BAB 4
Langit
sudah gelap saat Clara keluar dari gedung bertingkat itu. Tamara, yang
menawarkan diri untuk menjemputnya, sudah menunggu kedatangan Clara di lapangan
parkir. Clara, yang sudah kembali mengenakan pakaian normalnya, membuka pintu
dan sahabatnya itu menyambutnya dengan penuh kehangatan.
Mereka pun pergi
meninggalkan gedung perkantoran itu menuju kemacetan Jakarta yang tidak pernah
lepas dari rutinitas kehidupannya. "Cerita, please,"
mohon Tamara dengan wajah memelas.
Clara sudah tahu apa niat
sahabatnya itu sampai rela menjemput dirinya yang bahkan berjarak setengah jam
perjalanan dari kantor lamanya. "Cerita apa sih, Tam?" tanya Clara
pura-pura lupa.
"Gimana tempat kerja
lo yang baru? Bosnya enak nggak? Setua apa dia? Gede 'kan badannya? Kalau sama
si Rusly, gedean mana?" tanya Tamara secara beruntun.
Clara teringat salah satu
rekan kerjanya yang bernama Rusly. Pria bertubuh gempal, tinggi besar, dengan
wajah menggemaskan dan sangat penyayang. Clara sering memanggilnya dengan
sebutan Teddy Bear dan pria itu benar-benar semakin sayang
padanya. "Dia nggak gede, masih muda juga. Mungkin usianya masih kepala
tiga," jawab Clara santai, berusaha tidak menggambarkan sosok Mr. Golden
yang tampan secara gamblang.
Tepat seperti apa yang
Clara bayangkan, Tamara mendengus tak percaya. "Ganteng nggak?" tanya
Tamara lagi.
Clara hanya bisa
menggelengkan kepala, takjub dengan sifat ingin tahu Tamara yang begitu
menerornya. "Gue laper. Cari makan dulu, deh. Biar enak ngobrolnya,"
jawab Clara mencoba mengalihkan pembicaraan. Meskipun sebenarnya ia tidak
merasakan lapar, tapi setidaknya hal itu bisa membuat Tamara berhenti
mencecarnya dengan berbagai macam pertanyaan.
Bagaimana mungkin kalian
bisa lapar jika melihat adegan yang begitu menggairahkan dua kali dalam sehari
dan secara langsung?batin Clara.
"Baiklah. Baiklah,"
sahut Tamara mengiyakan.
Tamara kembali berkutat
dengan kemacetan di depannya, sedangkan Clara hanya bisa terdiam memandangi
barisan mobil yang memenuhi jalanan sambil mendengarkan radio. Clara kembali
membayangkan bagaimana reaksi Tamara jika sahabatnya itu tahu kalau atasannya
adalah seorang pria tampan yang begitu digilai para karyawannya sendiri dan ...
penggila seks.
Hembusan napas panjang
menunjukkan betapa kerasnya Clara mencoba untuk menghapus adegan-adegan erotis
dan suara-suara erangan yang penuh gairah itu. Ia sendiri pun tidak mengerti
mengapa ia sama sekali tidak bisa melupakan semua adegan-adegan itu. Dan yang
lebih gila lagi, bayangan akan bokong Mr. Golden yang bergerak dengan cepat dan
intens seakan mengisi pikirannya, membuat jantung Clara kembali berdebar cepat.
Ia tidak menyangka bokong
seorang pria bisa seindah dan semenarik itu. Bahkan sempat terbersit di
pikirannya apakah bokong itu selembut dan sehalus yang ia bayangkan. Clara
langsung mengumpat dalam hati dan mencoba menghentikan kegilaan yang
ditimbulkan dari bokong indah itu. Sial, bokong itu terus mengisi
kepalaku bahkan saat aku menutup mata. Gila, gila, gila! gerutu Clara
berusaha mengendalikan dirinya sendiri. Giginya gemeretak kencang, menekan
kegilaan yang ada di pikirannya.
Hembusan napas panjang
yang kedua kalinya membuat Tamara, yang sedang menyetir mobil, langsung menoleh
ke arahnya dan melemparkan tatapan penuh tanya. Clara mencoba untuk tidak
menanggapi pandangan itu, ia terus manatap ke luar jendela dan menikmati alunan
lagu.
Ia tidak tahu apakah ia
bisa bertahan lama bekerja di perusahaan itu, atau apakah dirinya bisa kuat
membiarkan kejadian gila itu terjadi secara terus-menerus di depan matanya. Ini
memang berat baginya, bukan hanya karena ia tidak tahu apakah ia mampu menolak
kharisma dan pesona atasannya sendiri, tapi karena saat ini ia sangat
membutuhkan gaji yang besar itu. Terbersit di pikirannya tentang surat kontrak
kerja yang belum sempat ia baca dengan benar. Mungkin sudah terlambat untuk
sebuah kata penyesalan, tapi Clara berencana untuk meminta salinan kertas
kontrak kerja miliknya.
Akhirnya, setelah melewati
kemacetan itu, mereka pun tiba di restoran cepat saji kesukaan mereka, lalu
memesan makanan, dan mencari tempat duduk yang jauh dari kerumunan orang.
"Beneran deh, Ra. Si
tampan itu stress banget," ulang Tamara untuk yang kesekian kalinya
semenjak wanita itu menceritakan betapa berantakan dan depresinya mantan
atasannya karena harus menghadapi seorang sekretaris yang tidak bisa bekerja
secepat dirinya.
"Ya, mau gimana lagi,
Tam. Life must go on," sahut Clara santai sambil memasukkan
makanan ke dalam mulutnya.
"Balik lagi aja, Ra.
Si tampan pasti mau kok terima lo lagi," bujuk Tamara.
"Tapi gue yang nggak
mau balik lagi, Tam," tolak Clara jujur.
Tamara memguncupkan
bibirnya, tampak seperti sebuah terompet yang sangat imut. "Lo kenapa sih
niat banget pindah?" tanya Tamara penasaran.
"I need money, Tam,"
jawab Clara jujur.
"Kawin sama si tampan
aja. Pasti lo nggak bakalan capek-capek cari uang lagi, kan?" usul Tamara
cepat.
"Jangan gila, deh.
Dia itu sudah punya bini," tolak Clara sambil mengerutkan dahinya.
"So what? Lo
butuh uang, dia butuh lo. Simbiosis mutualisme, right?"
sanggah Tamara cepat.
Clara cuma bisa diam
seribu bahasa. Ia tidak ingin membahas masalah ini dengan Tamara karena Clara
tahu seperti apa sahabatnya yang satu ini. Seakan mengerti arti sikap diam
Clara, Tamara pun kembali melahap makanannya. Tanpa membahas masalah itu lagi,
Clara pun kembali menikmati makan malamnya.
"Ahh ...
kenyang," ucap Tamara sambil meletakkan gelas kertas minumannya yang sudah
kosong.
Clara melirik tempat makan
Tamara yang sudah bersih dan segera disingkirkan ke meja sebelah yang kosong.
"Sekarang, lo berhutang cerita sama gue," kata Tamara setelah wanita
itu membersihkan tangan dan mulut dengan menggunakan tisu basah.
"Ya ampun, Tam. Apa
nggak bisa nunggu gue kelar makan dulu?" tolak Clara yang langsung
kehilangan selera makannya.
"Nggak. Gue sudah
nggak sabar. Cepetan cerita!" tuntut Tamara, tidak memedulikab raut wajah
Clara yang tampak enggan menceritakan tentang Mr. Golden.
"Cari di Google,
deh. Gue males harus ngejelasinnya sama lo," tolak Clara dengan malas, ia
tidak ingin membicarakan Mr. Golden saat ini. Ia benar-benar ingin
mengistirahatkan pikirannya dari pria itu, terlebih saat ia mulai bisa meredam
gairahnya sendiri.
"Siapa namanya?"
tanya Tamara yang langsung mengangkat ponsel ke depan wajahnya.
"Jack Zaferino
Golden," jawab Clara malas, sebelum ia memasukkan tiga potong kentang
goreng ke dalam mulutnya yang terbuka lebar.
Clara memerhatikan Tamara
yang sedang mengetik di layar ponselnya dan sedetik kemudian mata wanita itu
terbelalak, mulutnya pun terbuka lebar membentuk huruf 'O'. "Kenapa?"
tanya Clara penasaran.
"Ini. Ganteng gilaaa!"
seru Tamara yang masih terpesona dengan apa yang dilihatnya.
Clara hanya menggelengkan
kepala melihat tingkah laku Tamara yang begitu berlebihan. Ia kembali
memasukkan tiga potong kentang goreng ke mulutnya, berusaha tidak terpancing
reaksi Tamara yang tampak seperti seorang gadis yang sedang jatuh cinta.
Benar-benar sama seperti apa yang ia bayangkan.
Clara tidak peduli
setampan, semenarik, dan sekaya apa atasannya itu. Ia tetap berusaha untuk
tetap memegang teguh sikap profesionalisme kerja dan selalu menjaga hatinya
agar tidak tertarik pada atasannya. 'Jatuh cinta pada atasan' tidak pernah ada
dalam kamusnya dan ia terus menjaga agar kalimat itu tidak masuk dalam
kehidupannya.
"Biasa aja sih
aslinya," balas Clara yang langsung di balas tatapan sinis oleh Tamara.
"Ini?" tanya
Tamara sambil menunjukkan layar ponselnya pada Clara dan ia pun melihat wajah
Mr. Golden yang terlihat begitu sempurna dan tampan. Clara pun tidak memungkiri
hal itu dan langsung mengalihkan pandangannya ke arah makanan.
"Ini lo bilang biasa
aja?" tanya Tamara dengan nada kecewa yang dibuat-buat.
"Tam, beneran deh.
Biasa aja," ulang Clara lagi, mencoba meyakinkan temannya itu.
Ia tidak tahu bagaimana
reaksi temannya ini jika ia benar-benar membawa Tamara untuk bertemu langsung
dengan Mr. Golden. Tamara meletakkan ponselnya, lalu menatap Clara dengan
serius. "Lo nggak lesbi 'kan, Ra?" tanya Tamara dengan suara pelan
yang malah membuat Clara tersedak karena kaget.
"What! Gue
masih normal. Gila aja lo!" protes Clara kesal. Ini yang kedua kalinya
orang mengira ia punya kelainan orientasi seksual.
"Lah, orang ganteng
begini lo bilang biasa aja atau ... jangan-jangan lo perlu pakai kacamata kali,
Ra. Mungkin mata lo rusak gara-gara kebanyakan melototin layar komputer,"
ejek Tamara yang semakin lama semakin sembarangan menuduhnya yang tidak-tidak.
Clara tidak menyambut
ejekan tersebut dan kembali menghabiskan makan malamnya. Pandangannya sesekali
memerhatikan Tamara yang terlihat begitu tertarik dengan Mr. Golden. Clara
tidak memungkiri, pria itu memang memiliki pesona yang mampu memikat wanita
manapun. Terutama mata itu. Ya, mata cokelat terang yang seakan menyihirnya,
membuat tubuhnya kaku, dan membuat jantungnya berdebar tak karuan setiap kali
pria itu menatapnya.
Bukan hanya itu saja.
Suara Mr. Golden yang begitu dalam dan sedikit serak terdengar begitu menggoda.
Pria itu memang terlihat begitu sempurna, bahkan Clara benar-benar berusaha
dengan sangat keras kali ini agar tidak tertarik pada atasannya sendiri,
meskipun ia menyadari pria itu begitu sulit untuk ditolak.
"Dia udah punya
pacar?" tanya Tamara langsung.
Clara memutar bola
matanya. "Gue baru kerja satu hari, Tam. Satu hari, bukan satu tahun.
Jadi, jangan tanya yang aneh-aneh, deh," protes Clara sedikit kesal.
"Lo suka?" tanya
Tamara lagi.
"Nggak," jawab
Clara tegas.
"Yakin?" pancing
Tamara.
"Hmm," gumam
Clara mengiyakan.
"Tapi dia belum punya
pasangan, loh," pancing Tamara lagi sambil menunjukkan sebuah pemberitaan
tentang Mr. Golden dari salah satu berita on line yang
menyatakan bahwa atasannya itu merupakan salah satu pria lajang terkaya yang
belum memiliki seorang pendamping.
"Nggak ngaruh,"
tolak Clara lagi, kali ini entah kenapa ia merasa ucapannya itu adalah sebuah
kebohongan.
"Yakin??"
pancing Tamara sambil memainkan salah satu alisnya.
"Astaga, Tam. Udah,
ah. Males banget harus bahas dia mulu," tolak Clara yang langsung beranjak
dari kursi dan berjalan menuju tempat pencuci tangan.
∞∞∞∞∞
Clara membaringkan
tubuhnya di tempat tidur. Tubuhnya teras begitu lelah sekaligus kenyang. Hari
ini benar-benar penuh perjuangan, semoga besok nggak seperti ini, batin
Clara.
Matanya tertuju pada
ponselnya yang tergeletak begitu saja di samping bantalnya. Clara mengambil
ponselnya, mengusap layarnya, dan melihat tak satu pun pesan masuk ke
ponselnya. Ia meratapi nasibnya yang belum memiliki pasangan. Rasa sepi dan
sendiri memang terkadang menghampirinya, tapi ia tidak punya pilihan lain.
Tanpa disadari, ia mengetik nama Mr. Golden di mesin pencari situs web.
Dengan cepat wajah Mr.
Golden terpampang jelas di laya ponselnya. Clara mengklik salah satu foto
atasannya yang sedang berdiri mengenakan tuksedo berwarna hitam dengan dasi
kupu-kupu berwarna senada di kerah kemeja berwarna putih. Sebuah pukulan keras
seakan mumukul dadanya, membuat jantungnya berdegup cepat.
Clara menatap setiap
jengkal wajah pria itu yang tampak sangat sempurna. Ia begitu menyukai mata
cokelat terang yang tampak begitu tajam, tegas, dan misterius. Mr. Golden
memang memiliki kharisma tersendiri yang mampu menaklukkan setiap wanita. Ia
pun kembali teringat dua wanita yang bercinta dengan Mr. Golden dan
bertanya-tanya berapa wanita yang sudah berhasil memuaskan pria itu.
Atau jangan-jangan semua
wanita di kantor itu sudah pernah melalukan hubungan intim dengannya? tanya Clara
dalam hati dan pandangannya pun tertuju pada bibir yang melengkung indah.
Bahkan tanpa senyum sedikit pun tetap tidak menghilangkan ketampanannya.
Jantung Clara berdebar semakin cepat dan napasnya pun terasa berat saat
terbersit khayalan dan pertanyaan bagaimana rasanya jika ia bercinta dengan
atasannya sendiri.
Pikirannya semakin
menggila dan dengan cepat Clara langsung meletakkan ponsel, lalu menutup matanya.
Tapi, beberapa detik kemudian, ia membuka mata dan napasnya terengah-engah.
Bayangan erotis itu terus berputar di pikirannya layaknya sebuah film, tapi
kali ini adegan erotis itu diperankan olehnya dengan Mr. Golden. "Ya,
ampun! Kalau begini terus aku benar-benar bisa gila," gerutu Clara kesal
pada dirinya sendiri.
∞∞∞∞
"Pagi, Mr. Golden.
Jam sebelas nanti akan ada rapat dengan salah satu investor dan jam tiga nanti
akan ada pertemuan di Hotel Axel," lapor Clara saat pria itu baru saja
tiba di ruangannya.
"Dan ini beberapa
berkas yang harus Anda tanda tangani, Sir," lanjut Clara sambil meletakkan
tiga map berwarna biru di meja kerja pria itu.
Mr. Golden seakan tidak
menganggap kehadirannya dan berjalan begitu saja menuju kursi kerja. Clara
memerhatikan Mr. Golden yang dengan cepat melepaskan jas kerjanya, kemudian melemparkannya
begitu saja ke kursi kerja. Pria itu tampak sedang bergelut dengan pikirannya
sendiri.
Mata berwarna cokelat
terang itu terus menatap pemandangan kota dari dinding kaca yang berada tepat
di belakang meja kerja. "Mr. Golden, apakah ada lagi yang Anda
butuhkan?" tanya Clara sekedar basa-basi, tapi pria itu tetap
memunggunginya.
Clara mencoba untuk tidak
menggubris sikap dingin itu, lalu mendekap buku catatannya erat-erat di dada.
"Saya permisi dulu, Sir," pamit Clara.
Ia pun membalikkan tubuhnya
lalu berjalan menuju pintu. Clara langsung duduk di kursinya kemudian merapikan
beberapa isi map yang kemarin belum sempat ia selesaikan. Setidaknya hal ini
bisa mengisi waktu luangnya yang berharga.
Clara begitu sibuk selama
jam kerjanya. Menjawab telepon, mengatur jadwal pertemuan, dan mengetik
beberapa berkas yang masih harus ia kerjakan. Tepat pukul setengah sebelas
siang, Clara mempersiapkan berkas yang diperlukan untuk rapat dengan para
investor dan Mr. Golden keluar dari ruangan tepat pukul sebelas kurang lima
menit.
Pria itu terlihat sangat
pendiam dan dingin. Clara mengikuti Mr. Golden, berjalan tepat di belakang
tubuh besar pria itu sambil membawa beberapa berkas di tangannya. Mereka
berjalan menuju sebuah ruangan rapat yang berada tidak jauh dari ruang
kerjanya. Clara membukakan pintu untuk Mr. Golden yang langsung masuk ke
ruangan itu dan beberapa orang yang sudah siap di kursi masing-masing, berdiri
menyambut kedatangan Mr. Golden.
Clara menutup pintu si
belakangnya dan mereka pun memulai rapat itu.
∞∞∞∞∞
Waktu berlalu dengan
cepat. Rapat hari ini pun berjalan dengan lancar. Setelah rapat, yang memakan
waktu hampir dua jam, Mr. Golden memutuskan untuk keluar kantor. Clara tidak
peduli ke mana pria itu pergi dan ia tidak berusaha mencari tahu.
Betapa bersyukurnya Clara
karena hari ini kegiatan percintaan yang begitu mengganggu itu tidak terjadi
selama satu hari ini. Ruangan Mr. Golden benar-benar kosong dan setelah mengisi
waktu luangnya dengan membereskan isi map-map yang tidak beraturan, akhirnya Clara
memutuskan untuk beranjak dari ruangannya.
Sekarang menunjukkan waktu
setengah lima sore dan semua pekerjaannya sudah selesai. Clara berjalan menuju
ruangan Ibu Yona yang berada tepat di samping ruangannya. Ia mengetuk pintu itu
dan seorang wanita berparas ayu membukakan pintu untuknya. "Saya mau
bertemu dengan Ibu Yona," ucap Clara tanpa di tanya.
Wanita itu tersenyum ramah
dan memberikan jalan padanya. Ia pun langsung bergegas menuju ruangan Ibu Yona
dan mengetuk pintunya tiga kali. "Masuk," jawab Ibu Yona dari dalam
ruangan. Clara membuka pintu, menjulurkan kepalanya, dan melemparkan senyum
hangat ke arah wanita itu.
"Ada apa,
Clara?" tanya Ibu Yona datar.
"Maaf, Bu,"
jawab Clara seraya menutup pintu di belakangnya dan berjalan menuju meja kerja
Ibu Yona yang hari ini tampak cukup berantakan.
"Bolehkah saya
meminta salinan surat kontrak kerja yang kemarin?" tanya Clara dengan
hati-hati.
"Untuk apa?"
tanya Ibu Yona, menunjukkan raut tidak suka.
"Saya ingin membaca
beberapa hal yang sepertinya masih belum saya pahami dengan benar," jelas
Clara baik-baik.
Wanita itu menatap Clara
dengan tatapan paling serius dan menakutkan, membuat Clara berpikir yang
tidak-tidak. "Apa kamu berencana untuk resign, Clara?"
tanya Ibu Yona dingin dan begitu menusuk.
"Saya tidak mungkin
keluar, Bu. Saya sangat membutuhkan pekerjaan ini," jelas Clara cepat dan
sedetik kemudian raut wajah Ibu Yona mulai terlihat sedikit lebih tenang.
Wanita itu membuka laci
meja, mengeluarkan map berwarna hitam, kemudian memberikan satu lembar salinan
kontrak kerja pada Clara. "Kembalikan sebelum kamu pulang kerja, ya,"
kata Ibu Yona mengingatkan.
"Baik, Bu,"
sahut Clara yang buru-buru keluar dari ruangan itu.
Clara menggulung kertas
itu dan menggenggamnya dengan erat, lalu berjalan keluar, dan kembali ke
ruangannya. Ia menutup pintu di belakangnya kemudian bergegas menuju meja
kerjanya. Clara membuka surat kontrak kerja itu dan membacanya dengan seksama.
Isi dari kontrak kerjanya itu terlihat biasa saja, tidak ada yang aneh ataupun
janggal. Sampai akhirnya ia membaca dua pasal yang membuat bulu kuduknya
berdiri. Salah satu pasal itu menyatakan kalau ia harus bisa menyimpan segala
rahasia perusahaan terutama yang berhubungan dengan Mr. Golden seumur hidupnya.
Jika ia berani sedikit pun membocorkan atau membicarakan tentang perusahaan
atau pribadi Mr. Golden kepada pihak luar, maka ia akan didenda sebesar satu
miliyar.
"Satu miliyar??"
ulang Clara dengan mata terbelalak kaget.
Sedangkan pasal yang satu
lagi membuat Clara semakin mengutuk dirinya sendiri karena tidak membaca surat
kontrak itu terlebih dahulu dan lebih tergiur akan gaji lima belas jutanya.
Pasal itu menyatakan bahwa ia harus bersedia siap kapanpun dan di manapun untuk
melayani atasannya baik yang berhubungan dengan pekerjaan atau di luar
pekerjaan. Membaca pasal tersebut membuat Clara seperti ditampar keras dan
perutnya terasa melilit.
Ditambah lagi dengan
lanjutan pasal yang menyatakan bahwa ia akan mendapatkan uang tambahan jika ia
melaksanakan pekerjaan di luar jam kerjanya. Uang, batin Clara
nelangsa. Ia tahu saat ini ia begitu membutuhkan uang yang sangat banyak.
"Tapi ... apa harus jual diri seperti ini?" tanya Clara lagi, merasa
semakin merana.
"Apa karena ini aku
di gaji mahal?" tanya Clara pada dirinya sendiri dan pikiran kotor pun
mulai mengisi kepalanya. Clara meletakkan salinan kontrak kerjanya begitu saja
di atas meja. Pandangannya kosong, pikirannya melayang entah ke mana.
Surat kontrak kerja itu
tampak seperti sebuah surat pencabut nyawa yang kapan saja bisa mencabut
nyawanya. Tatapannya terpaku pada barisan kata 'bersedia melayani' dan seketika
itu pula wajahnya merona. Bayangan akan dirinya berada di bawah kuasa Mr.
Golden dan melakukan hubungan intim dengan pria itu seakan membuat Clara
semakin terpuruk.
"Mati gue. Mati gue.
Mati gue," ucap Clara berulang kali sambil mengetuk-ngetukkan kepalanya ke
meja.
"Don't kill your
self here."
Clara langsung
mendongakkan wajahnya dan terkejut bukan main saat melihat Mr. Golden berada di
samping meja kerjanya, menatap dirinya dengan tatapan tajam dan dingin.
"Bereskan ini!" perintah Mr. Golden sambil meletakkan sebuah map
berwarna hitam di mejanya, lalu berjalan begitu saja menuju ruangannya, dan
menghilang di balik pintu.
Ya, aku benar-benar dalam
masalah sekarang.
∞∞∞∞∞
Tidak ada komentar:
Posting Komentar