Jumat, 27 Januari 2017

A STOLEN HEART (21+) - BAB 4


BAB 4
     Angin pantai yang bertiup lembut dan suara deburan ombak malam itu menemani Sasha dan Ted yang sedang asik menikmati makan malam mereka. Kehadiran Ted di saat ini setidaknya menghapus kesepiannya. Ted adalah pria yang menyenangkan dan setiap kali Sasha bercerita tentang sesuatu, pria itu selalu mendengarkan Sasha dan tatapan pria itu sangat menyejukan.
   Entah mengapa Sasha merasa nyaman dengan kehadiran Ted. Bahkan ia pun bisa tertawa lepas saat Ted melontarkan gurauan yang begitu menggelikan. Hari pun semakin larut dan angin pantai pun perlahan-lahan berubah menjadi sedikit kencang.
    "Bagaimana dengan makananmu? Apakah kamu menikmatinya?" tanya Ted saat Sasha meneguk habis minuman dalam gelasnya.
    "Ya, makanan ini sangat nikmat. Bagaimana denganmu?" tanya Sasha sambil ter-senyum.
    "Ya, aku juga sangat menikmati makan malam ini. Terutama karena aku bisa meng-habiskan malam ini denganmu," jelas Ted sebelum ia meneguk minumannya.
     Sasha tersenyum saat mendengar kata-kata itu. Pria ini memang mengerti cara menye-nangkan hati wanita, pikir Sasha. Ia melihat jam tangannya, sekarang pukul sembilan malam. Sudah waktunya ia untuk beristirahat karena besok dia harus mempersiapkan pernikahan sepupunya.
     "Sepertinya sudah larut malam dan aku harus beristirahat karena besok ada pekerjaan yang harus aku kerjakan," ucap Sasha dengan santai.
    "Baiklah... Bagaimana kalau kita kembali ke kamar dan beristirahat?" ucap Ted sambil memasukkan ponselnya ke dalam saku celananya.
     "Ide yang bagus," ucap Sasha sambil beranjak dari kursinya.
     Mereka berdua pergi dari tempat itu dan berjalan santai menuju pintu masuk hotel. Ted menekan tombol lift dan mereka pun menunggu sejenak sampai pintu lift itu terbuka. Mereka pun langsung melangkahkan kaki mereka memasuki ruangan lift saat pintu itu terbuka.
     Ted menekan tombol lantai empat belas dan pria itu pun melirik ke arah Sasha. Tanpa sengaja Sasha pun melirik ke arah Ted dan pandangan mereka saling bertemu. Wajah Sasha merona dan jantungnya pun berdebar secepat kuda yang sedang berlari kencang.
     Pria itu tersenyum kecil dan Sasha pun tersenyum malu. Ted berusaha untuk mendekati Sasha dan ia pun tidak beranjak dari posisinya, seakan-akan ia menunggu reaksi selanjutnya dari Ted. Pria itu melingkarkan tangannya di pinggang Sasha.
     Sasha merasa kali ini mungkin ia akan menerima apa saja yang pria itu lakukan pada-nya. Ted memutar tubuh Sasha dan menengadahkan wajah Sasha. Perlahan namun pasti, pria itu mulai mendekat dan semakin mendekati wajah Sasha.
     Bibir indah itu merekah, membuat Sasha begitu tergoda untuk mencobanya. Ted me-nyentuhkan bibirnya ke bibir Sasha. Lembut dan hangat. Itu yang ia rasakan saat bibir pria itu menyentuhnya. Ted memberikan ciuman yang begitu tenang, seakan menunggu reaksi Sasha.
     Pria itu tidak bergerak lebih lanjut, hanya menempelkan bibirnya pada bibir Sasha. Se-sekali pria itu melepaskan ciumannya dan mengecup bibir Sasha berkali-kali, mencoba memancing reaksi Sasha.
     Sasha mencoba untuk mempertahankan benteng pertahanannya, tapi bibir indah dan hangat itu membuat jantung Sasha berdebar semakin cepat dan dengan seketika itu juga Sasha membuka bibirnya perlahan-lahan. Seakan mengetahui sinyal yang ia berikan, Ted pun langsung menekankan bibirnya semakin dalam.
     Baru saja ia ingin menikmati ciuman yang hangat itu, tiba-tiba ponsel Ted berbunyi. Sebagian dari dirinya merasa kesal, karena siapa pun yang saat ini menghubungi Ted telah merusak suasana dimana Sasha sedang menikmati bibir indah itu.
     Namun di sisi lain, ia merasa lega. Karena ia tidak bisa menjamin dirinya bisa bertahan lama dengan ciuman itu. Kemungkinan besar ia akan mengeluarkan sisi liar dalam dirinya dan ia juga akan menyesali apa pun itu yang mungkin terjadi selanjutnya.
     Ted melepaskan ciuman itu dengan terpaksa, wajah pria itu tampak merona. Nafasnya terengah-engah karena menahan gairah dalam tubuhnya. Dengan berat hati, pria itu pun mengeluarkan ponsel dari dalam sakunya dan wajah Ted berubah seketika saat melihat layar ponselnya.
     "Halo," jawab Ted. Pria itu terdam sejenak mendengarkan kata-kata yang diucapkan oleh seseorang di seberang sana.
     "Baiklah... aku akan ke sana sekarang," jawab pria itu lagi dengan raut wajah agak lebih tegang.
     Ted memasukkan ponselnya ke dalam saku, menekan tombol lift ke lantai sepuluh dan tubuh pria itu tampak begitu kaku. "Maafkan aku... sepertinya aku sudah terlalu lancang karena melakukan hal itu tadi. Aku harap kamu tidak berpikiran buruk tentangku. Aku harus menemui seseorang. Orang yang sangat berarti dalam hidupku," ucap Ted tanpa melirik sedikit pun ke arah Sasha.
     Apa yang terjadi? Kenapa sikap pria itu berubah menjadi dingin dan kaku seperti ini? siapa yang meneleponnya tadi sampai bisa merubahnya seketika? Pikir Sasha.
     "Tidak masalah... Aku sudah terbiasa seperti ini... Ini bukanlah hal yang besar bagiku," ucap Sasha dengan nada sedikit ketus. Ia berusaha terlihat tidak peduli dan tanpa sadar Sasha melangkah beberapa langkah sedikit menjauh dari Ted.
     "Kenapa kamu menjauh?" tanya Ted saat melihat Sasha yang melangkah mundur men-jauhi pria itu.
     "Tidak apa-apa... aku... aku hanya..."
     Pria itu mendekati Sasha dan dengan cekatan menarik Sasha ke dalam pelukannya. Pelukan itu terasa hangat dan nyaman, membuat kegundahan dalam hati Sasha sedikit berkurang. Rasa kesal dalam dirinya pun mereda seketika.
    "Maafkan aku... Aku tidak bermaksud seperti itu," ucap Ted sambil terus memeluk Sasha. Ia pun terdiam dalam pelukan itu, mencoba menikmati pelukan itu sambil memusatkan pendengarannya pada setiap kata yang pria itu ucapkan.
     "Aku benar-benar harus menemui seseorang, karena hal ini adalah hal yang sangat penting. Aku harap kamu bisa mengerti," kata Ted mencoba menjelaskan.
     Sasha mencoba untuk menerima dan tetap diam dalam keheningannya. Pria itu mulai melepaskan pelukannya perlahan-lahan. Sasha tetap berdiri tegap, berusaha menunjukkan kalau ia tidak terpengaruh sama sekali dengan kondisi ini, bahkan setelah ia menerima ciuman yang singkat itu.
     Ted menengadahkan wajah Sasha, mencoba menatap langsung ke mata Sasha. Tapi ia langsung memalingkan pandangannya, berusaha untuk menutupi kekecewaannya. Tiba-tiba pintu lift pun terbuka dan Ted pun melangkah menjauh dari Sasha.
     "Maafkan aku," ucap pria itu.
     Sasha menatap Ted yang terdiam di luar lift. Ia tidak bergerak sedikit pun, begitu juga dengan Ted. Pintu lift pun perlahan-lahan tertutup. Bagaikan di film-film drama, ia menyaksikan sosok Ted yang menghilang di balik pintu lift itu.
     Air mata Sasha pun menetes saat pintu itu tertutup rapat. Entah apa yang ia pikirkan saat ini, yang pasti ia merasakan sakit dalam dirinya. Ia tidak menangis, tak ada sedikit pun suara tangisan keluar dari bibirnya. Namun air mata itu terus mengalir di pipinya.
     Ia menatap dirinya melalui pintu lift yang tampak seperti cermin. Ia menatap dirinya yang dulu. Dirinya yang hancur, kotor dan bodoh. Ia melihat dirinya yang rapuh, dan ia tidak menyukai hal itu. Diusapnya air mata itu dengan kasar.
     "KAU BODOH!" makinya pada dirinya sendiri. Wajahnya tampak memerah. Bukan kare-na malu, tapi karena marah pada dirinya sendiri. "KAU BODOH! KAU MUDAH SEKALI DIRAYU OLEH PRIA MURAHAN SEPERTI ITU!", makinya lagi.
     Jantungnya semakin berdebar dengan cepat, karena amarah yang melingkupi dirinya. Pintu lift pun terbuka dan dengan cepat ia keluar dari dalam lift itu. Ia benar-benar marah. Marah pada dirinya. Pada kebodohan yang telah ia lakukan. Dan tubuhnya yang kotor itu harus menerima ganjaran karena kebodohannya itu. HARUS.
∞∞∞∞∞∞∞∞
      "Ada apa ini?" tanya Ted saat ia melihat seluruh isi kamar hotel yang berantakan.
     "Aku tidak bisa, Ted. Aku tidak bisa menikah dengannya," ucap wanita itu sambil me-nangis kencang di atas tempat tidurnya.
     "Kamu sudah memutuskannya, Na. Kamu tidak bisa mundur sekarang," jelas Ted pada wanita itu.
     "Tapi bagaimana denganmu?" tanya Na itu sambil menatap lemah ke arah Ted. Tatapan Na membuat Ted bisa merasakan kesedihan yang begitu mendalam.
    "Kenapa denganku? Aku baik-baik saja, kamu tahu itu. Aku baik-baik saja," ucap Ted sambil duduk di samping wanita itu. Ia memeluk tubuh wanita itu dengan lembut.
    "Aku baik-baik saja, Na. Kamu tidak perlu khawatir," ucap Ted mencoba membuat Na tenang. Tapi yang terjadi malah sebaliknya. Tangisan Na semakin kencang, semakin kuat. Membuat hati Ted bagaikan tersayat-sayat.
    "Kamu mencintaiku. Dan sepertinya aku membodohi diriku selama ini, Ted. Aku juga mencintaimu, Ted. Aku tidak bisa menikah dengan Rico. Ini semua kesalahan. Kesalahanku," kata Na sambil menatap ke arah Ted.
     Ted terdiam mendengar kata-kata itu. Entah apa yang ada di dalam pikiran wanita itu, tapi kata-kata itu membuat Ted terluka. Ia mencintai wanita ini sejak kecil. Wanita ini adalah cinta pertamanya. Ted pernah mengungkapkan perasaannya pada Na beberapa tahun lalu, tapi dengan jelas Na menolak perasaan itu.
     Wanita itu hanya menganggapnya sebagai seorang kakak. Tidak lebih. Dan saat Ted mengetahui bahwa Na akan menikah dengan Rico, hatinya benar-benar hancur. Berkali-kali ia berusaha untuk mencegah Na menikah dengan Rico. Tapi tak satu pun usahanya yang membuahkan hasil.
     Sampai ia pernah mencoba untuk melamar Na, tapi wanita itu tetap menolaknya. Dan bulan lalu, sebelum Na mengatakan bahwa wanita itu akan menikah dengan Rico di Bali, Ted berusaha untuk melamar Na untuk yang terakhir kalinya. Wanita itu menolak dan tetap memilih Rico.
     Ted tahu bahwa Rico dan dirinya memang sama-sama pria yang kaya dan mapan. Pria yang bisa membahagiakan Na seumur hidupnya. Tapi yang tidak ia mengerti adalah mengapa Na lebih memilih Rico, bukan dirinya.
     Dan sekarang, saat ia mulai bisa mengubur perasaan itu, Na malah mengatakan kalau wanita itu mencintainya. Kenapa sekarang? Kenapa bukan saat ia dengan penuh perjuangan merebut hati Na? Kenapa? Tanya Ted dalam hatinya.
     "Aku mencintaimu, Ted. Aku tidak bisa hidup tanpamu," ucap wanita itu dengan nada segukan.
     Ted tidak menjawab atau pun membalas kata-kata Na. Ia hanya terdiam. Pikirannya melayang entah kemana.
     "Ted... Kamu mendengarkanku, kan? Aku mencintaimu, Ted. Aku tidak ingin menikah dengan Rico," ucap Na dengan suara seperti rengekan seorang bayi.
     Ted menjauhkan tubuhnya dari Na, menatap wanita itu dalam-dalam dan memperhatikan wanita itu dengan seksama. "Apa alasanmu mengatakan hal itu sekarang, Na?" tanya Ted dengan tatapan dalam dan nada suaranya sedikit tegas.
    "Aku mencintaimu, Ted. Aku tidak bisa hidup tanpa dirimu. Tanpa kehadiranmu dalam hidupku," jelas Na dengan yakin.
    Ted menjauh dari Na. Ia beranjak dari tempat tidur itu. Na menatapnya dengan pandangan bingung. Tak percaya. "Ted," panggil Na dengan wajah kebingungan.
      "Kamu tidak mencintaiku, Na. Kamu mencintai Rico."
    "Aku mencintaimu, Ted. Aku sungguh-sungguh mencintaimu," ucap Na dengan nada memohon.
     "Aku mencintaimu, Na. Melebihi aku mencintai diriku sendiri. Tapi sekarang di saat aku sudah mulai bisa berdiri tegap menghadapi pernikahanmu, kamu berusaha untuk menarikku kembali ke dalam kegelapan itu. Kegelapan dimana aku merasa terpuruk dan ketakutan akan kehilanganmu.
     Dan sekarang aku sadar, Na. Aku memang mencintaimu, tapi aku merelakan semuanya karena aku tidak bisa memilikimu. Aku mengerti apa yang kamu rasakan sekarang, Na. Kamu tidak mencintaiku seperti yang aku rasakan. Kamu hanya takut kehilanganku. Takut diriku menghilang dari kehidupanmu. Takut kehilangan perhatian dan cintaku.
     Ya... Kamu takut kehilangan itu semua dan aku mengerti itu. Tapi aku berjanji padamu, Na. Kamu tidak akan kehilangan itu semua. Aku tetap ada dalam kehidupanmu dan tetap memperhatikanmu. Bahkan aku tetap menyayangimu seperti dulu.
    Kamu bisa datang padaku saat kamu membutuhkanku, dan aku akan selalu ada untukmu. Jadi mulai sekarang, berhentilah berpikir untuk mundur dari pernikahan ini. Karena aku tahu, kamu mencintai Rico melebihi apa pun. Menikahlah dengannya," ucap Ted dengan senyuman di wajahnya.
     Entah mengapa perasaan Ted begitu lega setelah ia mengatakan semua itu. Seakan-akan sebuah beban berat menghilang begitu saja dari dirinya. Sekarang perasaannya begitu tenang. Wajah Na begitu terkejut mendengar kata-kata yang keluar dari bibir Ted.
     Tapi perlahan-lahan raut wajah itu berubah menjadi senyuman. Wajah itu kembali ber-sinar kembali. Wajah cantik dan mempesona. Wajah yang begitu ia cintai dan sayangi. Na beranjak dari tempat tidur dan memeluk Ted dengan erat.
     "Terima kasih karena kamu sudah mau menjadi seseorang yang selalu bisa aku andal-kan. Aku mencintaimu, Ted."
     "Aku juga mencintaimu, Na"
     Mereka pun berpelukan sesaat. Dan saat perasaan Na membaik, wanita itu pun mele-paskan pelukannya.
     "Kamar ini seperti kapal pecah," ucap Ted sambil melirik ke ruangan yang begitu beran-takan.
     "Hehehehe... Maafkan aku. Mau kah kamu membantuku membereskan semua ini?" tanya Na sambil tersenyum nakal seperti anak kecil.
     Mereka pun membereskan kamar itu dan menghabiskan malam itu dengan saling berce-rita dan tawa.
∞∞∞∞∞∞∞∞

Tidak ada komentar: