Senin, 06 Februari 2017

A STOLEN HEART (21+) - BAB 10


BAB 10


     Suasana menjadi canggung. Ted menatap tajam Elena, sedangkan Rico dan Sasha terdiam sambil berdiri menatap kedua orang itu. Sasha benar-benar tidak tahu apa yang ada dalam pikiran Ted, yang pasti saat ini pria itu benar-benar mengejutkan Sasha.

     Dengan mudahnya pria itu mengatakan kalau Sasha adalah pasangannya, calon istrinya. Ted menarik Sasha semakin masuk ke dalam pelukan tubuhnya, seakan-akan berusaha melindunginya dari orang jahat. “Aku harap kamu bisa menerima kenyataan ini,” kata Ted pada Elena dan mereka pun beranjak pergi meninggalkan Rico dan Elena yang terdiam menyaksikan kepergian mereka.

     Ted mengiring Sasha ke salah satu meja yang berada tidak jauh dari lantai dansa. Mereka duduk di kursi dan Ted memandang ke arahnya dengan senyuman lembut. “Apa yang kamu lakukan tadi? Kenapa kamu mengatakan hal itu pada mereka?” tanya Sasha dengan suara kecil ke arah telinga Ted, setengah berbisik.

     Pria itu hanya tersenyum geli sambil mengangkat gelas berisi air minum. Ted meneguk minum-annya hingga gelas itu kosong. Sasha memperhatikan Ted dengan seksama. Apa yang ada dipikiran pria ini? Apa yang pria ini rencanakan? Pikir Sasha.

     Suara alunan musik berubah menjadi alunan lembut dan halus. Beberapa pasang orang melangkah ke lantai dansa, lalu berdansa diiringi alunan lagu. Ted mendorong kursinya dan mengulurkan tangannya pada Sasha.

     “Maukah kamu berdansa denganku, tuan putri?” tanya Ted dengan lembut.

     Sasha merasa tersanjung setiap kali pria itu memperlakukannya dengan lembut bak seorang putri. Tak ada seorang pria pun yang melakukan hal itu, kecuali ayahnya. Sasha menyambut uluran tangan itu dan pria itu pun mengiring Sasha ke lantai dansa.

     Alunan lagu yang romantis, membuat semua orang larut dalam suasana. Lagu-lagu yang Sasha persiapkan untuk acara ini ternyata sangat disukai oleh para tamu yang hadir saat itu. Ted meletakkan kedua tangannya di pinggul Sasha setelah pria itu meletakkan kedua tangan Sasha melingkari leher Ted, lalu mereka pun berdansa dengan pelan mengikuti irama alunan lagu.

     “Apakah aku sudah bilang kalau kamu malam ini tampak sangat mengagumkan?” tanya Ted sambil menarik Sasha semakin dekat dengan tubuh pria itu.

     Aroma tubuh pria itu begitu harum dan memabukkan. Sasha bisa merasakan jantungnya berdebar dengan cepat. Wajahnya seketika merona dan di dalam hatinya ia berharap pria ini tidak merasakan kuatnya debaran jantung Sasha.

     “Ya. Kamu sudah mengucapkannya,” jawab Sasha, tapi ia tidak sanggup menatap Ted.

     “Kamu benar-benar mengagumkan,” ucap Ted lagi.

     “Dan itu adalah ketiga kalinya kamu mengatakannya,” ucap Sasha sambil tertawa kecil.

     Ted menghentikan langkah dansa mereka dan menengadahkan wajah Sasha. Pria itu menatap Sasha dengan penuh kehangatan. Sasha membalas tatapan Ted dengan senyum kecil menghiasi wajahnya.

     “Aku senang mendengarmu tertawa,” ucap Ted sambil tersenyum, “tertawa karena bahagia, bukan tertawa karena menertawakan masa lalumu.”

     Tubuh Sasha langsung menegang saat Ted mengucapkan kata-kata itu. Ia mengingat kembali betapa lepasnya ia menertawakan masa lalunya yang kelam saat bercerita pada Ted. Ia menertawakan keluguan, kepolosan serta kebodohan dirinya saat masih remaja.

     “Aku akan berusaha membuat bibir itu tertawa bahagia,” ucap Ted sambil menyentuhkan ibu jarinya ke bibir Sasha.

     Perlahan namun pasti, Ted mendekatkan bibirnya dan menyentuh bibir Sasha dengan kecupan ringan. Sasha menikmati kecupan itu dan hatinya terasa begitu senang. Bagaikan hembusan angin pantai menembus tubuhnya dan memberikannya kesegaran yang tak terkira.

     Lama kelamaan, kecupan itu berubah menjadi sebuah ciuman. Sasha menyambut ciuman itu tanpa ragu dan Ted pun memperdalam ciuman itu. Tubuh Sasha yang menegang berubah menjadi lemah, terhanyut dalam manisnya ciuman itu. Ted sangat ahli dalam mencium, membuat seluruh syaraf di tubuhnya meronta kegirangan.

     Ia benar-benar hanyut dalam kenikmatan ciuman itu. Lalu Ted melepas ciuman itu dan menatap langsung ke mata Sasha yang berkabut, penuh gairah. Oktaviana_viviIa harus memadamkan gairah ini. Ia tidak ingin ini hanya menjadi persinggahan sementara. Ia tidak ingin membuat Ted hanya sebagai pria yang hadir sebagai penghiburnya atau apa pun itu sebutannya.

     “Ted... Lusa aku akan balik ke Jakarta,” kata Sasha tiba-tiba. Ia ingin menyadarkan Ted, selain itu ia juga ingin menyadarkan dirinya dari mimpi indah ini.

     Bertemu dengan Ted, menceritakan semuanya pada pria itu, menikmati ciuman yang memabukkan dan berdansa di bawah sinar rembulan. Semuanya bagaikan mimpi indah yang tidak ingin ia lupakan. Seakan ia tidak ingin terbangun dan terus tenggelam dalam mimpi indah itu.

     Tapi ini bukanlah sebuah mimpi dan Sasha sadar akan hal itu. Sasha harus kembali ke dunia nyata, kembali menjalani hidupnya dan kembali dengan statusnya sebagai seorang wanita singel. Dia tidak tahu apakah ia akan bertemu lagi dengan Ted, tapi ia sangat berterima kasih untuk tiga hari yang sangat berkesan ini.

     “Aku juga akan kembali ke Jakarta,” ucap Ted, kedua tangannya melingkar di pinggang Sasha. Mendekatkan dirinya dengan tubuh Ted.

     “Kapan?” tanya Sasha sambil menatap langsung ke mata Ted.

     “Lusa,” jawab Ted singkat.

     “Penerbangan jam berapa?” tanya Sasha lagi.

     “Jam sepuluh malam,” jawab Ted sambil terus bergerak membawa Sasha berdansa mengikuti alun-an lagu.

     “Aku juga jam sepuluh malam,” kata Sasha tampak terkejut.

     “Kalau begitu kita akan berangkat bersama dari sini. Apa pun yang terjadi setelah kita tiba di Jakarta, biarkanlah semuanya mengalir apa adanya. Aku tidak akan memaksa atau menuntut apapun darimu,” ucap Ted dengan santai, “tapi sekarang ijinkan aku melewati malam ini bahkan sisa hariku di sini bersamamu. Aku ingin menikmati Bali denganmu. Apakah kamu mau?”

     Mendengar kata-kata itu, seakan-akan menyadarkan Sasha bahwa semua ini bukanlah sekedar mimpi indah. Ini adalah kenyataan yang benar-benar indah. Ia akan menikmati setiap menit, bahkan setiap detik yang mereka lalui bersama. Sasha sangat bersyukur bisa bertemu dengan pria seperti Ted.

     Pria yang bisa menerima masa lalunya dan memperlakukannya bak seorang putri. Pria yang menatapnya dengan hangat. Pria yang selalu mencoba membuatnya tertawa. Ia tidak tahu apakah ia akan bertemu lagi dengan Ted, yang pasti ia akan selalu mengingat saat-saat indahnya bersama pria ini.

     Sasha menganggukkan kepalanya, mengiyakan pertanyaan Ted. Pelukan pria itu semakin erat dan Sasha mulai memberanikan dirinya untuk merebahkan kepalanya di dada Ted yang bidang. Mereka menikmati sisa malam itu dengan berdansa di bawah sinar rembulan dan suara deburan ombak yang begitu lembut.

∞∞∞∞∞∞∞∞

     Sinar matahari pagi menyilaukan matanya yang sedang terpejam. Ia terbangun dan menyadari bahwa pintu kaca itu terbuka lebar dan angin meniup gorden itu dengan kencang. Sasha bangun dan duduk di tempat tidurnya sambil menggosok matanya yang masih terasa sedikit lelah.

     “Good morning, my princess.”

    Sasha terkejut mendengar suara Ted, dengan cepat ia memandang ke arah dimana suara itu berasal. Oktaviana_viviTed bersender di daun pintu kaca itu sambil tersenyum dan menatap lurus ke arahnya. Pria itu berdiri bertelanjang dada dan celana boxer-nya yang terlihat begitu pas di bokong pria itu, sambil menggenggam secangkir kopi di tangannya.

     “Apa kita... apakah??” tanya Sasha sedikit panik. Sasha tidak tahu harus bertanya apa dulu. Ia tidak mengingat sama sekali apa yang terjadi semalam. Apakah mereka bercinta semalam? Apakah mereka melakukannya?

     Sasha sama sekali tidak ingat. Rasanya semalam Sasha tidak terlalu banyak minum. Ia hanya ingat kalau mereka berdansa dengan mesra, lalu kembali ke meja mereka dan meminum beberapa gelas wine merah yang sangat nikmat. Setelah itu, dia benar-benar tidak ingat lagi.

     “Tenang, Sasha. Kita tidak melakukan apa-apa,” jawab Ted sambil berjalan ke arahnya.

     Wajah Sasha merona karena malu. Lalu ia pun menarik selimut itu, berusaha menutup tubuhnya yang masih mengenakan pakaian tidur yang cukup tipis. “Kamu yakin?” tanya Sasha lagi mencoba memastikan semuanya.

     “Aku bukanlah pria yang suka tidur dengan sembarang wanita,” ucap Ted sambil duduk di atas tempat tidur, tepat di hadapan Sasha.

     Ia pun menghela nafasnya lega. “Syukurlah kalau begitu. Karena aku sama sekali tidak ingat apa yang terjadi setelah kita minum-minum,” ucap Sasha sambil menyisir rambutnya dengan jemarinya, “yang aku ingat hanyalah aku minum beberapa gelas wine dan... Tidak ada. Aku tidak bisa mengingat apa-apa lagi.”

    “Tenang, Sasha. Yang pasti kita tidak melakukan apa yang kamu pikirkan,” ucap Ted sebelum ia menyerupu kopinya yang wangi.

     “Aku membawamu ke kamar, karena kamu terlalu lelah dan lemah sampai kamu tidak bisa berdiri dengan benar di atas kakimu. Dan aku yakin sekali kalau kamu melepas pakaianmu sendiri di kamar mandi dan tanpa sadar kamu tertidur di dalam kamar mandi.

     Aku menunggu cukup lama di sini sampai aku menyadari kalau kamu mungkin pingsan di kamar mandi. Aku membuka pintu kamar mandi, yang ternyata tidak kamu kunci, lalu menemukanmu terduduk dan terlelap di atas lantai. Aku mengangkatmu ke atas tempat tidur dan membiarkanmu tidur dengan nyenyak,” jelas Ted mencoba membuatnya tenang.

     “Ya, kamu terlelap bagaikan bayi mungil. Wajahmu tampak sangat menggemaskan ketika tidur,” kata Ted sambil bergerak mendekat ke arah Sasha. Dengan cepat Sasha bergerak mundur, menjauh dari Ted.

     “Aku hanya ingin memberikan ciuman selamat pagi,” ucap Ted dengan tawa kecil melihat reaksi Sasha.

     “Aku belum sikat gigi,” jawab Sasha sambil menutup mulutnya dengan telapak tangannya.

     Sasha beranjak dari tempat tidur dan melesat cepat masuk ke dalam kamar mandi. Ia langsung melepaskan pakaiannya dan dengan cepat ia pun mandi dan membersihkan dirinya. Setelah mandi dan menyikat giginya, ia pun langsung mengeringkan tubuhnya dan melilitkan handuk besar menutupi tubuhnya.

     Ia membuka pintu kamar mandi itu dengan perlahan. Mengintip ke arah tempat tidur dan ia tidak menemukan Ted di sana. Sasha menjulurkan kepalanya dan tubuhnya sedikit keluar dari kamar mandi, berusaha mencari keberadaan Ted.

     Pria itu berdiri di balkon sambil menatap ke arah laut. Dengan cepat Sasha keluar dari kamar mandi menuju lemari pakaiannya. Ia membuka pintu itu dan mengambil pakaian yang akan ia kenakan, lalu dengan cepat ia pun masuk lagi ke dalam kamar mandi. Mengenakan pakaiannya dan menyisir rambutnya dengan rapih.

     Ia menatap dirinya melalui cermin. Wajahnya merona, jantungnya berdebar dengan kencang. Ia sama sekali belum pernah seintim ini dengan seorang pria. Tidak ada seorang pun pria yang pernah sedekat ini dengannya setelah Jack.

     Sasha menarik nafasnya dalam-dalam kemudian menghelanya dengan cepat. Ia harus bisa me-ngontrol dirinya. Ia tidak boleh bersikap bodoh. Ia adalah seorang wanita dewasa sekarang. Dan ia tidak ingin merusak waktu indahnya bersama Ted.

     Ia pun membuka pintu kamar mandi dan sangat terkejut saat melihat Ted yang berdiri tepat di hadapannya. “Boleh aku pinjam kamar mandimu?” tanya Ted dengan suaranya yang berat.

     “Silahkan,” jawab Sasha singkat.

     Pria itu pun langsung masuk ke dalam kamar mandi. Ia berjalan ke arah balkon dan menemukan secangkir kopi hangat dan sepiring roti panggang. Ia mengambil roti itu lalu menggigitnya, mengunyahnya lalu menelannya dengan dorongan kopi hangat itu.

     Sasha hampir menghabiskan roti kedua, yang ada di tangannya, saat Ted keluar dari dalam kamar mandi. Pria itu tampak begitu segar dan wangi. Ted masih mengusapkan handuk ke kepalanya, berusaha mengeringkan rambutnya yang basah.

     Tampaknya pria itu baru saja selesai mandi. Sasha memperhatikan setiap gerak-gerik Ted. Ter-utama dada bidang dan perutnya yang ramping. Pria ini benar-benar membuat mata Sasha tidak bisa berkedip. Begitu menggoda dan menggairahkan.

     Tatapan mereka saling bertemu dan dengan cepat Sasha memalingkan pandangannya ke arah lain. Ia bisa mendengar langkah kaki Ted di belakangnya. “Kamu sudah sarapan?” tanya Ted santai.

     “Sudah,” jawab Sasha singkat.

     “Maaf, aku tadi mandi di kamar mandimu. Apakah tidak masalah buatmu?” tanya Ted lagi.

     “It’s OK,” jawab Sasha singkat mencoba untuk santai.

     “Apa rencanamu hari ini?” tanya Ted sambil duduk di kursi yang berada tepat di seberang Sasha.

     Pandangan Sasha tidak bisa lepas dari tubuh Ted. Entah apa yang merasuki dirinya, tapi pria ini benar-benar membuat Sasha tidak bisa mengontrol dirinya. Bahkan sisi gelap dalam diri Sasha, setidaknya kali ini, mendukung dan terlena dengan Ted.

     Sasha meneguk kopinya lalu meletakkan cangkir itu di meja. “Aku ada janji temu dengan vendorku. Aku harus melakukan proses pembayaran,” jawab Sasha yang dengan susah payah memalingkan pandangannya dari tubuh Ted ke arah laut.

     “Setelah itu?” tanya Ted lagi.
  
     “Aku tidak ada kegiatan. Aku belum merencanakan apa pun,” jawab Sasha berusaha terlihat santai.

   “Kalau begitu aku akan menunggumu di sini. Setelah itu, aku akan mengajakmu berjalan-jalan. Bagaimana?” usul Ted sebelum pria itu meneguk kopinya.

     “Baiklah,” jawab Sasha.

     “Oh iya,” ucap Sasha teringat akan sesuatu.

     “Kenapa?”

     “Kita sudah empat hari bersama, tapi aku sampai saat ini belum tahu nama lengkapmu. Bukankah itu sangat aneh?” tanya Sasha mencoba mengorek identitas pria itu. Ia harus menyelidiki pria ini, walaupun hal itu tidak merubah perasaannya pada Ted, tapi setidaknya ia harus tahu siapa pria ini.

     Ted menjulurkan tangannya, mencoba untuk menjabat tangan Sasha. Ia menjabat tangan itu dengan wajah berkerut karena bingung. “Kenalkan. Namaku Theodore Amadius.”

      Pria itu tersenyum sebelum ia mencium punggung tangan Sasha. “Apakah kamu selalu bersikap seperti ini pada setiap wanita?” tanya Sasha sambil menarik tangannya dengan perlahan, menahan debaran jantungnya yang begitu cepat.

     Ted tertawa kecil sambil menyisir rambutnya yang masih lembab dengan jemarinya. “Kenapa kamu malah tertawa? Apakah kamu sudah gila?” tanya Sasha lagi.

   “Apakah kamu sadar kalau kamu sekarang sedang membangun tembok besar itu lagi? Tembok besar yang selalu kamu gunakan untuk menjauhkan pria darimu?” ucap Ted, tatapannya mengunci mata Sasha, membuat dirinya membeku. Dia tidak tahu apakah kata-kata itu atau tatapan itu yang membuat dirinya membeku.

     “Aku tidak...”

     “Ya, kamu baru saja melakukannya,” sanggah Ted.

   “Hah, sudahlah. Aku sedang tidak ingin berdebat denganmu," ucap Sasha sambil menghela nafasnya.

   “Aku bukan seperti Jack dan aku akan menunjukkan padamu seperti apa pria sejati yang sebenarnya. Jadi, jangan bangun tembok itu lagi dan nikmatilah sisa harimu di sini bersama denganku,” jelas Ted sebelum pria itu mengambil cangkir kopinya dan meneguk habis isinya.

    “Aku juga belum tahu siapa nama lengkapmu,” ucap Ted sambil meletakkan cangkirnya di atas meja.

     “Sasha Clarisa,” jawab Sasha singkat.

     “Nama yang indah,” ucap Ted sambil menopang wajahnya dengan tangannya, menatap ke arah-nya, dan tersenyum. Sasha membalas senyuman itu sebelum ia memasukkan sisa roti panggang yang ada di atas meja ke dalam mulutnya.

     Sasha melirik ke arah Ted. Memperhatikan setiap gerak geriknya, lalu ia pun menarik nafasnya dengan pelan. Mungkin Ted benar. Mungkin pria itu bukanlah pria jahat seperti Jack. Tapi sebelum semua ini berlanjut, aku akan memeriksa data pria ini sedetail mungkin. Aku tidak akan gegabah kali ini. Tidak. Tak akan pernah lagi.

∞∞∞∞∞∞∞∞

Tidak ada komentar: