal yang tepat. Mengajak sekertaris
baru untuk menemaninya melepas penat mungkin tindakan yang gegabah. Tapi,
setidaknya ia harus mencari cara untuk mengembalikan gairah dan semangat
kerjanya lagi.
"Tapi, Sir –"
Clara menghentikan
ucapannya saat Jack melempar pandangan tajam ke arah wanita itu. "Bereskan
mejamu. Saya tunggu di pintu lobi dalam lima belas menit," perintah Jack
sambil melangkah keluar melewati Clara yang masih berdiri kaku di tempat,
tampak kebingungan.
Jack tidak peduli apa yang
ada di benak wanita itu. Ia benar-benar harus mencari hiburan untuk
menghilangkan penatnya. Mungkin wanita ini bisa membantunya.
∞∞∞∞∞
Ponselnya bergetar hebat,
Clara langsung mengambil ponsel dari dalam tas kerjanya dan menatap nama Tamara
yang tertera jelas di layar ponselnya.
"Kenapa, Tam?"
tanya Clara langsung. Ia menjepit ponselnya dengan bahu sambil terus merapikan
meja yang masih terlihat berantakan.
"Mau gue jemput?"
tanya Tamara balik.
Ingin sekali ia menerima
tawaran tersebut, tapi saat ini Mr. Golden sedang menunggunya di pintu lobi dan
ia harus segera turun dalam waktu kurang dari sepuluh menit. Ia tidak ingin
atasannya itu menilainya lambat. Mendengar komentar Mr. Golden tadi seakan
menunjukkan betapa lama ia mengerjakan suatu pekerjaan dan hal itu membuat
Clara tampak buruk. Ia tidak pernah dinilai lambat oleh atasannya dan cibiran
tadi benar-benar menohoknya.
"Nggak bisa, Tam. Gue
masih ada kerjaan," tolak Clara dengan berat hati.
"Lembur?"
tanya Tamara penasaran.
"Iya. Banyak berkas
yang harus gue beresin," jawab Clara berbohong.
"Lembur atau
dilemburin?" ledek Tamara riang dengan nada menggoda.
"Apaan sih? Udah, ah.
Gue buru-buru, nih," protes Clara sambil mengerutkan dahi.
"Jangan lupa pakai
pengaman, OK," pesan Tamara yang membuat wajah Clara merona dan
pikiran kotor pun kembali mengisi kepalanya.
"Astaga, Tam! Emang
lo kira gue mau ngapain? Gue kerja, Tam. Bukan dikerjain," sanggah Clara
cepat, menutupi rasa malunya.
"OK. OK. Salam
buat tuan ganteng, ya," ucap Tamara sebelum mengakhiri pembicaraan
singkat mereka.
Clara mematikan
komputernya, menatap layar ponselnya sekali lagi sebelum ia beranjak daei ruangannya.
Ia berpikir sejenak untuk menghubungi Tamara dan meminta wanita itu untuk
membantunya kabur dari ajakan atasannya itu. Tapi, sedetik kemudian ia
mengurungkan niatnya. "Jangan mikir buruk dulu, Ra. Mungkin ini nggak
seperti yang lo bayangin," kata Clara pada dirinya sendiri, berusaha
menasehati dirinya yang mudah berpikir negatif.
Ia berdiri di samping
mejanya selama beberapa menit, menimbang dan membulatkan tekadnya untuk tetap
melakukan pekerjaannya seprofesional mungkin. Akhirnya, ia memutuskan untuk
mengikuti perintah Mr. Golden dan beranjak dari ruangannya. Masih dengan
pakaian kerjanya yang super mini dan sangat menggoda, Clara melenggang dengan
penuh percaya diri.
"Lo bisa, Ra. Lo
pasti bisa," ucap Clara pada dirinya sendiri, berusaha menguatkan diri dan
mengusir pikiran-pikiran kotor yang sedang bermain-main di dalam otaknya.
Clara menekan tombol lift,
menunggu sesaat, dan melangkah masuk saat pintu lift terbuka. Sambil berdoa
agar tidak terjadi hal yang tidak ia inginkan, Clara berdiri tegap seakan siap
menghadapi rintangan yang mungki akan ia hadapi selanjutnya.
Pintu lift mulai bergerak
terbuka saat ia sampai di lantai dasar. Clara berjalan melewati meja
resepsionis dan pandangannya tertuju pada sosok pria yang ia kenal. Mr. Golden
menatapnya dengan mata cokelat tajam dan wajah yang tampak geram saat Clara
bergerak semakin mendekat.
"Kau. Lama,"
kata Jack sambil menekan suaranya di tiap kata. Pria itu berjalan cepat menuju
mobil yang sudah menunggu kedatangan mereka. Clara mengikuti dari belakang
dengan langkah cepat.
"Maaf, Sir. Tadi saya
-"
"Masuk!"
perintah Mr. Golden tegas dan Clara langsung masuk ke dalam mobil tanpa
perlawanan.
∞∞∞∞∞
Mereka tiba di rumah Jack
sekitar pukul tujuh malam. Kemacetan jalanan yang cukup menyita waktu
benar-benar membuat Jack semakin kesal. Jack langsung keluar dari mobil tanpa
menunggu supir untuk membukakan pintunya. "Ayo, turun," ajak Jack
dengan nada sedikit tegas.
Tapi, sepertinya Clara
enggan keluar dari mobil. "Keluar atau kau akan mengganti pakaian di sini
sekarang!" ancam Jack yang langsung membuat wanita itu bergerak cepat
keluar dari mobilnya.
Jack langsung berjalan
menuju pintu besar di mana Triam, seorang wanita berusia lima puluh yang
menjadi kepala pelayannya, sudah berdiri menunggu kedatangannya. "Berikan
dia pakaian yang biasa," perintah Jack pada Triam.
"Baik, Sir,"
jawab Triam cepat.
"Kau, ikut dia,"
perintah Jack pada Clara yang menatapnya dengan tatapan paling polos yang
pernah ia temui setelah Sasha. Tatapan itu seakan membuat tubuh Jack membeku
dan jantungnya seakan berhenti berdetak.
Jack memerhatikan Clara
yang berjalan menuju sebuah ruangan. Matanya meneliti sekujur tubuh itu dari
belakang, terlihat sempurna dan indah. Dengan cepat jack mengalihkan
pandangannya dan menapakkan kakinya menyusuri tangga menuju kamar tidurnya yang
berada di lantai dua.
Ia melempar pakaiannya
begitu saja di lantai, lalu mengambil kemeja santai dan celana jeans yang biasa
ia kenakan saat ia sedang ingin pergi ke tempat di mana ia biasa menghabiskan
waktu dan melepas kepenatannya. Jack meletakkan pakaiannya di atas tempat
tidur, lalu masuk ke kamar mandi.
Setelah membersihkan dan
mengeringkan tubuhnya, aroma mint menyeruak memenuhi ruangan.
Jack langsung mengenakan pakaian yang sudah ia siapkan, kemudian merapikan
penampilannya, lalu beranjak keluar dari kamar tidur. Dengan langkah pasti,
Jack menuruni setiap anak tangga. Saat tiba di lantai dasar, ia sama sekali
belum melihat keberadaan Clara.
Cukup lama ia menunggu di
depan tangga hingga akhirnya pintu berwarna cokelat tua dengan ukiran kayu yang
mewah, terbuka lebar. Triam keluar dari ruangan itu sedangkan Clara berjalan
tepat di belakang tubuh Triam, seakan bersembunyi darinya.
Ini kedua kalinya ia
melihat Clara bersembunyi di belakang tubuh orang lain. Tampak seperti seorang
gadis kecil yang takut dan malu bertemu dengan orang asing. "Dia sudah
siap, Sir," lapor Triam datar yang langsung bergerak ke samping, memberi
ruang pada Jack agar bisa melihat Clara dengan jelas.
Cantik. Kata itu yang
pertama kali melintas di pikirannya saat melihat Clara berdiri di hadapannya
dengan gaun malam berwarna biru toska yang melekat sempurna di tubuh Clara. Dua
tali kecil, yang menggantung dan menopang penutup dada, tampak begitu ringkih
karena Jack baru menyadari bahwa wanita ini memiliki payudara yang sangat
menantang. Mata Jack menjalar ke lekukan pinggul Clara yang begitu menggoda. Di
kanan-kiri gaun yang terbuka bebas hanya dihiasi tiga tali tipis berwarna
senada memperlihatkan pinggul Clara yang melekuk indah. Ujung gaun cukup mini
menampilkan kemulusan paha dan kaki Clara.
"Putar,"
perintah Jack pada Clara yang langsung memutar tubuhnya.
Tepat seperti apa yang ia
harapkan. Bagian belakang gaun yang sedikit terbuka, menunjukkan betapa lembut
kulit wanita itu. Rambut yang tergerai indah dengan sedikit gelombang di
bawahnya membuat tampilan Clara semakin cantik. Sepatu heels berwarna
senada, kalung dan anting berlian, serta make up yang terpoles
sempurna membuat Clara tampil seperti yang Jack inginkan.
Jack melangkah mendekat,
mengangkat rambut panjang itu dan menyampirkannya di bahu Clara. Tangan Jack
tergelitik untuk membelai punggung itu dan tanpa ragu ia membelai tangannya di
punggung Clara. Ia bisa melihat tubuh Clara yang menegang kaku karena
sentuhannya. Jack menghirup aroma lavender yang berasal dari tubuh Clara,
terasa begitu menenangkan. Beberapa saat kemudian, Jack menggenggam tangan
Clara, lalu menarik wanita itu dengan lembut. "K-kita mau ke mana,
Sir?" tanya Clara dengan suara bergetar.
"A secret place,"
jawab Jack singkat masih terus menggenggam tangan itu menuju mobil yang sudah
siap di depan pintu rumah.
"T-tapi, Sir ...
K-kita mau ngapain?" tanya Clara penasaran.
Jack menghentikan
langkahnya tepat di samping pintu mobil, memutar tubuh Clara agar menghadap dan
menatapnya secara langsung. "Cheer me up and don't talk too much,"
jawab Jack tegas.
Mata hitam itu tampak
membesar dan terbelalak. Ia tahu apa isi pikiran Clara dan Jack hanya bisa
menyeringai nakal menatap wajah polos itu. "T-tapi, Sir .... S-saya
-"
"Too much talking,"
potong Jack cepat.
Clara mengatupkan bibir
indah itu dan Jack menggemeretakkan giginya, menahan rasa gemas yang entah
kenapa muncul begitu saja. Wanita ini benar-benar cantik dan Jack tahu kalau
ini adalah kesalahan terbesar karena sudah mempermainkan wanita polos seperti
Clara, sama seperti ia mempermainkan Sasha.
Ia tidak tahu kenapa
wanita polos seperti Clara harus hadir dalam hidupnya saat ini. Tatapan mata
itu begitu mengusiknya, hingga membuat Jack tidak bisa berpikir jernih saat
ini. Ingin rasanya ia menyuruh wanita ini pulang dan pergi sendiri ke tempat
rahasianya. Tapi, aku benar-benar butuh ini, batin Jack geram.
"Masuk!"
perintah Jack pada Clara, tidak memedulikan kerisauan yang semakin melanda
dirinya.
Wanita itu masih terdiam
di tempatnya, seakan ada yang menahan kakinya untuk melangkah masuk. Jack
memerhatikan raut wajah Clara yang mulai terlihat ragu dan ketakutan. Mungkin
aku harus lebih lembut pada wanita ini agar dia mau menurutiku, pikir
Jack. Ia menarik napas dan menghembuskannya dengan cepat.
"I won't hurt you.
I promise," ucap Jack dengan lembut.
Akhirnya, Clara tampak
melunak dan masuk ke mobil tanpa sepatah katapun. I hope i can hold my
self or i can go crazy right now, geram Jack menyusul Clara masuk ke dalam
mobil.
∞∞∞∞∞
Tidak ada komentar:
Posting Komentar