Selasa, 31 Januari 2017

A STOLEN HEART (21+) - BAB 6



BAB 6


     Semua ini sudah berakhir. Na sudah menikah dengan Rico. Na sudah menjadi milik Rico selamanya. Aku sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi untuk mempertahankan Na. Dan ini adalah jalan terbaik untuk semuanya. Batin Ted sambil memandang ke kejauhan.

     Wanita yang ia cintai telah menikah dengan pria pilihannya. Pria yang benar-benar ia cintai. Kejadian semalam saat di kamar Na, membuat Ted sadar. Cintanya pada Na begitu besar hingga ia tidak ingin kehidupan yang wanita itu harapkan hancur begitu saja.

     Sejak pertama kali Na memperkenalkan Rico padanya, ia sadar. Ia tahu bahwa Na tidak akan pernah ia miliki. Wanita itu sungguh jatuh cinta dan tergila-gila pada pria itu. Bahkan pancaran wajah Na tampak semakin cantik dan mempesona ketika wanita itu bercerita tentang Rico padanya.

     Hatinya begitu sakit saat menyadari bahwa ada pria lain yang mampu membuat wajahnya merona bahagia seperti itu. Hatinya begitu hancur saat menyadari bahwa bukan dirinyalah yang membuat wanita itu bahagia, melainkan pria lain.

     Na begitu dekat dengannya. Kedua ayah mereka memang sudah bersahabat sejak mereka masih duduk dibangku kuliah. Bahkan kedua orang tua mereka sempat berencana untuk menjodohkan Ted dan Na. Namun karena beberapa alasan Ted menolak rencana itu.

     Awalnya ia ingin Na mencintainya dengan tulus tanpa harus dipaksakan dengan perjodohan tersebut dan ia memberikan kebebasan bagi Na hanya untuk melihat wanita itu bahagia. Namun saat Ted mengetahui bahwa hati wanita itu sudah dimiliki oleh Rico, dunianya serasa hancur berkeping-keping.

     Sempat terbersit dipikirannya untuk memaksakan perjodohan itu, namun ia tahu kalau hal itu akan menghancurkan perasaan Na dan membuat wanita itu menjadi benci padanya. Dan ia tidak ingin hal itu terjadi.

     Dan semalam, saat Na mengatakan kalau wanita itu mencintainya, Ted pun sadar. Na memang membutuhkannya, tidak dapat jauh darinya, tidak dapat hidup tanpanya. Tapi bukan sebagai pria yang ia cintai. Bukan sebagai pria yang ingin ia ajak untuk hidup bersama. Tapi sebagai saudara. Sebagai kakak laki-lakinya yang selalu ada dan setia hadir dalam hidupnya setiap saat.

     Ted sadar itu. Dan saat ia melihat langsung raut wajah wanita itu, yang sedang duduk berdampingan dengan Rico di atas pelaminan, entah mengapa sebagian dari dirinya merasakan bahagia yang tak terkira. Walaupun sebagian lagi dari dirinya merasa hancur berkeping-keping, tapi baginya yang terpenting saat itu adalah menyaksikan Na bahagia dan hidup bersama dengan pria yang sangat ia cintai.

     Sekarang Na sudah menjadi milik Rico selamanya dan Ted hanya bisa berperan sebagai kakak yang baik baginya. Ted bisa menerima hal itu, selama ia masih bisa bertemu dan bersama dengan Na tanpa ada halangan sedikit pun. Dan ia yakin perasaannya pada Na tak akan berubah sedikit pun.

     “Aku kira kau sudah pergi dari sini.” Terdengar suara Sasha saat wanita itu berjalan meng-hampirinya. Sejak Ted melihat Sasha pertama kali di bar siang itu, entah mengapa wanita ini langsung menarik perhatiannya. Wajahnya, aroma tubuhnya, tawanya, sikapnya, bibirnya. Ya, bibirnya. Bibir itu begitu manis dan sangat menggoda.

     Bukan bermaksud kasar atau pun mencari pelarian dari patah hati karena kehilangan Na, tapi aku bisa merasakan sesuatu dalam diriku. Perasaanku langsung berubah setiap kali aku berada bersamanya. Wanita ini begitu dingin dan misterius. Dan wajahnya selalu terbayang dalam pikiranku sejak pertama kali aku melihatnya di siang itu, sendirian dan tampak sangat murung. Batin Ted.

     “Aku menunggumu. Kamu tahu itu, kan.”

   “Tidak. Aku malah mengira kau sudah pergi dari sini,” ucap Sasha sambil meletakkan bokong mungilnya di atas kursi pantai itu.

      “Lalu kenapa kamu datang ke sini?” tanya Ted dengan nada menggoda.

    “Aku hanya penasaran saja,” jawab Sasha santai. Rambut wanita itu tergerai indah. Bahkan di bawah sinar matahari yang semakin meredup, warna hitam pekat rambut itu tampak semakin bersinar. Salah satu hal yang dapat menarik perhatian setiap pria yang melihatnya.

     “Penasaran padaku?” tanya Ted dengan nada sedikit bingung.

    “Yup. Aku hanya penasaran saja dengan pertanyaanmu tadi,” jawab Sasha sambil melihat ke arah Ted.

    “Pertanyaanku?” tanya Ted lagi. Ia bangun dari posisinya dan duduk menghadap Sasha.

   “Ya, pertanyaanmu. Kau tampak seperti orang yang sedang putus asa sebelum aku mening-galkanmu tadi,” jelas Sasha. Wajah wanita itu tampak sedikit kebingungan.

     Wanita ini begitu menarik. Setiap ekspresi yang ia tunjukkan membuat Ted begitu gemas dan ingin sekali ia mencium bibir indah itu. Jantung Ted selalu berdebar dengan cepat setiap kali Sasha menunjukkan ekspresi-ekspresi yang berbeda.

     Dia membayangkan wanita itu berada di atas tempat tidur, berada di bawahnya, mendesah nikmat dan mengerang kenikmatan saat mencapai puncak klimaksnya. Setiap saraf dalam tubuhnya seakan-akan menjerit tak karuan setiap kali ia membayangkan hal itu.

   Ia memang baru tiga hari berkenalan dengan wanita ini, tetapi wanita ini terasa tepat dalam pelukannya, terasa manis dan begitu rapuh. Seakan-akan wanita ini memerlukan dirinya. Memerlukan perlindungan dan kekuatan dalam hidupnya.

     Ted memperhatikan setiap jengkal wajah Sasha. Wajah yang begitu menarik, mata yang berwarna hitam pekat seperti rambutnya, bibirnya yang indah dan merekah serta hidung yang mungil. Wajah yang mampu dengan mudahnya merayu setiap pria.

     Tapi saat ia mendengar kalau wanita ini sedang tidak ingin memiliki sebuah hubungan, membuat Ted tidak percaya. Karena setiap wanita cantik yang ia temui, hampir semuanya mendekatinya karena kekayaannya, karena ketenarannya. Dan hampir semua wanita cantik yang ia kenal, hampir semuanya, menggunakan kencantikannya hanya untuk keuntungan mereka sendiri. Memanfaatkan, memeras dan menguras semua kekayaan pria mereka demi kesenangan mereka sendiri.

     Tapi entah mengapa Sasha berbeda dari wanita-wanita itu. Secara tidak langsung, wanita ini selalu mencoba untuk menjaga jarak darinya. Dia tidak tahu apa yang telah terjadi dalam kehidupannya, sepertinya wanita ini begitu misterius. Dan Ted sangat penasaran dengan Sasha.

   “Aku rasa kamu tidak perlu terlalu memikirkan pertanyaanku sebelumnya,” ucap Ted mencoba mengalihkan pembicaraan.

    “Terserahlah, lagi pula aku ingin istirahat sebentar di sini sambil menikmati sunset. Hari ini cukup melelahkan dan kakiku rasanya mau copot,” ucap Sasha sambil melepaskan sepatunya. Ia merebahkan tubuhnya dan menghela nafasnya dengan cepat. Pandangannya menatap lurus ke depan, memandangan hamparan biru laut yang terbentang di hadapannya.

     Ted memperhatikan setiap jengkal tubuh Sasha. Ingin sekali ia memalingkan wajahnya dari wanita itu, tapi tubuh wanita itu begitu sempurna. Tidak kurus bagaikan tengkorak hidup, dan tidak terlalu besar untukku. Pas. Ya, itulah kata-kata yang tepat untuk tubuh indah itu.

     Ia mengutuk dirinya sendiri karena matanya begitu terpaku pada payudara indah yang bergerak halus saat Sasha sedang bernafas. Payudara itu tidak terlalu besar, tidak seperti balon udara yang menyembul di udara, tapi ukuran yang begitu pas dengan tubuhnya.

     Matanya menjalar lagi ke kaki Sasha yang mulus dan bersih. Kulitnya yang berwarna kuning langsat tampak sedikit menggelap akibat terbakar sinar matahari. Namun hal itu tidak menghilangkan aura kecantikannya.

     “Mengapa kau melihatku seperti itu? Dan kapan kau akan berhenti menatapku seperti itu?” tanya Sasha tiba-tiba, membuat Ted terkejut bukan main. Wanita itu tidak bergerak sedikit pun, pandangannya masih tertuju ke arah lautan biru.

      “Aku? Aku tidak melihatmu seperti yang kamu pikirkan,” jawab Ted dengan gugup.

   “Ya, kau melihatku seperti yang aku pikirkan. Dan kau tahu? Aku tahu apa yang ada dalam pikiranmu,” kata Sasha sambil menyunggingkan senyum di wajahnya.

     “Aku... Aku... Ahh... Kamu ini benar-benar,” ucap Ted terbata-bata, baru kali ini ia merasa gugup berbicara dengan seorang wanita.

      “Sudahlah, aku sudah terbiasa dengan pandangan seperti itu. Lagi pula itu bukanlah sesuatu hal yang bisa menggangguku,” ucap Sasha santai sambil mengangkat sedikit bahunya.

     “Kamu benar-benar wanita yang cantik, kamu tahu itu?” ucap Ted sambil membaringkan tubuhnya kembali ke kursi pantai.

   “Mungkin kau orang ke seribu yang berkata seperti itu, dan aku sama sekali tidak terlalu memusingkan hal itu,” kata Sasha sambil melihat ke arah Ted.

      Ted tidak membalas kata-kata Sasha, ia tersenyum dan membalas tatapan Sasha. Wanita ini sama sekali tidak canggung dengan tatapanku, bahkan sebaliknya, tatapan wanita itu seakan menenggelamkanku dan membuatku merasakan sesuatu yang baru. Sesuatu yang belum pernah aku rasakan. Batin Ted.

     Waktu berlalu begitu cepat. Matahari perlahan-lahan terbenam di balik hamparan lautan biru itu. Cahaya lampu-lampu kecil yang berwarna kuning, membuat suasana sore itu semakin hangat. Tiba-tiba kilatan tentang senyum dan wajah Na kembali terlintas di pikirannya. Apa yang sedang Na lakukan dengan Rico? Apakah Rico bisa memperlakukan Na dengan lembut? Apakah Na merasakan sakit? Apakah... Pikir Ted.

    Pikiran Ted kembali memikirkan Na. Ia harus melakukan sesuatu agar bayangan tentang Na bercinta dengan pria lain bisa menghilang dari pikirannya. Aku harus melupakan Na. Aku harus membuang perasaanku jauh-jauh. Aku harus... HARUS.

     Ted bangkit dari kursi pantainya dan duduk menghadap ke kursi Sasha. “Bagaimana kalau malam ini kamu makan malam denganku lagi?” ajak Ted dengan senyuman merekah di wajahnya, mencoba menyembunyikan perasaannya yang hancur.

     “Aku rasa aku tidak bisa. Maafkan aku. Karena aku harus mengurus acara makan malam pengantin baru itu, yang akan berlangsung... dua jam dari sekarang,” jelas Sasha sambil melihat ke arah jam tangannya.

     “Aku akan membantumu. Bagaimana? Apakah itu boleh?” tanya Ted lagi.

    Sasha menatap tajam ke arahnya. Seakan mencoba untuk membaca pikiran Ted dan ia pun berharap wanita itu tidak bisa membaca apa yang sedang ia rasakan saat ini. Wanita itu terdiam beberapa saat, tampak sedang menimbang sesuatu. Dahinya berkerut dan wanita itu bermain-main dengan bibirnya.

     “Baiklah. Tapi kau harus menuruti semua perkataanku dan jangan pernah membantahku. OK?” ucap Sasha seakan memerintah bawahannya sambil mengajungkan jari telunjuknya ke arah Ted.
“Baik, tuan putri.”

     Sasha tersenyum lebar saat mendengar kata-kata Ted. Dan ia sangat menyukai senyuman itu. Banyak hal yang ia sukai dari wanita ini. I like this woman. Like her very much.

      “Lebih baik kita berganti pakaian dan bersiap-siap untuk pekerjaan selanjutnya,” kata Sasha seraya beranjak dari kursinya. Mereka pun berjalan berdampingan menuju hotel.

∞∞∞∞∞∞∞∞

Tidak ada komentar: