Jumat, 27 Januari 2017

A STOLEN HEART (21+) - BAB 1


BAB 1


     Wanita itu menikmati kelapa muda yang tersaji di hadapannya. Segarnya air kelapa yang bercampur dengan dinginnya batu es, menghapus dahaganya. Angin berhembus halus, menyentuh rambutnya yang tergerai indah. Matahari bersinar dengan cahayanya yang lembut, membuat udara saat itu tidak terlalu panas. Suara ombak, yang tidak terlalu besar, menderu halus di telinganya. Membuat perasaannya yang kesepian sedikit terhapuskan. Ia duduk sendirian di sebuah bar sambil memandang lurus ke depan.
     Suasana pantai saat itu sedang sepi, begitu juga dengan kondisi bar saat itu. Hanya beberapa orang yang sedang asik menikmati pemandangan laut. Ada pun beberapa orang yang sedang berjalan di bibir pantai dan suara beberapa anak kecil yang sedang tertawa sambil menikmati hangatnya air laut yang menyentuh kaki kecil mereka. Hamparan laut berwarna biru pekat yang sangat luas, begitu menenangkan hatinya.
     Ya. Saat ini memang sesuatu sedang melanda hati dan pikirannya. Pernikahan kedua sahabatnya membuat dirinya semakin merasakan kesepian. Desi dan Maira sudah menikah dengan pria yang sangat mereka cintai. Pria yang tampaknya bisa membuat kedua sahabatnya itu mabuk kepayang dan tergila-gila.
     Ditambah lagi dengan kehadiran buah hati di tengah keluarga kecil kedua sahabatnya itu, membuat dirinya tampak sebagai seorang wanita lajang yang penuh kekosongan dan kehampaan. Matanya menatap hamparan laut dan ia pun menarik nafasnya kemudian menghelanya dengan cepat.
     "Hufff..." Sasha menghembuskan nafasnya dengan cepat sambil mengaduk-aduk air kelapa yang berada di dalam gelas besarnya.
     "Sendirian?"
     Suara pria yang tiba-tiba duduk di sampingnya itu, membuat Sasha terkejut bukan kepalang. Sasha me-natap pria itu dengan pandangan penuh kesal dan merasa terganggu. Kerutan di dahinya membuat wajahnya tampak sinis. "Boleh aku duduk di sini?" tanya pria itu sambil meletakkan sebuah kamera di atas meja kayu itu dan duduk dengan santainya di samping Sasha.
     Sasha tidak menjawab pertanyaan pria itu. Aneh... kenapa harus permisi kalau dia sudah duduk di situ tanpa permisi sebelumnya? Batin Sasha. Ia memalingkan pandangannya ke arah pantai dan mencoba untuk tidak memperdulikan pria itu.
     Pria itu duduk di sampingnya, mengutak-atik kameranya dan Sasha tetap berusaha memusatkan pandangannya ke arah pantai. Aroma pria itu terbawa oleh hembusan angin, membuat Sasha bisa merasakan wangi itu menyeruak ke dalam dirinya. Pria itu sangat wangi, tapi bukan wangi yang menyengat melainkan wangi yang sangat menenangkan.
     'klik'. Terdengar suara kamera dengan jelas di telinganya. Sasha langsung menoleh ke arah pria itu, dan lensa panjang kamera itu berada tepat di depan wajahnya.
     "Apa yang kau lakukan?" tanya Sasha dengan nada kesal sambil menepis lensa kamera itu dengan pelan.
   "Maaf... aku tidak bisa menahan diriku. Aku selalu seperti ini saat bertemu dengan sebuah objek yang menarik perhatianku," jawab pria itu.
     "Objek? Menurutmu aku ini benda?" tanya Sasha lagi, kali ini dengan nada sedikit tinggi.
     "Maaf... Wajahmu begitu menarik dalam kamera ini. Apakah kamu memperbolehkan aku untuk mengambil beberapa foto dirimu?" tanya pria itu sambil tersenyum lembut.
    "Kau sudah duduk di sampingku sebelum kau meminta ijin, dan sekarang kau bertanya apakah kau boleh memfotoku sedangkan kau sudah memfotoku sebelumnya. Kau ini sakit jiwa atau itu memang sifatmu?" tanya Sasha dengan wajah kesal.
    "Maaf... aku memang tidak bisa menahan diriku. Kalau kamu tidak menyukainya, aku akan menghapus fotomu," ucap pria itu dengan wajah menyesal.
     "Hah, sudahlah," ucap Sasha sambil beranjak dari tempat itu.
     "Hei! Kamu mau kemana?" tanya pria itu.
     "Bukan urusanmu!" jawab Sasha dengan ketus.
     "Setidaknya bolehkah aku bertanya siapa namamu?" tanya pria itu lagi.
    Sasha menatap pria itu dengan pandangan tidak percaya. Ia menimbang-nimbang dan berpikir sejenak. "Sasha," jawabnya sambil mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja.
     "Namaku Ted," ucap pria itu, tapi Sasha tidak terlalu menggubrisnya dan pergi begitu saja meninggalkan pria itu.
   Deburan ombak semakin lama terdengar semakin jauh. Sasha berjalan menuju hotel, menyusuri jalan setapak, yang diapit oleh barisan bunga indah, yang berada di sisi kanan dan kiri jalan setapak itu. Ia melihat jam tangannya. Waktu menunjukkan pukul satu siang.
     Besok ia harus mulai mempersiapkan segala keperluan untuk pernikahan salah satu sepupunya di hotel ini, yang akan berlangsung dua hari lagi. Ya. lagi dan lagi. Ia harus merelakan dirinya mengurus sebuah pernikahan yang merupakan sebuah beban berat baginya. Sasha tidak terlalu menyukai sebuah acara pernikahan. Selain karena ia tidak menyukai sebuah komitmen, di sisi lain ia tidak terlalu percaya dengan yang namanya cinta sejati.
     Pengalaman di masa lalunya membuat dia menutup hatinya pada hampir semua pria yang mencoba singgah dan hadir di dalam hidupnya. Dan hal ini membuat kedua sahabatnya khawatir. Entah sengaja atau tidak, sepertinya Maira dan Desi selalu menunjuk Sasha untuk mengurus segala hal yang berhubungan dengan pernikahan.
     Sasha melangkahkan kakinya masuk ke dalam hotel megah itu dan berjalan menuju lift yang terletak tidak jauh dari pintu masuk itu. Pikirannya melayang entah kemana saat tiba-tiba ia mencium aroma yang tidak asing. Dengan cepat Sasha memalingkan wajahnya ke sebelah kirinya dan sangat terkejut mendapati pria, yang ia temui tadi di pinggir pantai, berdiri tepat di sampingnya.
     "Kau lagi!" ucap Sasha dengan kesal dan raut wajah tak percaya.
     "Hai," sapa pria itu dengan senyum mengembang di wajahnya.
     "Apa yang kau lakukan di sini? Apa kau menguntitku?" tanya Sasha langsung dengan suara sedikit tinggi. Ia tidak memperdulikan beberapa orang yang menatap ke arahnya.
     "Aku menginap di hotel ini, apakah ada yang salah?" jawab pria itu dengan santai.
     "Tidak mungkin!" ucap Sasha tak percaya, "kau pasti berbohong."
     Pria itu mengeluarkan sebuah kartu dari dalam sakunya dan menunjukkannya pada Sasha. "Aku tidak ber-bohong," ucap pria itu sambil tersenyum lembut pada Sasha.
     'ting.' Pintu lift pun terbuka dan Sasha dengan cepat masuk ke dalam lift diikuti oleh pria itu. Pintu lift bergerak perlahan tertutup dan mereka pun terdiam di dalam lift itu. Sasha menekan tombol lantai empat belas, sedangkan pria itu sibuk dengan kameranya.
     Tampaknya pria itu sedang mengamati hasil jepretannya. Sasha mencoba mencari kesibukan dengan ponselnya. Lift itu terasa bergerak sangat lambat, membuat Sasha kesal dan tidak sabar. Ia menyisirkan jemarinya ke rambutnya yang tergerai.
     "Kamu cantik," ucap pria itu. Sasha terkejut mendengar kata-kata yang keluar dari mulut pria itu. Ia memalingkan wajahnya dan menatap pria itu.
      Pria itu berdiri sambil menyenderkan tubuhnya ke dinding lift. Tatapan pria itu menatapnya dengan tajam dan seringai nakal muncul di wajah pria itu. Sasha tidak menyukai pria itu. "By the way namaku Ted. Sepertinya kamu tidak mendengarku tadi," ucap pria itu sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dadanya.
     "Wajahmu itu benar-benar membuatku tertarik," ucap Ted tanpa malu.
     "Bisa kau hentikan itu?" pinta Sasha dengan tatapan kesal.
     "Maafkan aku... Aku selalu mengatakan apa yang aku inginkan," ucap Ted santai sambil tersenyum.
     "Terserah, tapi aku sangat terganggu."
     "Baiklah. Aku akan diam," ucap Ted.
     Mereka berdua pun terdiam sampai pintu lift itu terbuka dan dengan cepat Sasha melangkahkan kakinya keluar dari lift. Ted pun melakukan hal yang sama. Sasha tidak memperdulikan pria itu dan mencoba berjalan dengan cepat mengarah ke depan pintu kamarnya.
     Sasha berhenti tepat di depan pintu kamarnya. Ia membalikkan tubuhnya dan menatap Ted yang sedari tadi mengikutinya. "Apa yang kau lakukan?? Sampai kapan kau akan mengikutiku?" tanya Sasha dengan kesal sambil berkecak pinggang.
    "Sorry... kamarku di sebelah sana," ucap Ted sambil menunjuk pintu yang berada tidak jauh dari pintu kamarnya. Apa??? Tidak mungkin kamar kami bersebelahan!! Batin Sasha kesal. Pria itu berjalan melewati Sasha yang terus menatap pria itu dengan kesal.
     Pria itu mengeluarkan kartu dari dalam sakunya, menempelkannya di gagang pintunya dan dengan segera pria itu membuka pintu kamarnya lalu menghilang di balik pintu itu. Sial.
   Sasha membuka pintu kamarnya dan masuk ke dalam kamarnya dengan perasaan kesal, marah dan berantakan.
∞∞∞∞∞∞∞∞

Tidak ada komentar: