Minggu, 14 Januari 2018

BEAUTIFUL MADNESS (21+) - BAB 4



BAB 4

            Langit sudah gelap saat Clara keluar dari gedung bertingkat itu. Tamara, yang menawarkan diri untuk menjemputnya, sudah menunggu kedatangan Clara di lapangan parkir. Clara, yang sudah kembali mengenakan pakaian normalnya, membuka pintu dan sahabatnya itu menyambutnya dengan penuh kehangatan.
            Mereka pun pergi meninggalkan gedung perkantoran itu menuju kemacetan Jakarta yang tidak pernah lepas dari rutinitas kehidupannya. "Cerita, please," mohon Tamara dengan wajah memelas.
            Clara sudah tahu apa niat sahabatnya itu sampai rela menjemput dirinya yang bahkan berjarak setengah jam perjalanan dari kantor lamanya. "Cerita apa sih, Tam?" tanya Clara pura-pura lupa.
            "Gimana tempat kerja lo yang baru? Bosnya enak nggak? Setua apa dia? Gede 'kan badannya? Kalau sama si Rusly, gedean mana?" tanya Tamara secara beruntun.
            Clara teringat salah satu rekan kerjanya yang bernama Rusly. Pria bertubuh gempal, tinggi besar, dengan wajah menggemaskan dan sangat penyayang. Clara sering memanggilnya dengan sebutan Teddy Bear dan pria itu benar-benar semakin sayang padanya. "Dia nggak gede, masih muda juga. Mungkin usianya masih kepala tiga," jawab Clara santai, berusaha tidak menggambarkan sosok Mr. Golden yang tampan secara gamblang.
            Tepat seperti apa yang Clara bayangkan, Tamara mendengus tak percaya. "Ganteng nggak?" tanya Tamara lagi.
            Clara hanya bisa menggelengkan kepala, takjub dengan sifat ingin tahu Tamara yang begitu menerornya. "Gue laper. Cari makan dulu, deh. Biar enak ngobrolnya," jawab Clara mencoba mengalihkan pembicaraan. Meskipun sebenarnya ia tidak merasakan lapar, tapi setidaknya hal itu bisa membuat Tamara berhenti mencecarnya dengan berbagai macam pertanyaan.
            Bagaimana mungkin kalian bisa lapar jika melihat adegan yang begitu menggairahkan dua kali dalam sehari dan secara langsung?batin Clara.
            "Baiklah. Baiklah," sahut Tamara mengiyakan.
            Tamara kembali berkutat dengan kemacetan di depannya, sedangkan Clara hanya bisa terdiam memandangi barisan mobil yang memenuhi jalanan sambil mendengarkan radio. Clara kembali membayangkan bagaimana reaksi Tamara jika sahabatnya itu tahu kalau atasannya adalah seorang pria tampan yang begitu digilai para karyawannya sendiri dan ... penggila seks.
            Hembusan napas panjang menunjukkan betapa kerasnya Clara mencoba untuk menghapus adegan-adegan erotis dan suara-suara erangan yang penuh gairah itu. Ia sendiri pun tidak mengerti mengapa ia sama sekali tidak bisa melupakan semua adegan-adegan itu. Dan yang lebih gila lagi, bayangan akan bokong Mr. Golden yang bergerak dengan cepat dan intens seakan mengisi pikirannya, membuat jantung Clara kembali berdebar cepat.
            Ia tidak menyangka bokong seorang pria bisa seindah dan semenarik itu. Bahkan sempat terbersit di pikirannya apakah bokong itu selembut dan sehalus yang ia bayangkan. Clara langsung mengumpat dalam hati dan mencoba menghentikan kegilaan yang ditimbulkan dari bokong indah itu. Sial, bokong itu terus mengisi kepalaku bahkan saat aku menutup mata. Gila, gila, gila! gerutu Clara berusaha mengendalikan dirinya sendiri. Giginya gemeretak kencang, menekan kegilaan yang ada di pikirannya.
            Hembusan napas panjang yang kedua kalinya membuat Tamara, yang sedang menyetir mobil, langsung menoleh ke arahnya dan melemparkan tatapan penuh tanya. Clara mencoba untuk tidak menanggapi pandangan itu, ia terus manatap ke luar jendela dan menikmati alunan lagu.
            Ia tidak tahu apakah ia bisa bertahan lama bekerja di perusahaan itu, atau apakah dirinya bisa kuat membiarkan kejadian gila itu terjadi secara terus-menerus di depan matanya. Ini memang berat baginya, bukan hanya karena ia tidak tahu apakah ia mampu menolak kharisma dan pesona atasannya sendiri, tapi karena saat ini ia sangat membutuhkan gaji yang besar itu. Terbersit di pikirannya tentang surat kontrak kerja yang belum sempat ia baca dengan benar. Mungkin sudah terlambat untuk sebuah kata penyesalan, tapi Clara berencana untuk meminta salinan kertas kontrak kerja miliknya.
            Akhirnya, setelah melewati kemacetan itu, mereka pun tiba di restoran cepat saji kesukaan mereka, lalu memesan makanan, dan mencari tempat duduk yang jauh dari kerumunan orang.
            "Beneran deh, Ra. Si tampan itu stress banget," ulang Tamara untuk yang kesekian kalinya semenjak wanita itu menceritakan betapa berantakan dan depresinya mantan atasannya karena harus menghadapi seorang sekretaris yang tidak bisa bekerja secepat dirinya.
            "Ya, mau gimana lagi, Tam. Life must go on," sahut Clara santai sambil memasukkan makanan ke dalam mulutnya.
            "Balik lagi aja, Ra. Si tampan pasti mau kok terima lo lagi," bujuk Tamara.
            "Tapi gue yang nggak mau balik lagi, Tam," tolak Clara jujur.
            Tamara memguncupkan bibirnya, tampak seperti sebuah terompet yang sangat imut. "Lo kenapa sih niat banget pindah?" tanya Tamara penasaran.
            "I need money, Tam," jawab Clara jujur.
            "Kawin sama si tampan aja. Pasti lo nggak bakalan capek-capek cari uang lagi, kan?" usul Tamara cepat.
            "Jangan gila, deh. Dia itu sudah punya bini," tolak Clara sambil mengerutkan dahinya.
            "So what? Lo butuh uang, dia butuh lo. Simbiosis mutualisme, right?" sanggah Tamara cepat.
            Clara cuma bisa diam seribu bahasa. Ia tidak ingin membahas masalah ini dengan Tamara karena Clara tahu seperti apa sahabatnya yang satu ini. Seakan mengerti arti sikap diam Clara, Tamara pun kembali melahap makanannya. Tanpa membahas masalah itu lagi, Clara pun kembali menikmati makan malamnya.
            "Ahh ... kenyang," ucap Tamara sambil meletakkan gelas kertas minumannya yang sudah kosong.
            Clara melirik tempat makan Tamara yang sudah bersih dan segera disingkirkan ke meja sebelah yang kosong. "Sekarang, lo berhutang cerita sama gue," kata Tamara setelah wanita itu membersihkan tangan dan mulut dengan menggunakan tisu basah.
            "Ya ampun, Tam. Apa nggak bisa nunggu gue kelar makan dulu?" tolak Clara yang langsung kehilangan selera makannya.
            "Nggak. Gue sudah nggak sabar. Cepetan cerita!" tuntut Tamara, tidak memedulikab raut wajah Clara yang tampak enggan menceritakan tentang Mr. Golden.
            "Cari di Google, deh. Gue males harus ngejelasinnya sama lo," tolak Clara dengan malas, ia tidak ingin membicarakan Mr. Golden saat ini. Ia benar-benar ingin mengistirahatkan pikirannya dari pria itu, terlebih saat ia mulai bisa meredam gairahnya sendiri.
            "Siapa namanya?" tanya Tamara yang langsung mengangkat ponsel ke depan wajahnya.
            "Jack Zaferino Golden," jawab Clara malas, sebelum ia memasukkan tiga potong kentang goreng ke dalam mulutnya yang terbuka lebar.
            Clara memerhatikan Tamara yang sedang mengetik di layar ponselnya dan sedetik kemudian mata wanita itu terbelalak, mulutnya pun terbuka lebar membentuk huruf 'O'. "Kenapa?" tanya Clara penasaran.
            "Ini. Ganteng gilaaa!" seru Tamara yang masih terpesona dengan apa yang dilihatnya.
            Clara hanya menggelengkan kepala melihat tingkah laku Tamara yang begitu berlebihan. Ia kembali memasukkan tiga potong kentang goreng ke mulutnya, berusaha tidak terpancing reaksi Tamara yang tampak seperti seorang gadis yang sedang jatuh cinta. Benar-benar sama seperti apa yang ia bayangkan.
            Clara tidak peduli setampan, semenarik, dan sekaya apa atasannya itu. Ia tetap berusaha untuk tetap memegang teguh sikap profesionalisme kerja dan selalu menjaga hatinya agar tidak tertarik pada atasannya. 'Jatuh cinta pada atasan' tidak pernah ada dalam kamusnya dan ia terus menjaga agar kalimat itu tidak masuk dalam kehidupannya.
            "Biasa aja sih aslinya," balas Clara yang langsung di balas tatapan sinis oleh Tamara.
            "Ini?" tanya Tamara sambil menunjukkan layar ponselnya pada Clara dan ia pun melihat wajah Mr. Golden yang terlihat begitu sempurna dan tampan. Clara pun tidak memungkiri hal itu dan langsung mengalihkan pandangannya ke arah makanan.
            "Ini lo bilang biasa aja?" tanya Tamara dengan nada kecewa yang dibuat-buat.
            "Tam, beneran deh. Biasa aja," ulang Clara lagi, mencoba meyakinkan temannya itu.
            Ia tidak tahu bagaimana reaksi temannya ini jika ia benar-benar membawa Tamara untuk bertemu langsung dengan Mr. Golden. Tamara meletakkan ponselnya, lalu menatap Clara dengan serius. "Lo nggak lesbi 'kan, Ra?" tanya Tamara dengan suara pelan yang malah membuat Clara tersedak karena kaget.
            "What! Gue masih normal. Gila aja lo!" protes Clara kesal. Ini yang kedua kalinya orang mengira ia punya kelainan orientasi seksual.
            "Lah, orang ganteng begini lo bilang biasa aja atau ... jangan-jangan lo perlu pakai kacamata kali, Ra. Mungkin mata lo rusak gara-gara kebanyakan melototin layar komputer," ejek Tamara yang semakin lama semakin sembarangan menuduhnya yang tidak-tidak.
            Clara tidak menyambut ejekan tersebut dan kembali menghabiskan makan malamnya. Pandangannya sesekali memerhatikan Tamara yang terlihat begitu tertarik dengan Mr. Golden. Clara tidak memungkiri, pria itu memang memiliki pesona yang mampu memikat wanita manapun. Terutama mata itu. Ya, mata cokelat terang yang seakan menyihirnya, membuat tubuhnya kaku, dan membuat jantungnya berdebar tak karuan setiap kali pria itu menatapnya.
            Bukan hanya itu saja. Suara Mr. Golden yang begitu dalam dan sedikit serak terdengar begitu menggoda. Pria itu memang terlihat begitu sempurna, bahkan Clara benar-benar berusaha dengan sangat keras kali ini agar tidak tertarik pada atasannya sendiri, meskipun ia menyadari pria itu begitu sulit untuk ditolak.
            "Dia udah punya pacar?" tanya Tamara langsung.
            Clara memutar bola matanya. "Gue baru kerja satu hari, Tam. Satu hari, bukan satu tahun. Jadi, jangan tanya yang aneh-aneh, deh," protes Clara sedikit kesal.
            "Lo suka?" tanya Tamara lagi.
            "Nggak," jawab Clara tegas.
            "Yakin?" pancing Tamara.
            "Hmm," gumam Clara mengiyakan.
            "Tapi dia belum punya pasangan, loh," pancing Tamara lagi sambil menunjukkan sebuah pemberitaan tentang Mr. Golden dari salah satu berita on line yang menyatakan bahwa atasannya itu merupakan salah satu pria lajang terkaya yang belum memiliki seorang pendamping.
            "Nggak ngaruh," tolak Clara lagi, kali ini entah kenapa ia merasa ucapannya itu adalah sebuah kebohongan.
            "Yakin??" pancing Tamara sambil memainkan salah satu alisnya.
            "Astaga, Tam. Udah, ah. Males banget harus bahas dia mulu," tolak Clara yang langsung beranjak dari kursi dan berjalan menuju tempat pencuci tangan.
∞∞∞∞∞
            Clara membaringkan tubuhnya di tempat tidur. Tubuhnya teras begitu lelah sekaligus kenyang. Hari ini benar-benar penuh perjuangan, semoga besok nggak seperti ini, batin Clara.
            Matanya tertuju pada ponselnya yang tergeletak begitu saja di samping bantalnya. Clara mengambil ponselnya, mengusap layarnya, dan melihat tak satu pun pesan masuk ke ponselnya. Ia meratapi nasibnya yang belum memiliki pasangan. Rasa sepi dan sendiri memang terkadang menghampirinya, tapi ia tidak punya pilihan lain. Tanpa disadari, ia mengetik nama Mr. Golden di mesin pencari situs web.
            Dengan cepat wajah Mr. Golden terpampang jelas di laya ponselnya. Clara mengklik salah satu foto atasannya yang sedang berdiri mengenakan tuksedo berwarna hitam dengan dasi kupu-kupu berwarna senada di kerah kemeja berwarna putih. Sebuah pukulan keras seakan mumukul dadanya, membuat jantungnya berdegup cepat.
            Clara menatap setiap jengkal wajah pria itu yang tampak sangat sempurna. Ia begitu menyukai mata cokelat terang yang tampak begitu tajam, tegas, dan misterius. Mr. Golden memang memiliki kharisma tersendiri yang mampu menaklukkan setiap wanita. Ia pun kembali teringat dua wanita yang bercinta dengan Mr. Golden dan bertanya-tanya berapa wanita yang sudah berhasil memuaskan pria itu.
            Atau jangan-jangan semua wanita di kantor itu sudah pernah melalukan hubungan intim dengannya? tanya Clara dalam hati dan pandangannya pun tertuju pada bibir yang melengkung indah. Bahkan tanpa senyum sedikit pun tetap tidak menghilangkan ketampanannya. Jantung Clara berdebar semakin cepat dan napasnya pun terasa berat saat terbersit khayalan dan pertanyaan bagaimana rasanya jika ia bercinta dengan atasannya sendiri.
            Pikirannya semakin menggila dan dengan cepat Clara langsung meletakkan ponsel, lalu menutup matanya. Tapi, beberapa detik kemudian, ia membuka mata dan napasnya terengah-engah. Bayangan erotis itu terus berputar di pikirannya layaknya sebuah film, tapi kali ini adegan erotis itu diperankan olehnya dengan Mr. Golden. "Ya, ampun! Kalau begini terus aku benar-benar bisa gila," gerutu Clara kesal pada dirinya sendiri.
∞∞∞∞
            "Pagi, Mr. Golden. Jam sebelas nanti akan ada rapat dengan salah satu investor dan jam tiga nanti akan ada pertemuan di Hotel Axel," lapor Clara saat pria itu baru saja tiba di ruangannya.
            "Dan ini beberapa berkas yang harus Anda tanda tangani, Sir," lanjut Clara sambil meletakkan tiga map berwarna biru di meja kerja pria itu.
            Mr. Golden seakan tidak menganggap kehadirannya dan berjalan begitu saja menuju kursi kerja. Clara memerhatikan Mr. Golden yang dengan cepat melepaskan jas kerjanya, kemudian melemparkannya begitu saja ke kursi kerja. Pria itu tampak sedang bergelut dengan pikirannya sendiri.
            Mata berwarna cokelat terang itu terus menatap pemandangan kota dari dinding kaca yang berada tepat di belakang meja kerja. "Mr. Golden, apakah ada lagi yang Anda butuhkan?" tanya Clara sekedar basa-basi, tapi pria itu tetap memunggunginya.
            Clara mencoba untuk tidak menggubris sikap dingin itu, lalu mendekap buku catatannya erat-erat di dada. "Saya permisi dulu, Sir," pamit Clara.
            Ia pun membalikkan tubuhnya lalu berjalan menuju pintu. Clara langsung duduk di kursinya kemudian merapikan beberapa isi map yang kemarin belum sempat ia selesaikan. Setidaknya hal ini bisa mengisi waktu luangnya yang berharga.
            Clara begitu sibuk selama jam kerjanya. Menjawab telepon, mengatur jadwal pertemuan, dan mengetik beberapa berkas yang masih harus ia kerjakan. Tepat pukul setengah sebelas siang, Clara mempersiapkan berkas yang diperlukan untuk rapat dengan para investor dan Mr. Golden keluar dari ruangan tepat pukul sebelas kurang lima menit.
            Pria itu terlihat sangat pendiam dan dingin. Clara mengikuti Mr. Golden, berjalan tepat di belakang tubuh besar pria itu sambil membawa beberapa berkas di tangannya. Mereka berjalan menuju sebuah ruangan rapat yang berada tidak jauh dari ruang kerjanya. Clara membukakan pintu untuk Mr. Golden yang langsung masuk ke ruangan itu dan beberapa orang yang sudah siap di kursi masing-masing, berdiri menyambut kedatangan Mr. Golden.
            Clara menutup pintu si belakangnya dan mereka pun memulai rapat itu.
∞∞∞∞∞
            Waktu berlalu dengan cepat. Rapat hari ini pun berjalan dengan lancar. Setelah rapat, yang memakan waktu hampir dua jam, Mr. Golden memutuskan untuk keluar kantor. Clara tidak peduli ke mana pria itu pergi dan ia tidak berusaha mencari tahu.
            Betapa bersyukurnya Clara karena hari ini kegiatan percintaan yang begitu mengganggu itu tidak terjadi selama satu hari ini. Ruangan Mr. Golden benar-benar kosong dan setelah mengisi waktu luangnya dengan membereskan isi map-map yang tidak beraturan, akhirnya Clara memutuskan untuk beranjak dari ruangannya.
            Sekarang menunjukkan waktu setengah lima sore dan semua pekerjaannya sudah selesai. Clara berjalan menuju ruangan Ibu Yona yang berada tepat di samping ruangannya. Ia mengetuk pintu itu dan seorang wanita berparas ayu membukakan pintu untuknya. "Saya mau bertemu dengan Ibu Yona," ucap Clara tanpa di tanya.
            Wanita itu tersenyum ramah dan memberikan jalan padanya. Ia pun langsung bergegas menuju ruangan Ibu Yona dan mengetuk pintunya tiga kali. "Masuk," jawab Ibu Yona dari dalam ruangan. Clara membuka pintu, menjulurkan kepalanya, dan melemparkan senyum hangat ke arah wanita itu.
            "Ada apa, Clara?" tanya Ibu Yona datar.
            "Maaf, Bu," jawab Clara seraya menutup pintu di belakangnya dan berjalan menuju meja kerja Ibu Yona yang hari ini tampak cukup berantakan.
            "Bolehkah saya meminta salinan surat kontrak kerja yang kemarin?" tanya Clara dengan hati-hati.
            "Untuk apa?" tanya Ibu Yona, menunjukkan raut tidak suka.
            "Saya ingin membaca beberapa hal yang sepertinya masih belum saya pahami dengan benar," jelas Clara baik-baik.
            Wanita itu menatap Clara dengan tatapan paling serius dan menakutkan, membuat Clara berpikir yang tidak-tidak. "Apa kamu berencana untuk resign, Clara?" tanya Ibu Yona dingin dan begitu menusuk.
            "Saya tidak mungkin keluar, Bu. Saya sangat membutuhkan pekerjaan ini," jelas Clara cepat dan sedetik kemudian raut wajah Ibu Yona mulai terlihat sedikit lebih tenang.
            Wanita itu membuka laci meja, mengeluarkan map berwarna hitam, kemudian memberikan satu lembar salinan kontrak kerja pada Clara. "Kembalikan sebelum kamu pulang kerja, ya," kata Ibu Yona mengingatkan.
            "Baik, Bu," sahut Clara yang buru-buru keluar dari ruangan itu.
            Clara menggulung kertas itu dan menggenggamnya dengan erat, lalu berjalan keluar, dan kembali ke ruangannya. Ia menutup pintu di belakangnya kemudian bergegas menuju meja kerjanya. Clara membuka surat kontrak kerja itu dan membacanya dengan seksama. Isi dari kontrak kerjanya itu terlihat biasa saja, tidak ada yang aneh ataupun janggal. Sampai akhirnya ia membaca dua pasal yang membuat bulu kuduknya berdiri. Salah satu pasal itu menyatakan kalau ia harus bisa menyimpan segala rahasia perusahaan terutama yang berhubungan dengan Mr. Golden seumur hidupnya. Jika ia berani sedikit pun membocorkan atau membicarakan tentang perusahaan atau pribadi Mr. Golden kepada pihak luar, maka ia akan didenda sebesar satu miliyar.
            "Satu miliyar??" ulang Clara dengan mata terbelalak kaget.
            Sedangkan pasal yang satu lagi membuat Clara semakin mengutuk dirinya sendiri karena tidak membaca surat kontrak itu terlebih dahulu dan lebih tergiur akan gaji lima belas jutanya. Pasal itu menyatakan bahwa ia harus bersedia siap kapanpun dan di manapun untuk melayani atasannya baik yang berhubungan dengan pekerjaan atau di luar pekerjaan. Membaca pasal tersebut membuat Clara seperti ditampar keras dan perutnya terasa melilit.
            Ditambah lagi dengan lanjutan pasal yang menyatakan bahwa ia akan mendapatkan uang tambahan jika ia melaksanakan pekerjaan di luar jam kerjanya. Uang, batin Clara nelangsa. Ia tahu saat ini ia begitu membutuhkan uang yang sangat banyak. "Tapi ... apa harus jual diri seperti ini?" tanya Clara lagi, merasa semakin merana.
            "Apa karena ini aku di gaji mahal?" tanya Clara pada dirinya sendiri dan pikiran kotor pun mulai mengisi kepalanya. Clara meletakkan salinan kontrak kerjanya begitu saja di atas meja. Pandangannya kosong, pikirannya melayang entah ke mana.
            Surat kontrak kerja itu tampak seperti sebuah surat pencabut nyawa yang kapan saja bisa mencabut nyawanya. Tatapannya terpaku pada barisan kata 'bersedia melayani' dan seketika itu pula wajahnya merona. Bayangan akan dirinya berada di bawah kuasa Mr. Golden dan melakukan hubungan intim dengan pria itu seakan membuat Clara semakin terpuruk.
            "Mati gue. Mati gue. Mati gue," ucap Clara berulang kali sambil mengetuk-ngetukkan kepalanya ke meja.
            "Don't kill your self here."
            Clara langsung mendongakkan wajahnya dan terkejut bukan main saat melihat Mr. Golden berada di samping meja kerjanya, menatap dirinya dengan tatapan tajam dan dingin. "Bereskan ini!" perintah Mr. Golden sambil meletakkan sebuah map berwarna hitam di mejanya, lalu berjalan begitu saja menuju ruangannya, dan menghilang di balik pintu.
            Ya, aku benar-benar dalam masalah sekarang.

∞∞∞∞∞

Tidak ada komentar: